5. Enam Penari Festival
Halo, gengs, ngehehe. Akhirnya aku kembali moentjoel. Selamat membaca, jangan lupa vomment ๐๐ฅ
-oOo-
GUMAM berisik memenuhi toko Sanuraga sore itu. Segenggam permen dan manisan diserahkan oleh sekelompok anak kecil yang berkerumun di depan kasir. Dengan wajah bersemangat, tergelak keras-keras selagi aroma keringat yang terbakar terik merebak dalam udara sekitar.
Tsabita berdiri di balik konter yang agak lembab, kewalahan menghitung total harga permen-permen kecil yang diberikan secara serabutan dan tidak tertib. Sementara Shaka yang baru pulang sekolah, masih menyempatkan diri membantu di toko dan kini berjongkok di salah satu rak makanan, sedang menata berbagai jenis cokelat batang. Sesekali Shaka melirik Damar yang berdiri di sampingnya.
Setelah lama memilih-milih stoples permen rasa-rasa, Damarโbocah sembilan tahun ituโakhirnya mengambil stoples kecil permen kunyah lalu langsung memutar tutupnya (Shaka agak terkejut karena si bandel itu belum bayar permennya di kasir), lalu mengambil photocard yang dibungkus plastik bening di dalamnya. Damar membuka plastik tersebut, sehingga tampaklah foto seorang pria; berambut biru, dengan poni di bawah alis. Matanya tajam dan memiliki rahang yang lembut untuk ukuran pria. Di bawah foto itu terpampang nama Jayden.
"Hadeh, orang ini lagi .... masa hampir semua permen yang kubeli isinya Jayden semua." Mulut Damar menyebik kecewa, Bocah gembul itu bergumam sendiri sambil menggaruk ketiak telanjangnya dengan tidak tahu malu.
Shaka yang ada di dekatnya diam-diam ikut memperhatikan foto itu dan mengernyitkan dahi. "Ini Jayden penyanyi itu bukan, sih? Yang dulu pernah jadi artis cilik?"
Damar langsung berpaling menatap Shaka. "Oh, iya. Emang dulu Jayden artis cilik?"
"Iya, kalau enggak salah jebolan dari ajang pencarian bakat. Mas jarang denger lagunya, tapi tahu orangnya," kata Shaka, mengedikkan bahu, kemudian kembali menata batang-batang cokelat selagi berpikir sesuatu. "Ternyata kamu suka ngumpulin foto-foto artis di stoples permen, ya, Mar? Mas pikir cuma anak cewek yang suka begituan."
"Ini bukan photocard biasa, Mas. Di belakangnya ada barcode yang nyambung ke karya-karyanya si artis. Ada kode undian juga yang kalau menang bisa dapet saldo atau Iphone," kata Damar. "Lagian Mas Shaka norak amat. Zaman sekarang siapa pun bisa ngoleksi ginian. Lumayan bisa cuan juga kalau dijual ke anak cewek."
Shaka menaikkan alisnya. "Masih kecil otaknya udah mikirin bisnis."
"Yee, kenapa, sih? Enggak ganggu kebun orang juga." Lalu Damar menyodorinya photocard Jayden. "Mau kukasih ini juga biar Mas gaul dikit? Ambil aja, deh. Toh aku udah punya fotonya Jayden yang posenya kayak gini."
"Dih, enggaklah. Mau taruh di mana harga diri Mas kalau ngoleksi foto cowok?" Shaka melengos sebal. Tiba-tiba pemuda itu kepikiran sesuatu yang lain, "Eh, ngomong-ngomong soal Jayden, kayaknya dulu dia pernah collab nyanyi sama Ihatra Kama, ya?"
"Pernah. Mereka kan emang aslinya teman dekat," kata Damar, tahu-tahu ekspresinya berubah kecut "Tapi aku enggak suka sama Ihatra."
"Hah, kenapa?"
"Problematic. Apalagi kasusnya yang terakhir itu."
"Eh, gimana dah? Kasus apa?" Shaka kedengaran terkejut dan penasaran.
"Masa enggak tahu, sih?" kata Damar, memasang tampang meremehkan. "Kayaknya di tempat ini cuma aku aja yang gaul. Mas Shaka ketinggalan zaman. Emangnya di rumah enggak pasang WiFi? Di sekolah enggak pernah ngobrol sama temen-temennya? Nolep, ya?"
Shaka mendecih tidak suka, lalu menjitak kepala Damar sampai anak itu mengeluarkan pekikan kecil. "Kamu kan tahu di sini susah sinyal!"
"Di rumahku enggak, tuh!"
"Kalau ngomong itu dijaga. Kamu masih bocah, aku udah SMA!" kata Shaka, yang segera berdiri hingga badannya tampak menjulang di dekat Damar. Dia merasa ini buang-buang waktu sekali. "Sana cepet bayar! Lain kali jajannya jangan dibuka dulu sebelum bayar di kasir. Kodebar harganya bisa rusak, bocah kampret!"
Damar menyingkir sambil menyeret langkahnya seperti orang malas, diam-diam bergumam yang kedengaran seperti "Jerapah gosong", lalu langsung lari terbirit saat Shaka sudah mengangkat tangan untuk menjitaknya lagi. Bocah bandel itu akhirnya berdiri di antrean paling belakang konter kasir. Bita yang berjaga di sana, masih meladeni beberapa anak kecil yang tampak mulai kehilangan kesabaran.
Saat sampai giliran Damar, Bita baru bisa bernapas lega. Dia menyebutkan nominal harga dan anak itu segera memberinya uang pas. Sebelum berbalik untuk pulang, Damar berkata kepada Bita, "Mbak Bit, sama Mas Egar disuruh cepet pulang, soalnya bentar lagi mau diajak boncengan ke balai desa."
"Loh, enggak usah. Mbak bentar lagi mau berangkat sama Shaโ"
"Pokoknya disuruh cepet pulang!" Lalu tanpa menunggu reaksi Bita, Damar sudah berlari melewati pintu. Bita hanya bisa menghela napas.
"Sengaja pasti tuh," celetuk Shaka yang muncul dari belakang Bita, lalu meletakkan kardus cokelat batang yang sudah kosong di atas konter sambil melihat pintu masuk. "Enggak abangnya, enggak adiknya, sama-sama tengil. Mas Egar sama Damar itu udah kayak bocah kembar yang lahir di tahun berbeda."
Bita tergelak kecil. "Jangan anggap serius, Shak. Damar belum ngerti apa-apa."
"Damar itu lucu aslinya, sayang mulutnya enggak sopan," kata Ersan. "Mana masih bocil tapi koleksi foto Jayden."
"Jayden? Siapa itu?"
Shaka mengibaskan tangannya di depan Bita. "Enggak penting. Pokoknya bocah itu enggak tahu diri, Mbak. Masa dia terang-terangan buka stoples yang belum dibayar di depanku? Mbak juga lihat kan waktu anak itu bayar jajannya di sini?"
"Iya, nanti aku nasihatin Damar." Bita sedikit membungkuk untuk membuka laci meja konter, kemudian mengeluarkan seperangkat kunci dan memberikannya pada Shaka. "Nih, tutup tokonya, Shak. Nanti tolong antar aku ke rumah aja, ya. Kamu pergi duluan ke balai desa."
Shaka mengambil kunci itu dengan raut mencebik kecewa. "Mbak jadi berangkat ke balai desa bareng Mas Egar? Enggak sama aku aja?"
"Egar mau ngajak bareng, mau gimana lagi."
"Jadi Mbak lebih pilih Mas Egar daripada aku?"
Bita hanya menatap Shaka, lalu mendengkus geli.
-oOo-
Selepas pintu rumah dibuka. Sosok pria jangkung bertubuh atletis berdiri di ambang lorong utama.
"Udah siap, Manis?" Egar menyapa Tsabita dengan ekspresi redup dan nada berat yang lirih. Terdengar menggoda. Namun, Bita yang sudah terbiasa dengan sikap pria itu hanya menanggapinya dengan senyum sopan. Wanita itu berpesan agar Egar menunggu sebentar, sementara dirinya lekas pergi mengambil tas di dalam kamar.
Egar tampaknya sudah terbiasa menjemput Bita di rumahnya. Di samping karakternya yang maskulin dan tubuhnya yang atletis, gerak-geriknya santai dan bebas, penuh percaya diri. Seolah dia tidak perlu didikte bagaimana cara bersikap di hadapan gadis yang disukainya. Egar tahu apa yang Tsabita butuhkan. Kalau di dunia ini ada kontes untuk mencari siapa orang yang paling memahami Tsabita, Egar pasti akan maju ke depan panggung dengan angkuh.
Dengan keahlian yang dimilikinya, Egar bisa dibilang aset langka di Pinggala. Dia cukup terkenal di kampung karena semasa remaja pernah membuat harum nama desa ini di pertandingan tinju tingkat nasional, sehingga mendapat tawaran dari DTIโDewan Tinju Indonesiaโagar melanjutkan karier sebagai pelatih di ibu kota. Namun, menolak semua itu, Egar malah mendirikan klub tinju sendiri untuk mengembangkan apa yang selama ini orang pikir tidak dimiliki Pinggala; anak-anak muda yang kuat, otot yang sempurna, lekuk tubuh yang proporsional, serta kebugaran yang tahan lama. Dia akhirnya menjadi pelatih di tempat itu.
Egar menghabiskan usia remajanya dikejar-kejar oleh para gadis yang cinta setengah mati padanya, tetapi tampaknya dulu dia hanya punya obsesi untuk membuat tempat latihannya menjadi pusat perhatian nomor satu, sehingga ini mengakibatkan dirinya dipandang culas dan tidak memedulikan perasaan. Saat satu per satu pemuda mulai meninggalkan desa, Egar sadar bahwa harapannya yang tersisa kini hanyalah pada anak-anak yang jumlahnya bisa dihitung jari, yang bahkan motivasinya untuk datang ke tempat latihan mulai melemah seiring waktu. Dia hampir menyerah untuk mempertahankan impiannya, tetapi saat pertama kali mengenal Bita dan Shaka, pemikiran Egar mulai terobati lagi.
Efeknya bisa dirasakan sangat cepat dalam kurun waktu hanya beberapa tahun. Dengan bantuan Shaka dan Bita yang antusias terhadap visi-misi Egar, perlahan-lahan klub tinju hidup lagi. Anak-anak kecil yang jumlahnya tidak banyak tetap berusaha datang karena bujukan Shaka, bahkan setelah berjalan setengah tahun, klub tinju itu mengirim beberapa muridnya untuk bertanding di kota-kota besar. Shaka adalah salah satu yang berhasil memenangkan posisi pertama di turnamen nasional, diikuti oleh murid lainnya yang menempati posisi ketiga dalam level yang berbeda. Ini membuat Egar senang bukan main sehingga akhirnya mempekerjakan Shaka sebagai asisten pelatih.
Sementara Bita, wanita itu memang tidak berkontribusi banyak dalam mengembangkan klub tinju, tetapi dialah sosok yang menerima Egar dalam segala macam kekurangannya. Terutama, pada bagian-bagian mental serta perasaan Egar yang sulit diobati, seperti kecenderungannya untuk bersikap tidak peduli dan skeptis, cerminan dari alasan di balik kebencian gadis-gadis Pinggala padanya. Walau demikian, Egar bisa membuktikan kepada Bita tentang perasaannya, dengan cara-cara yang kelewatan, dan inilah yang membuat Bita terdorong padanya.
"Gar, ayo berangkat." Bita tahu-tahu muncul dari ujung lorong sambil membawa tas yang disampirkan di bahu. Dia mengenakan rok plisket yang menyentuh betis dan blus kuning tanpa lengan, membuat kulit cokelat eksotisnya tampak mencolok. Rambut hitam Bita dikuncir di puncak kepala dengan pita berwarna senada pakaiannya.
Egar memandanginya amat lama.
"Apa, sih?" tanya Bita.
"Duh, kamu cantik banget," kata Egar. "Kamu cocok sama baju itu. Lebih banyak kulit yang kelihatan, lebih baik."
"Heh, kok bilang gitu, sih?" sembur Bita, yang langsung menendang tulang kering Egar. Laki-laki itu hanya bereaksi dengan mengaduh kecil, kemudian tertawa renyah. Bita yang merasa jengkel langsung balik badan dan hendak masuk lagi ke kamarnya untuk berganti pakaian yang lebih tertutup lagi, tetapi Egar lebih gesit. Dia menarik lengan wanita itu agar merapat padanya.
"Canda, Bit. Kamu kayak enggak tahu aku aja."
"Pikiranmu jangan mesum gitu, dong. Ini kan baju sehari-hari aku."
"Iya, iya, maaf. Namanya juga candaan cowok."
"Enggak lucu tapi," kata Bita. "Aku pakai baju sopan kayak gini aja dibilang kayak gitu, gimana sama cewek-cewek di pantai yang sukanya pakai bikini?"
"Kamu cemburu, ya?" Egar mencolek dagu Bita dengan nakal. Senyum miring tersungging di bibirnya. "Aku sukanya cuma kamu, kok. Tenang aja."
Kata-kata itu sontak saja membuat pipi Bita merona. Egar memang merupakan tipe yang ekspresif. Walaupun pria itu tidak pernah menembak Bita untuk menjadi kekasihnya, akan tetapi Egar selalu menggoda Bita dengan cara terang-terangan seperti ini. Di tahun kedua mereka berteman, Egar semakin menampakkan rasa suka itu dalam tindakan-tindakan yang heboh dan ugal-ugalan. Perilakunya laksana anak kecil yang posesif terhadap mainannya. Dan tanpa disadari, tahu-tahu saja pria itu sudah menjadi bagian dalam hidup Bita dan selalu ada di setiap titik Bita memandang.
"Ayo pergi, udah ditunggu sama yang lain," Bita menggiring pria itu sampai pintu depan. Egar sudah berhenti tertawa dan menaiki motornya yang diparkir di pekarangan rumah. Wanita itu duduk di sadel belakang ketika Egar bertanya dengan nada lembut;
"Periku udah siap?"
"Bawel. Cepet berangkat."
Egar tertawa, lalu motor melaju pergi.
Sesampainya di balai desa, Bita dan Egar turun dari motor dan memandang hamparan lahan luas yang diisi berbagai penduduk dengan segala kesibukannya. Di lapangan paling ujung, yang berbatasan dengan area parkir, ada mobil dengan bagasi belakang yang terbuka. Beberapa penduduk gotong royong membawa panci-panci besar berisi makan malam yang akan dibagikan setelah latihan selesai. Beberapa berkeliling sambil melihat-lihat papan-papan dekorasi yang setengah selesai. Di depan mereka, berdiri sekelompok penari yang memegang kipas lipat berwarna meras-emas.
"Nah ini Tsabita udah dateng!" sambut seorang anggota penari berusia tiga puluhan yang rambutnya disanggul ke atas. Dia menyerahkan kipas lipat kepadanya. "Yuk, latihan."
"Yuk." Bita berpaling sebentar dan hendak memberikan senyuman perpisahan pada Egar, tetapi ternyata Egar sudah memisahkan diri dan berkumpul bersama kelompok pria di sisi lain lapangan yang sedang sibuk mengasah batang-batang kayu untuk mengukir anak panah. Mereka terbahak-bahak, saling melemparkan lelucon dan mengobrol seru. Bita melihat Shaka di antara kawanan itu, yang ikut tertawa, tetapi tidak sekencang yang lain.
Sementara itu, enam kawanan penari mulai membentuk formasi bundar di bagian lapangan yang kosong dan sedang menunggu musik dinyalakan. Bu Garyati, istri Pak Ersan, berdiri tidak jauh dari mereka, berteduh di bawah pohon, dengan seperangkat pengeras suara yang kabel-kabelnya terburai dari sumber listrik gedung balai desa. Dia mengangkat tangan ke udara dan memberi isyarat hitungan saat musiknya menyala.
"Pada hitungan ketiga, semuanya. Satu, dua, tiga."
Lalu, musik dinyalakan. Yang mengiringi mereka adalah alunan rebab diiringi petikan kecapi di sepanjang iramanya. Suara yang timbul terdengar jernih dan merdu sekali, mirip kicauan burung hutan. Para penari bergerak mundur membentuk formasi separuh lingkaran lalu melenggokkan tubuh.ย Pertunjukan itu seketika menyihir orang-orang yang ada di balai desa. Mereka semua memandang keenam penari dengan terpana.[]
-oOo-
.
.
.
Karakter Egar di sini udah kayak abang-abang tukang gym yang kelebihan energi, awowkwok. Kemungkinan dia bakal bikin masalah konyol ke depannya ๐
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top