59. Kemunculan Pertama
PERNYATAAN cinta yang terjadi semalam adalah aksi yang tidak terbaca, tanpa aba-aba.
Ihatra pikir demi mendapatkan hati Tsabita, dia harus berterus terang di hadapan media untuk mengklarifikasi atas semua skandal yang terjadi, tetapi rupanya Tsabita menerimanya lebih cepat dari perkiraan.
Sulit untuk berhenti bersyukur atas nasib mujur itu. Barangkali Ihatra harus berterima kasih kepada Tasya karena secara tidak langsung gadis itu membawanya ke situasi mengejutkan kemarin. Yah, kendati lengannya harus memar dan tergores pisau terlebih dahulu. Tidak apa, ganjaran yang didapatkannya toh sepadan dengan pengorbanan yang dia lakukan.
Omong-omong, atas keberhasilannya menjalin hubungan dengan Tsabita, Ihatra nyaris lupa untuk memposisikan di mana dia berada sekarang;
“Mas?” Tsabita berseru amat lirih. Ekspresinya memancarkan rasa malu dan tidak enak. “Lepasin tangan saya. Malu sama Bu Nilam.”
Terkejut, Ihatra cepat-cepat melepas belitan jemarinya di tangan Tsabita. Aksi tiba-tiba ini membuat lututnya terbentur meja makan hingga mengundang pekikan kecil. Bu Nilam yang baru muncul dari dapur sambil membawa sepanci sayur bening, menatap Ihatra dengan heran. “Loh, kenapa, Nak?”
“Enggak papa, Bu. Ada kecoa tadi di bawah.”
Dustanya barusan membuat Tsabita terkikik geli. Ihatra yang mendengar tawa lirih itu langsung pura-pura batuk, tetapi di bawah meja tangannya tidak bisa diam mencubit-cubit pakaian Tsabita. Jangan ketawain saya! Begitu yang coba dia katakan, yang tentu saja malah membuat Tsabita tidak berhenti cekikikan.
Shaka yang sejak tadi ada di meja makan hanya terdiam melihat keanehan kedua orang dewasa di hadapannya. Sebetulnya dia curiga ada sesuatu yang sedang berlangsung di bawah meja, tetapi pemuda itu sengaja menahan diri untuk mengintip, sebab sejak tadi ada sesuatu yang lebih mengasyikkan untuk disaksikan;
Ekspresi Tasya yang duduk di sampingnya.
Cem. Bu. Ru. Bu. Ta.
“Tasya.” Suara Bu Nilam memecahkan raut muka Tasya yang seolah sedang merencanakan skenario kejahatan. “Kamu kenapa dari tadi prengat-prengut aja? Ini loh, dimakan dulu. Kemarin kamu tidur dan melewatkan makan malam, jadi pasti sekarang lapar, kan?”
Bujukan lembut Bu Nilam juga menghentikan aksi Ihatra yang sejak tadi menggoda Tsabita di bawah meja. Kedua orang dewasa itu akhirnya berhenti bersikap layaknya anak kecil dan ikut menyimak percakapan yang terjadi di ruang makan.
“Aku enggak lapar. Mau tidur aja.” Tasya menyembur ketus, lantas langsung meletakkan sendok dengan denting kerasa dan berdiri dari kursi. Namun, Shaka yang duduk di sampingnya langsung mencekal pergelangan Tasya.
“Makan dulu kalau enggak mau sakit,” kata Shaka dengan enteng.
“Ciye, perhatian,” Ihatra tiba-tiba menyahut jail.
Shaka mengedikkan bahu dan membalas, “Soalnya kalau dia sakit, yang heboh satu rumah. Tuh, contohnya kemarin. Drama bunuh dirinya aja ngalah-ngalahin sinetron 1000 episode yang difavoritin ibu-ibu.”
“Shaka!” Bu Nilam memukul pundak putranya sambil berdesis memperingatkan. Tasya, sementara itu, langsung ciut dan merasa tersinggung setengah mati. Namun karena tidak memiliki amunisi untuk protes, akhirnya gadis itu kembali duduk di meja makan walau kelihatan terpaksa sekali.
“Maaf ya, Nak. Jangan diambil hati omongan Shaka. Saya tahu kemarin pasti berat banget buatmu.” Bu Nilam secara telaten mengambilkan lauk ke piring Tasya, tetapi gadis itu hanya diam saja seolah menulikan telinganya.
Ihatra dan Tsabita saling berpandangan, lalu keduanya secara alami mendesaukan napas maklum.
“Tasya, kemarin Mas Iyat udah telepon Mas Adam, kakakmu,” Tsabita memutuskan untuk memberitahu sekarang, kala semua orang sedang berkumpul untuk sarapan. “Besok pagi dia bakalan jemput kamu balik ke Jakarta.”
“Loh! Kok?” sergah Tasya terkejut. Matanya mendelik jengkel pada Ihatra. “Ngapain Kakak telepon Bang Adam?”
“Pake nanya kenapa. Menurutmu kita siap ngeladenin sifatmu yang labil kayak kemarin?”
“Kak! Tega banget, tahu enggak? Kok tiba-tiba kalian ngusir aku tanpa bilang dulu, sih?”
“Kamu butuh istirahat dan merenungi semua itu, Tas,” Ihatra menyendok sayur ke dalam piring tanpa repot-repot menatap Tasya. “Yang kamu lakukan kemarin itu hal serius. Bayangkan kalau sampai aksi bunuh dirimu kemarin berhasil. Satu Indonesia bakalan gempar. Enggak cuma kamu yang kena, tapi Tsabita, Bu Nilam, dan Shaka juga kecipratan kasusmu.”
Tasya menggebrak permukaan meja sampai semua orang terkejut.
“Oh, God! Buat yang kemarin itu aku cuma menggertak aja! Aku enggak bakalan tega ngelakuin itu ke diriku sendiri!”
“Menggertak?”
Kali ini Tsabita yang meletakkan sendok di piringnya dengan bunyi keras.
Seketika, ruangan menjadi sunyi. Nada bicara Tsabita barusan berbeda dari biasanya. Shaka dan Bu Nilam yang sudah bertahun-tahun tinggal dengannya jelas bisa membaca apa yang akan terjadi hanya dari perubahan suara.
“Bita,” Bu Nilam mengusap-usap lehernya dengan cemas. “Sudah―”
“Kamu pikir mengancam dengan cara seperti itu normal?” Tsabita sudah nyaris kehilangan kesabaran dan memutuskan untuk tidak peduli lagi dengan semuanya. Dia menatap Tasya dengan sengit. “Setelah Mas Iyat susah payah menyelamatkan kamu, kamu masih berpikir kalau yang kamu lakukan kemarin cuma gertakan sepele? Mas Iyat bisa aja kehilangan nyawa gara-gara kamu, Tasya. Pikirkan dampaknya kalau hal itu benar-benar terjadi. Kamu mungkin akan masuk penjara gara-gara tindakan pembunuhan tidak disengaja!”
Tasya menggigit bibit bawahnya dan tidak memiliki alasan untuk membantah. Begitu pula dengan semua orang di ruang makan. Mereka semua menatap resah satu sama lain dan menghitung dalam hati agar ketegangan ini cepat mereda.
“Kami nyuruh Mas Adam jemput kamu bukan berarti mau ngusir, tapi karena kami ingin menyelamatkan kamu dan kita semua yang ada di sini selagi sempat!” Tsabita menekan kata terakhir dan langsung menarik napas kuat-kuat, meninggalkan ruang makan dalam keadaan sunyi lagi.
Selepas itu, Ihatra menepuk-nepuk lengan Tsabita untuk menenangkannya. Jarang-jarang dia menyaksikan wanita ini membalas dengan nada tinggi. Rasanya puas mendengarnya.
“Makan lagi, yuk. Kalau dibiarin dingin entar dimakan setan,” Shaka berusaha mencairkan suasana kendati sikap kikuknya membuat Bu Nilam menggeleng-geleng pasrah.
Setelah ketegangan usai, denting sendok kembali beradu. Semua orang memakan makanannya dengan hikmat. Shaka menjadi yang pertama menghabiskan sarapan dan mengumumkan ke semua orang bahwa sebentar lagi dia akan berangkat sekolah. Ihatra cepat-cepat menghabiskan makanan di piringnya karena ingin segera pulang ke kediamannya dengan menebeng Shaka.
Akhirnya, ketika sarapan usai, Tasya kembali memulai percakapan kepada Ihatra, “Bang Adam besok dateng jam berapa?”
“Eight twenty A.M,” Ihatra menyahut sambil mengelap meja di hadapannya, sementara semua orang sudah meninggalkan ruang makan untuk melakukan tugasnya masing-masing. “Adam ngasih pesan, katanya kamu enggak boleh pergi ke mana-mana sebelum dia datang. Kalau kamu enggak nurut, dia bakal cepuin kamu ke orang tua kalian.”
Ekspresi Tasya berlumur cemas, dan Ihatra hanya mengedikkan bahu. Sudah bisa menebak apa arti kekhawatiran Tasya.
“Kamu bohong ke saya, kan? Kemarin katanya kamu sudah izin ke orang tua buat ketemu saya, tapi ternyata kamu izinnya cuma ke Adam. Sementara orang tua kamu malah diberi alasan palsu kalau kamu lagi syuting ke Pinggala bersama kru film.”
“Kak, aku enggak maksud bohong ….”
“Tapi kenyataannya kamu melakukan itu.” Ihatra keluar dari kursi makan, lalu menghampiri Tasya. Berdiri kurang dari satu meter di hadapannya. “Tasya, saya tahu, sejak skandal di antara kita terjadi, orang tuamu mati-matian melarang kamu buat dekat saya. Itulah mengapa kamu enggak bilang yang sebenarnya ke mereka, kan? Sekarang saya bisa maklumi itu, tapi lain kali jangan bohongi saya lagi.”
“I didn't mean that. Aku cuma enggak mau Kak Iyat merasa tersisihkan hanya karena orang tuaku benci Kakak, makanya aku sengaja bohong.”
“Kamu boleh peduli saya sama, tapi jangan mengorbankan upaya orang lain yang sudah berusaha melindungimu. Mereka melakukan banyak hal demi bisa membuatmu bahagia. Syukuri selagi mereka masih ada di sisimu, Tasya.” Kemudian Ihatra mengembuskan napas dalam-dalam dan berbicara dengan tulus, “Just … don't let regret creep in when you're left to face life alone. Like I am now.”
Tasya mematung dengan sorot berlinang air mata, dan Ihatra yang melihat raut menyesal itu menjadi agak bersimpati. Pada akhirnya, pria itu menepuk-nepuk pundak Tasya. “Sorry, ya.”
“I should've been the one who apologizing to you,” Tasya berdeguk sambil mengusap air mata di pipinya. “Sorry … for everything.”
Ihatra tidak menjawab. Rautnya datar, seolah menahan jawaban lain di hatinya. Namun, Tasya yang tidak curiga pada reaksi itu tiba-tiba memeluk Ihatra dengan erat. Tindakan ini membuat Ihatra kaget. Dia berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Tasya, yang sayangnya gagal sebab Tasya mulai memohon seperti bayi lagi.
“Sebentar aja, Kak. Please. This might be the last time I hug you.”
Ihatra seketika berhenti memberontak. Kalimat Tasya barusan membuatnya berpikir.
“I know. I know it.” Tasya yang menguburkan wajah di dada Ihatra hanya menggumam lirih. Suaranya bernada pahit dan kecewa. “You choose her, right?”
Ihatra menahan diri untuk tidak membalas apa pun. Tasya akhirnya melepas pelukannya dan mendongak pada pria itu. Kendati wajahnya dihiasi senyum, tetapi ada getir patah hati yang bersemayam di antara matanya. “Kok diem?” Tasya tertawa, dan satu letupan itu membuat air matanya jatuh lagi. “Aku bener berarti, ya?”
Tidak mendapat reaksi apa pun, Tasya menarik napas dalam-dalam untuk menguatkan dirinya sendiri. Melawan dan protes terasa melelahkan. Jadi, dia memutuskan mundur beberapa langkah. Menjauh dari Ihatra. “There's no chance for me, then.”
Lalu gadis itu berbalik dan pergi dari ruang makan.
-oOo-
Pukul 13.40. Langit di balik jendela ruang lukis Ihatra terasa terik tidak berawan. Betapa aneh, padahal semalam hujan deras mengguyur bagai ember yang ditumpahkan dari angkasa. Sekarang, sebaliknya, tiada pertanda badai akan mengamuk. Rasanya seolah matahari mengambil alih seisi dunia ini dan memaksa para makhluk di muka bumi untuk menerima sengatan cahayanya.
Ihatra tidak bisa tunduk begitu saja seperti mereka yang tersudutkan oleh kegagahan matahari. Dia harus melakukan sesuatu untuk melawan. Dan, melawan dalam konteks ini adalah perihal pertarungan antara dirinya dengan skandal masa lalu. Dengan seluruh netizen yang melempar hujatan demi sebuah kebohongan yang dipelihara. Kali ini dia harus berbicara kebenaran.
Sejak semalam, Ihatra sudah memupuk keberaniannya. Dan, kini tekadnya membara laksana api. Perasaannya kini tergelincir dalam kubangan cemas serta bersalah. Cemas karena membayangkan bagaimana reaksi masyarakat ketika mendengar pengakuannya, dan merasa bersalah kepada para pihak yang mungkin akan tersakiti dalam pengakuan ini. Terutama Tasya.
“Sorry … for everything.”
Suara Tasya pagi tadi terngiang lagi dalam benaknya. Ihatra menunduk untuk mengusir bayang-bayang wajah Tasya yang berlumur air mata penyesalan. Lo harusnya enggak perlu minta maaf lagi, batin Ihatra. Karena pengakuan gue mungkin akan menyakiti lo.
Sudah cukup.
Ihatra menarik napas dalam-dalam, lalu menyingkirkan kanvas yang tergores sketsa putri duyung di hadapannya, menggantinya dengan sebuah phone holder yang telah disetel agar tingginya sejajar dengan mata. Jemarinya agak bergetar ketika dia menekan-nekan layar ponsel yang tergantung stabil di pengaitnya.
Ketika sebuah fitur ditekan, kamera terbuka. Ihatra menatap wajahnya sendiri di layar. Tampak gugup dan sedikit pucat.
“Lo pasti bisa, Yat,” kata Ihatra pada diri sendiri.
Dan, setelah beberapa saat menunggu, bagian bawah layar ponselnya mulai dipenuhi dengan barisan komentar dari orang-orang. Ihatra merasakan jantungnya berdegup kencang, membuatnya sesak. Juga berkeringat. Matanya bergulir pelan membaca pesan-pesan itu.
@AndreasGyt IHATRA KAMA LIVE INSTAGRAM???? 😱😱😱😱
@ChrisweryLou OMG DIA BALIK!!!! 😭
@Yuikichi76 IHATRA??? WHAT??? LO KE MANA AJA 1.5 TAHUN INI AJG 🤬🤯☠️💀🔥
@narabertand_ Ngapain balik lagi lo?
@tokokiyaaaa SOK PETANTANG PETENTENG LU, DASAR P3MBUNU*!!! ☠️☠️☠️☠️☠️
@WatchMovieee8 Wah broooooooo, gue kaget bjir. Tiba2 banget live siang2 gini?? 🤣🤣🤣
@Junik_aruti Duit lo habis ya, makanya balik lagi ke sini buat ngemis ke netijen???
Banyak pesan yang terasa menohok. Ihatra rasanya ingin mematikan live ini. Namun, urung. Apa yang telah dimulai harus diselesaikan.
Dia memejamkan mata sejenak. Menghitung sampai tiga.
Kemudian, mulutnya terbuka untuk bicara.[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Apa menurut kalian live-nya bakalan lancar?
Komen "🙂" untuk lancar
Komen "😭" untuk gagal
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top