42. Alasan di Balik Sikap
SATU jam kemudian, Jayden sudah berpakaian rapi. Dia mengambil koper kecil di dekat ranjang, lalu mendorongnya keluar. Ihatra mengikutinya dari belakang. Mereka pergi ke pelabuhan menaiki motor Pak Ersan, dengan kecepatan seperti siput, seolah-olah enggan mencapai tempat tujuan. Pada dasarnya, mereka memang membenci momen ini. Perpisahan artinya kesendirian bagi Ihatra sekaligus kekhawatiran bagi Jayden.
"Lo enggak mau pamitan sama Bita dan Shaka?" Ihatra yang duduk di sadel belakang motor agak berteriak, lantaran suaranya tertelan deru angin yang menghantam-hantam helm.
"Gue udah ketemu Bita tadi pagi di tokonya, tapi Shaka masih sekolah. Jadi gue titip salam aja."
"Ha? Bentar, lo ketemu Bita tanpa gue?" Ada nada getir dalam suara Ihatra, seperti merasa dikhianati, atau mungkin cemburu. Jayden yang mendengar kalimat itu terkekeh tipis.
"Mampir bentar buat beli oleh-oleh. Santai kali, Yat. Lo kira gue ngapain di sana?"
"Ya kali aja lo ngoceh enggak-enggak tentang gue."
"Idih, lo kira gue sobat apaan." Namun tepat setelah itu, Jayden membasahi bibirnya yang tiba-tiba kering. Tebakan itu tidak sepenuhnya salah, sebab dia datang ke toko Sanuraga memang demi bisa mengobrol serius dengan Tsabita tentang masalah Ihatra. Tidak mau percakapan berlarut ke dugaan-dugaan mencurigakan, Jayden cepat-cepat mengganti topik, "Eh, Yat. Btw gimana urusan lo sama Dokter Jihan? Lo udah nemuin sesuatu?"
Ihatra terdiam, sorot matanya memandang hamparan laut yang sunyi dan biru di kejauhan sana. "Belum," katanya. "Yang itu biar gue cari pelan-pelan saja."
"Tapi lo beneran yakin tempat ini adalah jawaban yang lo cari-cari, kan?"
Ihatra mengangguk. "Iye, seratus persen. Legenda putri duyung itu melengkapi dugaan Dokter Jihan."
Lalu sepeda mereka berhenti di area parkir berpasir dekat pelabuhan. Jayden turun dari sepeda bertepatan dengan suara peluit kapal yang tiba. Ihatra mengantar Jayden hingga ke depan gerbang masuk geladak, kemudian mereka saling mengucap salam perpisahan dengan tos di udara. Jayden tersenyum lebar, begitu juga dengan Ihatra. Ada kilat penantian dan kerinduan yang terpancar dari mata keduanya yang berwarna cokelat cemerlang.
Pengunjung kapal di pagi hari masih belum ramai. Mereka bisa lebih lama bercakap-cakap sebelum seorang awak kapal mengumumkan bahwa sebentar lagi kapal akan berangkat. Jayden langsung memeluk Ihatra dengan erat seraya menepuk-nepuk punggungnya. "Bye, Yat. Nanti gue telepon kalau udah sampai." Kemudian dia melepas pelukan itu dan membiarkan Ihatra turun melewati gerbang geladak.
Ihatra berdiri di pelataran dermaga sambil melambaikan tangan pada Jayden. Kemudian, setelah kapal berangkat, Ihatra kembali ke area parkir dan menaiki sepeda motor Pak Ersan, menyetir pelan-pelan hingga beberapa meter jauhnya dari pantai. Di ujung tebing yang terbuka, Ihatra memandangi kapal yang terus bergerak menjauhi pantai, mengantarkan Jayden ke sisi lain pulau. Saat kapal itu perlahan mengecil, hati Ihatra serasa dicubit oleh kemuraman dan rasa sedih. Sahabatnya telah pergi, dan mungkin baru akan kembali setelah berbulan-bulan lamanya.
Dia pasti akan merindukan Jayden.
-oOo-
Nyatanya, selepas dari dermaga, bukannya pulang Ihatra malah mampir ke Sanuraga.
Ihatra tidak tahu apa yang membuatnya kemari. Barangkali dia ingin membuka peluang lebih lebar demi bisa mendekati Tsabita. Barangkali, kesedihanlah yang membawanya datang berkunjung, sebab dia berpisah baru saja dengan sahabat yang berarti di hidupnya, walau hanya sementara. Sebut saja Ihatra berlebihan, tetapi sejak dulu dia memang manja pada Jayden.
Setelah pintu didorong terbuka, terdengar bunyi kelontang berisik dari belakang toko, kemudian kasak-kusuk langkah yang semakin mendekat. Tsabita muncul dari ambang lorong, praktis bertatapan dengan Ihatra yang berdiri membeku di depan konter kasir.
Ada sentruman kecil di dasar perut Ihatra. Pria itu berusaha bersikap normal. "Hai."
"Hai juga." Tsabita tersenyum. Singkat, tetapi berefek dahsyat pada jantung Ihatra. Rasanya pria itu ingin berlari pada Tsabita dan melolongkan semua kerumitan perasaan yang dialaminya.
"Lagi sendiri, Bit?"
"Sendiri dalam konteks apa?" Tsabita tahu-tahu menjawab di luar dugaan. Ihatra tercenung, sekonyong-konyong sadar apa yang baru saja dia tanyakan.
Sontak saja, telinganya bersemu merah.
"Sendirian di toko?"
"Iya. Shaka lagi di sekolah."
Ihatra melangkah lebih dekat, menatap Tsabita lurus-lurus, lalu, "Sendiri dalam hubungan juga?"
Pertanyaan itu dijawab tanpa berpikir. "Ya. Saya sudah putus sama Egar."
Diam-diam Ihatra mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Nice!
"Saya mampir bentar," kata Ihatra, berusaha menahan geletar kemenangan dalam suaranya. Dia menunduk sambil menggaruk leher dengan canggung. "Mmh ... mau ngasih tahu kalau Jayden udah balik ke Jakarta."
Tsabita manggut-manggut. "Tadi Mas Jayden sudah pamit ke sini. Katanya dia akan balik lagi dalam beberapa bulan, kan?"
"Iya. Kayaknya saya bakalan kangen dia."
"Kalau kangen, ke sini aja." Kata-kata Tsabita membuat Ihatra buru-buru menatapnya; Yang bener aja lo, Bit? Tetapi belum sempat hatinya meledak senang, wanita itu keburu melanjutkan, "Tiap sore di sini ada Shaka. Dia pasti senang kalau diajak main sama Mas Iyat."
"O-oh, iya." Ihatra tertawa garing. Dia lupa kalau Tsabita cukup sulit ditebak. Memang, sejak dulu wanita ini selalu memberikan kode-kode yang membingungkan; sulit sekali untuk dibaca. Terkadang Tsabita menunjukkan tanda-tanda tertarik kepadanyaโpeduli dan mengasihi Ihatra dengan cara sempurna seperti seorang wanita yang merindukan seorang pria. Tapi di situasi lain, Tsabita bersikap terlalu mandiri untuk ukuran seseorang yang membutuhkan pria. Barangkali dia terlalu dewasa, terlalu berjarak, atau mungkin sejak awal tidak ada yang bisa membaca isi hatinya yang sesungguhnya. Bila Ihatra dapat membandingkan Tsabita dengan sesuatu, dia akan mengibaratkan wanita ini dengan sekuntum teratai liar yang mekar di tengah rawa. Tidak ada yang tahu pasti apa yang disembunyikan di bawah daunnya yang lebar dan indah.
"Tsabita," Ihatra berseru, ujung-ujungnya memutuskan untuk turun dan menjelajah rawa misterius itu. "Kenapa kamu enggak balas pesan saya selama seminggu ini?"
Pertanyaan itu cukup mengejutkan Tsabita. Dia tidak menduga Ihatra akan bertanya soal ini. "Maaf, Mas. Saya lupa. Emang cukup sibuk belakangan, sih."
"Kamu serius? Terakhir saya nanyain kamu tentang kelanjutan hubunganmu sama Egar, terus kamu enggak balas apa pun. Dibuka pun enggak. Saya sempat khawatir kamu malah memaafkan orang itu setelah apa yang udah dia lakukan ke kamu."
"Oh, enggak." Tsabita membasahi bibirnya. Dia berkedip beberapa kali sebelum akhirnya mengaku, "Ya, sebenarnya selama ini saya menghindari Egar. Dia sempat teror saya lewat chat dan telepon, makanya saya menghindari hape saya. Akhirnya saya lupa mau balas pesan Mas."
Ihatra mengangguk. Dalam hatinya agak lega mendengar jawaban itu.
"Terus sekarang gimana? Egar masih sering neror kamu?"
Tsabita menggeleng. "Sekitar tiga hari lalu, Egar datang ke rumah saya untuk minta maaf. Awalnya dia minta balikan, tapi saya tegaskan untuk selesai sampai situ saja. Jadi dia terpaksa harus menerimanya, mau enggak mau."
"Bu Nilam sama Shaka ...."
"Mereka tahu kami putus, tapi mereka enggak tahu apa yang menyebabkannya." Lalu Tsabita menatap Ihatra. "Enggak mungkin saya bercerita kejadian yang asli, kan?"
Ihatra memahami arti tatapan itu, dan menjadi agak kasihan dengan Tsabita. Betapa rugi. Wanita ini punya kesempatan untuk menghukum dan membuat Egar jera dari perbuatannya, tetapi dia justru melindungi orang itu dan bersikap seolah hubungannya selesai karena masalah ketidakcocokan belaka. Barangkali bunga teratai liar memang punya kelemahan. Dia terlalu lembut, sehingga kelembutan itu kadang menjadikannya rapuh dan mudah hancur.
"Saya masih enggak yakin orang itu bisa jera dengan sendirinya," kata Ihatra sungguh-sungguh. "Kalau kamu enggak memberinya hukuman yang sepadan, misalnya melapor ke keluarga dan polisi, bisa jadi dia melakukan hal lebih buruk ke depannya, yang mungkin bisa menghancurkan kamu lebih dari ini."
"Saya sudah memperingati dia kok, Mas."
"Bita, please, jangan terlalu pemaaf jadi orang. Kamu harus pikirkan dirimu sendiri."
Tsabita terdiam, seolah kata-kata itu menyentil sesuatu di benaknya. Akhirnya dia berkata dengan nada tersinggung, "Mas mungkin bisa berkata seperti itu karena Mas melihat dari sudut pandang Mas aja. Padahal sebenarnya, bagi saya, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Saya ini hanya anak asuh di keluarga Shaka. Bu Nilam, bahkan keluarganya Egar, sudah banyak membantu saya sejak dulu. Bayangkan kalau tiba-tiba saya merusak hubungan yang sudah dijalin itu dengan berita memalukan ini. Saya cuma akan menambah beban pikiran Bu Nilam, dan merusak kepercayaan keluarga Egar pada putranya. Apa yang akan dibilang Bu Nilam? Gimana kalau para tetangga tahu? Gimana kalau klub yang dibangun Egarโyang merupakan mimpinya sejak dulu, tiba-tiba harus hancur lebur karena masalah ini? Gimana nasib anak-anak di kampung kami? Banyak hal yang saya pikirkan, Mas. Ini bukan sekadar mementingkan perasaan diri sendiri. Justru kalau di saat-saat begini saya berbuat egois, saya mengorbankan perasaan banyak orang di luar sana. Buat saya, yang penting Egar sudah menyesal, itu sudah cukup."
"Oke, oke, saya tahu," Egar mengangkat tangannya seolah hendak menyerah, mendadak merasa bersalah setengah mati. Dia tidak menyangka sekalinya jujur, Tsabita akan berkata sejauh itu. "Sepertinya saya harus kenal kamu lebih jauh lagi, agar saya bisa lebih memahami perasaan-perasaan kamu. Saya menyesal karena sudah menghakimimu seenak hati."
Tsabita tidak menjawab apa pun. Hanya menatap dengan sorot patah hati. Ihatra menjadi lebih tidak tega, jadi dia mendekat lagi dan kali ini menggenggam tangan wanita itu. "Bita, kamu boleh marah sama saya."
"Nggak papa, Mas." Tsabita tiba-tiba mendongak dan tersenyum. "Saya juga harusnya memahami, bahwa enggak semua orang mengerti keadaan saya. Dipikir-pikir seharusnya saya bersyukur karena Mas Iyat masih mau negur sikap saya."
Mendengar hal itu, Ihatra terkekeh tipis. Tsabita mengerutkan kening kebingungan. "Kok senyum-senyum?"
"Lucu karena kamu bilang saya cuma sekadar negur kamu. Padahal alasan saya lebih daripada itu."
Tsabita tidak bodoh. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Dan, dia tahu apa yang Ihatra rasakan darinya.
"Aaa, saya cuma enggak mau keegeran aja, Mas."
Lalu Ihatra menggaruk keningnya untuk menyembunyikan wajah yang tersepuh merah. Suaranya bergetar oleh malu;
"Dan harusnya kamu bilang itu sejak pertama kali kita ketemu, Bita. Bukan sekarang, ketika saya udah terlanjur ingin memiliki kamu."[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Aku nulis apa.... ๐ญ๐ญ๐ญ๐ญ Geli banget..... IYAT HARUSNYA KAMU BELAJAR NGERAYU DARI RIVER DI DND DULU WOY, JANGAN BERTINGKAH KAYAK ABG KIKUK KAYAK GITU ๐ญ๐ญ๐ญ๐ญ๐ญ
.
.
.
Btw aku pribadi suka sama penggalian karakter Iyat dan Tsabita di sini. Si Iyat (fungsi P-nya) bikin dia melihat masalah cuma dari sudut pandang paling logis aja, tapi satunya lagi Bita (fungsi J) bikin dia mikir segala kemungkinan sampai empatinya menekan dia buat mengalah. Orang kayak Bita nggak bakalan bisa dibilangin, percaya deh. Mereka tuh tahu alternatif terbaik untuk menghindari kerusakan, dan tahu segala macam risikonya. Jadi besar kemungkinan mereka bisa survive dengan pengambilan keputusan yang kompleks ini ๐ญ๐๐ผ
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top