44. Kasih Sayang Jayden

"SAYA mau sampai."

Kata itu bergumul di kepala Ihatra, bagai sulur magis yang mencengkeram setiap ruang di otaknya, lalu larut dalam aliran darah yang terpompa ke sekujur tubuh. Dalam waktu singkat, pemikiran itu menumbuhkan berbagai lapisan emosi di hatinya; semangat, ekstasi, dan hasrat yang menggebu. Impresi asing yang membuat jantung Ihatra berdegup dan perut bagian bawahnya berdenyut-denyut nyeri. Di hadapannya, Tsabita menatap sayu, mendekap lehernya ketika tubuh wanita itu terayun-ayun dalam rengkuhannya yang erat, mendesau, dan menjeritkan namanya bagai irama lagu yang berantakan. Segala emosi, seluruh sensasinya. Kulit berkeringat Tsabita, napas panas, dan bahkan kelembapan yang bersarang di antara kakinya. Lebih intens dan syahdu daripada apa pun.

Lalu, imaji itu pecah laksana karang yang diempas gelombang, mendorong Ihatra ke dalam percikan endorfin yang meledak-ledak, kemudian meluruhkan benaknya ke kesadaran absolut yang begitu tenang. Sunyi. Melegakan.

Dan ketika pria itu terbangun di ranjang kamar, delusi dan bunga tidur itu terhapus dari kepalanya secepat jemari yang mencerabut akar dari tanah.

Kebingungan menyergap kesadaran. Di antara napasnya yang masih tersengal dan dadanya yang naik turun kelelahan, Ihatra akhirnya menyibak selimut yang menutup pinggang ke bawah. Dia menunduk untuk memeriksa, sekonyong-konyong terperangah melihat kekacauan memalukan yang terjadi di dekat kakinya.

"Fuck."

Tergopoh dan panik, Ihatra turun dari ranjang, memboyong tubuhnya yang sempoyongan ke arah kamar mandi―di tengah perjalanan nyaris saja terpeleset andai dia tidak melihat tisu bekas yang tercampak begitu saja di lantai. Ah, betapa kurang ajar. Kepalanya masih terasa ringan dan mengawang, persis seperti orang yang dilanda kantuk akibat menelan obat batuk. Potongan mimpi liar itu memang masih membayang-bayanginya bagai mantra kegelapan; membuat sekujur tubuhnya merinding. Menginginkan lebih.

Sadar, Iyat! SADAR! Ihatra memegang tepian wastafel dengan erat, mengambil napas dalam-dalam untuk meredakan euforia mimpi yang telah merusak kejernihan otaknya. Dia memejamkan mata dan berhitung sampai sepuluh dalam hati, lalu perlahan―secara ajaib―dorongan-dorongan kebuasan itu menyusut, bersembunyi di antara lapisan kewarasannya.

Memalukan, begitulah yang Ihatra umpatkan kepada dirinya sendiri ketika mematut rupanya yang berantakan di cermin, setelah seluruh fungsi tubuhnya kembali ke keadaan normal. Rasa sukanya pada Tsabita jatuh ke tahapan sinting dan menggelikan. Ini memang bukan pertama kalinya dia bermimpi seperti itu, tetapi dahulu wajah-wajah perempuan yang menyuruk ke dalam bunga tidurnya hanya berupa bayang-bayang gelap tidak bernama, yang langsung terlupakan begitu saja ketika Ihatra terbangun. Sementara apa yang dialaminya tadi, adalah mimpi pertama yang begitu jelas, dan ... menakjubkan.

Wajah Tsabita. Sentuhannya. Suaranya. Ihatra yakin mimpi satu itu akan terpatri abadi di benaknya. Selamanya.

Memilih untuk berhenti memikirkan hal itu karena alasan-alasan moral, Ihatra akhirnya kembali ke fase waras dan menghabiskan sekitar tiga puluh menit di kamar mandi untuk membereskan apa yang tersisa dari aksi hormonalnya. Lalu dia kembali ke tempat tidur untuk mengganti seprai dan merapikan bantal-bantal yang kusut. Pria itu masih sibuk memunguti tisu-tisu di antara selimut ketika mendadak saja ponselnya berbunyi.

Telepon dari Jayden.

"Akhirnya ngangkat juga lo, dasar babi," adalah pembuka yang Jayden berikan ketika Ihatra mengangkat panggilannya.

"Emangnya lo nelepon gue kapan? Gue aja baru denger pagi ini." Ihatra sengaja mengaktifkan loudspeaker sebab ponselnya dibiarkan di atas nakas, sementara dirinya pergi ke sudut kamar untuk meletakkan keranjang berisi sampah. Diam-diam bersyukur karena Jayden tidak ada di sini untuk melihat apa yang terjadi.

"Gue telepon lo sejak semalem, woy."

"Oh, gue udah tidur berarti."

"Baru jam sebelas masa udah tidur."

"Ya terserah gue." Ihatra membuka lemari dan menyambar seprai bersih untuk dipasang di ranjang. Mendadak terbersit sesuatu di pikirannya. "Woy, gimana di sana? Film lo katanya baru tayang, kan? Gue pengin nonton juga, nih, tapi cuma bisa pas udah available di streaming app. Di sini kagak ada bioskop soalnya."

"Kalau itu sih belum tahu waktunya kapan, tapi pasti nanti jadwalnya keluar kok. Palingan sebulan dua bulan lagi." Lalu Jayden buru-buru mengubah topik seolah takut kehilangan informasi penting, "Eh, tujuan gue telepon lo buat nanyain keadaan di sana. Lo udah ngobrol sama Tsabita, enggak? Si Egar juga gimana? Jadi balas dendam ke lo? Terus Damar si jurig enggak nongol lagi di hadapan lo, kan?"

"Satu-satu dong, buset."

Terdengar kekehan Jayden dari seberang. Ihatra merebahkan diri di atas kasur yang sudah rapi dan langsung menyambar ponselnya di atas nakas. Dia meminta Jayden untuk mengaktifkan panggilan video, sehingga keduanya bertemu muka di layar masing-masing. Di seberang sambungan, Jayden sedang duduk si sofa biru rumahnya yang sudah dihafal Ihatra. Wajah Jayden tampak kuyu dan rambut berantakannya mencuat ke sana-kemari, seperti baru bangun tidur. "Lo di rumah sendirian, Jay?"

"Kalau enggak lagi sendirian, mana berani gue telepon lo." Jayden menatap rambut Ihatra yang masih basah sambil memicingkan mata. "Eh, bentar. Tumben lo pagi-pagi udah mandi seger. Biasanya agak siangan."

"Biasa aja." Tidak mau Jayden curiga dengan sesuatu, Ihatra buru-buru menyela, "Lo tadi tanya apaan, dah?"

"Gimana keadaan di sana? Ceritain semuanya ke gue biar gue tenang."

"Oh, aman aja kok. Lusa kemarin gue udah ketemu Bita dan ngobrolin semuanya. Dia ... yah, dia enggak balas chat karena waktu itu lagi sibuk."

"Egar gimana? Dia enggak ganggu lo, kan?"

"Enggak. Gue udah lama enggak tahu kabarnya, sih. Tapi yang pasti dia udah putus sama Bita dan enggak ngehubungin cewek itu lagi. Terus tentang Damar, lo tenang aja, gue udah enggak pernah ketemu bocah itu lagi. Kayaknya dia bisa jaga janjinya dengan baik."

"Bagus, deh." Jayden terdiam sejenak. "Yat?"

"Ha?"

"Bita enggak bilang sesuatu ke lo?"

"Bilang apa?"

"Apa pun. Tentang kelanjutan hubungan lo sama dia, mungkin?"

Setelah Jayden mengatakan hal itu, pikiran Ihatra mendadak terlempar kembali ke percakapannya bersama Tsabita di sungai lusa sore. Terngiang kata-kata wanita itu di benaknya; Kalau Mas sanggup memberikan upaya seratus persen, saya pun akan memberikan yang sama pada Mas.

"Yat, kok diem?"

"Mm," Ihatra berdeham dan membasahi bibirnya. "Gini, Jay. Bita bilang, kalau gue mau dapatin hatinya, gue harus memperjuangkan dia."

Mata Jayden membelalak lebar di layar ponsel. "Serius dia bilang gitu?"

"Iya."

"Buset, berani juga dia." Jayden meringis, tetapi buru-buru mengoreksi, "Brave in a good way, I mean. It's rare for a woman to be so honest in expressing her needs."

"I know. Gue juga kaget bisa nemuin cewek se-assertive dia."

"Cocok buat nemanin lo yang kadang masih peragu dan suka ngedrama." Lalu Jayden tertawa sampai kepalanya terlempar ke belakang, tidak memedulikan Ihatra yang kini menatapnya sengit, seolah ingin melempar tinju.

"She is indeed worth fighting for," kata Ihatra. "Dan jujur aja gue merasa tertantang untuk memperbaiki diri supaya bisa layak ada di sisinya."

Jayden mendadak saja bisu setelah mendengar kalimat itu.

"Yat, gue enggak salah denger kan ini?"

"Apaan?"

"Lo bilang lo mau memperbaiki diri?" Seperti baru saja disiram air dingin, mata Jayden yang semula redup mendadak saja menjadi segar. Dia menegakkan posisinya di sofa dan menatap Ihatra dengan intens. "Jelasin ke gue, cara apa yang lo ambil buat memperbaiki diri!"

"Bikin badan gue kekar kayak Egar?"

Bahu Jayden melorot kecewa, tetapi Ihatra langsung menyela. "Bercanda. Gue tahu bukan itu yang Bita cari. Atau seenggaknya, standar utama dia bukan yang punya badan kekar."

"Oh, ya? Terus apa standar dia?"

Ihatra terdiam sebentar untuk menjawab pertanyaan itu, lalu suaranya berikutnya terdengar berat dan lesu, "Dia bilang, dia enggak bisa membiarkan perasaannya tumbuh di hati seseorang yang masih belum bisa menghadapi masa lalunya dengan berani."

Sudut bibir Jayden berkedut. Raut wajahnya yang dipaksa kalem sebetulnya menyembunyikan hasrat untuk merayakan yang sudah dia tunggu-tunggu sejak dulu. "Terus, Yat?"

"Gue rasa ... gue enggak bisa terus-terusan kabur kayak gini."

"Ya!"

"Ya?"

"Gue setuju. Lo enggak bisa terus-terusan kabur," Jayden menimpali sungguh-sungguh. Kini dia berganti memegang ponsel dengan tangan kirinya, lalu menatap sambil tidak berhenti senyum-senyum. Ihatra yang menangkap ekspresi itu menjadi semakin jengkel, pasalnya dia bisa membaca apa yang Jayden pikirkan. "Jadi, kapan lo balik, Yat?"

"Jayden, enggak secepat itu."

"O iya, sorry." Jayden terkekeh. "You know what, Dude? I think she's the woman destined for you. See how quickly she can change you? Gue aja selama ini gagal meyakinkan lo."

"Enggak usah lebay," kata Ihatra, lalu menggaruk kepalanya sambil menggerutu, "It's ... It's embarrassing because something like this appeared just when I am in love."

"Ya elah, wajar kali. Seenggaknya lo ada motivasi buat berubah, walaupun motivasi itu datangnya dari cinta." Jayden menyungging cengiran jail, dan Ihatra memutar bola mata.

"Tapi dorongan itu belum sepenuhnya ada di hati gue, Jay. Gue masih penuh keraguan dan ketakutan. Gue enggak bisa begitu aja keluar dari zona nyaman gue dan kembali ke dunia yang selama ini udah mencampakkan gue begitu saja. Gue ... gue butuh waktu dan persiapan."

"Tenang aja, Yat. Lo tahu gue dan Tsabita selalu ada di belakang lo."

"Hope it's not just words." Ihatra membuang napas kecil. "Soalnya gue enggak mau jatuh lagi."

"Lo udah jatuh mencapai dasar jurang―yo, that's a metaphore. Maksud gue, it's impossible for you to fall once you're already at the bottom of the cliff."

"Am I?"

"Lo yang merasakannya, Yat. Gue bantu berdoa supaya masalah lo segera usai."

Jayden tersenyum, tetapi kali ini senyumannya hangat. Tidak ada unsur meledek apalagi menyindir. Ihatra mengenal tatapan itu―jenis tatapan yang manjur untuk menenangkan hatinya dan membuatnya yakin bahwa dia tidak sendiri. Bentuk dukungan dari orang-orang yang tulus berada di dekatnya; bahasa kasih sayang dari Jayden Raespati.

Dan Ihatra membalas senyum sahabatnya lebih lebar.[] 

-oOo-

.

.

.

.

Sorry, karena udah membuka chapter dengan adegan 18+ hehe. Mudah-mudahan umurnya udah pada cukup yaa. Tapi please jangan anggap mimpi basah yang dialami Iyat memalukan, karena manusia, terutama cowok, emang lumrah merasakan itu awkwkwk. I just want to make this story feel real, as if it were being explored from a normal male perspective. Yaaa, walaupun nggak total sih, yaa. Karena biar bagaimanapun, karakter Ihatra lebih dari 50%-nya disusun based on my personal desire as a woman awkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top