58. Pernyataan Final
Salam sore, semua~
Aku update cepet karena lagi galau
Ya udah, silakan menikmati yaa. Mohon vote dan komennya 💚
-oOo-
.
.
“UNTUNG enggak kena urat nadi, Mas.”
Rasa syukur itu terlontar dari cara Tsabita mengusap lengan bawah Ihatra yang terluka, seketika membuat si pria merasa tidak enak karena dikhawatirkan sampai sebegininya. Ini semua gara-gara Tasya, begitu yang Ihatra pikirkan sambil memijat-mijat pangkal pergelangannya yang ikut diperban, sebab gagang pisau tadi juga sempat menghantam sendi pergelangannya hingga memar.
Setelah aksi mengakhiri hidupnya gagal, kini Tasya sudah ditenangkan dan tidur di kamarnya, sementara Ihatra masih berada di ruang tamu bersama Tsabita, menjadi pasien dadakan karena lengan bawahnya tergores akibat sesi penyelamatan heroik.
“Mas, kok diam? Pusing, ya?” Tsabita tahu-tahu mengecek suhu di kening Ihatra. Pria itu melengos dengan lembut sambil tersenyum sungkan.
“Enggak, kok. Maaf, tadi lagi mikir.”
“Yang tadi enggak usah dibawa pikiran larut-larut, Mas. Yang terpenting Mas enggak papa,” kata Tsabita kalem. “Tasya juga sudah tenang, kok. Tadi dia nangis histeris karena ngelihat darah di lengannya Mas aja. Dia kaget karena Mas tiba-tiba nyeruduk buat nyelametin dia.”
“Si Tasya kayaknya butuh terapis,” komentar Shaka yang tahu-tahu muncul dari dapur sambil membawa nampan berisi cangkir-cangkir dan teko teh. Bu Nilam juga mengekor di belakangnya dan langsung duduk di seberang Ihatra. “Beneran. Kok bisa ada orang yang tiba-tiba kepikiran buat bunuh diri secara live gitu? Kalau Mas Iyat terlambat sedetik aja, dia pasti udah mati sekarang!” lanjut Shaka dengan tampang geram bercampur heran.
“Aku setuju sama Shaka,” sahut Tsabita. “Dia sepertinya memang butuh terapis. Mungkin sebenarnya anak itu juga menyimpan stress yang bikin dia impulsif seperti tadi.”
Ihatra mengangguk. “Dia enggak aman kalau dibiarkan sendiri terus. Seharusnya waktu itu saya langsung telepon Adam supaya jemput Tasya kemari.”
“Siapa Adam?”
“Abangnya.”
“Kalau gitu nanti, setelah tangan Mas Iyat pulih, Mas kabarin aja abangnya Tasya.” Kemudian Tsabita kepikiran sesuatu yang lain setelah melihat pemandangan di luar jendela yang menunjukkan hujan deras. “Oh, ya, Mas Iyat… malam ini tidur di sini aja. Hujannya kayaknya enggak bakal reda sampai tengah malam nanti. Besok pagi-pagi, Shaka yang bakalan nganter Mas Iyat.”
“Besok diantar sebelum Shaka berangkat sekolah, ya. Sekalian sarapan bareng, mau kan?” Bu Nilam menambahkan dengan wajah mengharap sekaligus cemas.
Ihatra tidak punya alasan untuk menolak. Mengingat sekarang lengannya berdenyut-denyut nyeri, rasanya jalan terbaik memang beristirahat sejenak di rumah Tsabita. Lagi pula, dia masih belum ingin pulang karena takut bertemu orang random yang mengenalnya di jalan seperti yang sempat terjadi di pantai siang tadi.
“Ya sudah, saya nginep sini aja ya Bu,” izinnya pada Bu Nilam, yang langsung ditanggapi dengan senyum kepuasan. Beberapa menit selanjutnya, Bu Nilam dan Shaka pamit untuk menyiapkan tempat tidur Ihatra yang direncanakan akan gabung satu ruangan dengan kamar Shaka.
Tinggalah Ihatra dan Tsabita di ruang tamu. Selama tiga menit awal, tidak ada perbincangan yang menjembatani keduanya sampai akhirnya Tsabita memberanikan diri mengajak Ihatra keluar ke teras halaman belakang.
“Di belakang sana enak. Bisa dibuat duduk-duduk sambil lihat pepohonan dan langit,” bujuk Tsabita, yang disetujui dengan khidmat oleh Ihatra. Mereka berdua pun pergi ke teras halaman belakang, yang berupa kursi-kursi anyaman dari rotan yang diletakkan berjajar, ditemani sinar dari bohlam kuning ala pedesaan yang redup dan hangat. Beberapa meter di hadapan mereka adalah pemandangan terbuka langit malam yang diguyur hujan, yang anginnya menyibak-nyibak dedaunan tumbuhan dalam pot-pot mungil di atas birai pagar.
Saat Tsabita sedang meletakkan teko dan cangkir teh di atas meja rotan, Ihatra tahu-tahu berceletuk, “Bita, maafin saya dan Tasya ya. Gara-gara kami berdua, keluargamu malah kecipratan sial. Selain Shaka yang fotonya sampai disebar di medsos begitu, katanya barang di tokomu sempat kemalingan karena terlalu ramai pembeli, ya?”
“Ah, kami enggak anggap itu kesialan kok. Biasa aja. Omong-omong tahu dari mana kalau barang di toko kami dicuri?”
“Tadi Shaka sempet cerita ke saya waktu kamu dan Bu Nilam lagi magriban,” Ihatra duduk di kursi rotan dan menyamankan punggungnya di sana. “Kamu pasti kaget karena pengunjung toko tiba-tiba membludak. Apalagi tadi kamu jaga sendirian. Pulangnya masih harus ngurusin masalah saya dan ngelihat Tasya mau bundir secara live. Pasti kamu capek.”
“Iya, capek sedikit, tapi enggak papa kok.” Tsabita tertawa, kemudian terdiam lama. “Mas Iyat … sepertinya masih peduli sama Tasya, ya? Saya bisa merasa kalau Mas sebenarnya enggak tega sama anak itu.”
“Saya enggak maksud bikin kamu cemburu.”
Jawaban Ihatra membuat pipi Tsabita meremang panas. Bukan begitu maksudnya.
“Ah, maksudnya, saya ….” Terkejut karena disalahpahami, Tsabita menggaruk-garuk leher dengan salah tingkah. Butuh beberapa waktu sampai akhirnya Ihatra sadar dengan gelagat panik Tsabita.
“Oh, bukan ya?” Ihatra tertawa kecil. Malu setengah mati. “Saya pikir kamu cemburu….”
“Saya….” Tsabita menatap Ihatra lekat-lekat, lalu memutuskan melengos dari wajah memikat Ihatra karena tidak kuat memperhatikan lama-lama. “Ya … sebenarnya saya memang sedikit cemburu, tapi tadi niat saya bukan mau menyindir Mas Iyat. Saya cuma merasa Mas itu … bijak banget, karena walaupun Tasya sudah memberi banyak luka dalam kehidupan Mas, Mas tetap mau menyelamatkan dia.”
Ditunggu-tunggu, tidak terdengar jawaban apa pun dari Ihatra. Akhirnya Tsabita menengok penasaran.
Rupanya, sejak tadi Ihatra tengah menatap Tsabita lekat-lekat.
“Kamu … beneran cemburu?” Suara Ihatra lirih dan ragu, seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
Tsabita tidak bisa mengelak lagi, jadi dia membiarkan momen ini bergulir untuk menunjukkan rupa hatinya yang asli.
“Ya. Sedikit.”
“Maaf, Bita,” Tanpa diduga Ihatra meremas tangan Tsabita yang duduk di kursi sebelah. “Saya tadi spontan aja nyelametin Tasya. Saya lupa mikirin kamu karena tadi terlalu panik….”
“Mas, santai aja. Saya enggak marah sama sekali. Ada keadaan-keadaan darurat yang memang harus diprioritaskan, dan keputusan Mas Iyat buat menyelamatkan Tasya itu sudah benar.” Lalu Tsabita melirihkan suaranya untuk membuktikan sesuatu yang lebih penting. “Jadi, yang tadi itu penyelamatan spontan aja, ya? Saya kira Mas sudah enggak peduli sama dia.”
“Peduli sama cinta itu beda, Bita. Saya masih cukup peduli sama nyawa Tasya, tapi bukan berarti saya masih cinta. Sudah habis rasa sama dia sejak dulu.”
“Gitu, ya….”
“Iya! Bahkan dulu, saya lebih menganggap Tasya sebagai adik yang harus dijaga, karena sifatnya memang masih kekanakan walaupun penampilannya bisa dikatakan lebih dewasa daripada usianya.”
“Kalau Mas Iyat tahu sifatnya kekanakan, kenapa masih dipacarin aja?” Sekarang Tsabita terdengar seperti gadis remaja yang terlampau penasaran.
“Karena… di awal saya pikir dia manis dan kalem. Waktu masa PDKT dia juga enggak yang gimana-gimana. Dia pemalu dan anggun. Sifatnya yang asli baru kebongkar ketika kami sudah mulai berpacaran di tiga bulan pertama. Awalnya saya mencoba menerima, tapi semakin lama itu jadi beban buat saya karena kami sama-sama enggak cocok. Rasanya kayak mengasuh anak kecil yang mudah tantrum gara-gara hal kecil. Terlalu posesif, terlalu menuntut, terlalu banyak maunya.”
“Hmm,” Tsabita manggut-manggut mengerti. “Kalau dari usia, dia memang lagi ada di masa labil sih Mas. Apalagi pas itu Mas pacarin dia di usianya yang masih 16 tahun, kan?”
“Baru masuk 16 tahun. Dua bulan sebelumnya dia baru lulus SMP.” Ihatra mengusap pipinya dengan jemu. “Dipikir-pikir, gila juga saya naksir anak minor kayak gitu. Kalau kata Jayden saya kebanyakan pakai hati, sih. Enggak pakai logika, makanya mata bisa buta waktu kenalan sama Tasya.”
Tsabita tertawa. “Kalau sekarang, pakai logika?”
“Ya pakai hati juga, tapi logika lebih sering kepake.”
“Oh, makanya bisa suka sama saya, ya?”
Ihatra menatap wajah Tsabita yang dikecup sinar bohlam. Kecantikannya terasa hangat dan manis. “Iya. Waktu ketemu sama kamu rasanya beda aja gitu. Kok ada sih cewek secantik ini? Saya sering lihat cewek cantik, tapi yang modelan kayak kamu tuh enggak pernah.”
“Kok bisa? Padahal lebih cantik Tasya dibanding saya, loh.”
“Cantikan kamulah.” Ihatra menatap dengan heran. “Maksud saya, secara subjektif, saya prefer kecantikan kamu. Cantiknya ada manis-manisnya. Legit tapi enggak bikin giung, kayak cokelat mahal.”
“Ih, gombalnya~”
“Serius, Bita.” Ihatra mendesaukan udara malam bercampur tawa tersipu. “Makin lama mengenal, saya makin bisa ngerasain tulusnya kamu. Kok ada sih cewek yang sebegitu pedulinya sama saya, tapi di saat bersamaan dia juga kelihatan cinta sama kehidupannya sendiri?” Kemudian Ihatra menggerakkan tangan di udara untuk mengekspresikan penilaiannya. “Kamu tuh kayak … punya dunia dan prinsip sendiri yang enggak bisa diganggu. Setiap kata-katamu selalu terukur, tepat sasaran, dan menenangkan hati. Saya aja nyaman kalau habis ngobrol sama kamu. Dan itu malah bikin saya pengin terus ada di sampingmu buat ngerasain kedamaian yang kamu bawa. Terus kamu juga―”
“Mas Iyat, udah berhenti, nanti saya jadi besar kepala!” Tsabita meremas balik tangan Ihatra yang sejak tadi masih tergenggam di pangkuannya.
Setelah Ihatra menurut dan hanya senyum-senyun malu, mendadak Tsabita ikut tersadar sesuatu. Ketika kepalanya tertunduk melihat jemari Ihatra yang bertautan dengan jarinya, Tsabita juga mempertanyakan mengapa respons tubuhnya berbeda 180° dibandingkan saat dia masih bersama Egar.
Dulu, Tsabita ogah sekali disentuh. Berpegangan tangan mungkin tidak masalah, tapi sesuatu yang lebih intim daripada itu membuatnya aneh. Egar sampai sebal sendiri karena setiap waktu harus memaksa Tsabita agar mau bermesraan dengannya. Namun, bila dengan Ihatra… rasanya segalanya terasa aman.
Bersentuhan tangan begini, tidak masalah.
Sesuatu yang lebih dari itu…
… mungkin tidak masalah juga.
“Bita?” Suara Ihatra menyadarkan Tsabita dari lamunan.
“Ya, Mas?”
“Giliran kamu yang diem. Kamu marah ya gara-gara saya memuji kamu?”
“Enggak, lah. Saya tersanjung.”
Setelah lama terdiam, Ihatra bertanya lagi.
“Kalau kamu cemburu sama saya … apa artinya sekarang kamu mulai mencintai saya?” Kata-kata itu terdengar lirih namun mantap. Tatapan Ihatra tidak beralih dari wajah Tsabita sedikit pun, membuat wanita itu menguatkan hati menerima perhatiannya sampai seintens ini.
“Ya … sepertinya kepedulian saya pada Mas memang bertambah.”
“Hanya peduli atau cinta?”
“Cinta.”[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Akhirnya setelah 57 chapter, mereka official juga 😑✊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top