53. Kebenaran Skandal

CUACA siang itu cukup panas, hingga rasanya Ihatra bisa terbakar hanya dengan berdiri di tengah-tengah halaman. Namun bisa saja panas yang membara ini disebabkan dari demamnya yang belum turun, atau mungkin, amarahnya yang siap meledak akibat Tasya mengekorinya ke mana pun.

Seperti saat ini, kedatangan Tasya bagaikan lebah yang menyengat kulitnya tanpa permisi.

"Gimana kabarmu, Kak? Udah sembuh?" Tasya bertanya dengan nada ceria dan polos. Ihatra syukurnya masih punya kendali untuk bersikap ramah, kendati hatinya sebal tak karuan. Dia hanya menyunging senyum sambil mengangguk canggung.

"Eh, kamu ke sini juga, Shak?" Ihatra langsung menatap Shaka.

"Iya. Nganterin dia," Shaka menunjuk Tasya dengan enteng. "Mas Iyat udah sembuh emang, kok tiduran di sini? Enggak di kamar aja? Sini aku bantu masuk, yuk."

"Udah enakan kok, santai aja. Saya bosen di kamar. Oh, ya, Bita gimana?"

"Ada di toko. Katanya nanti mau datang ke sini juga."

"Enggak usah repot-repot! Biar nanti saya aja yang samperin dia kalau udah sembuh."

"Tadi Mbak Bita juga titip salam buat Mas Iyat."

"Saya juga titip makasih banyak ke Bita, Shak. Kemarin kalau enggak ada dia ...."

Percakapan penuh keakraban antara Shaka dan Ihatra membuat kening Tasya berkerut jengkel. Bukan hanya itu, mereka juga membicarakan Tsabita di hadapannya, dan mengabaikan presensi dirinya seperti seekor lalat tidak berguna!

Gadis itu merasa malu sekaligus cemburu. Mengapa Ihatra tidak sedikit saja menghargai kehadirannya di sini? Harus seberapa besar lagi upaya yang dia korbankan hanya demi mendapat perhatian Ihatra?

"Oh, ya, Tasya," Setelah beberapa menit bercakap-cakap seru dengan Shaka, akhirnya Tasya terpanggil juga. "Makasih sudah jenguk saya ke sini."

Ujung bibir Tasya berkedut, kentara ingin nyengir dan tersipu. Akan tetapi gadis itu berusaha memasang wajah kalem. "Aku khawatir sama Kakak. Soalnyaโ€•"

"Bisa kita bicara berdua aja?"

Pertanyaan Ihatra barusan dilesatkan dengan nada halus, namun serius. Tasya merasakan hawa dingin menyergap tengkuknya, entah atas alasan apa. Dia menatap Shaka sebentar, dan langsung mendapat tanggapannya yang peka; "Aku minggir bentar deh kalau gitu. Eh, iya, boleh masuk ke ruang legonya Mas Iyat, enggak?"

Ihatra mengizinkan Shaka, sehingga akhirnya hanya ada dirinya dan Tasya di ruang tengah ini. Pak Ersan sudah kembali ke kebun. Televisi baru saja dimatikan. Di antara kesunyian ruang tengah, Tasya menatap Ihatra dengan raut ingin tahu bercampur cemas. Dalam hati ketakutan bila diusir lagi dari sini.

Apa Kak Iyat udah telepon Adam dan nyuruh Adam ke sini buat jemput aku? Mendadak pemikiran itu membuat keringat dinginnya meleleh lebih banyak.

"Mau ngomong apa, Kak?"

"Saya mau tanya sesuatu, tolong jawab jujur." Ihatra menatap Tasya tanpa berkedip. "Tentang skandal kita dua tahun lalu, kenapa kamu enggak mau jujur ke media?"

Terkejut dengan pertanyaan tersebut, Tasya hanya menunduk sambil mengusap-usap jemarinya di pangkuan. Ada selongsong penyesalan yang bocor dari tangkinya hatinya, meluap bersamaan dengan rasa bersalah yang dia simpan rapat-rapat sejak dulu. Dia bukannya tidak mau menjawab pertanyaan Ihatra. Dia tahu jawabannya, tetapi dia tidak ingin mengacaukan segala hal yang sudah dibangun susah-payah oleh orang-orang yang memikirkan masa depannya.

"Tasya, jawab." Ihatra menuntut lagi. Tiada celah untuk mencari-cari alasan.

Akhirnya, Tasya terpaksa jujur.

Dulu, ketika hubungan mereka berakhir akibat ulah mantan manajernya yang sembarangan menyebar screenshot chat privasinya, Tasya yang saat itu masih terlalu muda dan terlalu amatir untuk tertimpa skandal, terpaksa menurut saat diminta bungkam oleh orang-orang di agensinya. Masalah besar yang menghantamnya saat itu adalah kunci untuk membuat popularitasnya naik, begitulah yang dapat Tasya simpulkan dari hasil rembukan bersama tim manajer serta penasihat di agensinya. Ihatra yang mendengar keseluruhan cerita itu kembali diserang trauma masa laluโ€•segala hal yang dilaluinya; dipermalukan penggemar, julukan menjijikan yang kini melekat di nama belakangnya, rupanya adalah akibat dari menjadi tumbal atas kebusukan tim agensi Tasya.

"Jadi kamu sengaja diam dan berpura-pura jadi korban karena agensi yang nyuruh kamu begitu?" Ihatra akhirnya sanggup berbicara setelah mendengar keseluruhan cerita Tasya. "Kamu tahu apa yang orang-orang katakan ke saya? Mereka bilang saya berniat licik buat goda kamu! Padahal saya sekalipun enggak pernah minta kamu buat ngirim foto seksimu itu ke saya!"

"Maaf, Kak. Waktu itu aku teledor ... hapenya aku taruh gitu aja ... belum sempet kekunci ... dan tiba-tiba diambil sama mantan manajerku ...."

"Manajermu waktu itu kerasukan apa sampai punya pikiran buat nyebarin isi chat dan ngarang-ngarang cerita seolah saya yang nyuruh kamu buat ngirim foto itu?"

"Dia cuma orang yang haus sensasi, itu aja." Tasya menggigit bawah bibirnya dan memberanikan diri menatap Ihatra. Mendadak saja mulutnya gatal ingin mengaku lebih banyak. "Du-dulunya aku cuma artis kecil yang baru debut sebagai figuran di series. Setelah series tamat, aku enggak dapat job lagi untuk waktu lama. Akhirnya timku cari cara buat dongkrak popularitasku, dan kebetulan mantan manajerku satu itu suka ngambil keputusan sendiri tanpa campur tangan dariku. Dia ngelihat isi chat kita sebagai sebuah kesempatan, terus ... gitulah ... sama dia isi chat-nya disebar di publik. Aku tahu niatnya baik. Dia cuma pengin pamorku naik, tapi memang caranya salah."

"Niat baik dari mana? Udah jelas-jelas dia hancurin karier saya!"

Ihatra tidak sengaja membentak. Tasya tersentak kaget, tetapi buru-buru menunduk untuk menunjukkan rasa bersalahnya.

"Kalau niat dia baik, dia enggak akan setega itu bikin kamu ketimpa masalah juga, Tasya! Emangnya kamu enggak ngerasa disakitin gara-gara ulah dia? Atau jangan-jangan sebetulnya kamu senang waktu lihat orang-orang menindas saya?"

"Waktu itu semuanya udah terlambat, Kak! Jangan dipikir aku cuma diem aja setelah tahu netizen ramai gara-gara membahas skandal kita! Aku udah berusaha buat klarifikasi ke publik, tapi orang-orang di agensiku nggak ngebolehin. Mereka juga ngancam aku! Katanya kalau netizen tahu cerita sesungguhnya, akulah yang bakalan kehilangan nama!"

"Dan demi alasan itu, kamu rela lihat saya hancur sendirian?"

Tasya terdiam. Kedua matanya telah basah dengan air mata.

"Enggak gitu, Kak ...."

"Kalau gitu jelaskan yang masuk akal! Kalau kamu peduli sama saya, seharusnya kamu enggak biarin saya menderita sendirian!"

"Ka-kata orang-orang di agensiku ... Kak Iyat pasti punya cara buat bersinar sendiri ...."

"Apa?"

"Kak Iyat itu seperti cahaya yang enggak pernah padam! Walaupun Kak Iyat redup, Kak Iyat selalu bisa bangkit dan menyala kembali! Kakak lahir dari keluarga terpandang. Bakat Kak Iyat juga banyak, jadi semestinya enggak perlu khawatir kalau terjegal sebentar. Sementara aku? Aku ini cuma artis kecil yang enggak punya bakat apa-apa selain wajah ini!" Setelah menunjuk wajahnya sendiri, Tasya meneruskan sambil sesenggukan. "A-aku harus berusaha keras supaya diterima banyak orang ... aku juga menghadapi masalahku sendiri, Kak! Setelah Papa dan Mama cerai, mereka enggak peduli sama aku ... Adam juga sibuk sama pekerjaannya sendiri. Kalau karierku hancur, hidupku langsung tamat saat itu juga!"

Ihatra menatap jejak kemarahan dan ketakutan pada ekspresi Tasya yang berpendar merah. Air mata telah menjelma menjadi peluh yang membasahi seluruh wajah gadis itu.

"Jadi, karena enggak mau hidupmu tamat, kamu mengikuti rencana manajermu untuk mengorbankan saya," kata Ihatra, pasrah.

"I-iya.... tapi aku enggak bermaksud, uhโ€•se-sebetulnya aku juga enggak mau lihat Kak Iyat sendirian menghadapi semua itu!"

"Kamu tahu kan yang dilakukan kamu dan timmu itu fitnah?"

"Itu bukan rencanaku, Kak...."

"Tapi pada akhirnya kamu mengikuti."

"Dengan perlawanan! Aku udah bilang kalau aku juga dijebak sama pilihan sulit!"

Ihatra memejamkan mata, lalu melemparkan kepalanya pada sandaran sofa di belakang. Selama beberapa saat, tidak ada percakapan lagi. Tasya tidak berani untuk melempar komentar apa-apa sehingga yang dilakukannya hanya menunduk di sofa. Ujung-ujung jemarinya agak bergetar setelah menyuarakan pembelaan dirinya dengan nada tinggi.

"Kak," Tasya berkata memecah kesunyian. "Aku minta maaf."

"Kamu tahu, Tasya? Saya pernah berharap mati itu lebih baik."

Tasya mendongak pada Ihatra yang hanya menatap langit-langit ruang tengah dengan suram. Pria itu melanjutkan dengan lemah, "Kalian mungkin melihat saya sebagai cahaya yang enggak pernah padam, tapi sebetulnya kalian hanya menduga itu dari permukaan saja. Kalian enggak tahu apa yang selama ini saya lalui untuk bertahan. Apa yang terjadi pada hidup saya ... pada masa kecil saya ... pada kecelakaan yang merenggut kebebasan saya. Orang-orang seperti kamu hanya menganggap saya sebagai anak orang kaya yang diistimewakan, yang enggak akan hancur sekalipun harta saya dirampas atau pekerjaan saya direbut. Menurutmu, mudah bagi saya buat menaklukkan dunia ini, bukan? Menurutmu saya enggak bakal mati hanya karena masalah itu, kan?"

"Kak, aku ... bukan gitu maksudku ...."

"Mau dijelaskan sampai mulut saya berbusa pun, kamu enggak akan bisa memahami saya. Jadi percuma, Tasya. Kamu enggak akan bisa memperbaiki keadaan selama kamu masih bersikeras buat membela dirimu sendiri."

"Aku tahu, Kak! Aku tahu! Itulah sebabnya selama ini aku enggak bisa hidup dengan tenang!" Tasya tiba-tiba bangkit dari duduknya lalu berlutut di dekat Ihatra. Jemarinya menggenggam tangan Ihatra yang terhampar di pangkuan. Gemetaran dan panik. "Kak Iyat mungkin enggak melihat, tapi sebetulnya aku sudah kehilangan akal selama hampir dua tahun ini! Aku merasa gila, Kak! Sulit buat mengontrol diri ... pada hal-hal yang dulu selalu Kak Iyat larang! Aku jadi abai dan nekat .... Adam bilang aku sudah berubah jadi tolol dan enggak bisa diatur! Aku tahu itu, tapi aku enggak bisa mengubahnya ... Aku kayak kehilangan arah dan hampir terjerumus ke sesuatu yang enggak bener! A-awalnya kupikir ini karma. Ini pasti karma karena dulu aku pernah melukai Kak Iyat!"

Tasya meremas jemari Ihatra dan menekankan keningnya pada punggung tangan pria itu, lalu menangis sesenggukan. Kali ini suaranya berubah menjadi racauan bingung yang sulit didengar. Ihatra hanya menangkap ratapan maaf yang dilesatkan Tasya berulang-ulang. Namun, kali ini Ihatra tidak beraksi apa-apa. Hanya memandang langit-langit dengan tatapan kosong, sebagaimana kehidupan lamanya yang ludes terenggut tanpa aba-aba.

Setelah lama terisak, Tasya akhirnya mengangkat kepala. Tepat di antara waktu itu, Ihatra menunduk untuk menatapnya.

"Kamu pergi dari sini, Tasya."

"Kak ...."

"Saya enggak mengusir kamu dari desa ini. Saya cuma ingin kamu menjauh dulu dari rumah ini. Saya butuh waktu buat sendiri."

Tasya pelan-pelan bangkit berdiri sambil mengusap air mata di pipinya. Gadis itu mundur dengan hati-hati, lalu berbalik pergi ke lorong utama. Meninggalkan Ihatra yang terdiam menatap punggungnya dengan ekspresi datar.

Ketika sampai di depan pintu, Tasya membukanya dengan lesu dan langsung disambut dengan vespa Shaka yang terparkir di wilayah teduh. Gadis itu mengambil ponsel untuk menghubungi Shaka agar segera mengantarnya pulang. Namun, gerakannya tertahan ketika membaca sekilas notifkasi pesan dari abangnya.

Adam
Kali ini skandal sama Jayden?
Lo ngelakuin apa lagi, bocah?[]

-oOo-


.

.

.

.

.

.



Heran, konfliknya nggak usai-usai! ๐Ÿ˜ญ

Nikmati saja deh ya ges ๐Ÿคง

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top