50. Gadis Pirang dari Kota
MENURUT Shaka, gadis yang sedang berdiri di ambang pintu rumahnya saat ini adalah orang tercantik yang pernah dilihatnya secara langsung.
Keyakinan itu terbayang jelas di mata Shaka tatkala memperhatikan Anastasya Wiharja melenggang masuk ke rumahnya sambil menyorot seluruh ruangan dengan tampang penasaran sekaligus hati-hati. Tsabita, sepupu yang mengantarnya kemari, sudah menjelaskan kepada Shaka dan Bu Nilam tentang alasan di balik kedatangan yang tiba-tiba ini.
Dia seorang aktor. Akan tinggal di rumah kita sementara waktu, ujar Tsabita. Bu Nilam katanya sudah memberi izin, dan Shaka yang telat mendengar berita ini, dijalari perasaan gelisah yang aneh ketika melihat Anastasya secara langsung.
Cantiknya nggak ngotak! Shaka menyumpah-nyumpah dalam hati seraya memperhatikan gadis itu dengan cermat. Tingginya mungkin tidak sampai 160 sentimeter. Tubuhnya langsing cenderung kurus, sehingga ketika Shaka berdiri di sampingnya, rasanya dia bisa memeluk gadis itu sampai seluruh badannya tenggelam. Kulitnya cerah dan bersih―lebih terang daripada Ihatra ataupun Jayden. Shaka mungkin akan menjulukinya Putri Salju andaikan saja rambutnya tidak dicat pirang. Wajahnya yang kebule-bulean sudah jelas merupakan campur tangan bibit unggul keturunan serta investasi dari perawatan jangka panjang. Lalu terakhir, kedua tungkainya―sesuatu yang sejak tadi membuat Shaka susah berpaling―begitu ramping dan mulus. Pahanya terbuka karena Tasya hanya mengenakan rok yang panjangnya beradu dengan celana dalam ....
Shaka buru-buru memalingkan wajah ketika tersadar pandangannya terpaku lama pada paha Tasya.
Ah, astaga. Ini perbuatan aneh dan berbahaya―bisa-bisa dirinya dianggap mesum apabila ketahuan. Namun, sumpah demi Tuhan, Shaka tidak bisa menahannya. Figur dan aura Anastasya bagaikan pawai karnaval yang terlalu meriah untuk bisa dilewatkan. Sungguh sulit menolak pesona itu!
Sesungguhnya, ini bukan pertama kali bagi Shaka mendengar nama Anastasya Wiharja. Dia pernah tidak sengaja mendengarnya dari televisi di salah satu rumah makan, yang saat itu menayangkan wawancara dari beberapa aktor. Kalau tidak salah, Anastasya memang salah satu aktor perempuan muda yang namanya digandrungi di kalangan pencinta series lokal. Namun, saat itu Shaka tidak begitu memperhatikan cermat bagaimana rupa Tasya di televisi. Hanya mendengar obrolan wawancaranya saja yang timbul-tenggelam di antara berisik pengunjung rumah makan. Dia toh tidak tertarik mengikuti berita para selebritas kecuali bila mereka memiliki beberapa lagu yang sukses memanjakan telinga Shaka.
Sekarang, ketika Shaka menatap Anastasya untuk pertama kalinya, dunianya benar-benar jungkir balik. Berbagai lapis perasaan menyelubunginya―kegirangan, malu, dan beruntung luar biasa. Dari banyaknya jumlah anak muda di Pinggala, bisa-bisanya Shaka menjadi orang terpilih yang melihat tiga wajah selebritas secara cuma-cuma dalam waktu beberapa bulan; Ihatra Kama, Jayden Raespati, dan Anastasya Wiharja. Shaka mulai yakin, jangan-jangan di kehidupan yang lalu dia pernah menyelamatkan sebuah negeri sehingga bisa merasakan keberuntungan bertubi-tubi seperti ini.
"Shak, jangan diem aja. Kasih salam." Sodokan siku ibunya―Bu Nilam―membangunkan Shaka dari lamunan. Pemuda itu buru-buru menelan ludah lalu menyapa Tasya dengan kikuk, "Ha-halo. Saya Pandushaka Biru."
Tasya menatapnya sekilas―kelihatan tidak tertarik untuk sekadar basa-basi perkenalan. Bentuk profesionalitasnya sebagai aktor hanya direfleksikan melalui tarikan senyum ala kadar dan suara tidak jelas yang membuat Shaka mengerutkan kening.
"Ha-hah, apa? Tadi bilang apa?" Shaka menyahut lagi, kali ini kepercayaan dirinya lebih terlatih.
"Aku Anastasya. Bisa dipanggil Tasya." Tasya mengembuskan napas kecil dan menoleh ke kanan kiri lagi, seketika kembali ke mode tidak peduli. "Terus aku tidur di mana?"
Bu Nilam menunjuk bagian belakang lorong dengan sopan. "Ada satu kamar kosong di dekat gudang. Memang lama enggak dipakai, tapi di sana bersih dan nyaman. Kamu bisa tidur di sana, ya."
Tasya mengangguk, lalu menatap Shaka lebih lama. Pemuda itu langsung gelagapan dan berbicara agak panik. "Si-sini, kopernya aku bawakan. Ayo kuanterin ke kamar."
Tsabita tampaknya lega karena Shaka langsung mengambil alih tanggung jawabnya. Sepupunya itu langsung menemani Tasya pergi ke kamar yang dimaksud. Sementara Bu Nilam, yang di rautnya masih terbasuh oleh sisa-sisa penasaran, akhirnya mengajak Tsabita berbicara dua pasang mata.
"Ibu mau nanya bentar, karena tadi di telepon kamu ngomongnya kurang jelas."
"Iya, gimana?"
"Dia itu siapa? Pacarnya Iyat?"
Tsabita menggeleng sambil mendesau napas. "Bukan. Mantannya. Dia kemari niatnya mau nyusulin Mas Iyat."
"Oh, mantan pacar. Kelihatan dewasa ya, tapi kalau diperhatikan baik-baik, kayaknya masih muda banget. Umur berapa dia?"
"Enggak tahu ya, Bu. Kayaknya sih baru delapan belas. Nebak doang."
"Hah? Masa Iyat pacaran sama anak delapan belas tahun?"
Tsabita menggigit bibir bagian bawah, tiba-tiba dirudung kebingungan untuk menjelaskan. Akhirnya dia menjawab sekenanya, "Setelah tahu berapa umurnya, Mas Iyat putus sama dia. Mereka sebelumnya sempat kena masalah gitu, jadi Mas Iyat udah enggak mau hubungin dia lagi. Tapi, si Tasya malah ke sini dan nyusulin."
Bu Nilam manggut-manggut. "Jadi mereka berdua lagi berantem?"
"Mas Iyat yang enggak mau menerima Tasya, makanya tadi Tasya minta tinggal bareng kita sementara waktu."
"Loh, emang kenapa sama Tasya? Kok Iyat sampai enggak mau baikan?"
"Aduh, pokoknya gitu deh, Bu. Nanti lebih lengkapnya aku cerita agak malaman. Aku agak capek." Tsabita mengelak lesu. Bu Nilam mulai perhatian dengan kondisi wanita itu.
"Kamu kenapa, Bit? Ada masalah tadi?"
Tsabita kebingungan mencari kata-kata. Terus terang saja, perasaanya hari ini agak berantakan. Kedatangan Tasya entah bagaimana memicu firasat aneh dalam dirinya, seolah dia bisa mencium aroma kekacauan yang siap meledak kapan saja. Kalau bukan karena ingin memastikan Tasya berhenti mengancam Ihatra yang tidak-tidak, Tsabita juga sebenarnya ogah membolehkan gadis itu menginap di rumahnya.
"Aku agak capek karena habis jagain Mas Iyat."
"Oh, yang tadi katamu ditelepon karena dia lagi sakit?"
"Iya." Lalu Tsabita kepikiran sesuatu. "Oh, iya, Bu. Tasya tadi udah transfer uang menginap ke aku, katanya nanti setelah dia pulang, akan ditambahin."
"Loh, Ibu enggak minta bayaran kok! Kalau mau nginep ya nginep aja di sini. Gratis."
"Aku juga enggak minta, tapi dianya maksa. Nanti kalau aku keluar lagi, sekalian aku ambilin di ATM, ya."
"Jangan, Bita. ATM jauh. Ibu lagi enggak butuh uang, mendingan kamu simpan aja."
"Ya udah, nanti kalau Ibu atau Shaka perlu sesuatu, minta ke aku ya, Bu."
Bu Nilam mengangguk pasrah. Sebetulnya dia ingin Tsabita menyimpan saja uang itu untuk keperluan Tsabita, karena keponakan yang telah dianggapnya anak sendiri ini jarang sekali memanjakan diri kalau tidak dipaksa. Namun, karena jawaban yang diterimanya adalah dampak dari kelelahan pikiran yang mendera, Bu Nilam memilih untuk tidak membahas soal uang lebih jauh lagi. Dia pun beralih ke pembahasan lain, "Oh ya, tadi Egar ke sini loh, Bita."
Tsabita yang hendak pergi ke kamarnya mendadak berhenti melangkah. Dia menatap Bu Nilam dengan pandangan datar, berusaha keras menyembunyikan gejolak gelisah di hatinya.
"Ngapain dia ke sini, Bu?"
"Ya mau ketemu kamu, lah." Bu Nilam senyum-senyum, jelas tidak tahu masalah apa yang terjadi di antara keduanya. "Hubungan kalian makin langgeng, ya?"
"Oh, ya?"
"Iya. Egar yang bilang sendiri ke Ibu. Pas dateng ke sini kelihatan agak beda. Dia sopaaan banget ke Ibu, bahkan bawain kita makanan banyak juga. Tuh di dapur, kamu lihat sendiri."
Tsabita menoleh sekilas ke arah dapur. Ada kotak berbungkus plastik putih yang ditaruh di atas lemari pendingin.
Bu Nilam melanjutkan dengan antusias. "Ibu awalnya sempet becandain dia, kapan mau nikahin Tsabita? Terus Egarnya bilang, bentar lagi, habis urusan sasana selesai. Ibu pikir itu serius, loh. Soalnya Egar enggak ketawa kayak biasanya. Dia cerita, selama beberapa waktu ini mau fokus dulu untuk mengembangkan sasana dan melatih beberapa murid yang tersisa. Shaka katanya tahun depan mau diikutkan kejuaraan tinju di Pekan Olahraga Nasional. Nanti kalau menang, dia bisa ikut kejuaraan yang tingkat internasional. Kamu doain Shaka dan Egar ya, semoga keduanya sama-sama sukses."
Tsabita nyaris tidak bisa tersenyum mendengar hal itu. Dia seharusnya ikut senang atas tawaran lomba untuk prestasi Shaka, tetapi sejak Bu Nilam membicarakan rencana Egar yang ingin segera menikahinya, benaknya tidak bisa diajak berpikir lurus. Hatinya gelisah memikirkan rencana apa lagi yang sedang dibuat Egar untuk mendapatkan hatinya.
"Pas Egar nyari aku, Ibu bilang apa?" Tsabita bertanya ragu.
"Ya Ibu bilang kamu lagi pergi ke rumahnya Iyat." Bu Nilam melihat jejak kepanikan di wajah Tsabita, lalu buru-buru berkata, "Tenang, Bita. Ibu udah jelasin ke Egar kalau kamu ke sana cuma buat ngasih obat aja. Ibu tahu kok kamu enggak ada hubungan apa-apa sama Iyat. Takut Egar cemburu, ya?"
Tsabita rasanya ingin menceritakan semua hal kepada Bu Nilam. Namun, ketika dia hendak membocorkan fakta bahwa dirinya dan Egar sudah putus, mendadak saja terdengar teriakan histeris perempuan dari arah kamar tamu yang kosong.
Tsabita dan Bu Nilam segera menghampiri sumber suara, tempat di mana Tasya sedang meringkuk ketakutan di sudut kasur. Sementara di dekat jendela yang terbuka, Shaka dengan wajah panik, sedang mengibas-ngibaskan kerai jendela yang agak berdebu, seolah sedang mengusir serangga agar segera beterbangan keluar.
Bu Nilam bertanya sabar, "Ada apa? Kok teriak-teriak?"
Lalu Tasya membalas dengan nada membentak;
"Kamarnya kotor! Banyak kecoak! Aku enggak mau tidur di sini!"[]
-oOo-
.
.
.
I know chapter ini pendek banget, cuma 1400 kata hehe. Tapi tenang aku bakal nulis chapter selanjutnya dengan cepat. Mohon ditunggu yakkk.
Dan maaf juga karena aku lama enggak muncul. Banyak kesibukan di rumah soalnya :"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top