47. Tidak Terima Diusir

Hehei, aku update cepet nih mumpung lagi mood banget. Vomment ges ๐Ÿ˜†

"KOK lo bohong ke gue soal manajer lo?"

Semburan marah Ihatra membuat Jayden yang ada di seberang panggilan meringis tidak enak. Pria berambut biru itu berlagak batuk sambil sesekali celingukan ke lorong studio dengan waspada, takut bila di lokasi publik begini ada kuping lain yang diam-diam mendengar perdebatannya dengan Ihatra Kama di telepon.

"Yat, gue minta maaf. Gue sebenernya enggak mau bilang ke Bang Alfi, tapi Bang Alfi maksa. Dia udah janji ke gue enggak bakal bocorin lokasi gue pergi, sumpah."

"Tapiโ€•" Ihatra menekan keningnya yang semakin berdenyut-denyut, berkali-kali mengucapkan serapah dalam hati atas insiden kecolongan ini, "Tapi lo bilang waktu itu enggak ada yang tahu selain lo! Harusnya lo bisa jaga rahasia, sekalipun itu ke Bang Alfi, manajer lo sendiri! Kalau gini kan lo jatohnya bohong ke gue sejak awal, Jay!"

"Iya gue minta maaf, Yat. Gue terpaksa bohong ke lo supaya lo enggak khawatir. Gue ngelakuin hal itu juga bukan karena kehendak pribadi. Bang Alfi soalnya pegang semua jadwal gue dan dia orangnya strict. Lo kan tahu!" Jayden merapat ke dinding dan menutupi ponselnya dengan telapak tangan, bicara lebih berbisik lagi, "Kalau gue mau pergi ke mana pun dan batalin jadwal tiba-tiba, gue harus bilang ke mana lokasi pergi gue supaya dia bisa ngasih izin. Kalau gue enggak kasih tahu, dia pasti curiga dan ngaduin masalah ini ke orang-orang agensi. Nanti masalahnya makin ribet, Yat. Yang ada gue malah enggak jadi datang ke sana!"

"Ya mendingan lo enggak liburan ke sini sekalian daripada ada orang lain yang jadinya tahu di mana tempat persembunyian gue!"

Kata-kata itu dilesatkan tanpa berpikir. Jayden yang mendengarnya sontak merasa tersinggung. Sedetik kemudian, tidak ada jawaban apa pun darinya selain desauan napas kecewa yang membuat Ihatra sadar bahwa dia keliru berbicara.

"Sorry, Jay," kata Ihatra cepat-cepat. "Maksud gue bukan gitu...."

"Gue tahu. Harusnya sejak awal gue enggak usah gegabah datang ke Pinggala buat nemuin lo." Suara Jayden kali ini terdengar bergetar seolah menahan sakit hati. Rasa malu terbakar di wajah Jayden sehingga pria itu hanya mampu mengutuk dirinya sendiri. "Tapi lo harus percaya kalau gue datang ke sana karena sebelumnya gue denger lo tenggelam di sungai. Gue khawatir sama lo dan pengin mastiin keadaan lo pakai mata gue sendiri, Yat. Bukan buat liburan, sumpah demi Allah. Gue mana tahu kalau Bang Alfi ternyata malah khianat ke gue dan bocorin lokasinya ke Anastasya."

Ihatra mendesau napas dan berkacak pinggang, tiba-tiba tersadar bahwa ini bukanlah salah Jayden. Tidak adil rasanya bila harus marah-marah pada sahabat yang sejak dulu mengkhawatirkannya seperti saudara kandung sendiri. "Sorry, gue kelepasan ngomong jelek. Gue tahu lo berusaha peduli sama gueโ€•dan gue juga sebenarnya butuh lo buat nemenin di sini. Tadi pikiran gue ... pikiran gue kacau banget. Gue takut semuanya jadi berantakan ...."

Jayden mengusap-usap bibir sambil memilah kata-kata bijak apa yang bisa dia keluarkan untuk mencegah Ihatra berpikiran buruk. Kendati Dokter sudah cukup yakin bahwa kesehatan mentalnya sudah membaik, tetap saja tidak boleh diselepelekan. "Gue tahu lo lagi panik sekarang, Yat, tapi marah-marah doang enggak bakal selesaiin masalah. Gini aja, sekarang kita pikirin langkah-langkah rasional buat cegah hal buruk terjadi di masa depan, oke? Hei, you with me, Dude?" Jayden menunggu balasan serius karena barusan dia mendengar potongan napas Ihatra yang bercampur batuk kecil.

"Yeah." Ihatra menarik diri dari pintu kamar yang tertutup, lalu berganti duduk mendeprok di karpet dekat kasur. Sejak tadi kepalanya sakit dan jantungnya berdebar-debar terus, jelas emosinya sedang berantakan. Kondisi tubuhnya yang demam juga menambah kacau kerja otaknya untuk berpikir jernih. Dia berusaha tenang dengan bernapas dan bicara pelan-pelan. "Gimana, Jay? Gue nurut aja deh sama lo."

Jayden mulai curiga bahwa Ihatra sedang tidak baik-baik saja, tetapi dia tidak mau menambah darurat situasi dengan pertanyaan-pertanyaan bernada khawatirnya.

"Oke, gini. Di sini Bang Alfi biar gue yang urus. Gue bakal paksa dia buat ngaku apa yang sebenarnya terjadi. Entar gue cari siapa aja yang tahu lokasi lo, dan pastiin bahwa orang-orang itu enggak bakalan ngomong aneh ke media. Sementara lo ... masih sama Tasya di sana, kan? Dia dateng sendirian?"

"Iya. Gue suruh dia tunggu di ruang tamu. Ini gue di kamar."

Ihatra menyandarkan kepala di tepi ranjang sambil memejamkan mata, lalu mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum dirinya berakhir di sini; di tengah-tengah kehebohan Tasya yang ingin memaksanya pergi ke rumah sakit, Ihatra akhirnya berhasil mengulur situasi dengan berpura-pura ganti baju di kamar. Bukan tergolong aksi berani untuk mengusir Tasya, tetapi saat itu Ihatra sudah digempur kepanikan, sehingga satu-satunya yang terpikir di kepala adalah menuruti Tasya terlebih dahulu.

"Oke," lanjut Jayden, "lo lebih baik minta bantuan Pak Ersan buat bujuk anak itu pulang. Kalau dia enggak nurut, ancam aja kalau lo bakal cepuin dia ke abangnya."

"Tasya bilang dia udah dapet izin Adam ke sini."

"Hah, serius?" Jayden terbeliak di seberang telepon. "Terus lo percaya gitu aja?"

"Ya terus gue harus gimana, Jay?"

"Abangnya Tasya itu protektif banget ke dia. Gue rasa dia enggak bakal izinin Tasya pergi ke Pinggala sendirian, apalagi tuh anak belom ada dua puluh tahun."

"Jadi menurut lo Tasya bohong sama gue?"

"Bisa jadi, Yat. Coba lo nanti periksa hapenya Tasya dan cari tahu tentang Adam. Cewek itu pasti pakai cara licik supaya bisa pergi ke Pinggala sendirian tanpa pengawasan abangnya."

Ihatra menyetujui rencana itu dalam hati. "Oke, terus kalau Tasya tetap enggak pergi?"

Jayden terdiam lama. Ihatra mengira akan mendapat solusi cerdas lagi, namun rupanya dia malah mendengar berisik orang yang bicara sahut-sahutan.

"Jay? Lo kenapa?"

"Yat, sorry, gue udah dipanggil," Jayden berkata dengan nada sedikit panik. "Aduh, sialan, ini syuting mau jalan. Gue hubungin lo sejam lagi."

"Lah, terus gue gimana?"

"Kalau Tasya ogah pulang, lo menyingkir dari dia dulu. Pura-pura tidur kek atau apa kekโ€•ah! Atau lo bisa pergi dulu ke tokonya Tsabita. Nanti juga dia capek dan bosen sendiri. Pokoknya jangan berurusan sama dia kalau enggak mau kepala lo sakit!"

Ini pala gue aja udah nyut-nyutan....

"Dia bawa koper gede ke sini, Jay. Gue rasa dia mau nginep lama di rumah gue."

"HAH, APA?" Di seberang sambungan, Jayden buru-buru menutup mulut karena kelepasan teriak, "Aagh, kambing tuh anak! Apa sih yang ada di pikirannya? Ya udah giniโ€•eh iya bentar, Mas! Bentar lagi saya ke sana! Yat, Yat, dengerin gue." Kata-kata Jayden terdengar panik dan tergesa-gesa, sementara Ihatra hanya memejamkan mata seraya menekan-nekan keningnya yang berdenyut dengan ibu jari. "Ini jadi opsi terakhir, tapi lo bisa minta tolong Pak Ersan buat nyariin penginapan buat dia. Jaga-jaga aja kalau cegil itu kagak bisa diatur lagi. Penginapannya cari yang jauh sekalian biar dia susah ketemu lo. Sorry banget, Yat, gue beneran harus tutup telepon. Nanti gue janji bakalan telepon lagi dan ngasih solusi yang lebih baik. Jaga diri, ya. Bye!"

Dan setelah kalimat itu melompat keluar dari mulut Jayden, sambungan telepon terputus. Ihatra membuang napas panjang dan membiarkan lengan kanannya jatuh terkulai di sisi tubuh.

Sialan.

Ujung-ujungnya, dia yang harus menghadapi Tasya sendirian.

-oOo-

Sekitar pukul delapan pagi, setelah Ihatra memberanikan diri keluar kamar dan mengonfrontasi Tasya atas perilaku nekatnya yang datang ke Pinggala tanpa aba-aba, gadis itu justru menjawab dengan kalimat yang mengundang darah tinggi;

"Pokoknya aku udah memutuskan buat liburan di sini selama tiga minggu. Aku enggak akan pulang walau Kakak paksa aku pergi!"

"Tasya, udah Kakak bilang, kamu enggak bakalan betah tinggal di sini. Semuanya serba terbatas. Kalau mau ke mana-mana itu jauh dan susah. Listrik juga sering padam, ini aja tadi subuh mati lagi dan sekarang barusan hidup. Kamu enggak bakal nemuin apa-apa di Pinggala, jadi mendingan balik aja daripada kamu bosen." Ihatra berdiri di dekat sofa ruang tamu sambil terus meyakinkan gadis itu. Andai dia tidak sedang flu, darah tingginya mungkin sudah kumat sehingga dia bisa membentak Tasya tanpa ampun. Hanya saja sekarang hal terbaik yang bisa dilakukannya adalah membujuk dengan lemah. Telinganya sejak tadi pengar lantaran Tasya tidak henti mengoceh tentang rencana liburan dan bukti perizinan dari keluarga, sementara matanya sudah berat. Seolah-olah dentuman di kepalanya sibuk mengirimkan sinyal agar dia istirahat. Ihatra nyaris tidak punya waktu untuk mengajak gadis ini berdebat.

"Aku enggak bakalan bosan di sini selama ada Kak Iyat. Kan kita bisa habisin waktu bareng-bareng." Tasya membalas enteng, lalu dengan seenaknya berdiri dari sofa dan melenggang pergi ke konter dapur. Kepalanya celingukan menatap perabotan yang tertata di sana. "Toh aku jago masak, loh. Di rumah biasanya aku jadi chef-nya Adam, and he said my cooking was delicious. Therefore Kak Iyat nanti enggak bakalan rugi kalau aku tinggal di sini."

"Walaupun kamu jago masak atau jago bersih-bersih sekalipun, Kakak tetap enggak mau kamu di sini. Ini bukan penginapan yang bisa kamu tempatin setiap waktu, Tasya. Masa kamu mau tidur satu atap sama cowok yang bukan muhrim?"

"Aku kan nonis," Tasya menjulurkan lidah.

"That's not the point!"

Tasya mengerutkan kening sebal. "Aduh, kenapa Kakak jadi kaku gini, sih? Emangnya kenapa kalau cewek dan cowok tinggal bareng? Selama enggak ngapa-ngapain ya aman ajalah. Hidup di desa sendirian bikin pikiran Kakak jadi kolot, ya? Kakak kelamaan liburannya, sih."

"Kamu pikir Kakak ke sini buat liburan?"

Tasya berputar dan menghadap Ihatra. Wajah cantiknya yang memiliki kesan sinis seketika melunak, seakan-akan dia tahu telah salah bicara. Namun, bukannya meminta maaf, gadis itu justru membalas hal lain, "Okay, sebenarnya aku pun enggak berniat liburan kok. Aku ke sini mumpung Kak Iyat sendirian. Kan sekarang enggak ada Kak Jay di samping Kakak."

"Hah? Jadi kamu sengaja datang ke sini waktu Jayden udah balik ke Jakarta?"

Tasya membuka lemari es dan melihat-lihat isi di dalamnya seraya membalas, "Iya, tapi tujuannya bukan buat gangguin Kak Iyat. I heard Kak Jay udah balik, so I thought you must be alone at that moment. I don't want you to be lonely, makanya aku inisiatif nemenin. Nemenin doang kok, hehe." Jawaban itu diikuti seringai jail yang terasa ambigu.

Ihatra merasakan belakang kepalanya semakin berdenyut-denyut nyeri. Selanjutnya dia sedikit membentak, "Kakak enggak butuh ditemenin bocah baru gede kayak kamu, ya. Justru harusnya kamu yang waspada karena nekat mau tinggal di sini bareng pria yang umurnya lebih tua darimu!"

"So what will you do, Kak? I know you. Kakak toh enggak bakalan jerumusin aku seperti orang lainnya."

Jawaban lancang itu memantik sesuatu dalam benak Ihatra. Tidak tahan dengan watak si gadis yang sulit diatur, pria itu langsung mendekati Tasya lalu menutup pintu kulkas dengan bunyi debum keras. Tasya memekik kecil. Keterkejutannya belum surut sebab Ihatra menghalangi Tasya dengan tubuhnya yang lebih jangkung dan besar. Pria itu menunduk dan menyerang dengan nada intimidasi; "Jangan kurang ajar, Tasya. Kamu ini cuma bocah ingusan yang diberi sedikit kebebasan, jadi berhenti sok tahu sama urusan orang sebelum kamu mempermalukan dirimu sendiri."

Kata-kata barusan jelas membuatnya tersinggung. Akhirnya, Tasya hanya menggigit bibir, lalu menunduk ciut. Seketika kehilangan keberanian untuk menatap Ihatra. Dia merasakan bayangan tubuh Ihatra menjauhinya, lalu suaranya melantun lagi seiring pria itu menyingkir, "Besok pagi-pagi Kakak antar kamu pulang."

"Ta-tapi aku mau di sini!" Tasya memohon lebih keras, dan kali ini kelancangan dalam nadanya sudah separuh hilang. Gadis itu berubah menjadi bocah ingusan yang merengek pada orang dewasa. "Aku udah lakuin banyak hal supaya bisa ke sini! Aku janji ke Kakak enggak bakalan bikin jadwal Kakak berantakan. Please. Biarin aku liburan selama beberapa hari aja!"

Ocehan itu diiringi deguk tangis yang memprihatinkan. Ihatra menjadi semakin pusing menghadapinya. Dia berhenti, lalu menatap Tasya dan merasakan darah berdesir di kepalanya. Suara permohonan dan rengekan Tasya seketika membuat telinganya berdenging.

"Tasya, Kakak benar-benar enggak bisa nampung kamu di sini."

"Cuma beberapa hari aja, Kak. Please! Please! Please! Masa Kakak tega ngusir aku gitu aja?"

"Pokoknya keputusan Kakak sudah bulat." Ihatra melengos dari gadis itu dan menuju kamar. Dia butuh istirahat sekarang juga.

Namun, diliputi tidak terima, Tasya berlari menyusul Ihatra lalu menarik lengannya dengan kasar, seolah tidak mau ditinggalkan begitu saja. "Kak! Jangan gitu, dong! Kakak kan cowok dewasa, harusnya punya rasa kasihan sama cewek! JANGAN NGUSIR AKU GITU AJA! KAKAK!"

Pak Ersan yang menguping dari balik jendela kebun rupanya ikut mengintip keributan yang terjadi di ruang tamu. Suara pertengkaran itu begitu heboh, sehingga Pak Ersan rasanya ingin terjun untuk melerai keduanya. Padahal sewaktu Jayden menginap, Ihatra juga sering bertengkar dengan kawannya, tetapi level keparahannya tidak seperti ini. Fenomena yang Pak Ersan tonton sekarang laksana sebuah drama televisi yang diparodikan di dunia nyata.

"Kak! Jangan pergi dulu!" Tasya melepas lengan Ihatra lalu berganti menghalangi jalannya. "Kalau Kakak usir aku, aku bakal bocorin ke semua orang lokasi Kak Iyat sembunyi!"

Ancaman itu membuat Ihatra terpaku.

Seketika, selongsong cemas dan kepanikan yang ditahan-tahannya meledak. Ihatra harus berpegangan pada dinding lantaran kakinya lemas mendadak.

"Kalau kayak gini, Kakak enggak bakal berani usir aku, kan?" Tasya menyeringai kecil, merasakan kemenangan.

"Kamu ... kamu sadar enggak sama apa yang kamu bicarakan?" Ihatra berbicara lemah di antara napasnya yang terdengar sepotong-potong.

"AKU SADAR. AKU SADAR! KAKAK PIKIR AKU ENGGAK SERIUS?"

Pak Ersan yang tadinya menangkap nada gemetar dalam suara Ihatra kini tidak tahan lagi. Akhirnya dia membuka jendela kebun lalu menyelinap masuk untuk mendekati keduanya.

"Nak, tenang dulu. Nak Tasya, hati-hati kalau bicara, ya ... Mas Iyat enggak boleh diteriakin begitu ...," bujuknya hati-hati. Dadanya terguncang setelah melihat raut Ihatra berubah sepucat kertas.

Sementara itu, kedatangan Pak Ersan justru membuat Tasya semakin terpojok, sebab gadis itu sadar dirinya kelepasan sesuatu. Akan tetapi, harga dirinya yang terlanjur terluka malah membuat segala pembelaannya terdengar masuk akal di telinganya sendiri. Akhirnya Tasya menatap mencela Pak Ersan dan membentak dengan kasar;

"Pokoknya aku bakal bocorin tempat ini ke semua orang supaya Kak Iyat enggak bisa seenaknya lagi!"

Selepas kalimat itu dilecutkan, pandangan Ihatra mendadak berkunang-kunang, seakan energinya turun drastis ke titik nol dan demam merusak fungsi otaknya. Dia terhuyung mundur seraya memegangi sisi kepalanya yang diserang nyeri luar biasa, lalu secara sukarela, membiarkan tubuhnya ambruk ke lantai dengan bunyi keras.

Tasya yang menatap tubuh terkapar Ihatra, seketika berteriak panik;

"KAK IYAT!"[]

-oOo-

.

.

.

.

.

Bener-bener nih yee, Tasya bikin aku penulisnya juga darah tinggi ๐Ÿ˜ญ

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top