45. Sesi Konsultasi
SUDAH berlalu satu bulan lebih semenjak Jayden pulang ke Jakarta.
Ihatra kembali terbiasa hidup mandiri ditemani Pak Ersan yang selalu datang di waktu pagi untuk mengurus kebun, sekaligus membantu soal kebutuhannya. Dulunya Ihatra memang langganan bertanya dan meminta tolong macam-macam pada Pak Ersan, tetapi semenjak Jayden pergi, dia memilih untuk melakukan semuanya sendiri lewat serangkaian cara, mulai dari metode-metode payah sampai yang paling nekat.
Seperti kemarin misalnya, ketika mendapati AC di kamarnya tidak berfungsi, Ihatra mencari jawaban lewat internet―meminjam peralatan mekanik ke tetangga, mencoba mengotak-atik AC dan mengalami beberapa kali kegagalan; terpaksa menelan pil pahit setelah mengalami kerusakan lebih fatal, sampai akhirnya sadar bahwa membersihkan kumparan AC adalah jawaban paling tepat yang dia perlukan. Akhirnya mesin kembali menyala setelah Ihatra menghabiskan seharian penuh berperan sebagai tukang servis dadakan, secara lapang dada harus merelakan jadwal menyusun lego yang selama ini menjadi kegiatan healing-nya. Atau ketika Ihatra harus menempuh perjalanan jauh menggunakan motor hanya untuk memesan perkakas ke toko bangunan, demi bisa membuat kolam ikan sendiri seperti di rumah Tsabita. Dia menghabiskan lima hari hanya untuk mencangkul tanah dan memasang keramik, lalu membiarkan proyeknya terbengkalai lama hanya karena kehabisan energi untuk menginstal pipa air. Syukurnya Pak Ersan membantunya di minggu kedua untuk segera merampungkan kolam ikan yang baru. Sekarang, kebun di tamannya tampak lebih ramai dan penuh oleh koi.
Untuk menyikapi keberhasilannya, Ihatra mengapresiasi dengan membebaskan dirinya melakukan segala hal. Dia membuat semacam gebrakan―salah satunya menggotong-gotong peralatan lukisnya ke pantai supaya bisa menggambar pemandangan secara langsung di sana, secara tidak sengaja membuatnya meladeni penduduk lokal yang penasaran dengan apa yang dia lakukan. Ujung-ujungnya Ihatra jadi punya kenalan baru selain Tsabita dan Shaka; bapak-bapak nelayan yang selalu menawarinya kopi, peternak rumput laut yang sempat mengoceh tentang bisnisnya, sampai pemilik warung-warung seafood yang lebih sering memuji wajahnya ketimbang lukisannya. Kendati demikian, rasanya hidup Ihatra menjadi utuh. Jauh dari keramaian media membuatnya tenang.
"Itu perkembangan yang sangat bagus. Terus, bagaimana caramu mengatasi ketakutan, Mas? Masih sering mimpi buruk?"
Pertanyaan itu dilesatkan oleh seorang wanita yang mengenakan riasan natural serta setelan kemeja batik sogan yang elegan. Rambutnya yang gelap disanggul rapi, menambah kesan tegas selain dari caranya memandang dan bertutur. Wanita itu duduk di balik layar laptop Ihatra sambil sesekali mengecek catatan di tangan.
Namanya Dokter Jihan, seorang psikiater yang setiap sebulan sekali menemani Ihatra mengobrol masalah kesehatannya. Karena keterbatasan ruang, dia selalu mengadakan sesi konsultasi secara daring. Pada dasarnya liburan ini juga merupakan ide Dokter Jihan sendiri.
"Mimpi itu sesekali masih datang, Dok. Tapi sudah enggak separah dulu," jawab Ihatra, mendekat ke arah laptop sambil membetulkan posisi layarnya.
"Bisa diceritakan lebih detail, Mas, tentang itu?"
"Dulu waktu awal-awal datang ke sini, saya masih sering mimpi buruk. Mungkin tiga sampai empat kali dalam seminggu. Saya selalu minum obat seperti yang diresepkan Dokter. Awalnya memang kalau pagi jadinya gampang gelisah dan ngantuk―mungkin efek obat. Sempat kepikiran buat stop obat, tapi enggak jadi, karena saya lebih takut kalau mimpi buruk lagi malamnya. Mungkin butuh sekitar dua sampai tiga minggu sampai akhirnya saya mulai terbiasa. Nah, syukurnya, saya juga ketemu banyak orang baik hati di kampung ini. Benar tebakan dokter dulu. Berkat berinteraksi dengan orang baru, hari-hari saya jadi lebih berwarna dan penuh kesibukan positif. Belakangan ini saya juga semakin sadar bahwa mimpi buruk itu semakin jarang datang."
Dokter Jihan di seberang layar mengangguk mendengarkan. "Begitu ya, Mas. Kalau tingkat keparahan mimpinya bagaimana? Apa yang Mas lihat di mimpi belakangan ini?"
"Belakangan mimpi-mimpi itu enggak berwujud terlalu nyata seperti biasanya. Mereka hanya berupa bayangan yang buram, keruh, kabur. Suara-suara teriakan dan rintihan yang dulu terdengar jernih di telinga saya, kini lebih seperti lolongan lemah aja, Dok, seolah-olah suara itu berada jauuuh banget. Ada ... perasaan yang beda waktu saya bangun. Biasanya setelah mimpi buruk itu saya langsung capek banget, kayak orang habis lari jauh, bahkan pernah juga sampai mual dan jantung berdebar-debar. Tapi sekarang ... waktu mimpi buruk itu datang, saya cuma ngos-ngosan sebentar aja. Dalam beberapa detik saya langsung sadar lagi dan bisa berpikir jernih."
Ada geletar kelegaan yang terpancar dalam mata Dokter Jihan, hanya saja Ihatra tak bisa melihatnya melalui layar laptop. Wanita setengah baya itu menegakkan diri di kursi linelium sambil membetulkan posisi punggungnya. Dia tersenyum, jelas merasa puas dengan segala hal yang dituturkan Ihatra.
"Mas Iyat, saya ikut senang mendengar pencapaian itu," katanya sungguh-sungguh. "Tadi Mas bilang, Mas ketemu orang-orang di sana, kan? Bisa ceritakan siapa saja yang Mas temui, dan apa yang Mas lakukan dengan mereka?"
Untuk sejenak, Ihatra sedikit kebingungan menjawabnya. Pertanyaan itu cukup kompleks dan kurang tepat sasaran, terutama bila Ihatra menempatkan maksud kesenangannya pada beberapa hal yang dia temui di sini. Bertemu Tsabita dan Shaka jelas merupakan kebahagiaan yang tidak bisa dia sangkal, tetapi bertemu dengan Egar adalah jenis masalah yang membuat darahnya mendidih.
"Mas baik-baik saja?"
"Ah, ya, enggak papa," jawab Ihatra, lalu mencoba mengurai jawaban untuk menyanggah pertanyaan Dokter Jihan. "Ya, ada beberapa warga kampung sini yang menjadi teman saya. Namanya Tsabita dan Shaka. Mereka pernah beberapa kali main ke rumah dan ngajakin saya pergi ke tempat-tempat bagus. Saya sempat mengunjungi festival budaya di Pinggala juga." Lalu Ihatra bercerita tentang pengalamannya menang undian yang terpaksa ditolaknya mentah-mentah karena alasan stabilitas mental. Dokter Jihan memberinya saran-saran sederhana yang membuat benaknya lebih tenang lagi untuk menghadapi pengalaman sejenis kelak. Ihatra melanjutkan penjelasannya, "Dokter, untuk beberapa alasan, saya senang berada di sini. Tapi, mungkin karena belum terbiasa, ada hal-hal lain yang membuat kepikiran. Sesekali saya merasa masih sering dikontrol emosi."
"Contohnya gimana?"
"Saya masih suka marah dan sedih untuk alasan-alasan sepele."
"Apa kemarahan dan kesedihan Mas ini amat merugikan? Misalnya seperti ... tantrum, membanting barang, memukul sesuatu tanpa berpikiran panjang?"
"Enggak, sih, Dok. Kalau marah saya suka ngegas aja ngomongnya. Akibatnya saya yang jadi enggak enak sama lawan bicara."
"Saya paham, pasti sulit untuk meredam emosi dalam sekejap," kata Dokter Jihan, lembut. "Tapi saran saya, kalau Mas merasa marah sampai enggak bisa ditahan, Mas bisa menjauh sejenak dari sumber masalah dan meluapkannya dengan cara lain yang lebih aman. Mas boleh memukul-mukul bantal, melempar batu ke sungai, atau berteriak. Peluk emosimu sendiri, karena itu juga bagian dari jiwamu. Tapi, selalu ingat untuk menyelesaikan masalahnya ya, Mas. Luangkan waktu untuk bicara pelan-pelan mengenai perasaan Mas. Entah apa hasil akhirnya, memuaskan atau tidak, Mas cukup fokus dengan tangki perasaan Mas yang bebannya sudah mengempis karena sudah berusaha untuk jujur."
Ihatra mengangguk, menyimpan saran itu baik-baik.
"Sebenarnya, saya sempat tersangkut masalah dengan orang sini, Dok."
"Masalah apa?"
Masalah Egar. Namun, kata-kata itu seperti tercekat di ujung tenggorokannya. Ihatra sedang tidak berselera membicarakan monster kurang ajar itu di depan Dokter Jihan.
"Enggak apa-apa," tolak Ihatra dengan sopan. "Saya rasa saya bisa mengatasinya sendiri."
"Yakin? Apa masalah itu berpotensi menimbulkan kekacauan besar? Mas bisa ngomongin hal itu sama saya kok."
"Enggak. Itu ... sebenarnya hanya masalah sepele. Seperti yang tadi saya bilang, saya memang punya masalah buat mengatur emosi. Kedepannya saya akan ambil sikap buat menyelesaikan masalah ini sendiri."
Dokter Jihan mungkin tahu apa yang sedang dipikirkan Ihatra, tetapi mencoba untuk tidak terlalu mengambil kendali dalam masalahnya. Terkadang, membiarkan pasien mencari jawaban sendiri lebih baik, sebab mereka patut belajar mengenal dirinya sendiri lebih jauh, agar bisa lebih mandiri dalam mengambil keputusan positif dalam kehidupannya.
"Mas Iyat," kata Dokter Jihan dengan lembut, "Di dalam hidup, kesulitan dan kemudahan berjalan bersama-sama. Mas memang tidak bisa hanya menginginkan kemudahan saja, begitu juga dengan kesulitan. Mereka semua sama-sama tidak abadi. Bisa menghilang dan tercipta dengan sendirinya. Yang terpenting adalah sikap Mas terhadap masalah di sekitarmu. Jangan terlalu memikirkan masalah yang tidak bisa Mas kontrol."
"Iya, Dok."
"Ada yang mau dibicarakan lagi?"
"Mm, kayaknya enggak."
"Untuk obatnya, masih ada?"
"Masih."
"Usahakan untuk enggak terlalu bergantung dengan obat, ya. Saya sudah pernah beritahu Mas beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meredakan gejala awal sebelum benar-benar menjadi parah."
"Iya, Dok. Saya usahakan," lalu Ihatra kepikiran sesuatu. "Oh, ya. Dok?"
"Kenapa lagi, Mas?"
"Begini...," Ihatra membasahi bibirnya. "Tentang saran Dokter yang menginginkan saya datang ke sini ... saya masih mencari jawabannya."
Dokter Jihan menarik napas panjang. "Apakah legenda putri duyung itu sungguhan ada?"
"Ya, tempat ini memang menyimpan legenda seperti itu."
"Kalau begitu Mas Iyat sudah lebih dekat dengan ingatan masa lalu Mas, bukan begitu?"
Ihatra terdiam sejenak sambil menggigit bibirnya. "Saya juga berharapnya seperti itu, tetapi belum ada petunjuk lain selain legenda putri duyung."
"Mas Iyat masih ingat tentang apa yang Mas bicarakan dulu, kan, waktu menjalani hipnoterapi?" Dokter Jihan bertanya, lantas tanpa menunggu jawaban Ihatra, dia membuka kembali sebuah map cokelat yang baru saja dia letakkan di atas meja. Pandangannya bergulir menyapu tiap halaman yang disibak. "Biar saya lihat," katanya sementara atensinya terfokus pada selembar catatan. "Setengah tahun lalu, ketika melakukan proses age regression dalam upaya penyelidikan kasus kecelakaan, ada memori lain yang rupanya ikut terselip juga saat alam bawah sadar Mas dipicu untuk mengingat kembali peristiwa itu. Mas mengatakan dalam sesi terapi yang keempat. Ada memori-memori tidak asing yang muncul jauh sebelum kecelakaan itu dimulai ... kemungkinan terjadi waktu Mas masih kecil. Dan salah satu pemicunya adalah ruangan gelap ... itu pasti ada hubungannya dengan alasan mengapa Mas Iyat mengidap claustrophobia ringan, kan?"
"Ya," Ihatra mengangguk.
Dokter Jihan membaca lagi. "Claustrophobia itu jelas merupakan trauma yang sudah Mas Iyat alami sejak kecil. Dan, di sini, dari hasil analisa saya, claustrophobia itu sepertinya berkaitan dengan esensi legenda putri duyung di hidup Mas. Entah apakah Mas betul-betul melihau putri duyung legenda, mendengar ceritanya, atau hanya terpapar oleh gambar dan simbolisme saja―itulah yang akan kita cari tahu. Pokoknya, saat Mas Iyat dalam keadaan trance, Mas menyebutkan potongan-potongan kalimat ini; 'Di dalam sini gelap. Lemarinya bau pengap. Ada yang pegang tanganku. Dia seorang putri duyung.' Mari kita sederhanakan ingatan ini dengan tiga hal; lemari, kegelapan, dan putri duyung. Apa sampai sekarang Mas Iyat menemukan hubungan ketiga hal ini?"
Lemari, kegelapan, dan putri duyung.
Ihatra merasakan kulitnya merinding saat mendengar Dokter Jihan melontarkan kembali ingatan itu. Dengan selapis perasaan suram, dia memegang tangannya sendiri dan memijati jemarinya. Terus terang saja, dia tak begitu ingat dengan apa yang dia lihat saat hipnoterapi berlangsung, tetapi sejak Dokter Jihan memberikan catatan rekaman tentang apa yang dia sebutkan, dia merasa seolah memori lama yang dulunya terpendam jauh dalam lubuk ingatannya yang gelap kini tergali kembali―sesuatu yang semestinya dilarang untuk diingat. Sesuatu yang sejak lama dikerangkeng dengan sebab khusus yang dia sendiri tak tahu kenapa.
Ihatra menggeleng lemah. "Saya sering melihat lemari itu dalam mimpi saya. Di dalam mimpi, saya berada dalam sebuah kotak yang gelap―setelah saya evaluasi kembali, sepertinya saat itu saya dikurung di dalam lemari. Saya meminta bantuan seseorang, tapi enggak ada yang datang buat membukanya. Saya bahkan memanggil-manggil Ibu."
"Jadi, mimpi itu bukan sekadar mimpi, bukan? Itu adalah memori masa lalu Mas."
"Iya. Mungkin waktu saya masih kecil. Tapi saya enggak tahu apa yang terjadi waktu itu."
"Mas sudah pernah bertanya perihal lemari ini ke sanak saudara?"
"Saya sudah lama enggak pernah ketemu mereka lagi. Terakhir ketemu pun, yang dibahas bukan itu. Dokter Jihan tahu sendiri kan kalau saya ada masalah rumit dengan mereka."
Dokter Jihan membuang napas, tetapi berusaha memahami.
"Baiklah, nanti akan saya bantu untuk selidiki. Kalau petunjuk berikutnya bagaimana? Putri duyung. Itulah alasan saya membujukmu untuk datang ke Pinggala, bukan? Karena di tempat itu ada legenda soal Putri Duyung."
Setelah mencari berbagai destinasi wilayah yang bisa dia singgahi untuk menyembuhkan beban mentalnya, Dokter Jihan memang memberi gagasan untuk mencari tempat yang menyimpan mitos mengenai legenda putri duyung. Sebab wanita itu bilang, dia sempat melihat-lihat buku bercerita yang dijual di salah satu toko buku, dan salah satunya menceritakan kisah sebuah tempat asli di wilayah selatan kepulauan―sebuah desa yang menyimpan misteri mengenai putri duyung. Dokter Jihan saat itu hanya iseng mencari lewat peramban internet, tetapi ternyata desa putri duyung itu betul-betul ada, dan secara kebetulan, Ihatra juga yakin untuk pergi ke sana.
"Menurut saya, desa itu kemungkinan bisa memberimu petunjuk mengenai masa lalu Mas yang terkubur," kata Dokter Jihan.
"Apa Pinggala betul-betul menyimpan sesuatu yang harus saya ketahui?" tanya Ihatra.
"Mungkin saja." Lalu Dokter Jihan menangkap raut cemas di wajah Ihatra. "Begini, kita masih belum tahu banyak, Mas. Alih-alih menggali sesuatu yang belum pasti, mari kita fokus pada penyembuhan Mas dulu. Bersenang-senanglah di sana. Mas tidak perlu terlalu memikirkan teka-teki tentang putri duyung itu. Kalaupun jawabannya belum ketemu, tidak apa-apa. Kita bisa merencanakan sesi hipnoterapi lagi, tetapi Mas harus betul-betul kembali dalam kondisi prima."
"Ya, saya tahu," kata Ihatra, menelan lagi kekecewaannya. Sebetulnya dia pun juga penasaran dengan teka-teki putri duyung itu. Apakah legenda itu benar ada hubungannya dengan masa lalunya, sekaligus alasan claustrophobia yang dia idap?
Semakin dipikirkan, kepalanya menjadi pening. Ihatra memijat pelipisnya dengan tekanan ringan, lantas mengundang kekhawatiran baru pada ekspresi Dokter Jihan.
"Mas Iyat, kalau memang belum bisa mengingat tentang apa yang terjadi di masa lalu, jangan dipaksakan. Kita berjalan pelan-pelan, ya?"
"Mm-hm," gumam Ihatra.
"Kalau begitu, sekarang sudah jam lima sore. Boleh kita akhiri sesi ini?"
"Ya," kata Ihatra. "Saya akan menghubungi Dokter buat sesi selanjutnya."
"Tentu." Lalu Dokter Jihan memberikan senyum singkat sebelum dia mengucap salam pamit dan keluar dari sambungan video.
Ihatra menutup laptopnya, lalu merebahkan kepalanya pada sandaran sofa. Kenangan-kenangan buruk yang dia alami sungguh banyak sampai-sampai dia sendiri tak bisa mengingat masa kecilnya. Kata Dokter Jihan, kemungkinan besar, Ihatra pernah mengalami pengalaman menyakitkan saat usianya sepuluh tahun, entah pengalaman apa itu, tetapi pasti berhubungan dengan alasan clausrtrophobia yang dia alami dan legenda putri duyung yang dia dengar. Mungkin juga ini menjadi alasan mengapa Ihatra terasa tak begitu mengenal orang tuanya, sebab dia merasa terlambat menerima kasih sayang dari ibu dan ayahnya, seolah-olah ingatannya selama sepuluh tahun awal direnggut tak jelas oleh suatu kejadian.
Suatu kejadian....
Ihatra memejamkan kedua matanya. Kepalanya pusing.
Dia harus segera istirahat.
Maka, setelah mencoba menyingkirkan rasa sakit yang berdenyar di kepalanya, dia bangkit dari sofa dan menuju kamar, kali ini berharap tidurnya diserbu oleh mimpi indah sehingga membuatnya lupa sejenak tentang kegelisahan hatinya.[]
-oOo-
.
.
.
.
Rada ribet nyusun chapter ini hehe. Kayaknya agak bosenin karena isinya percakapan mulu huhu. Next time deh bakalan ada gebrakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top