52. Hubungan yang Berakhir
Halooo.... ada yang kangen? 😅
Enjoy~
-oOo-
.
.
Hapus semua foto dan video lo
di story, dasar tolol.
Gue Jayden
.
Semua orang nggak bakal
tahu gue di mana.
.
Lo kira netizen
goblok?
.
Mereka nggak bakalan
peduli, please
.
Lo turutin kata gue
Hapus sekarang.
.
Lo sensi amat sih?
Banyak artis lain yg
liburan selain gue
Netizen nggak bakal
sekepo itu ngurusin
gue seorang
.
Ajg lo
Kalau ada apa2 sama iyat
Lo orang pertama yg gue cari
.
Aneh lo
Lo lihat tuh di
postingan gue
Nggak ada yg aneh
Gue cuma post foto kebun2
dan makrame doang
Gue nggak sebodoh itu ngepost
sesuatu yang bisa bahayain
Kak Iyat
.
Lo gausah banyak nanya
Sekarang hapus!
.
Lo sejak dulu selalu
benci gue. Lo kira gue
bakalan nurutin kata lo?
Cuma karena lo jadi
temennya Kak Iyat,
lo pikir lo tahu
segalanya tentang
kami berdua?
.
Tasya, gue chat lo
bukan mau bahas soal itu
Sekarang ada yang
lebih genting.
Gue udah hapus foto gue
Sekarang giliran lo
.
Foto lo?
Maksud??
.
Tasya mengerutkan kening selepas membaca pesan terakhir Jayden. Jemarinya terpaku sebentar di layar, menebak-nebak ke mana arah pembicaraan ini.
Ngapain Jayden hapus fotonya sendiri? Apa dia salah ketik?
Namun ketika Tasya membalas dengan dua tanda tanya, pesan itu hanya dibaca saja oleh Jayden, seolah menegaskan bahwa pesan sebelumnya memanglah tanpa kekeliruan.
Pelan-pelan, firasat buruk itu membelai tengkuk Tasya, mengundangnya dengan rasa gelisah. Dia kembali membuka media sosial dan langsung mengetik nama akun Jayden.
Tidak ada yang aneh dari postingan terbarunya―hanya foto alat musik di studio dan swafoto dirinya sendiri. Tidak, tentu saja tidak ada yang aneh, sebab Jayden bilang dia telah menghapus foto miliknya. Memang foto seperti apa yang dimaksud? Apakah Jayden juga mengunggah foto yang sama seperti dirinya?
Kalau benar, berarti celaka.
"Tasya, kamu kenapa?"
Suara Tsabita menginterupsinya. Tasya berkedip linglung seolah kembali dari disorientasi sesaat. Dia sekilas menatap Shaka yang baru saja muncul dari arah gudang sambil membawa satu kardus besar berisi susu kemasan. Suara Tasya terdengar agak bergetar saat menjawab Tsabita, "Nggak papa. Eh, ini makramenya berapa? Aku beli semua deh."
"Serius mau dibeli semua?"
"Iya. Buruan bungkus!"
Jawaban bernada memerintah barusan membuat Tsabita tersinggung. Ada apa dengan anak ini, sih? Kenapa tiba-tiba nada suaranya berubah? Kesal, namun tidak mau tampak terpukul. Tsabita akhirnya menatap Tasya dengan serius. "Ada apa, Tasya? Kamu buru-buru mau ke mana?"
"Mau ke rumah Kak Iyat."
"Pagi-pagi begini?"
"Kenapa? Terserah aku, dong."
"Nanti aja perginya, Tasya. Sama saya."
"Kakak ngapain ke rumah Kak Iyat?"
"Ya ... jenguk dia aja. Emang nggak boleh?"
Jawaban Tsabita membuat Tasya terdiam. Eskpresinya yang semula gelisah berubah datar, dan semakin mengeras, seolah sudah habis kapasitas hatinya untuk bersabar. Gadis itu menatap lorong toko yang sepi. Shaka pergi entah ke mana―mungkin menaikkan kardus susu ke vespa atau ke gudang mengambil sesuatu. Kesempatan ini Tasya pakai untuk berbicara dua mata dengan Tsabita.
"Kak," katanya. "Jawab dengan jujur; apa kalian berdua pacaran?"
Tsabita terdiam. Di saat-saat begini, pura-pura tidak peka adalah reaksi favoritnya. "Aku? Pacaran sama siapa?"
"Sama Kak Iyat."
Tsabita melanjutkan proses menganyam makrame. "Apa yang bikin kamu mikir gitu, Tasya? Saya sama Mas Iyat hanya berteman. Enggak lebih."
"Jujur aja sih, keakraban kalian bikin aku kesel." Tasya berkata tanpa basa-basi.
"Keakraban seperti apa yang kamu maksud? Kemarin saya cuma ngobrol sama Mas Iyat. Saya rasa kamu berlebihan, Tasya."
Di balik rahangnya yang terkatup rapat, Tasya menggertakkan gigi-giginya. Teringat kejadian kemarin tatkala dia mengintip Tsabita yang sedang memapah Ihatra kembali ke kamar. Ekspresi kedua orang itu kelewat akrab―seakan saling bergantung satu sama lain, seolah mereka sedang mensyukuri sesuatu tanpa keterlibatan dirinya. Dan, hal itu membuat Tasya jengkel setengah mati. Geram. Cemburu.
"Aku cuma mau jawaban jujur," kata Tasya lagi, "Kakak pacaran sama Kak Iyat?"
"Enggak. Udah puas?"
"Apa kalian berdua saling suka?"
Ujung bibir Tsabita seketika berkedut. Mendadak, dia tidak ingin menatap Tasya. Jadi dia kembali sibuk dengan anyaman benang katunnya.
"Enggak." Nadanya lirih dan berkesan ragu.
Sementara itu, Tasya tidak cukup bodoh untuk menerjemahkan reaksi aneh itu. Jelas ada sesuatu di antara keduanya, Tasya tahu itu. Meskipun tidak diutarakan, ada perasaan subtil yang tersimpan dari cara Tsabita menjawab dan bersikap. Namun, sebelum mulut Tasya terbuka untuk meluncurkan sindiran, pintu toko di belakangnya terbuka. Suara keras Shaka membelah kutub es di antara mereka berdua;
"Susunya udah kunaikkan ke motor. Mau pulang sekarang apa nanti?"
Tasya dan Tsabita saling menatap, akan tetapi tidak ada percakapan di antara keduanya. Ekspresi Tasya dingin, keras, seolah ingin menghancurkan sesuatu untuk membuktikan power-nya. Namun, si wanita yang lebih dewasa tidak gentar dengan genderang ancaman itu. Dia menatap Tasya tanpa berkedip, menunggu-nunggu apa selanjutnya yang akan datang.
"Enggak ada yang boleh ambil Kak Iyat dariku." Kata-kata Tasya tercetus lirih.
Lantas, gadis itu keluar dari toko sambil melewati Shaka, dan juga meninggalkan Tsabita yang hanya menatap punggungnya menjauh.
Selepas Tasya keluar, Shaka yang menyadari situasi canggung itu langsung bertanya bingung kepada Tsabita;
"Dia jadi borong makramenya apa enggak?"
-oOo-
Shaka tahu, dari berbagai macam firasat, bahwa keputusannya membawa Tasya kemari adalah sebuah kekeliruan. Seharusnya dia menolak sejak awal, tetapi tuntutan Tasya―serta aura singa betina yang dibawanya―entah bagaimana membuat Shaka muak dan kepengin menuntaskan segalanya dengan cepat. Sebab itulah, setelah mendengar instruksi bahwa gadis blasteran ini ingin segera menemui Ihatra, Shaka tanpa babibu mengemudikan motornya sampai ke depan rumah Ihatra. Dia tidak ingin penolakannya kali ini membuatnya dipukuli lagi di punggung.
"Nanti aku bisa pulang sendiri." Begitulah kata Tasya setelah turun dari vespa. Sebelum gadis itu menuju gerbang rumah, dia menyempatkan diri menatap Shaka dengan tulus. "Makasih, omong-omong. Susunya nanti taruh aja di depan kamarku."
"Kamu mau ngapain sih minta diantar ke sini?" Shaka tidak menghiraukan ucapan terima kasih Tasya dan langsung terjun ke inti pertanyaan yang membuatnya penasaran. "Kemarin Mbak Bita bilang Mas Iyat lagi sakit, harusnya sekarang kamu biarin dia istirahat."
"Masih sempat-sempatnya ikut campur urusan orang?"
"Aku perlu tahu apa niatmu datang ke sini."
"Nah, itu juga yang mau kutanyakan." Jengkel dengan keingintahuan Shaka, Tasya menghampiri pemuda itu dan menatapnya lekat dari dekat. Jarak mereka dari hidung ke hidung hanya terpaut beberapa sentimeter, sehingga Shaka bisa mencium aroma manis aprikot dan praline dari parfum yang dikenakan Tasya. "Siapa kamu sampai berani mau tahu urusanku?"
Shaka menelan ludah, nyaris gelagapan dengan tatapan intens begini. Namun, dia berusaha tegas demi gengsi. "Aku temannya Mas Iyat."
"Teman?" Tasya mencari jejak kebohongan pada mata Shaka yang cokelat cemerlang, tetapi tidak dia temukan secercah keraguan yang beriak di dalamnya. Tidak mau terlihat malu, Tasya membalas lagi tanpa berusaha menutup-nutupi, "Aku ke sini cuma mau jenguk Kak Iyat."
"Oke. Boleh kan kalau aku ikut ke dalam?" Tiba-tiba saja Shaka menurunkan standar samping vespa, lalu ikut turun, sontak membuat Tasya melotot terkejut.
"A-apa? Ngapain kamu ikut masuk?"
"Bukan cuma kamu aja kan yang boleh jenguk?" Keputusan Shaka barusan didasari oleh sedikit kekhawatirannya tentang jiwa psiko Tasya. Setelah insiden pengusiran kecoa kemarin sore, Tsabita memang sempat bercerita kepada Shaka tentang masalah apa yang pernah meradang di antara Anastasya dan Ihatra Kama. Harusnya itu menjadi modal pembelajaran Shaka untuk tidak seenaknya membiarkan sepasang mantan itu berdekatan lagi.
Sekarang, permintaan Shaka tentunya menjadi keputusan tidak masuk akal bagi Tasya. Gadis itu ingin memprotes, tetapi suaranya belum sempat keluar lantaran Pak Ersan tiba-tiba muncul dari balik jeruji gerbang yang terkunci.
"Loh, Nak Shaka, tumben ke sini?" Atensi Pak Ersan turun untuk menatap Tasya, si gadis jelita yang kemarin sempat membuat kekacauan di rumah. Pak Ersan menjaga suaranya agar tetap tenang. "Sama Tasya juga? Mau ketemu Iyat?"
"Iya, aku―" Jawaban Tasya terpotong sebab Shaka mendadak menggeluyur maju melewatinya.
"Gimana keadaan Mas Iyat, Pak? Sudah sembuh?"
"Masih sakit, tapi katanya udah enakan. Masuk aja, yuk!"
Pak Ersan membuka gerbang untuk mereka berdua. Tasya dengan raut menahan kesal akhirnya masuk membuntuti Shaka. Seraya melintasi pekarangan bunga yang terawat, gadis itu mendengar Shaka berbincang asyik dengan Pak Ersan. Tasya tidak mau tahu bagaimana mereka berdua bisa kenal sedekat ini, jadi dia memilih menikmati kesendirian dengan melangkah di belakang sambil memeriksa ponsel yang tadi sempat terabaikan.
Pesan dari Jayden sudah ada sejak tadi. Tasya membukanya dengan malas.
.
Lo tuh dibilangin ngeyel ya
Diminta hapus foto aja
susahnya setengah mati
.
Sambil berdecak sebal, akhirnya Tasya menuruti permintaan Jayden. Hanya kali ini, sebab dia tidak mau liburannya dirusak dengan teror pesan dari si rambut biru.
.
Udah gue hapus.
Nggak usah hubungi gue lagi
.
Baru saja pesan itu terkirim dan dibaca oleh Jayden, mendadak saja pria itu menelepon ke nomornya. Tasya terkesiap hingga langkahnya terhenti. Raut wajahnya melongo penuh keheranan.
Kurang apa lagi, sih? Gue kan udah hapus semua foto di postingan!
Karena terlalu marah, gadis itu mematikan panggilan dengan kasar. Dia menjejalkan ponselnya kembali ke saku celana, lalu menghadap depan, pada pintu rumah yang sudah dibuka oleh Pak Ersan. Shaka menaiki undakan serambi, diikuti dirinya.
"Nak Iyat katanya bosen di kamar, jadi dia nonton TV di sini."
Keduanya menyusuri ruang tamu dan langsung menemukan Ihatra yang sedang merebah di sofa sambil menonton salah satu drama Netflix. Raut wajahnya lesu seperti orang sakit, tetapi ekspresinya sudah tidak sepucat kemarin. Ketika Tasya dan Shaka menampakkan diri, Ihatra langsung menatap mereka berdua dan kehilangan kata-kata.
Kedatangan Tasya pagi itu jelas membuat Ihatra terkejut, sampai rasanya dia ingin menghantamkan wajahnya ke bantal dalam-dalam.
-oOo-
Siang ini Tsabita sudah kedatangan sekitar empat sampai lima belas orang pelanggan yang datang ke toko. Kedatangan satu lagi tidak membuatnya kewalahan, tetapi sejujurnya dia ingin beristirahat sebentar lantaran lehernya kaku setelah dipakai menunduk terus. Sebab itu, ketika lonceng bel berbunyi lagi, dan suara tapak kaki memasuki koridor kasir, Tsabita refleks menarik napas lalu cepat-cepat memasang tampang senyum.
"Selamat dat―"
Sambutannya tercekat di tenggorokan ketika menyaksikan Egar muncul di hadapannya dengan raut datar dan tidak terbaca.
"Egar?"
"Kemarin aku ke rumahmu, tapi kata Bu Nilam, kamu pergi ke rumah Iyat." Egar, tanpa berbasa-basi, menuntut Tsabita dengan klarifikasi atas apa yang dia dengar.
Kedatangannya di toko siang ini mengguncang Tsabita dengan lapisan perasaan tidak menentu―lelah, cemas, takut, dan tidak nyaman. Insiden terakhir yang dia alami bersama Egar masih menyisakan trauma yang membuat Tsabita enggan bersentuhan, bahkan bertatapan mata dengan pria tinggi kekar ini. Namun, dia berusaha tidak menunjukkan kepekatan pikirannya demi tidak dianggap lemah dan rapuh.
"Iya, aku ke sana," Tsabita menjawab ketus, tanpa repot-repot mendongak menatap Egar. Wanita itu diam-diam melirik sang pria dari sudut matanya. Tidak ada yang berubah dari Egar kendati mereka sudah tidak bertemu selama satu bulan lebih. Dia seperti Egar yang sama seperti yang dikenal Tsabita dulu. Suaranya tetap menyimpan nada percaya diri, dan gerak-geriknya menunjukkan kepongahan. Namun, Egar yang ini telah berbuat suatu kesalahan yang tidak bisa ditolerir lagi.
"Bita." Suara Egar mulai melembut―pertanda adanya sesuatu yang diinginkan. "Kamu masih belum mau baikan sama aku?"
Tsabita tidak menjawab. Masih tetap menganyam makrame.
Melihat reaksinya, Egar mendekat lagi. Kali ini dia menunduk dan menatap wajah Tsabita dari bawah. "Bita, kamu dengar nggak?"
Perasaan takut dan tidak nyaman mulai membakar perut Tsabita. Wanita itu menghentikan kegiatan menganyamnya dan mundur satu langkah dari meja kasir. "Aku sudah pernah kasih jawaban panjang lewat chat waktu itu, kan? Hubungan kita sudah berakhir, Egar."
"Aku pikir aku perlu dengar dari mulutmu langsung."
"Jawabannya tetap sama. Aku enggak mau lanjut."
Egar terdiam sebentar, menatap gerak-gerik Tsabita yang aneh. Mulanya dia pikir wanita itu hanya terlampau marah saja, tetapi sekarang dia terlihat ketakutan. Jemari Tsabita yang terhampar di kedua sisi tubuhnya bergetar, dan gadis itu sama sekali tidak memandang matanya seperti yang biasanya dia lakukan.
Apa dia ... masih trauma gara-gara kejadian waktu itu?
"Bita, sayangku," Egar melemahkan nada suaranya, berusaha menyampaikan dengan tulus. "Kamu enggak perlu takut. Aku janji ke kamu enggak akan melakukannya lagi. Yang dulu itu aku kelepasan."
"Aku percaya, makanya sekarang kamu keluar," Tsabita sudah tidak sabar lagi. Akhirnya dia memberanikan diri menatap wajah Egar sambil berusaha tidak terlihat terancam.
"Kalau kamu percaya, kenapa kamu enggak kasih aku kesempatan sekali lagi? Kita bisa memperbaiki semua ini, Tsabita!"
"Aku enggak bisa."
"Iya, kenapa? Kenapa enggak bisa?"
"Karena ... ada hal-hal di dunia ini yang enggak bisa dimaklumi."
Jantung Tsabita berdegup dua kali lebih kencang. Dia tahu jawabannya akan menumbuhkan prasangka baru di pikiran Egar. Mungkin akibat yang dirasakannya akan jauh lebih parah. Namun, kali ini Tsabita tidak peduli. Dia hanya ingin jujur dengan perasaannya dengan menolak tegas keinginan Egar.
Akhirnya, wanita itu memerintah dengan mantap, "Mulai sekarang kamu jangan ke rumahku lagi dan bersikap ke Bu Nilam dan Shaka seolah-olah hubungan kita masih ada. Aku mau benar-benar mengakhirinya, Egar. Aku mau melupakan kamu!"
"Melupakan? Kamu pikir mudah buat melakukan itu?"
"Kenapa kamu pikir itu sulit?"
Egar terperenyak. Kini dia menatap sepasang mata Tsabita yang bergetar dan berkaca-kaca, seolah siap menumpahkan tangis kemarahan. Kata-kata yang dikeluarkan wanita ini terdengar bagai tusukan pisau yang menghunjam Egar tepat di jantung. Kamu pikir itu sulit, katanya?
Apakah melupakan memang hal yang mudah dilakukan Tsabita? Setelah sepanjang waktu mereka bersama?
"Bita, apa kamu ...."
Ajaib. Untuk pertama kalinya, Egar merasakan hati dan harga dirinya diinjak-injak. Bahkan saking terkejutnya, suaranya tercekat. Apa yang sebenarnya ingin dia tahu? Apakah masih ada sepotong cinta yang Tsabita simpan untuknya, ataukah cinta itu kini sudah beralih sepenuhnya ke orang lain?
"Kamu sudah enggak cinta aku lagi?" Egar berhasil menanyakannya tanpa terdengar putus asa. "Kenangan kita selama ini ... apa mudah bagimu untuk melupakannya begitu aja?"
"Pergi, Egar." Tsabita sengaja tidak menjawab pertanyaan itu. Sebagai gantinya, dia merogoh saku di celananya lalu mengeluarkan ponsel. "Kalau kamu enggak pergi, aku akan laporkan ke polisi tentang apa yang waktu itu kamu perbuat padaku."
Selesai sudah.
Egar menarik napas dalam-dalam, kemudian mundur. Tatapannya merah, berlumur kecewa dan patah hati. Sebelum pria itu berbalik untuk benar-benar pergi, dia bertanya dengan sungguh-sungguh;
"Siapa pria yang ada di hatimu sekarang?"
Tsabita memilih tidak menjawab.
Namun, Egar tahu jawabannya.[]
-oOo-
.
.
.
.
Ada yang sama kayak aku? Mencium aroma kekacauan yang sebentar lagi bakal terjadi 🙂
Tekan 1 untuk menolong Iyat
Tekan 2 untuk kasih semangat penulisnya
Tekan 3 untuk dihampiri Egar dalam mimpi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top