43. Kedekatan Alamiah


"DAN harusnya kamu bilang itu sejak pertama kali kita ketemu, Bita. Bukan sekarang, ketika saya udah terlanjur ingin memiliki kamu."

Kalimat itu meninggalkan hati Tsabita dengan selongsong perasaan yang sulit dijelaskan. Ihatra, yang menangkap adanya gelagat tidak biasa dari raut Tsabita, memaksakan diri bertanya, "Kamu risi ya kalau didekatin sama saya?"

Tsabita masih membisu, dan Ihatra menjadi semakin tidak nyaman.

"Maaf. Kalau gitu lebih baik saya pu―"

"Mas Iyat," Tsabita berseru saat Ihatra hendak membalik badan. Pria itu menengok lagi padanya.

"Kenapa, Bita?"

"Saya minta maaf karena belum bisa menjawab itu sekarang."

"Enggak papa." Ihatra tersenyum lemah, berusaha mengumpulkan kepingan patah hati yang tercecer. "Saya tahu kamu butuh waktu untuk adaptasi dengan situasi ini."

"Bukan hanya itu, Mas," Tsabita menggigit bibir, seolah hendak menumpahkan semua isi pikirannya yang semrawut, tetapi akhirnya dia memilih menarik napas dan membuangnya pelan. "Saya ... lebih tepatnya, saya enggak tahu apa yang saya rasakan pada Mas Iyat. Saya takut perasaan ini cuma sebagai efek karena saya baru aja putus dengan pacar sebelumnya―karena hati saya lagi kosong dan butuh dukungan, jadi mungkin terasa mudah bagi saya untuk menerima sejumput perhatian baru dari orang lain. Dan kalaupun hal itu benar, saya justru merasa buruk sekali. Seolah-olah selama ini saya enggak mencintai Egar dengan tulus, sehingga cepat sekali berlabuh ke hati orang lain. Seharusnya saya ... seharusnya saya enggak boleh membiarkan diri saya terjebak dalam trauma yang sama, bukan? Walaupun saya belum tahu bagaimana kelak bila kita ... bila kita melanjutkan hubungan ini." Tsabita mengatakan kalimat barusan dengan lirih dan hati-hati. Sementara Ihatra hanya terpaku sambil mendengarkan. Jauh di dalam hatinya, Ihatra merasa lega karena Tsabita tidak menaruh perasaan negatif terhadapnya. Tetapi dia juga agak kecewa karena rupanya wanita ini belum bisa menerimanya begitu saja.

Oh, tidak. Ihatra tahu pikirannya sungguh egois. Harusnya dia bisa memahami keadaan Tsabita. Wanita ini baru saja putus dari pacarnya lantaran mendapat pelecehan fisik. Betapa berengsek Ihatra bila harus memanfaatkan kesempatan ini untuk perasaan cintanya semata. Yah, dia memang bukan seorang obsesif, tetapi dia juga tidak bisa bersabar lama-lama.

"Saya ... tahu," Ihatra mengatakan dengan berat. Meski begitu bertekad akan memahami posisinya. "Kamu punya banyak waktu untuk berpikir. Saya akan tunggu kamu."

"Gimana kalau pada akhirnya kita enggak bisa bersama?" Tsabita menanyakan hal itu tanpa ragu. Ihatra berpikir sejenak, menebak-nebak ke mana arah perbincangan ini.

"Kenapa kamu mikir kayak gitu?"

"Rasanya salah," kata Tsabita. "Dunia kita berbeda."

"Bita."

"Mas mungkin enggak keberatan, tapi bagi saya ...."

"Saya sudah kehilangan semuanya, Bita," Ihatra mendekat dan berbicara lembut, seperti memohon. "Panggung besar, jutaan penggemar, gelar status dan popularitas di dunia hiburan ... saya telah buang jauh-jauh semuanya. Sekarang saya bukanlah sosok yang kamu pikirkan. Saya ini hanya pria biasa yang lahir kembali dari puing-puing masa lalu yang sudah menghilang. Saya bukan lagi Ihatra Kama. Saya Iyandra Maharu Seta."

"Iyandra ... Maharu Seta?" Tsabita tengadah dan seakan terpana mendengar nama itu.

"Nama asli saya."

Jawaban barusan hampir saja menggoyahkan perasaan Tsabita yang sejak tadi mengeras. Namun, wanitu itu mencoba kembali ke permasalahan awal; "Maafin saya, tapi harusnya Mas berpikir ulang tentang apa yang baru saja Mas katakan―bukan lagi Ihatra Kama, kata Mas? Mas enggak bisa seenaknya mengatakan hal itu ketika Mas sendiri belum benar-benar selesai dengan masa lalu; belum sepenuhnya bijak mengambil keputusan perihal karier yang Mas buang begitu saja, seolah-olah semua itu adalah permainan semata yang enggak penting."

Ihatra terpaku atas kalimat yang mendadak meluncur bagaikan siraman air dingin. Lehernya menjadi tegang, dan dadanya seperti diremas perlahan. Pertama kalinya dia mendengar Tsabita tidak memercayai keputusan yang diambilnya.

"Kamu sekarang kedengaran kayak Jayden," tanpa sadar Ihatra mengatakan hal itu. Dia tidak bisa menebak ekspresi apakah yang ditunjukan Tsabita. Apakah wanita ini tersinggung?

"Sekarang saya baru sadar satu hal," kata Tsabita, tegas namun kalem. Matanya terpancang lurus pada Ihatra. "Saya enggak bisa membiarkan perasaan saya tumbuh di hati seseorang yang masih belum bisa menghadapi masa lalunya dengan berani."

Dan, setelah kalimat itu dilesatkan, bagaikan kebetulan yang tidak disangka, Toko Sanuraga kedatangan pembeli pertamanya di pagi hari. Bel di dekat pintu berbunyi, praktis membuat Ihatra tersentak dan ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu. Dia memandang Tsabita sejenak, lalu berkata dengan wajah sakit hati;

"Saya harap kamu mau balas pesan saya lagi seperti dulu."

Lalu pria itu berputar dan keluar dari toko.

-oOo-

Ihatra
Udah pulang dari toko?


Tsabita
Belum. Kenapa Mas?


Ihatra
Kenapa tadi kamu bilang
seperti itu ke saya?


Tsabita
Yang mana?


Ihatra
Kamu bilang kamu nggak akan
membiarkan perasaanmu tumbuh
di hati seseorang yang masih
belum bisa menghadapi masa
lalunya dengan berani.

Apa kamu pikir saya ini pengecut,
sehingga nggak pantas
bersanding denganmu?


Tsabita
Nggak Mas, bukan gitu
Maaf kalau kata-kata
saya tadi terkesan
angkuh dan meremehkan


Ihatra
Saya bukan bermaksud
bilang kamu angkuh
Apalagi meremehkan.
Saya cuma butuh jawaban,
apa niatmu bilang begitu ke saya?


Tsabita
Apa kurang jelas?
Mas Iyat harus menyelesaikan
apa yang belum selesai
Karier Mas yang terbengkalai ...
nggak bisa dibiarin begitu saja


Ihatra
Memangnya kenapa?
Hanya dengan cara itu saya
bisa hidup tenang


Tsabita
Gimana bisa Mas hidup tenang
kalau ada banyak orang
di luar sana yang membenci Mas?


Ihatra
Saya enggak peduli bagaimana
pandangan orang atau opini
publik terhadap saya.

Lagi pula saya yakin,
berita itu lama2 akan hilang.
Orang2 akan berhenti mengejar
dan mencari tahu saya

Saya hanya perlu sembunyi
sampai semuanya tenang


Tsabita
Sembunyi?


Ihatra

Kenapa?


Tsabita
Mas melupakan satu proses.


Ihatra
Maksudnya?


Tsabita
Mas melupakan proses
melawan dan membela diri,
dan langsung terjun ke tahap
kabur dari masalah begitu saja.
Bukankah itu sama seperti pengecut?

.

.

.

.

Pesan terakhir dari Tsabita bagaikan pukulan telak di jantung Ihatra. Jengkel, pria itu melempar ponsel di sofa, memilih untuk tidak membalas chat.

Betapa bodoh dirinya selama ini. Apa yang dia pikirkan, sih? Apakah menurutnya berangan-angan memiliki bunga desa di tengah gelombang konfliknya saat ini adalah keputusan tepat? Tsabita sudah pasti menganggapnya seorang pengecut yang hanya bisa lari dari masa lalu dan bersenang-senang dengan konflik cinta-cintaan di Pinggala. Mengapa Ihatra tidak berpikir sampai sana? Sekarang selain kehilangan kariernya, dia juga kehilangan muka di hadapan wanita yang dicintainya.

Saat Ihatra masih memikirkan sebesar apa kecerobohan yang dia buat, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Bukan bunyi notifikasi, melainkan panggilan masuk dari seseorang.

Tsabita.

"Bita, saya tahu," Pria itu buru-buru mengangkat tanpa mengucapkan salam. "Saya tahu saya pengecut, tapi saya―ini terasa sulit―saya enggak bisa...."

"Mas Iyat," Tsabita berkata dengan nada suara yang dijaga rendah. Betapa hebat efek kalimat itu membuat Ihatra membisu dan tunduk.

"Ya, Bita?"

"Saya minta maaf atas pesan terakhir tadi. Saya enggak bermaksud bilang kalau Mas adalah pengecut."

"Tapi kamu benar."

"Saya enggak ingin Mas Iyat menyerah begitu saja, makanya saya coba menyadarkan dengan kata-kata itu." Lalu terdengar desau napas berat di seberang sambungan. "Saya benar-benar minta maaf."

Ihatra membisu sejenak. Kedua mata menerawang melewati pemandangan kebun di balik jendela. Semak tanaman bergoyang akibat udara panas, seperti halnya hati Ihatra yang kini terasa kering dan sakit. Dia tidak bisa membiarkan benaknya tenggelam dalam depresi berkepanjangan lagi. Bila Tsabita mendorongnya untuk melawan dan membela diri, harusnya dia bisa mengupayakan aksi kecilnya sekarang.

"Bita?" Ihatra berceletuk. "Kamu pulang dari toko jam berapa?"

Tsabita terdiam lama. "Jam empat."

"Jam empat nanti, ayo kita ketemu di sungai waktu itu."

-oOo-

Ihatra masih hafal jalan kemari; anak sungai tempat dirinya tenggelam beberapa waktu lalu. Sebuah titik yang menjadi tempat awalnya memandang Tsabita lebih dari sekadar penduduk desa semata. Entah mengapa dirinya memilih tempat ini untuk bertemu. Apakah seperti halnya kisah itu dimulai di sungai ini, Ihatra juga ingin mengakhirinya di lokasi yang sama? Rasanya kedua jawaban itu sama-sama benar.

Ketika Ihatra keluar dari pepohonan dan semak belukar, Tsabita sedang menantinya di tepi sungai. Wanita itu duduk sambil membelakanginya. Dua kaki terjulur ke bawah, menyiprat-nyipratkan air ke atas. Sementara kepalanya tengadah memandang langit sore yang bersinar jingga kemerahan.

Ihatra menghampiri Tsabita dan duduk di sampingnya, menyapa ramah, "Hai. Maaf nunggu lama."

"Oh, Mas Iyat," Tsabita membalas lembut. "Saya juga baru datang kok."

Mereka sama-sama terdiam. Hanya memandang hamparan anak sungai yang begitu tenang di depan mata. Angin mengayunkan helaian rumput di dekat pangkuan, dan Ihatra mencium bau tanah lembab bercampur wangi buah yang familier. Yang satu itu pasti aroma rambut Tsabita, sebab Ihatra begitu hafal dengan aromanya yang manis dan segar.

"Jadi ...." Tsabita-lah yang melanjutkan obrolan, "Kenapa Mas Iyat minta saya kemari?"

"Saya ingin memastikan sesuatu."

"Tentang apa?"

"Bita," Ihatra berpaling dari pemandangan sungai di hadapannya, menatap Tsabita dengan sorot penuh pengharapan sekaligus kecemasan. "Saya enggak mau basa-basi lagi. Kalau saya melakukan persis seperti yang kamu suruh―maksudnya membela diri saya di hadapan publik, apa kamu mau menerima saya?"

Tsabita terdiam, lama sekali, sampai Ihatra merasa salah tingkah melihat sorot teduh di matanya. Namun akhirnya wanita itu membalas, "Saya mau."

"Ini hanya simpati belaka karena kamu prihatin dengan keadaan saya atau kamu benar-benar cinta sama saya?"

"Kalau itu saya enggak tahu."

"Bita." Ihatra menekan suaranya. "Kalau gitu kenapa kamu mau menerima saya?"

"Tadi pagi di toko saya sudah bilang alasannya ke Mas, kan?" kata Tsabita dengan lirih, tetapi setiap kata terdengar yakin dan tegas. "Saya enggak bisa seperti Mas yang bisa langsung memutuskan segala sesuatu dengan cepat. Sebab sekarang pun saya masih berjuang untuk membaca dan meraba apa yang hati saya inginkan. Kalau Mas minta jawaban yang memuaskan, saya belum bisa ngasih, tapi satu hal yang bisa Mas yakini; semua yang saya lakukan selama ini sifatnya adalah tulus."

"Itulah Bita," kata Ihatra. "Saya enggak tahu apakah niat tulus itu boleh saya anggap sebagai ... sebagai sinyal―semacam pertanda bahwa kamu juga nyimpan perasaan yang sama. Gimana kalau selama ini saya hanya terlalu mengkhayal untuk mendapatkan kamu?"

"Kalau gitu saya tanya satu hal. Apa Mas mau memperjuangkan saya?"

Pertanyaan Tsabita barusan membuat Ihatra terkejut.

"Apa―"

"Apa Mas mau memperjuangkan saya?"

Ihatra membalas yakin, "Ya."

"Kalau gitu perjuangkan hati saya, enggak perlu sibuk mempertanyakan atau memvalidasi perasaan saya terhadap Mas. Karena saya mengenal diri saya dengan baik; kalau Mas sanggup memberikan upaya seratus persen―" Mata Tsabita terpancang lurus pada Ihatra. Tidak ada keraguan, yang ada hanya ketekatan berterus terang. Lalu kata-kata itu mengalir bak sebuah janji yang diikrarkan;

"―saya pun akan memberikan yang sama kepada Mas."[]

-oOo-

.

.

.

Di pertengahan ngetik tadi sempat ada pikiran ngaco, gimana kalau tiba2 pas mereka asyik ngobrol di sungai, ada buaya lewat dan mau menerkam Iyat? 😭😭😭

BIAR SERU GITUUU 😭😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top