51. Jungkir Balik Dunia Shaka
PAGI hari, pukul 08.21. Bunyi bug-bug nyaring terdengar dari kamar Shaka yang berseberangan dengan kamar Anastasya. Di balik pintu, Shaka sedang berlatih melempar tinju ke samsak mini yang tergantung di dinding kamar. Tanpa pakaian atasan, butiran keringat mengalir dari ceruk leher hingga merembes ke punggung serta dadanya yang liat untuk ukuran remaja SMA. Shaka sudah melakukan latihan itu semenjak satu jam lamanya, dan masih belum ingin berhenti. Setidaknya, sampai bunyi gedoran heboh di pintu kamar sukses meruntuhkan niatnya.
Sambil berdecak lantaran latihannya terjeda, Shaka melepas sarung tinju di kedua tangan lalu melenggang ke pintu kamar. Dia membuka gagangnya dengan satu tarikan lebar dan langsung menerima pekikan terkejut dari seorang gadis.
Jeritan malu Anastasya diiringi ratapan tidak nyaman dari sela-sela jari yang menutup mukanya. Shaka langsung menunduk dan baru sadar bahwa sejak tadi dia tidak mengenakan pakaian atasan. Agak panik, pemuda itu buru-buru menyambar kaus yang tergantung di balik pintu, lalu mengenakannya dengan cepat.
"Oh, barusan lagi latihan tinju," kata Shaka setelah kepalanya menyembul dari lubang kaus. "Kenapa? Di kamarnya ada kecoak lagi?"
Tasya melepas tangan yang menutupi mukanya, berujar lebih tenang, "Enggak."
Shaka manggut-manggut bosan. Insiden Tasya yang menjerit histeris akibat kecoak terbang kemarin meninggalkan Shaka dengan segumpal kejengkelan dan julukan baru terhadap gadis itu; cewek manja dan tukang ngedrama. Bukannya berterima kasih atas kesediaan Shaka mengusir kecoak, menyemprot pembasmi serangga, sekaligus mengganti seluruh seprai serta sarung bantal di kamarnya, kemarin Tasya masih sempat-sempatnya menegur secara terang-terangan, ("Kalau ada satu kecoak, itu artinya ada pasukan lainnya yang masih ngumpet. Gimana, sih? Masa aku tidur di kamar yang ada sarang kecoaknya? Padahal tadi katanya kamarnya bersih walau lama enggak dipakai!)
Uh, kalau bukan karena paksaan Bu Nilam yang menyuruhnya untuk pura-pura tuli, Shaka pasti sudah menyemprot gadis ini dengan kata-kata yang lebih cerdas. Memang sih, Tasya membayar sewa kamarnya dengan harga tinggi, tapi harusnya itu tidak menjadi alasan Tasya bisa berperilaku seenaknya, bahkan menegur dan protes kepada seluruh anggota rumah seakan-akan dirinya seorang ratu yang perlu dilayani.
Emangnya sejak awal rumah ini disetel buat penginapan? Kalau enggak suka sama kamarnya ya keluar aja! Dikira kami butuh duitmu yang banyak itu? Begitulah jawaban yang awalnya ingin Shaka muntahkan setelah dia mendengar keluhan gadis itu. Sayang sekali, kemarin dia malah terpaksa bungkam dan dipaksa sabar.
Betapa aneh. Padahal saat menatap Tasya untuk pertama kalinya, jantung Shaka sudah berdebar-debar. Dia kira pertemuannya dengan gadis itu akan membawanya ke pengalaman indah yang tidak terlupakanโbarangkali dia bisa menjalin tali pertemanan seperti halnya dirinya dengan Ihatra. Namun, sayang, kekagumannya kemarin sukses tergerus habis akibat adab Tasya yang jauh dari kata sopan. Sekarang, Shaka belajar sesuatu, bahwa tidak semua aktor memiliki perilaku secantik rupanya.
"Terus ngapain barusan gedor-gedor kamar?" Kali ini, karena tidak diawasi oleh ibunya, Shaka berani menunjukkan raut jengkel kepada Tasya. "Kalau ada sesuatu, ketuk pelan. Jangan ngegas. Orang yang ada di dalemnya tuh punya kuping yang masih sehat."
"Sorry, udah kebiasaan gitu." Tanpa memedulikan raut Shaka yang menekuk heran, Tasya merogoh kantong celana lalu menyodori Shaka beberapa lembar uang seratus ribu. "Jadi gini, aku mau minta tolong belikan milk bath di mana gitu, buat aku berendam."
"Milk bath? Apa itu?"
"Susu bubuk buat berendam. Biasanya ada di klinik kecantikan."
Shaka berdecak sebal. "Di sini enggak ada klinik-klinik kayak gitu, belom paham juga ya kamu?"
"Ya udah kalau gitu gantinya pakai susu almond atau UHT plain yang satu literan. Beli dua dus kayaknya cukup."
Shaka menatap wajah Tasya dengan heran. Berendam pakai susu UHT? Baru kali ini dia mendengar hal sekonyol itu. "Beli susu segitu banyak ... cuma buat berendam?"
Tasya menatap Shaka seolah pemuda itu baru saja bereaksi berlebihan. Seraya mengibaskan rambut pirangnya ke belakang telinga, dia pun berceletuk, "Kamu niat bantu atau enggak? Kalau enggak mau ya udah, nanti aku minta tolong Kak Tsabita aja."
"Susu itu buat diminum, bukan dibuang-buang kayak gitu."
"Terserah aku dong mau buat apa," elak Tasya sambil melirik-lirik sebal. "Lagian fungsi susu tuh bukan buat diminum aja, tapi buat perawatan kulit juga. Emang kalau aku pakai buat mandi, pabriknya bakalan protes gitu? Sapinya bakalan punah, dan orang-orang mati kelaparan?"
"Ya tapiโ"
"Ah, ya udah deh, aku ke Kak Tsabita aja!" Tasya merebut kembali uangnya dari tangan Shaka lalu berbalik pergi. Namun, langkahnya mendadak terhenti sebab Shaka menahan pergelangan tangannya.
"Lepasin. Tangan kamu keringetan!"
Shaka melepas pegangannya dengan canggung. "Percuma nyari Mbak Bita. Dia lagi enggak ada di rumah."
"Emang dia ke mana?" Mendadak muncul satu jawaban di kepala Tasya. "Ke rumah Kak Iyat, ya?" Ekspresi gadis itu berubah kecut seketika.
Shaka yang membaca gelagat cemburu Tasya, memutuskan bahwa ini adalah waktu terbaik untuk membalas tingkah laku kurang sopan yang kemarin dilakukan gadis itu.
"Iya, ke rumah Mas Iyat," dustanya.
"Hah?" Tasya tidak main-main terkejutnya. Berani-beraninya perempuan bernama Tsabita itu pergi ke rumah Ihatra duluan tanpa bilang apa pun kepadanya. Padahal Tasya punya rencana untuk mengunjungi rumah Ihatra nanti siang, ketika dia sudah selesai mandi berendam susu. "Ngapain Kak Bita ke sana?"
"Yaa ... ngapain, ya?"
Shaka tiba-tiba kehabisan ide untuk menjawab persoalan ini. Enggak mungkin aku bohong kalau mereka berdua lagi pacaran. Kendati berniat menjaili Tasya, Shaka sejujurnya tidak tega bila harus menyeret Tsabita ke dalam skenario palsunya lebih jauh. Bisa-bisa dia malah dituduh memfitnah sepupunya. "Enggak tahu, tuh. Tadi kayaknya izin pergi ke rumah Mas Iyat. Kenapa emangnya? Kok mukanya kayak enggak terima gitu?"
Celetukan Shaka barusan diiringi kekehan menggoda. Tasya menjadi tersinggung, sebab ekspresi cemburunya terbaca dengan jelas. Gadis itu membalas jengkel, "Kalau gitu aku enggak jadi minta tolong beliin susu, tapi sebagai gantinya, anterin aku ke rumah Kak Iyat."
Shaka mengerutkan kening. "Enak aja nyuruh-nyuruh. Emangnya aku pembantu?"
"Aku bakal bayar kamu berapa pun."
"Emang mukaku kelihatan butuh duit?"
"Iya, kamu butuh dipermak supaya lebih bagus mukanya."
"Sialan." Telinga Shaka bersemu merah mendengar kata-kata itu keluar dengan enteng dari mulut Tasya.
Melihat reaksi terhina itu, Tasya berdecak dan membalas, "Cuma canda doang, dih. Pokoknya aku mau pergi ke rumah Kak Iyat sekarang juga. Biarin deh walau belum berendam susu. Entar aja itu. Ayo buru!" Lalu tanpa aba-aba, Tasya menarik tangan Shaka seraya menyeretnya keluar kamar. Si pemuda yang mendapat perlakuan paksaan itu tidak sempat menolak ataupun membantah. Di kepalanya berdengung banyak pertanyaan tentang reaksi Tasya yang sebegitu posesifnya bila menyangkut Ihatra.
Kemarin Tsabita memang sempat bercerita tentang latar belakang Tasya, tetapi Shaka sama sekali tidak menyangka kali ini dia tercebur ke dalam kejailannya sendiri.
-oOo-
Setelah berpamitan kepada Bu Nilam, Shaka menuntun vespanya dari halaman belakang menuju depan rumah. Di dekat pintu gerbang, Tasya sudah menunggunya dengan pakaian rapi dan tubuh beraroma parfum mahal. Jangankan berendam pakai susu, batin Shaka. Mandi biasa aja ini orang wanginya kayak taman bunga. Sayang sifatnya kayak macan betina.
"Udah siap. Yuk berangkat." Tasya berseru dari sadel belakang motor. Namun ketika mesin hendak dinyalakan, gadis itu memprotes lagi, "Mana helmku?"
"Enggak ada. Kita enggak lewat jalan raya, lagian tempatnya juga deket-deket sini."
"Panas tahu. Masa enggak pakai helm?"
"Panas gini doang enggak bikin badan kebakar."
"Ya kamu mah udah biasa kulitnya item. Aku ogah."
"Cewek manja," Shaka menggumam lirih. Dia kira gerutuannya tidak akan terdengar, tetapi Tasya langsung mendorong bahunya dengan kasar.
"Bawel. Aku bisa pusing kalau kena panas kelamaan." Lalu mendadak saja Tasya turun dari motor seraya meminta Shaka untuk menunggu sebentar. Selagi gadis itu masuk ke dalam rumah untuk meminjam helem pada Bu Nilam, Shaka menatapnya dari kaca spion vespa sambil menggeleng-geleng tidak habis pikir.
Beberapa saat kemudian, setelah muncul ke muka gerbang sambil mengenakan helm bogo berwarna hitam, Tasya kembali naik ke sadel motor belakang. Shaka pun melajukan motor melewati jalanan berkelok yang kiri-kanannya dijalari oleh semak buah rambusa dan pepohonan kersen. Di tengah angin sejuk yang menyapu kulit, Tasya mendadak bertanya kepada Shaka, "Kak Tsabita udah lama pergi ke rumah Kak Iyat?"
"Hah? Enggak denger!" Shaka berteriak di antara deru angin yang menggempur.
"KAK TSABITA UDAH LAMA PERGI KE RUMAH KAK IYAT?"
"Buset! Biasa aja ngomongnya!" Shaka melolong sebal. Namun bukannya segera menjawab, Shaka malah membeku sebentar. Benaknya bingung untuk menanggapi, lantaran dia tidak mau asal berbicara dan menceburkan Tsabita ke dalam masalah besar. Apalagi bila berurusan dengan aktor penting seperti Anastasya.
"Kok diem? Jawab, dong!" Tasya memprotes lagi.
"Kita enggak ke rumah Mas Iyat," Shaka setengah berteriak mengalihkan pembicaraan. "Aku antar kamu ke tokonya Mbak Bita aja!"
"Toko?" Tasya mengerutkan kening. "Ngapain ke toko? Tadi katanya Kak Tsabita ada di rumah Kak Iyat!"
"Yang tadi boong. Mbak Bita kalau Minggu gini lagi jaga toko."
"Kurang ajar!"
Tasya yang tidak terima dengan dusta kecil itu akhirnya memukul-mukul punggung Shaka, membuat pemuda itu mengaduh kesakitan sampai-sampai motor yang mereka kendarai agak oleng. Shaka memintanya untuk berhenti memukul. Ketika Tasya bertanya mengapa dia dibohongi, Shaka membalas, "Ya habis seru aja tadi jailin kamu. Kelihatan banget cemburu sama Mbak Bita."
BUGH! Kali ini punggung Shaka tidak luput dari hantaman tinju Tasya.
Shaka mendadak menghentikan vespanya dan langsung memprotes; "Yang tadi sakit beneran, tahu! Pukulanmu sampai tembus ke dada!" tangan pemuda itu meraba-raba punggungnya sendiri untuk memijat sekenanya.
"Itu pelajaran buatmu supaya jangan asal jailin orang. Kamu enggak tahu kan dadaku juga sakit gara-gara kamu bohong kayak tadi," kata Tasya dengan wajah memerah menahan amarah sekaligus malu. Marah karena dirinya baru saja dibohongi, dan malu karena orang lain mengira perasaan cemburunya adalah sesuatu yang bisa dipermainkan. Dalam hati, gadis itu menyumpah serapah Shaka; Kurang ajar anak satu ini! Badan doang yang sixpack, tapi kelakuan berengsek!
Shaka berkomentar lirih, "Kamu udah enggak ada hubungan apa-apa sama Mas Iyat. Harusnya enggak perlu ngambek kalau Mas Iyat deket sama cewek lain."
"Kamu enggak tahu masalah apa yang sebetulnya terjadi di hubungan kami, jadi enggak usah sok tahu ya," Tasya membela tak mau kalah.
"Oh, ya? Terus apa masalah yang sebenarnya terjadi? Sini cerita, aku dengerin."
"Ih, dasar tukang ikut campur!"
"Ya aku harus tahu masalahnya biar bisa menilai pakai sudut pandang netral."
Semakin kesal, Tasya mendorong kasar pipi Shaka agar kembali menghadap jalan di depan. Shaka melotot kaget atas perlakuan mendadak itu.
"Udah berhenti debat! Sekarang antar aja aku ke rumah Kak Iyat!"
"Buat apa ke rumah Mas Iyat? Kan tadi katanya kamu mau ketemu Mbak Bita buat minta belikan susu? Ini makanya aku antar kamu ke tokonya langsung."
"Ngapain sampai ke tokonya buat minta tolong? Aku kan bisa chat dia!"
"Lah, enggak nyambung nih anak," Shaka akhirnya menyalakan motornya dan langsung membawa Tasya pergi dari titik di mana mereka bertengkar. Di antara dersik angin yang beradu, dia berkomentar lagi, kali ini dengan nada yang melunak, "Toko kami jualan susu UHT. Kamu bisa beli berapa pun yang kamu mau, asalkan enggak sampai satu pabrik."
Selepas itu, Tasya akhirnya melunak juga dan terpaksa menurut dibawa ke toko.
Gadis itu memutuskan untuk diam selama perjalanan, sebab jauh dalam hatinya, masih tersimpan kejengkelan atas permainan Shaka. Pengakuan atas kebohongan pemuda itu tidak memperbaiki keadaan. Nyatanya, hati Tasya justru memanas dengan fakta yang disemprotkan Shaka beberapa saat lalu; bahwa dirinya tidak pantas marah apabila Ihatra dekat dengan perempuan lain.
Demi meredakan selongsong pemikiran penuh dendam itu, Tasya beralih pada hal lain yang bisa dilakukannya di atas vespa. Gadis itu mengambil ponsel dari kantong celana, lalu mengambil beberapa foto langit yang dilatari tajuk rindang pepohonan, juga merekam perjalanannya naik vespa melalui kaca spion.
Aktivitasnya terjeda ketika Shaka mendadak menginterupsinya, "Lagi ngapain, sih? Jangan banyak goyang di belakang. Motornya enggak stabil."
"Cerewet."
"Apa?"
Tasya diam saja dan tanpa sadar keasyikan dengan ponsel. Setelah puas memotret jalanan, jemarinya sibuk mengetik caption baru di unggahan story Instagram-nya.
"Woy!" Shaka menyentak.
"Ha, apa sih?"
"Orang lagi nanya malah didiemin. Kamu jangan kebanyakan goyang di belakang sana."
"Habis motornya enggak enak. Bokongku sakit," Tasya membalas enteng, merasa malas menjelaskan yang sebenarnya. Orang kampung seperti Shaka palingan akan mengkritiknya panjang lebar kalau dia menjelaskan sesuatu terkait video yang baru saja diunggahnya.
Setelah itu, percakapan di antara mereka berhenti. Tasya mulai larut dalam kepuasan ketika melihat reaksi penggemar yang memberondonginya dengan berbagai pesan pujian dan pertanyaan-pertanyaan tentang di mana dirinya sedang berlibur. Shaka juga sepertinya tidak minat untuk melanjutkan obrolan.
Motor mereka terus melaju melawan deru angin yang berembus ke timur. Mereka akhirnya sampai di toko Sanuraga setelah berkendara sekitar 15 menit. Di dalam toko, seperti biasa, Tsabita datang menyambut keduanya dengan ramah. Tasya memberitahu keperluannya datang ke sana, bahwa dia ingin membeli susu UHT dua dus besar. Namun, sayang, stok di toko hanya cukup untuk satu dus. Mau tidak mau, Tasya menyetujuinya. Dia bilang sepulangnya dari sini dia masih akan mencari tempat lain untuk membeli sisa susu yang dia perlukan.
Shaka yang mendengar jawaban itu hanya bisa membuang napas kasar, lalu diam-diam berbisik kepada Tsabita, "Aku lagi nanti yang disuruh anter."
"Ya enggak papa, nanti kalau butuh uang buat bensin dan biaya lain bilang aja ke aku. Tasya juga transfer biaya tip selama dia tinggal di rumah kita."
"Bukan itu, tapi ... duh, ya udah deh." Shaka hanya bisa menggerutu tidak jelas.
Tsabita memilih untuk tidak mengambil pusing masalah Tasya, sebab sepanjang pagi ini dirinya sudah disibukkan oleh aktivitas menganyam makrame untuk stok penjualan. Memang perlu kesabaran dan fokus ekstra untuk mengolah benang katun ini menjadi sebuah ornamen pajangan dinding. Tasya, yang sejak tadi menyempatkan diri untuk mondar-mandiri memeriksa isi toko (dia juga sekalian mengambil beberapa bungkus camilan untuk dirinya), akhirnya tergoda juga melihat kepiawaian jemari Tsabita merangkai benang.
"Oh, bisa buat yang beginian juga?" Tasya memegang sebagian pajangan dinding yang sudah jadi. Ada yang berbentuk daun, bunga, dan juga bintang. Karena terkesan dengan pola kerumitan dan gradasi warnanya yang unik, Tasya lagi-lagi mengabadikan makrame itu ke dalam jepretan-jepretan ponselnya, lalu langsung membuat caption menarik di story Instagram.
"Lucu juga. Berapaan yang ini? Aku mau deh buat pajangan kamar," komentar Tasya setelah melupakan ponselnya sejenak. Tsabita menyebutkan nominal harga, dan Tasya langsung menyetujuinya, bahkan memutuskan untuk memborong lebih banyak.
Ketika Tasya masih asyik memilih-milih makrame untuk dibawa pulang, sebuah notifikasi pesan tiba-tiba masuk ke ponselnya. Nomor tidak dikenal.
Tasya membuka pesan itu dan membacanya dalam hati;
Hapus semua foto dan
video lo di story, dasar tolol.
Gue Jayden.[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Waduuuu kira2 masalah apaan yg bakalan dibikin Tasya? ๐
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top