48. Merawat Seorang Diri

Aku sampe guling2 kayak cacing kepanasan bikin chapter ini. Semoga kalian juga 😀

KETIKA pintu putih berbahan jati itu dibuka, wajah manis Tsabita muncul dari baliknya.

"Assallamualaikum, Pak Ersan." Salam wanita itu mengalun lirih. Pak Ersan membalasnya dengan sopan, lalu mempersilakan Tsabita masuk. Tanpa meneruskan basa-basi, pria paruh baya itu mengantar Tsabita menyusuri lorong rumah Ihatra yang sunyi. Menuju kamar tertutup di dekat tangga lantai satu, tempat Ihatra beristirahat akibat demam tinggi yang melanda.

"Maaf ya, Bita. Saya jadinya ganggu kamu siang-siang begini," kata Pak Ersan ketika mereka berdua melewati ruang tamu.

"Nggak papa, Pak. Kebetulan hari ini Shaka pulang sekolah lebih awal, jadinya saya bisa nitip toko ke dia."

"Syukur. Habisnya saya jam dua mau nganter istri ke rumah adiknya, karena ada pengajian keluarga. Saya enggak mungkin ninggal Nak Iyat yang lagi sakit sendirian, makanya tadi inisiatif telepon kamu."

"Memang sakitnya parah, Pak? Apa enggak lebih baik dipanggilkan dokter aja?"

"Maunya gitu, Bit. Tapi kayaknya lebih baik minta tolong ke kamu aja, karena ...."

Kata-katanya terpotong lantaran Pak Ersan berhenti di dekat birai tangga lantai dua, lalu secara hati-hati menarik lengan Tsabita agar mendekat padanya. Tingkahnya yang aneh itu menimbulkan kecurigaan samar di benak si wanita.

"Ada apa, Pak?"

Pak Ersan menjulurkan leher ke pintu kamar yang tertutup tepat di belakang tangga, lalu bicara berbisik-bisik, "Di dalam sana ada Tasya, kenalannya Nak Iyat."

"Hah, siapa, Pak?" Mata Tsabita terbeliak. Jelas ingin meyakinkan diri bahwa telinganya tidak salah mendengar nama gadis itu.

"Namanya Tasya, tadi Bapak dengar Nak Iyat manggil gitu." Pak Ersan lantas merangkum cerita dengan cepat agar Tsabita bisa segera tahu duduk permasalahan sejak awal. "Jadi, sekitar jam tujuh tadi ada perempuan bernama Tasya yang datang kemari. Nak Iyat langsung stres―sepertinya karena sebelumnya dia enggak diberi kabar soal ini. Mungkin tadi karena sudah enggak kuat bertengkar, tiba-tiba Nak Iyat jatuh pingsan. Sebelumnya Nak Iyat memang lagi flu. Sejak subuh tadi bersin-bersin mulu dan wajahnya pucat."

Tsabita merasakan cubitan kecil di dadanya, lebih karena dia mengetahui sebesar apa keresahan Ihatra mengenai gadis bernama Tasya itu. "Terus sekarang Tasya di dalam, Pak? Harusnya dia enggak dibolehin masuk kamar, takutnya Mas Iyat tambah kumat sakitnya."

"Ya saya sih maunya gitu, tapi yang namanya Tasya itu enggak bisa diatur. Kalau saya panggil dokter pun, dia pasti bakal berada di samping Nak Iyat terus." Lalu Pak Ersan menatap Tsabita dengan sorot mengharap, "Kamu kan lebih pandai bicara dari saya, Bita. Makanya, tolong bujuk dia keluar, ya. Saya tahu Tasya khawatir sama Nak Iyat, tapi kayaknya dia cuma menambah masalah kalau memaksa diri ada di dekatnya."

Tsabita mengangguk. Rasanya dia ingin bertanya mengenai tujuan Tasya datang kemari, tetapi niatnya urung. Lebih baik memastikan dahulu agar Ihatra bisa istirahat tenang tanpa gangguan orang lain. "Kalau gitu saya masuk ya, Pak. Di dalam sudah ada obat-obatan?"

"Sudah ada. Obat, kompres, minyak gosok. Semuanya udah disiapin Tasya, tapi Nak Iyat sepertinya masih enggak mau buka mata."

"Loh, orangnya belum sadar?"

"Bukan, bukan. Bapak rasa dia sengaja tidur buat menghindari Tasya. Tadi Bapak sempet lihat dia bangun dan ngeluh sakit, tapi setelah itu enggak mau bicara lagi dan cuma merem aja."

Tsabita membuang napas, sedikit bisa membaca maksud dari kelakuan Ihatra yang seperti itu. Akhirnya, dia pamit kepada Pak Ersan dan masuk ke pintu yang tidak terkunci.

Di dalam kamar, dirinya disambut dengan wangi samar minyak kayu putih bercampur dengan pengharum ruangan beraroma jasmine. Di dekat ranjang yang ditempati sosok berbungkus selimut, duduk seorang gadis bertubuh ramping yang sepertinya sedang menunggu Ihatra bangun, jelas enggan mengalihkan wajah dari siapa pun yang menyela masuk ke dalam kamar.

Jadi itu yang namanya Tasya? Sungguh mengejutkan Tsabita bisa bertemu dengannya sekarang. Gadis yang lebih muda itu menangkup tangan kanan Ihatra dengan kedua tangannya yang lebih kecil, sesekali membelai buku-buku jarinya dengan lembut. Melihat adegan penuh penghayatan itu, Tsabita merasakan ada percikan tidak terima di hatinya. Namun, dia tetap mendekati Tasya tanpa protes.

"Hai," Tsabita menyapa ramah. "Saya dipanggil kemari buat merawat Mas ini."

Wah, cantik, begitulah yang Tsabita pikirkan ketika menatap Anastasya dari dekat. Roman gadis ini seperti campuran dari keturunan ras barat―berkelopak lebar, beriris hazel, dengan bulu mata lentik yang naik di ujung sehingga memberi kesan tatapan seekor rubah. Kulitnya yang terang dan bersih cocok berpadu dengan rambut pirang yang tergerai halus di punggung. Pakaiannya modis bergaya terbuka. Aksesoris elegan yang dia kenakan di leher dan pergelangan tangan juga tampak mahal dan bersinar. Figur Tasya merupakan imaji sempurna aktor populer yang tidak bisa digapai―versi lain dari sosok Ihatra dan Jayden yang berjenis kelamin perempuan. Ketika melihatnya secara dekat begini, Tsabita jadi merasa tidak pantas tetapi juga beruntung. Ini pertama kalinya dia bertemu gadis secantik Tasya dengan cuma-cuma, tanpa harus mengantre di event tanda tangan, atau berjubelan di tengah penggemar yang rela berdesakan demi melihat idolanya.

"Kamu dokter?" Pertanyaan itu dilecutkan Tasya dengan nada ketus dan penuh kecurigaan. Gadis itu menatap Tsabita dari atas sampai bawah, seketika radar di otaknya menyimpulkan hal yang berlawanan. "Dokter kok enggak bawa peralatan buat periksa pasien?"

"Saya cuma perawat biasa kok," Tsabita terpaksa berdusta demi menyelesaikan investigasi Tasya yang berkesan menodong. Kekagumannya pada kecantikan gadis ini sekonyong-konyong menurun beberapa persen akibat sambutan yang tidak mengenakkan. "Kebetulan saya ada di dekat sini waktu Pak Ersan minta bantuan buat cek keadaan masnya. Boleh saya permisi lihat sebentar?"

Tidak punya alasan untuk menolak, Tasya pun mempersilakan Tsabita menyela di hadapannya. Gadis itu berdiri dari kursi dan menunggu dengan gelisah di dekat kasur. Tanpa diminta, mulutnya mengoceh lagi pada Tsabita, "Dari tadi udah aku panggilin, tapi Kak Iyat enggak bangun. Padahal udah dikasih minyak kayu putih. Harusnya dia segera dibawa ke rumah sakit."

"Sudah minum obat?"

"Belum, sih."

Selepas mengecek temperatur di kening Ihatra, Tsabita berputar pada Tasya. "Enggak perlu ke rumah sakit. Dia enggak papa kok. Cuma perlu istirahat aja."

"Yang bener? Dia enggak sadar-sadar dari tadi, loh!"

"Cuma tidur karena badannya lemas. Itu biasa, kok." Lalu Tsabita menatap jauh melewati bahu Tasya, pada pintu kamar yang sedikit terbuka. Dari balik celah, Pak Ersan kentara mengintip mereka berdua dengan raut ingin tahu. Tsabita melancarkan misinya untuk mengusir gadis ini dari kamar. "Mungkin sebaiknya Anda keluar dulu supaya masnya bisa istirahat."

"Aku cuma nungguin Kak Iyat aja, enggak ganggu tidurnya. Masa enggak boleh?"

"Supaya tidurnya lebih nyaman, lebih baik dibiarkan sendiri di dalam kamar."

"Tapi―"

"Anda mau dia cepat sembuh atau enggak?" Suara Tsabita berubah lebih tegas. Tasya langsung terdiam tetapi berganti membalas dengan tatapan tidak terima.

Benar-benar egois, batin Tsabita. Kalau begini caranya, dia harus pakai cara lain.

"Jangan terlalu lama berada di dekat orang sakit, karena sakitnya orang ini bisa menular. Kalau tetap mau memaksakan diri, silakan, tapi saya enggak bertanggung jawab bila nanti Anda mengeluh juga. Saya sore ini harus pulang, jadi kemungkinan Anda enggak akan bisa menelepon saya lagi sampai besok. Pergi ke klinik juga jauh, sekitar satu setengah jam perjalanan. Mau minta bantuan siapa kalau Anda berdua sama-sama sakit?"

Tasya akhirnya ciut. Gadis itu berdecak keras seolah sengaja menunjukkan bahwa dia tengah dongkol. Namun, kedewasaan Tsabita memaklumi tindakan kekanakan itu.

"Ya udah," kata Tasya, setengah mengerang.

"Kalau begitu saya akan tetap di sini," kata Tsabita.

"Loh, katanya mau biarin dia istirahat?"

"Saya harus bangunkan dia sebentar buat minum obat."

Tasya seakan hendak membantah, tetapi niatnya lekas urung ketika mengingat kemungkinan dirinya akan tertular bila menunggu lebih lama. Akhirnya, gadis itu keluar kamar tanpa melayangkan ucapan pamit sepatah kata pun. Terdengar suara langkah Tasya menjauh, diiringi bunyi pintu yang ditutup dari luar.

Kemudian, suasana kembali sunyi. Hanya ada Tsabita dan Ihatra yang masih betah menutup mata.

Tsabita duduk di kursi, lalu memeriksa kening Ihatra dengan punggung tangan. Panasnya cukup tinggi, dan keringatnya belum keluar. Artinya, suhu tubuhnya masih bisa melonjak bila didiamkan saja. Dia harus segera membangunkan orang ini untuk minum obat.

Sentuhannya baru saja menjauh dari kening Ihatra ketika pria itu mendadak menyambar pergelangan tangannya. Terkejut, tetapi tidak sampai membuat Tsabita memekik. Wanita itu menyaksikan kelopak mata Ihatra terbuka pelan.

"Dia udah pergi?"

Tsabita mendesau napas. "Sudah, kok. Mas betah amat dari tadi pura-pura tidur."

"Terpaksa. Supaya saya enggak perlu ngobrol sama dia." Lalu Ihatra menyugar poninya yang tergerai lepek di kening. "Tapi nyatanya dia tetap ngoceh ini-itu pas saya lagi merem. Kepala saya makin pusing dengernya."

Jawaban itu membuat Tsabita menyungging senyum geli. "Dia ngomong apa?"

"Banyak. Ngomongin hal-hal enggak penting pokoknya. Saya jadinya kayak tong sampah yang hadir buat nampung semua keluh kesah dia, padahal dia tahu saya lagi sakit. Bukannya dibiarin tidur .... " Lalu Ihatra menatap Tsabita dengan matanya yang sayu dan berat. "Omong-omong, kok kamu tahu saya di sini?"

"Saya ditelepon Pak Ersan, katanya ada yang tiba-tiba pingsan gara-gara bertengkar." Tsabita terkikik kecil.

Pipi dan telinga Ihatra terbakar seperti menahan malu.

"Pak Ersan ngapain sih bilang kayak gitu ...."

"Loh, kenapa? Kan Mas beneran pingsan."

"Siapa bilang? Saya cuma pusing dikit terus jatuh!" Bibir Ihatra yang mencebik membuat Tsabita diam-diam gemas.

"Gengsinya diturunin, Mas. Enggak mempan kalau buat sekarang. Jelas-jelas demamnya Mas Iyat tinggi."

Ihatra memasang tampang cemberut, lalu gadis itu bertanya menggoda lagi, "Jadi Mas enggak mau saya datang ke sini, nih? Apa saya pulang aja?"

"Jangan!" Sentakan itu terlampau keras sehingga Ihatra cepat-cepat membungkam mulutnya, takut bila Tasya di luar sana mendengarnya. Akhirnya pria itu mengempiskan emosi dan mengakui lemah, "Saya senang kamu datang, Bita, tapi bukan dalam rangka melihat saya yang kayak begini."

"Malu?"

Tsabita memandangi lekat Ihatra, tetapi pria itu melengos ke samping lantaran takut salah tingkah. Benaknya lekas mencari topik lain untuk dibahas, "Aduh, pusing ... kamu jangan gituin orang sakit, dong ...."

Alih-alih menanggapi komentar, Tsabita hanya tersenyum maklum. Wanita itu akhirnya bertanya hal serius, "Mas ngerasain apa sekarang?"

"Pusing. Dingin. Perut kembung. Kayak mau muntah tapi enggak bisa."

"Selain demam, ada masuk anginnya juga, tuh. Mau dikerokin enggak biar cepet enakan?"

"Hah?"

Tsabita menggaruk lehernya dengan kikuk, seketika tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang menekuk malu. "Di rumah, Bu Nilam biasanya kerokin saya dan Shaka kalau kami berdua lagi masuk angin. Nanti badan jadi hangat, dan bisa cepet ngeluarin angin dari perut. Menurut saya, pengobatan tradisional begitu lebih efektif sembuhin badan daripada minum obat dan istirahat sampai berhari-hari." Lalu Tsabita menatap Ihatra lagi. Nada suaranya entah mengapa terdengar seperti berharap "Mas mau apa enggak?"

"Mau deh," Ihatra menyetujui tanpa berpikir. Ide kerokan ini menyulut kesenangan kecil dalam benaknya yang tumpang tindih dengan rasa sakit serta dorongan untuk bisa berduaan. Yah, lumayan juga bisa bersama Tsabita lebih lama, daripada harus terjebak bersama Tasya. Entah apakah ini bisa disebut kesempatan di tengah kesempitan, yang jelas Ihatra tetap keras kepala menganggap hari ini sebagai musibah yang merugikan.

Setelah mendapat persetujuan, Tsabita menuangkan minyak gosok ke dalam lepek teh cangkir teh, lalu merogoh koin kecil dari dompetnya sendiri. Sementara Ihatra, yang masih dilanda kebingungan dan kecanggungan luar biasa (sebab ini adalah pertama kalinya dia mendapat pengobatan tradisional seperti ini), hanya tergugu diam di balik selimut yang menghampar sampai leher. Biasanya orang yang mau kerokan disuruh apa? Demam membuatnya tidak bisa berpikir lurus.

Sikapnya yang mematung ini mengundang kernyitan heran di kening Tsabita.

"Kok diem? Buka bajunya, Mas."

"O-oh ... buka baju, ya?" Ihatra mengerjap linglung. Pelan-pelan bangkit dari tempat tidur sambil menahan dua macam gelombang; gelombang pening yang membuat kepalanya berputar-putar, dan gelombang malu yang menyerbunya bagaikan siraman air dingin.

Terlepas dari kegiatan apa yang hendak dilakukannya, membiarkan tubuh atasnya tanpa selembar kain seperti ini seolah menyeret Ihatra ke dalam sensasi mimpi liar yang dialaminya beberapa waktu lalu, ketika dia menyambut imaji tubuh polos Tsabita ke dalam fantasinya yang nista. Adegan pengobatan ini sekonyong-konyong membuat suhu di sekitarnya lebih panas lagi. Ihatra semakin pening, mual, dan berdebar-debar....

Setelah memaksa diri melepas kaus, Ihatra duduk memunggungi Tsabita. Dia menghamparkan selimut ke pangkuan, lalu menumpukan kepalanya yang berat pada tangan, berusaha abai dengan presensi wanita di belakangnya. Kesunyian ruangan ini membuat Ihatra dapat mendengar embusan halus napas Tsabita. Pria itu menelan ludah gugup sambil memejamkan mata rapat-rapat.

"Mas pernah dikerokin sebelumnya?"

"Belum. Ini pertama kali."

"Kalau gitu saya pelan-pelan, ya."

Tsabita menuang sedikit minyak ke telapak tangan, lalu mendongak pada punggung Ihatra yang terbuka. Pada pandangan pertama, atensinya langsung macet pada sesuatu yang tidak pernah dia sangka.

Keterpakuan itu membuat Ihatra membetik bingung. "Bita, kenapa?"

"Punggung Mas Iyat ...."

"Ah, itu ... bekas cedera karena kecelakaan. Maaf, ya, Bita. Kelihatan jelek, ya?"

Karena belum meminta izin, Tsabita menahan jemarinya untuk menyentuh garis-garis luka yang tampak menebal dan bersemu putih di kulit Ihatra. Tidak hanya satu, melainkan banyak. Menyebar seperti bekas robekan di bagian servikal, punggung tengah, dan lumbal bawah di dekat pinggang. Beberapa luka melahirkan lapisan epidermis baru dengan warna berbeda, memupuskan larik dan tonjolan otot sehingga membuat punggung Ihatra seakan ditambal dengan kulit sintetis. Begitu aneh, sekaligus menyesakkan. Pedih berdenyut di dada Tsabita. Dia tidak menyangka kecelakaan itu meninggalkan bekas begini parah di tubuh Ihatra.

"Saya harusnya enggak menunjukkan itu ke kamu," Ihatra berkata lagi ketika tidak mendengar respons apa-apa dari Tsabita. Dia tahu wanita ini terkejut melihatnya. Semua orang yang pernah melihat punggungnya juga menunjukkan raut kurang lebih sama, tetapi setidaknya Ihatra bersyukur karena cedera itu tidak menciptakan dampak yang lebih fatal daripada kakinya. "Kalau enggak nyaman, saya enggak usah dikerokin deh ...."

"Eh, jangan Mas!" Tsabita sontak memeluk pinggang Ihatra dari belakang, menahan pria itu agar tidak pergi ke mana-mana. Aksi mendadak ini membuat Tsabita terbakar malu, tetapi dia berusaha tenang. Seraya melepas rengkuhannya, wanita itu berkata canggung, "Saya perlu pastikan dulu, maaf ya, Mas. Ini punggungnya beneran udah enggak sakit lagi? Kan bentar lagi mau dikerokin."

"Iya, enggak papa, kok. Punggung saya udah pulih total sejak lama, tapi memang bekasnya bakalan lama sekali hilang ... bahkan mungkin selamanya seperti itu."

"Enggak papa, yang penting udah sembuh."

Lalu tanpa menunggu lama, Tsabita menyapukan minyak gosok ke seluruh permukaan punggung Ihatra. Wanita itu bekerja dengan lembut di awal, berusaha hati-hati dengan kondisi kesehatan si pria yang diam-diam diragukannya. Namun beberapa menit setelahnya, kecemasan itu lenyap. Pengobatan berjalan sebagaimana mestinya. Ihatra tidak malu-malu lagi menunjukkan geraman kesakitan ketika koin logam itu menggesek kulitnya. Sesekali dia bahkan meremas seprai atau bantal dengan kuat.

"Sabar ya, Mas. Rasanya emang agak sakit kalau enggak biasa."

"Ka-kalau dikerokin gini―aaah! Beneran bisa cepet sembuh?" Tubuh Ihatra tersentak ke kiri dan kanan atas reaksinya terhadap rasa sakit.

"Tergantung orangnya sih, Mas. Tapi kalau saya sama Shaka, enggak sampai sehari biasanya udah seger." Lalu Tsabita memegangi pundak Ihatra agar berhenti bergerak. "Diem sebentar, Mas. Emang sesakit itu, ya?"

"Sakit ...." Ihatra tidak sengaja merajuk, dan suara merengeknya barusan membuat Tsabita tidak kuasa menahan tawa. "Jangan ngeledek, Bita! Ini pertama kalinya saya dikerokin!"

"Iya, iya." Lalu Tsabita menggoda lagi, "Nahan kerokan aja enggak bisa, gitu berani-beraninya nantangin buat ngelawan Egar."

Ihatra merasakan puncak kepalanya menggelegak panas. Rasa malu menjalar sampai ke telinganya. "Kalau ini kan―akh! Kondisi lagi enggak fit. Lagi demam, makanya kerasa sakit."

"Oh, gitu."

"Lagian saya―mmgh! E-enggak akan ngalah gitu aja kalau ngelawan orang itu."

"Mas serius mau nantangin dia?"

"Saya bukan tipe yang suka nantang, tapi kalau dia yang mau, saya berani aja buat maju."

Tsabita tidak membalas apa-apa, dan Ihatra menyangka ada sesuatu yang salah dari jawabannya. "Kenapa, Bita? Kamu pikir ... aah, saya kurang effort, ya?"

"Enggak. Saya justru lega kalau Mas Iyat terus terang gitu." Tsabita tersenyum kendati Ihatra tidak bisa melihatnya. "Lagi pula, saya enggak butuh laki-laki narsis yang selalu membanggakan dirinya ke mana-mana. Saya lebih suka laki-laki yang berani menghadapi kesulitan walaupun dia tahu itu bukan untuk dirinya sendiri."

"Jadi kamu lebih suka saya daripada Egar, kan?"

Tanggapan itu seketika menyentil Tsabita. Dia pun membalas sambil menahan gengsi, "Yang pasti saya pilih yang enggak akan ngasih saya trauma."

"Nah, saya dong?"

"Mungkin."

"Apa, Bit?"

Tsabita sengaja mengeraskan gesekan koinnya pada punggung Ihatra, sekonyong-konyong membuat pria itu memekik sambil melengkungkan punggung; "AAKH, SAKIT!"

"Makanya diem, Mas. Tinggal satu ruas lagi, terus saya pijat."

Tidak punya alasan untuk protes, Ihatra akhirnya menikmati beberapa menit terakhir dalam gelombang kesakitan yang meledak-ledak. Pengobatan selesai lima menit berikutnya; setelah Tsabita meletakkan koin yang dipakainya ke dasar lepek. Wanita itu berganti mengurut punggung Ihatra dengan gerakan naik, dari sisi perut ke atas, dari pinggang ke tengkuk. Lalu gerakan memutar dan menekan di beberapa titik.

Beberapa saat kemudian, Ihatra yang semula terdiam mendadak berkejat kecil, seperti menahan cegukan.

"Mau muntah ya, Mas?"

Pria itu mengangguk seraya menutup mulut dengan tangan. Tsabita segera menuntunnya pergi ke kamar mandi di seberang tempat tidur. Di depan kloset duduk, Ihatra berlutut di lantai, lalu tanpa aba-aba langsung menjeluak dengan bunyi keras. Tsabita ikut menunggu di belakangnya sambil memijati tengkuknya. "Keluarin semuanya, Mas. Habis ini pasti rasanya enakan. Habis itu tinggal minum obat penurun demam, terus tidur."

Setelah isi perutnya terkuras, Ihatra terbatuk kecil dan meludah ke dalam lubang toilet, lalu Tsabita memintanya agar berkumur di wastafel sekaligus membilas wajah. Mulanya pria itu diam saja ketika Tsabita menyeka wajahnya dengan handuk kecil, tetapi akhirnya dia justru membiarkan keningnya roboh di pundak si puan. Bukan tanpa alasan; posisi seperti ini memberinya ruang untuk bernapas lebih lega. Aroma rambut dan kulit Tsabita juga harum dan menenangkan―kombinasi sempurna agar cepat tertidur pulas.

"Sudah enakan kan, Mas?"

Ihatra tidak membalas pertanyaan itu, tetapi kepalanya mengangguk kecil.

"Yuk saya antar ke ranjang. Minum obat, habis itu tidur."

"Jangan," katanya lemah. Jemarinya meremas pelan lengan kanan Tsabita. "Begini dulu, Bita. Sebentar aja."

Tsabita membiarkan Ihatra menyandarkan kening di pundaknya lebih lama, kendati kakinya yang berdiri di depan wastafel kini mulai pegal, dan jantung di rongga dadanya berdegup-degup tidak karuan. Wanita itu selalu memiliki alasan atas sikapnya yang tidak pernah nyaman berada di dekat pria. Akan tetapi, khusus untuk Ihatra, rasanya dia tidak keberatan dengan batasan-batasan itu.

Barangkali karena Tsabita sejak dulu percaya bahwa Ihatra bukan orang yang mudah tergelincir pada kesempatan-kesempatan kotor. Atau barangkali ... dia baru saja menyadari ada perasaan lain yang tumbuh di hatinya sekarang.

Jatuh cinta.[] 

-oOo-

.

.

.

.

Kapan lagi kalian lihat adegan kerokan jadi ajang pamer adegan baper? 🙂

Btw itu aslinya Tasya mau masuk ke kamar dan hampir mergokin keduanya lagi peyukan, tapi nggak jadi karena Pak Ersan cegah dia duluan...

Bayangin kalau jadi. Gimana reaksi Tasya lihat adegan ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top