57. Situasi yang Salah

Sekitar 500 kata di awal bab ini ditulis dua kali karena sebelumnya aku lupa ngesave ๐Ÿ˜ž

Tapi sebagai wanita tenang dan tidak tantrum seperti Tsabita, aku memutuskan untuk bersabar dan menulis kembali dengan semangat dua kali lipat. Alhamdulillah babnya kekejar pagi ini awkwkwk. So, enjoy the chapter~

-oOo-

.

.

.

SORE itu Tsabita kedatangan tamu tak terduga. Ketika pintu rumah terbuka, wajah Ihatra yang dilumuri keringat menyambut di ambangnya.

"Saya mau ketemu Tasyaโ€•"

"Waallaikumsalam," potong Tsabita. Ihatra sedikit malu dan langsung memperbaiki ucapan salamnya yang kelewat buru-buru. Kendati kedatangannya tidak diperkirakan sebelumnya, namun Tsabita dapat membaca situasi hanya dari ekspresi Ihatra. Ada gurat panik sekaligus amarah yang terbendung di sana, dan cara Ihatra mengambil napas mengingatkan Tsabita dengan ekspresi murka Egar ketika latihan tinjunya terganggu.

"Mas nyari Tasya?" Tsabita meyakinkan tebakannya. "Sudah tahu apa yang terjadi?"

"Sudah, makanya saya mau ngomong empat mata sama dia," lalu Ihatra melangkah melewati ambang pintu. Tsabita menahan bahu Ihatra sebelum pria itu meledak-ledak dan berlari ke kamar Tasya.

"Tasya lagi enggak ada di rumah," kata Tsabita, kalem. "Tadi saya juga sudah bicara sama Tasya, dan dia sudah minta maaf atas kelakuannya. Terus waktu Shaka pulang sekolah, Tasya ngajakin Shaka keluar, entah ke mana. Mungkin dia mau bicara berdua aja sama Shaka buat minta maaf."

"Yakin minta maaf aja cukup? Dia bukan tipe orang yang minta maaf dari dalam hati. Minimal kamu usir dia dari rumah ini supaya enggak bikin ulah lagi."

Tsabita mengembuskan napas lelah. "Mas, yang saya pikirin saat ini cuma keselamatan Shaka. Asalkan identitasnya enggak ketahuan dan enggak jadi hujatan netizen, itu udah cukup. Saya enggak mau nambah dosa gara-gara ngusir anak orang."

"Itu bukan dosa, Bita. Itu cara supaya orang itu sadar kesalahannya!"

"Soal itu biar Shaka aja yang menentukan ganjaran untuk Tasya, karena dia yang paling dirugikan dalam masalah ini. Kalau saya dan Bu Nilam sudah ikhlas sama apa yang terjadi."

Tsabita menangkap ekspresi tidak puas di wajah Ihatra, lalu hatinya melunak. Merasa sedikit bersalah, akhirnya dia menuntun pria itu ke sofa. "Gini aja. Kalau Mas masih mau negur Tasya, saya persilakan. Tunggu aja dia di dalem, mungkin sebentar lagi pulang. Saya enggak akan ikut campur sama apa yang kalian bicarakan, asalkan kalian berdua enggak bikin perkara di rumah ini."

"Paling cuma ribut sama teriak-teriak dikit."

"Tetep aja. Kalau sampai dia tantrum, Mas juga saya usir."

"Bitaaaaa," Ihatra hampir merajuk. Tsabita tersenyum dan mendorong-dorong Ihatra supaya duduk di sofa. Bersamaan dengan ketegangan yang luntur, wanita itu ikut mengempaskan diri di sampingnya.

"Saya enggak bohong. Kenyamanan di rumah ini jadi hal nomor satu yang harus dijunjung semua anggota keluarga. Emangnya kalian berdua nanti enggak malu dilihat Bu Nilam waktu berantem? Enggak malu kalau diintip tetangga, difoto, terus diunggah di medsos lagi? Enggak malu kalauโ€•"

"Iya, iya, enggak usah diterusin." Mulut Ihatra bersungut-sungut jengkel. Mengapa belakangan ini Ihatra cepat sekali mengalah dan menurut di hadapan Tsabita? Padahal sebelumnya dia bisa sangat egois dengan semua keputusannya. Beginikah rasanya menjadi seekor anjing galak yang berhasil dijinakkan?

"Ah, nyebelin kamu, Bit."

"Kok saya yang nyebelin?"

"Karena saya enggak bisa menentang semua mau kamu, dan itu nyebelin."

Tsabita terkekeh, lalu Ihatra membuang napas. "Awas aja kalau suatu saat kamu ketahuan manfaatin kelemahan saya, ya."

"Boleh dong kalau manfaatin sesekali buat hal tertentu."

"Contoh?"

"Mm ... jadi pelayan saya?"

Ihatra tercenung sebentar seraya menatap Tsabita lekat-lekat. Tiba-tiba dia mencondongkan tubuh dan membalas dengan nada merayu dan berbisik, "Kalau itu, tanpa diminta, saya bakal melayanimu."

Pipi Tsabita lekas merona, pasalnya tahu ke mana arah pembicaraan Ihatra. Seketika benaknya tersadar atas jawaban yang diucapkannya sebelum ini.

"Ma-maksudnya jadi pelayan rumah ya Mas! Pelayan yang beres-beres rumah! Nyapu, ngepel, cuci baju, benerin atap bolong!"

"Oh, pelayan yang itu! Kirain pelayanan yang lain~" Ihatra menyembur tawa sampai kepalanya terlempar ke belakang. Menyaksikan ekspresi panik Tsabita malah membuatnya gemas sendiri. Karena tidak tahan, dia mencolek dagu wanita itu sambil minta maaf atas keusilannya. Tsabita menepis tangan Ihatra dengan kesal, tapi Ihatra malah beralih mencubit dan menarik-narik pipi Tsabita seakan-akan sedang bermain dengan bocah perempuan.

Mereka berdua masih sibuk menggoda dan mengelak satu sama lain sampai-sampai tidak mendengar bunyi pintu rumah yang terbuka.

Tasya melenggang masuk ke ruang tamu bersama Shaka yang mengekor di belakangnya. Sontak keduanya terpaku melihat pemandangan Tsabita dan Ihatra yang tampak mustahil disebut mengobrol biasa.

Dan, seperti yang diduga, api kecemburuan meremang di dasar perut Tasya.

"Kak Iyat!" Suaranya tercekik kecewa. Ihatra dan Tsabita langsung berhenti menjaili satu sama lain dan berpaling ke ambang ruang tamu. Tidak ada kata-kata yang menjembatani ketegangan itu sampai akhirnya Shaka sengaja melarikan diri ke kamar dengan bunyi langkah terseret-seret, seketika memutuskan untuk berpura-pura tidak melihat apa pun.

Sementara Tsabita dan Ihatra saling memisahkan diri dan bangkit berdiri.

"Tasya," sambut Ihatra dengan ketus. "Saya udah tahu ulah kamu ke Shaka."

Ekspresi pahit Tasya seketika berubah menjadi gelisah, lantaran tersadar siapa yang sesungguhnya ada dalam bahaya. Ini bukan waktu tepat untuk berlagak menjadi korban karena melihat mantan pacarnya bermesraan dengan gadis penari dari desa. Ini adalah detik-detik penentuan hukumannya. Tasya tahu kali ini dia tidak akan dibiarkan lolos.

"Kak Iyat," katanya mencoba memohon. "Kak Iyat tahu kan aku post foto Shaka buat mengalihkan rumor tentang Kakak?"

"Mengalihkan rumor dengan cara bikin rumor baru yang melibatkan orang enggak bersalah?"

"Tapi ini demi Kak Iyat!"

"Bukan," Ihatra menggeleng. "Sebenarnya ini semua demi reputasimu, kan?"

Jawaban itu membuat Tasya gelagapan. Secara otomatis kakinya mundur tatkala dia melihat Ihatra melangkah mendekatinya. Gadis itu terperanjat merasakan remasan jari Ihatra di lengannya.

"Kakak harusnya seneng karena aku baru aja nyelametin Kakak dari rumor di Pinggala!" Tasya meraung tidak mau kalah. "Ka-kalau aku enggak ngepost foto Shaka, semua orang bakalan tahu lokasi persembunyian Kak Iyat, dan mereka bakalan ganggu hidup Kakak lagi!"

"Sejak awal yang ganggu hidup saya itu kamu. Andaikan kamu enggak datang ke sini, sampai sekarang hidup saya tenang."

"Loh, kan aku udah sempet tanggung jawab dengan ngepost foto Shaka! Sekarang Kak Iyat udah 100% aman, tapi kenapa aku masih harus jadi kambing hitam?" Tidak melihat reaksi bersalah di wajah Ihatra, Tasya akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan senjata terakhirnya, "Oke, aku minta maaf kalau aku salah, tapi aku kayak gini karena Kak Iyat! Andai Kak Iyat enggak menolak aku, andai Kak Iyat mau beri aku kesempatan, aku juga enggak bakalan sekhawatir dan senekat ini! Aku habisin banyak waktu buat mencari Kakak cuma buat minta maaf, tapi Kakak terlalu jijik buat ketemu sama aku, kan? Kalau misalnya enggak mau ketemu aku, seenggaknya bales pesan-pesanku! KASIH AKU KABAR, JANGAN KABUR DARI SEMUA INI!"

Cengkeraman Ihatra di lengannya Tasya menguat. Bibir pria itu bergetar menahan geram. "Kesabaran saya udah habis. Saya ... saya akan bongkar semuanya ke publik."

"A-apa?" Mata Tasya bergetar kebingungan.

"Semuanya yang terjadi pada kita beberapa tahun lalu akan saya bongkar ke publik, supaya mereka tahu siapa biang keladinya selama ini. Termasuk ulah kamu saat ini yang ngepost foto orang tanpa izin."

"KAK!" Tasya merasakan jantungnya berdegup cepat dan panik yang menjalar ke ubun-ubun. "KAKAK MAU HANCURIN KARIER AKU?"

Ihatra sengaja tidak menjawab, dan Tasya semakin menjadi-jadi. Gadis itu menepis kasar cengkeraman Ihatra dari lengannya dan mundur dengan tubuh bergetar marah. Air matanya sudah nyaris tidak terbendung, sementara napasnya terengah-engah.

Tsabita yang melihat reaksi tidak terduga Tasya seketika dilanda keterkejutan. Namun, dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya memandangi mereka dari jauh.

"Ka-kalau Kakak ngaku yang sebenarnya, agensiku enggak bakalan tinggal diam! Mereka ... mereka bakal nuntut kamu, Kak!" Suara Tasya terburai di antara sesenggukan dan letupan marah.

"Tuntut aja. Saya masih simpan bukti chat dan voice note kamu yang ngerengek-rengek ke saya karena enggak mau putus, bahkan ancaman-ancaman konyol kamu yang bilang saya bakalan mati diserang fans-mu kalau enggak nurutin kemauanmu."

Tsabita mendelik tidak percaya. Selama ini dia hanya mendengar cerita dari sudut pandang Jayden. Mendengar sendiri kisah asli dari sepasang mantan kekasih di hadapannya ini membuatnya tercabik rasa bersalah bercampur tidak nyaman.

Seharusnya tadi dia ikut Shaka kabur saja ke kamar.

"Kak, kamu jahat! Kamu beneran jahat!" Tasya meraung dan memprotes.

"Kalau saya jahat, saya udah sebarin cerita yang asli sejak beberapa tahun lalu. Dan kalau saya melakukan hal itu, mungkin saya enggak perlu gelar konser terakhir yang mengakibatkan saya kecelakaan dan menewaskan satu bus."

Baik Tasya dan Tsabita sama-sama terkejut. Ihatra yang mengetahui bahwa celah telah tertutup, akhirnya mengaku terus terang, "Konser terakhir saya dibuat karena sebelumnya saya kena skandal serius sama kamu. Kata Bang Emil, konser itu bertujuan untuk mengembalikan rasa percaya penggemar pada saya, untuk mengingatkan penggemar tentang jati diri saya yang asli lewat lagu-lagu yang saya ciptakan dengan tulus, supaya mereka bisa melihat bahwa saya bukan penjahat pedofil angkuh seperti yang dikatakan para penggemarmu."

Ketika Tasya kehilangan kata-kata, Ihatra meneruskan dengan berat, "Tapi kecelakaan itu justru datang dan mengacaukan semuanya. Saat itu saya akhirnya sadar enggak ada kesempatan untuk membuktikan bahwa saya enggak bersalah. Satu-satunya solusi adalah kabur dan menghilang dari dunia di mana saya dianggap sebagai pendosa."

Tsabita menutup mulut setelah terkejut atas pernyataan itu. Dan, mendadak saja, terdengar bunyi gemeresak kecil di belakang. Ketika Tsabita berpaling, dia melihat Shaka dan Bu Nilam rupanya juga menyaksikan situasi tidak nyaman yang terjadi di ruang tamu. Tidak ada di antara mereka yang berani membuka mulut ataupun menyela pertengkaran keduanya.

Tasya menitikkan air mata. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari sana. Sementara Ihatra menunduk untuk menghindari tatapan dengan gadis itu. Tidak pernah terpikir di benaknya bahwa dirinya akan mengakui hal itu di hadapan Tasya secara langsung. Kendati tidak menyukainya, tetapi Ihatra masih menyimpan setitik kepedulian kepada Tasya, terutama karena dia merupakan putri bungsu yang menjadi tumpuan harapan bagi keluarganya.

Sekarang, Tasya sudah tahu cerita yang asli. Dan, Ihatra merasa menjadi pengecut yang melempar kesalahan kepada orang lain.

"Jadi ... jadi Kak Iyat mau bilang kalau yang menyebabkan Kakak kecelakaan itu aku?"

Ihatra tidak menjawab. Dia sebenarnya tidak bermaksud demikian. Namun, bibirnya terkunci untuk menjelaskan segalanya, sebab pikirannya terlampau lelah dan tertekan. Mengapa Tasya tidak bisa memahami maksud perkataannya?

Sementara Tasya yang kepalang syok atas pengakuan itu, merasakan debur kemarahan serta gejolak adrenalin baru merasuki pembuluh darahnya. Dia mendongak pada Ihatra, lalu membanting pria itu dengan sekali dorongan ke belakang. Pikirannya yang tidak jernih telah mengambil alih seluruh tubuhnya, sehingga yang dilakukan Tasya berikutnya mengejutkan semua orang;

Gadis itu berlari ke dapur dan menyambar pisau di atas talenan, lalu mendekatkan ujung pisau yang tajam ke lehernya sendiri.

Dengan napas terengah dan air mata yang mengalir deras, Tasya berbicara seolah kehilangan akal, "Kalau aku yang menyebabkan Kakak kecelakaan ... sekarang biarin aku nebus dosa! Aku juga harus mati ... biar Kak Iyat enggak perlu nanggung beban ...."

Semua orang berteriak ketika Tasya hendak menyurukkan ujung pisau di lehernya. Tsabita berlari untuk menyelamatkan Tasya, tetapi Ihatra melesat lebih cepat. Pria itu menangkis jemari Tasya yang membungkus pisau sehingga bilahnya yang tajam justru menggores tangannya sendiri.

Kemudian, kekacauan memuncak; Tasya menjerit melihat darah Ihatra menyiprat di pakaiannya. Tubuhnya merosot ke lantai dapur, yang segera ditangkap oleh Tsabita. Shaka dan Bu Nilam juga mengekor, berlutut di lantai dengan buru-buru untuk memeriksa keadaan keduanya. .

"Mas Iyat!" Shaka melolong panik. Matanya membelalak melihat lengan Ihatra yang gemetar dan berlumuran darah.[]

-oOo-

.

.

.

.

.

.

.

Serba salah nggak sih jadi Iyat... Ngaku salah, nggak ngaku juga salah

Tapi kalian kalau jadi Iyat, mendingan ngomong hal menyakitkan gitu di hadapan Tasya atau direlakan aja dan bungkam selamanya?

Penasaran dengan lanjutannya? Vote dan komen dulu dong caiank ๐Ÿ˜˜

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top