6. Putri Duyung dan Pemburu

-oOo-

TATKALA menyaksikan kelompok penari yang bergerak anggun dan gemulai, perhatian Ihatra terpaku pada Tsabita, yang memiliki aura paling berbeda dari penari lain. Barangkali karena Bita menjadi penari utama dan tubuhnya paling tinggi di antara semua anggota. Sambil tersenyum simpul, dia berputar dan melompat seraya mengibaskan selendang dan kipas bergantian. Gadis itu laksana burung musim panas yang lincah.

Pikiran Ihatra hanyut terbawa alunan musik, tetapi Pak Ersan di sampingnya tahu-tahu berkata, "Gerakan tarian itu konon diciptakan putri duyung yang mendiami pantai Pinggala."

Ihatra menaikkan alis. "Putri Duyung?" Pak Ersan mengangguk bijak. "Jadi Putri Duyung bisa naik ke daratan dan menari, Pak?"

"Kekuatan cinta yang membuat mereka bisa melakukannya," kata Pak Ersan.

Ihatra mendengkus geli mendengarnya.

"Kenapa, Yat?"

"Enggak papa," kata Ihatra sambil mengusap-usap bibirnya agar berhenti nyengir. Kendati kata-kata kekuatan cinta itu membuatnya kepengin muntah, Ihatra keburu sadar bahwa seharusnya dia menghargai budaya orang lain. Pak Ersan kelihatan tidak berselera menyinggung sikap Ihatra. Sebaliknya, pria itu justru menuntun Ihatra agar berteduh di sebuah pohon beringin yang besar, yang tanpa digelar karpet pun sudah tampak empuk lantaran dilatari oleh rumput tebal nan hijau.

Ihatra duduk pelan-pelan, sebisa mungkin mengecilkan bunyi desauan lega kala punggungnya menyentuh batang pohon. Kakinya diselonjorkan sejajar dengan tubuh.

Pak Ersan berceletuk, "Festivalnya bakal diadakan bulan depan. Nanti kamu nonton, ya."

"Oh, siap, Pak," kata Ihatra. "Nanti saya bawa kamera buat memotret semuanya."

"Temanmu yang namanya ... Jesen ... Jergen? Dia mau datang juga, enggak?"

"Jayden, Pak? Iya, dia bakal liburan ke sini, tapi enggak tahu bisa sempat nonton festivalnya apa enggak."

Pak Ersan mengangguk, lalu tengadah menyaksikan kelompok penari yang berputar mengelilingi lapangan dan membentuk formasi dua barisan. Mereka mengangkat dan mengibas kipas di udara, kemudian semua wanita merunduk ke rumput selagi kedua tangan dikatupkan di atas kepala bagaikan kuncup bunga.

"Putri Duyung adalah simbol pedesaan ini," Pak Ersan memulai cerita. Ihatra mendengarkan selagi terpaku pada penari di lapangan.

"Konon, ratusan tahun yang lalu, ada sekelompok awak kapal yang enggak sengaja menangkap Putri Duyung waktu mereka sedang menjaring ikan. Lalu mereka berniat menjual putri duyung itu pada penduduk setempat untuk dijadikan tontonan di pasar malam. Namun, seorang pemburu muda yang tinggal di pesisir pantai, diam-diam membawa pulang duyung itu lalu mengobati ekornya yang terluka. Ketika duyungnya kembali sehat, pemburu itu membawa putri duyung ke laut untuk dilepaskan. Seminggu sekali, setiap tengah malam, mereka bertemu di dekat tebing rendah."

Ihatra mengangguk-angguk mendengarkan. Pak Ersan terdiam dengan mata menerawang.

"Tapi ... ada suatu masa ketika putri duyung kembali ke daratan namun dia enggak bertemu lagi dengan laki-laki yang menolongnya."

"Kok bisa enggak ketemu?"

"Dia meninggal waktu sedang berburu, kena patok ular."

"Putri duyungnya tahu soal itu?"

"Sebelumnya dia enggak tahu," ujar Pak Ersan. "Karena merasa ditinggal tanpa kabar, putri duyung itu meminta kepada Dewa Laut supaya dapat dipertemukan kembali dengan laki-laki itu. Dewa Laut mau mengabulkan permintaannya hanya bila putri duyung setuju menari di pinggir pantai setiap harinya, di tengah puncak surya yang menyengat. Lalu dia menerima tawaran itu dan akhirnya mendapat sepasang kaki baru pemberian Dewa Laut. Tarian itu kemudian menjadi sangat terkenal ke seluruh penduduk desa, dan diabadikan sampai sekarang. Seperti yang kamu lihat di depanmu itu."

"Nama tarian itu apa, Pak?"

"Tari Bahar Ajab. Artinya Lautan yang Berharap," kata Pak Ersan. "Waktu tarian itu muncul pertama kali, penduduk desa jatuh cinta pada gerakan sang putri duyung. Dewa Laut kemudian memerintah penduduk untuk melarung sesembahan ke lautan sebagai bentuk terima kasih karena telah menghadirkan gadis cantik yang menari dengan indah. Semua yang ada di pantai menyanggupi dengan bahagia karena mereka terhibur setiap waktu, tetapi enggak untuk si duyung. Sebab selama bertahun-tahun dia justru enggak pernah melihat laki-laki itu. Namun, dia terus rutin menari karena Dewa Laut telah berjanji padanya."

Sekarang, kelima penari di lapangan membentuk formasi lingkaran, sementara Tsabita berdiri di tengah-tengah. Dengan gemulai, wanita itu menari mengikuti ketukan musik, namun seiring waktu bergulir, perlahan gerakannya menjadi kaku dan patah-patah. Ihatra menyadari bahwa gerakan Tsabita mirip seperti boneka kayu yang digerakkan oleh tali tak kasat mata ....

"Setelah beberapa tahun lamanya," Pak Ersan melanjutkan, "Putri Duyung tersadar bahwa selama ini dia telah menjadi boneka Dewa Laut. Dia ditipu dengan alasan hendak dipertemukan oleh laki-laki yang dicintainya, padahal dia tahu laki-laki itu enggak akan pernah datang. Si putri akhirnya enggak sudi untuk menari lagi. Dia kehilangan harapan dan rasa percayanya pada semua orang. Dewa Laut, yang agaknya terpengaruh atas mogoknya putri duyung, akhirnya memberikan hadiah terakhir dengan membawa laki-laki itu menghadapnya."

"Katanya laki-laki itu udah meninggal?" tanya Ihatra.

"Dewa Laut meminjam roh laki-laki itu sebentar dari alam kubur."

"Jadi Dewa Laut enggak bisa menghidupkan laki-laki itu?"

"Yang punya kuasa menghidupkan orang mati itu Tuhan, Yat. Dewa Laut enggak bisa dan enggak akan pernah bisa."

"Yah, katanya Dewa, tapi ngidupin orang mati enggak bisa," sindir Ihatra. "Berarti dewanya bohong, dong?"

"Memang bohong. Mungkin Dewa Laut juga sama kayak kamu."

"Hah, kok bisa?"

"Dia terlalu menganggap remeh rasa cinta putri duyung pada laki-laki pesisir itu. Sama kayak kamu yang nyengir dan ngeledek waktu Bapak bilang soal kekuatan cinta."

Ihatra menjadi malu sendiri karena sikapnya tadi ketahuan. "Maaf, Pak."

Pak Ersan terkekeh tipis sambil menepuk pundak Ihatra. "Enggak papa. Bapak tahu anak muda zaman sekarang pikirannya terlalu logis dan susah menerima mitos-mitos masa lalu yang kadang kisahnya di luar akal."

"Hehe, terus gimana Pak akhirnya?" Ihatra menjadi ikutan penasaran dengan cerita antara putri duyung dan pemuda pesisir pantai. "Walaupun cuma berbentuk roh, akhirnya putri duyung itu tetap bisa ketemu sama laki-laki yang dicintainya, kan?"

"Iya, mereka ketemu. Tapi hanya sebentar."

Setelah kalimat itu dilesatkan, Tsabita menghentak kedua lengannya ke atas kepala hingga berbentuk seperti ranting pohon menghunjam langit. Semua penari terdiam, begitu pula dengan gerakan musiknya. Saat Tsabita memberikan sapuan terakhir yang menandai berakhirnya tarian itu, Ihatra melihat wanita itu tiba-tiba terjatuh di rerumputan seakan sepasang kakinya kehilangan keseimbangan.

Mulanya, Ihatra kira terjadi sesuatu pada Bita, namun saat mendengar narasi Pak Ersan di dekatnya, dia tahu gerakan Bita merupakan pantulan masa lalu dari takdir putri duyung yang merana.

"Saat roh laki-laki itu menghilang dari pelukan putri duyung, saat itu juga putri duyung kehilangan kakinya."

Ihatra terdiam, sementara angin sejuk berembus meniup-niup rambut di keningnya.

"Biar bagaimanapun, sang putri duyung telah mendapatkan apa yang dia mau. Maka, pada saat itulah perjanjiannya dengan Dewa Laut selesai. Putri duyung yang terlalu sedih enggak bisa menyeret tubuhnya kembali ke pantai. Di tengah terik siang, dia membiarkan dirinya dibakar kesedihan yang meluap-luap. Sinar mentari yang membara perlahan-lahan menghapus kesedihannya, membawa rohnya pergi dari dunia ini pula."

"Jadi putri duyung itu ... mati?"

Ihatra menatap Pak Ersan yang masih menerawang pandangannya pada sekelompok penari di tengah lapangan.

"Dia sudah melakukan yang terbaik sampai akhir."

"Enggak ada penduduk desa yang menolong, Pak?"

"Mana Bapak tahu," kata Pak Ersan. "Bapak kan belum lahir waktu dongeng itu terjadi."

Ihatra berpaling dari Pak Ersan, berpikir-pikir. Sesuatu menjepit dadanya saat dia membayangkan dongeng itu berputar laksana sebuah film di kepalanya. Rasa cinta dan kekuatan yang begitu besar. Harapan yang telah mati dikikis surya yang membara. Kisah cinta antara dua makhluk yang tidak mendapat keadilan di dunia ini. Kenyataan itu menderai hatinya hingga Ihatra merasakan simpati pada putri duyung itu.

"Padahal cuma dongeng, ya, Pak," celetuknya lirih. "Tapi sedihnya sampai sini."

"Cuma dongeng?" kata Pak Ersan, tersenyum kebapakan tatkala melihat ekspresi Ihatra. "Orang-orang tua yang umurnya udah hampir seratus tahun di sini percaya kisah itu beneran terjadi, Yat. Bagi mereka itu bukan dongeng."

"Oh, iya." Ihatra menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Tapi sedih banget ya, Pak. Ending-nya tragis bener. Putri duyung udah berjuang mati-matian, tapi enggak bisa bersama."

"Mungkin mereka berdua baru bisa ketemu di surga," ujar Pak Ersan.

"Yah, surga di tangan Tuhan, Pak."

Ihatra termenung menatap para penari yang mulai membubarkan diri. Dalam pikirannya yang terbagi antara kisah putri duyung dan kekagumannya pada penampilan para penari, dia menaruh perhatian yang lebih besar ketika mengamati Tsabita yang tersenyum pada para perempuan di sekelilingnya. Ihatra melihat bagaimana Tsabita menerima sebotol air dan langsung meneguk isi di dalamnya. Sinar senja terpapar di wajahnya yang mendongak. Kulitnya yang berwarna sawo matang tampak keemasan dan basah oleh keringat.

Tsabita tampak begitu kuat dan menawan pada satu waktu, sehingga Ihatra nyaris berpikir bahwa wanita itu begitu mirip dengan gambaran putri duyung di benaknya.[]

-oOo-

.

.

.

Sebenernya chapter ini masih panjang, tapi kayaknya bakalan lebih efektif kalau pendek-pendek segini aja, cuma 1300-1400 kata. Jadi inshaAllah besok aku update lagi aja

Tapi kalau kata kalian, kependekan nggak tiap chapternya? Apa perlu ditambah scene lagi?

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top