55. Mulut yang Keceplosan
TIGA hari berikutnya, keajaiban muncul di toko Sanuraga.
Mendadak saja toko menjadi ramai dengan para wisatawan lokal. Tsabita nyaris kewalahan untuk menangani lonjakan pembeli yang sepanjang hari ini menyerbu dagangannya. Bahkan makrame raksasa yang sejak dulu tidak laku-laku karena terlalu besar dan mahal, tiba-tiba saja ludes di tangan seorang gadis yang datang bersama ibunya.
"Apa enggak kegedean Dek, pajangannya? Beli yang kecil-kecil juga bagus, kok."
"Ih, Mama. Ini tuh makrame yang pernah satu frame sama idola Mey. Mumpung di sini Mey mau beli, biar temen-temen Mey pada heboh!" Begitulah komentar si gadis saat membayar makramenya di meja kasir. Sang ibu hanya manggut-manggut pasrah sambil mengeluarkan kartu debitnya untuk membayar.
Tsabita agak curiga ketika mendengar apa yang baru saja dikatakan gadis ini. Pernah satu frame sama artis? Maksudnya ada artis yang sebelumnya berfoto sama makrame itu?
Apa jangan-jangan....
"Kak ini cara bawanya gimana? Masa ditenteng aja kayak begini?" Pertanyaan dari gadis bernama Mey mengagetkan Tsabita.
"Oh, maaf. Biar saya bungkus." Tsabita dengan lincah bekerja melayani pembeli. Setelah ibu dan anak tersebut menyingkir dari toko, selanjutnya datang gelombang baru pembeli yang menyerbu dagangan. Hampir sembilan puluh persen adalah wisatawan Indonesia. Mereka semua sibuk bertanya dan menawar harga, berfoto-foto dan merekam sana-sini, serta berbicara dan tertawa dengan suara keras. Kesibukan ini menguras fokus Tsabita melebihi apa pun, sehingga akhirnya dia melupakan satu kejanggalan yang sejak tadi mengusik pikiran.
Toko yang biasanya tutup pukul empat sore, sekarang harus tutup lebih awal karena Tsabita tidak sanggup menghadapi pembeli seorang diri. Pukul satu siang, dia menelepon Shaka yang saat itu masih di sekolah agar tidak perlu datang ke toko untuk menjemputnya.
"Iya, Shak, kamu langsung pulang aja nanti. Aku bentar lagi balik sendiri ke rumah," kata Tsabita seraya menghitung barisan ornamen keramik di rak pajang yang sejak tadi mengusik kecemasannya. Sialnya, sejauh ini sudah ada dua patung keramik duyung yang hilang. Tiada jawaban selain menyasarkan tuduhan kepada para pembeli yang sejak tadi menyerbu toko.
Shaka di seberang telepon berkata, "Ini aku masih jam istirahat, loh. Kalau Mbak mau kujemput sekarang juga bisa. Nanti aku izin ke guru bentar."
"Udah enggak usah, nanti kamu yang capek bolak-balik ... duh, yang ini hilang juga."
"Apanya yang hilang, Mbak?"
Tsabita tersadar dirinya baru saja mengeluh di telepon. "Oh, ini ... barang dagangan."
"Hah? Kok bisa hilang?"
"Kayaknya ada yang nyuri."
"Eh, dicuri beneran? Emang enggak kelihatan dari CCTV?"
"Mana ada waktu buat lihat CCTV? Ini aja aku baru bisa ngecek satu-satu pas toko udah tutup."
"Gimana sih kok bisa kecolongan?"
"Habisnya tadi toko rame banget, Shak. Aku enggak biasa nanganin wisatawan sebanyak itu sendirian, jadinya enggak tahu kalau ada tangan jail yang nyuri. Ya udah sih biarin aja, namanya risiko dagang."
"Enggak bisa gitu, Mbak. Coba deh dicek CCTV-nya sekarang! Kalau wajahnya kelihatan, segera lapor polisi. Rugi loh kita!"
"Mau ke pos polisi ya jauh banget, dan belum tentu juga mereka mau ngurusin pengutilan kayak gini, Shaka! Lagian aku tuh capek mau ke pos sendirian. Kamu mana tahu sibuknya toko dari tadi pagi!" Tsabita kepalang jengkel karena Shaka terdengar menyalahkannya. Padahal sejak tadi yang kelelahan sendiri adalah Tsabita. Dia sudah tidak sabar ingin merebahkan punggung dan tidur sampai malam.
"Iya, iya, maaf. Mulai deh marahnya...." Shaka menggumam segan. "Ya udah terserah kalau mau dibiarin aja."
"Nanti aku cerita lebih lengkap di rumah. Teleponnya kututup dulu, ya!"
"Mbak, tunggu!"
"Duh, apa lagi?"
"Kok bisa toko kita tiba-tiba ramai?"
Tsabita terdiam sejenak. Kecurigaan yang tadi pagi sempat mengusiknya mendadak muncul lagi.
"Kayaknya ... karena ada artis yang foto di tempat kita, terus diposting ke publik."
"Artis? Maksudnya Mas Iyat?"
"Mas Iyat mana berani posting-posting ke publik? Mungkin Mas Jay atau Tasya."
"Tapi Mas Jay udah lama pergi dari Pinggala. Si Tasya kali!"
"Mungkin. Nanti aku coba tanya pas sampai rumah."
"Kalau Tasya beneran posting toko kita, kedepannya bakalan jadi masalah, enggak?"
Kemarahan Tsabita mengempis ketika mendengar nada cemas Shaka. "InshaAllah enggak. Sebenarnya bagus-bagus aja kalau toko kita kecipratan ramai, tapi memang harus siap sama risikonya barang-barang hilang kayak tadi. Mungkin besok boneka keramik mahal aku pindah ke dalam etalase aja biar orang enggak bisa ambil seenaknya."
"Terus Mas Iyat gimana?" Shaka tiba-tiba mendesak ke topik lain. "Kalau bener toko jadi ramai karena postingan Tasya, bisa jadi para wisatawan di toko kita kenal sama Tasya dan Mas Iyat. Mas Iyat kan sering main ke toko?"
"Aku tadi udah bilang ke Mas Iyat supaya sementara waktu enggak pergi ke toko kita, tenang aja," kata Tsabita, mengingat pesan singkatnya yang tadi telah terkirim. Rasanya dia belum membaca balasan apa pun dari Ihatra. Entah apa yang pria itu lakukan sekarang, tetapi dia berharap pesannya sudah sampai.
Di seberang telepon, Shaka mengangguk lega, kemudian mengucap salam kepada Tsabita dan menutup sambungan. Dia menjejalkan ponsel ke celana seragam, lalu berbalik untuk berkumpul bersama kawan-kawannya di meja kantin sekolah.
Sementara di toko Sanuraga, Tsabita lanjut membereskan sisa-sisa kekacauan jual-beli tadi pagi. Selain merelokasi barang-barang dagangan ke tempat aman, dia juga harus mengepel lantai yang kotor karena tadi ada beberapa pembeli yang masuk sambil membawa makanan dari luar. Kesibukannya kali ini sungguh-sungguh di luar kendali. Tsabita baru bisa pulang ke rumah sekitar pukul dua siang. Setelah lama melangkah di bawah cuaca panas, dia menyempatkan diri membeli es kelapa muda di pinggir jalan. Ketika sedang menunggu pesanan, tidak sengaja Tsabita bertemu Damar yang sedang membeli es kelapa muda juga.
"Damar, udah pulang sekolah kamu?" Tsabita menyapa ramah.
"Eh, Mbak Bita! Ya udahlah, Mbak. Tuh, kan aku ke sini pake baju main!" Damar menyeruput esnya yang baru jadi dan ikut duduk di sebelah Tsabita.
"Tumben sendirian? Enggak sama temen?"
"Aku sama Mas Egar, kok. Tuh lagi beli buah orangnya. Bentar lagi kita mau ke kota buat beli peralatan klub." Damar menunjuk ke seberang jalan, pada teras toko buah tempat Egar sedang memilih-milih gepokan pisang yang bagus.
Tsabita mendadak berkeringat dingin, ingin segera mengambil pesanan es kelapa mudanya lalu kabur.
Damar, yang sepertinya tidak tahu masalah yang terjadi di antara keduanya, berceletuk hal lain, "Mbak, Mbak, aku mau tanya sesuatu deh."
"Apa, Damar?" Tsabita melirik penjual es kelapa muda yang masih sibuk memecah kelapa dengan golok.
"Mas Shaka pacaran sama artis, ya?"
"Ha?" Tsabita langsung berpaling menghadap Damar. "Maksudnya?"
"Mbak enggak tahu beritanya? Kemaren-kemaren aku lihat, loh."
"Lihat apa, Mar? Kamu ngomongin siapa, sih?"
"Iya, ada beneran loh, di hape. Sepupuku kan follow Anastasya di Instagram, terus katanya lagi rame Anastasya main ke Pinggala. Dia ngepost foto lagi pose di tokonya Mbak Bita, loh! Aku tahu, soalnya kan aku sering main ke toko."
"Ohhh ...." Jadi benar Tasya yang post fotonya. Namun Tsabita beralih ke topik semula, "Terus maksud kamu Shaka pacaran sama artis itu gimana?"
"Itu aku enggak tahu Mas Shaka atau bukan, soalnya fotonya kurang jelas." Damar seolah enteng saja bicara hal itu. Dia kembali menyeruput minuman esnya, tidak memedulikan wajah Tsabita yang sudah tercabik oleh kebingungan.
"Damar, ngomong yang jelas. Foto apa yang kamu maksud?"
"Itu loh, Mbak. Kan Anastasya post foto baru lagi, nah itu tuh orang di fotonya mirip sama Mas Shaka. Kamarnya juga mirip sama kamarnya Mas Shaka, makanya aku tanyain!"
Jantung Tsabita mulai berdebar cemas.
"Kamu bawa hape, enggak? Mana sini Mbak mau lihat fotonya sendiri!"
Damar merogoh ponsel di saku celana, tetapi belum sempat bocah itu menekan logo aplikasi, Tsabita merebutnya. Wanita itu menuju kolom pencarian dan mengetikkan sebaris nama bermodal menebak-nebak. Beruntungnya, akun Anastasya menggunakan nama asli serta sudah terverikasi lencana biru. Tsabita membukanya tanpa pikir panjang.
Pada postingan terbaru, Tasya mengunggah foto sebuah kamar tidur yang sudut pandangnya diambil dari celah pintu. Di dalam kamar, tampak figur seseorang yang sedang berlatih meninju samsak. Sosok tersebut memang hanya tampak sebagian, dan difoto dari belakang pula. Siapa pun mungkin tidak menyadari bahwa itu Shaka, akan tetapi Tsabita yang sudah hafal proporsi tubuh dan warna kulit Shaka serta bagaimana letak perabotan di kamarnya tahu betul bahwa orang di foto tersebut adalah sepupunya.
Dan, yang paling mengagetkan adalah caption di bawah foto;
You said you wanted to meet,
so I fulfilled your request.
It's a wonderful holiday.
Kalimat tersebut, sekonyong-konyong membuat Tsabita tergesa bangkit dari tempat duduk.
"Mbak, kenapa?" Damar bertanya polos.
"Pesananku kamu ambil aja. Mbak mau pulang." Bersama kalimat itu, Tsabita langsung pergi dari kedai es kelapa muda, meninggalkan Damar yang hanya melongo menatap punggungnya. Bocah itu sempat memanggil-manggil, tetapi Tsabita terlanjur menulikan telinga dan melesat ke arah rumahnya tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.
Ketika Egar baru saja sampai di sisi Damar, dia menatap adiknya dengan sorot kebingungan. "Kamu manggil siapa?"
"Ada Mbak Bita tadi!"
"Hah?" Egar memandangi trotoar jalanan yang sudah kosong. Barangkali Tsabita sudah berbelok di tikungan dan tidak terlihat lagi. Namun, pria itu menyerobot dengan tidak sabar. "Kamu habis ngobrol apa sama dia?"
"Itu, aku tadi nanya apa Mas Shaka pacaran sama artis, terus Mbak Bita langsung lari!"
"Shaka pacaran sama artis? Artis siapa?"
"Itu loh, Anastasya. Katanya dia juga lagi main ke pinggala, kayak Ihatra sama Jayden."
"Ihatra ... dan Jayden?" Egar menyipitkan mata, mendadak mencurigai sesuatu.
"Kan mereka juga main ke sini, aku pernah loh lihat mereka di tokonya―"
Kata-kata Damar terpotong, bukan karena disela Egar, melainkan karena bocah itu baru mengingat sesuatu; janjinya kepada Tsabita bahwa dia tidak akan membocorkan berita bahwa Ihatra dan Jayden mengunjungi Pinggala. Aksi keceplosannya ini membuat Damar gelagapan. Anak itu langsung terdiam seribu bahasa sambil menatap wajah Egar dengan sorot bersalah.
Egar, yang jelas fasih membaca tingkah dan gelagat tubuh Damar, akhirnya bertanya dengan nada curiga dan nyaris mengancam;
"Coba jelasin tentang Ihatra dan Jayden. Kamu kapan ngelihat mereka?"[]
-oOo-
.
.
.
.
.
bayangin klimaksnya terjadi berlapis-lapis, awkwkwk. aku tidak sabar menulis kegemparan di buku ini
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top