41. Alasan Kabur
"ITU ... bukan memori yang bagus," kata Jayden, seperti memulai sebuah kasus. Setelah menceritakan kronologi tentang kecelakaan Ihatra Kama satu setengah tahun lalu, keadaan di konter kasir toko Sanuraga menjadi suram, seolah-olah mimpi buruk itu betul-betul memengaruhi mereka di kehidupan nyata. "Saat itu gue baru tahu kabar malamnya, waktu lihat berita di TV. Iyat dan Bang Emil dilarikan ke rumah sakit. Bang Emil meninggal di perjalanan, sementara Iyat jatuh koma selama satu minggu. Selama nungguin dia sadar, berita-berita di luar sana semakin liar ... netizen pada murka, demo di kantor agensi, tuntutan di mana-mana, serangan cyber, bahkan polisi hampir tiap hari datang ke rumah sakit karena ingin mendengar kesaksian Iyat. Pokoknya kacau balau. Gue aja sampai stres dan harus off dari sosial media karena muak lihat berita di mana-mana nampilin berita si Iyat."
Tsabita menyentuh sepanjang lengannya yang mulai merinding. "Terus apa yang terjadi sama Mas Iyat waktu dia udah sadar?"
"Nah, setelah sadar dari koma, Iyat malah enggak ingat tentang apa yang terjadi waktu kecelakaan. Butuh waktu berminggu-minggu buat mengembalikan ingatan anak itu lewat terapi bawah sadar."
"Terapi bawah sadar?"
"Yap. Sebenarnya ingatan yang hilang cuma ingatan waktu kecelakaan aja," kata Jayden. "Kata dokter, beberapa korban kecelakaan emang enggak bisa mengingat apa yang terjadi saat insiden, karena alam bawah sadar mereka biasanya menganggap memori kecelakaan sebagai ancaman, sehingga respons psikologis mereka sendiri yang menghendaki buat menghapus memori itu dari otaknya. Namun, selepas tragedi Iyat terjadi, masyarakat dan pihak korban menuntut kasus buat mencaritahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum kecelakaan. Sebab mereka kepalang resah dengan apa yang ditemukan Pihak Berwajib di dalam mobil―pecahan botol miras. Dan karena Iyat sendiri enggak bisa memberikan jawaban atas kebenaran yang terjadi sebelum kejadian, akibatnya selama dua minggu, Iyat dipaksa kembali mengingat peristiwa itu lewat serangkaian terapi bawah sadar."
"Dipaksa kembali," Tsabita berkata lirih.
Jayden mengangguk. "Ya, kesannya seperti dipaksa buat kembali mengingat tragedi buruk itu. Emang bukan solusi terbaik, tapi pilihan itulah yang saat itu kita punya."
"Setelah terapi ingatan, Mas Iyat jadi inget semuanya, dong?"
"Betul. Dan sampai sekarang, ingatan itu justru tertanam dalam otaknya selamanya. Itulah yang jadi faktor utama Iyat sering mengalami kesulitan tidur, sebab mimpi buruk tentang kecelakaan itu selalu menerornya tiap malam. Akibat kondisi itu, ditambah terlalu depresi menghadapi penghakiman publik, dokter mendiagnosis Iyat dengan gejala PTSD. Saking parahnya, lihat orang buka hape depan dia aja udah bikin Iyat panik. Terus dia direhabilitasi mental selama beberapa bulan lamanya, kemudian setelah keadaannya mulai membaik, dokter menyarankannya pergi ke pulau ini buat terapi kejiwaan."
Tsabita mengangguk mengerti. Sekarang dia memahami alasan utama Iyat menjauhi hiruk pikuk keramaian kota.
"Oh, ya, terus gimana sama kelanjutan kasusnya? Apa Mas Iyat tetap dituntut ganti rugi?"
"Ya jelas, Bit. Iyat udah membayar ganti rugi yang menurut saya di luar akal. Dia menyantuni semua keluarga korban dengan membangun yayasan khusus yang dananya terus mengalir sampai anak-anak yang menjadi korban itu menginjak usia tujuh belas tahun andai mereka enggak meninggal dunia."
Tsabita manggut-manggut memahami. "Saya sedikit paham penyesalannya. Mas Iyat pasti enggak bisa lepas tanggung jawab dari anak-anak yang menjadi korban."
"Awalnya malah dia mau biayain seluruh kebutuhan hidup tiap anggota keluarga sampai puluhan tahun ke depan, sampai ke anak-cucu, tapi pengacara ngebujuk Iyat supaya enggak berlebihan, karena biar bagaimanapun, Iyat itu bukan satu-satunya pihak yang bersalah," kata Jayden. "Dan walaupun sudah melakukan hal sedemikian besar, bahkan mengorbankan kondisi mentalnya, Iyat selalu merasa bahwa semua itu belum cukup buat mengembalikan nyawa anak-anak yang sudah pergi."
Tsabita menyugar rambutnya dengan segumpal perasaan pedih yang sulit dijelaskan. Dia tak pernah merasa sepilu ini memikirkan nasib seseorang. "Tapi seenggaknya, netizen jadi enggak marah kan karena Mas Iyat udah bertanggung jawab?"
"Mau tahu hal sedihnya? Si Iyat sengaja enggak up tanggung jawabnya ke publik karena dia pikir kesannya bakal seperti membela diri, padahal menurut saya sih boleh-boleh aja demi meredam kekacauan."
"Astaga, Mas Iyat bener-bener ...," Tsabita kehabisan kata-kata, lalu beropini hal lain, "padahal harusnya hasil laporan terapi bawah sadar itu menyatakan kalau Mas Iyat bukan pemabuk seperti yang disangka netizen, kan? Harusnya itu aja udah menjadi bukti yang kuat buat meredam kekacauan."
Jayden membuang napas berat sambil menggeleng. "Sayangnya, reaksi publik sama sekali enggak sesuai ekspektasi, Bita. Kami juga awalnya mengira tudingan akan selesai setelah laporan itu keluar, tapi ternyata enggak. Netizen masih enggak puas karena kecelakaan itu merenggut banyak nyawa anak-anak yang enggak berdosa. Mereka pun kembali menuduh Iyat lalai dan enggak becus nyetir, bahkan bawa-bawa statusnya sebagai anak orang kaya yang kurang adab, sombong, kurang ajar―pokoknya segala bentuk hinaan dan pelecehan ditumpahkan di mana-mana; platform media sosial, sampai ke laman web perusahaan milik keluarga Iyat, dan situs review perusahaan nasional."
"Bentar, pelecehan?" Tsabita mengerutkan kening. "Kok bisa ada yang melecehkan?"
"Biasalah, Bit. Bawaan dari kasus di masa lalu. Gini, gini, saya ceritain dari awal lagi, ya," Jayden berusaha menjelaskan tatkala melihat wajah Tsabita yang berkerut tanpa petunjuk. "Jadi dulu, sebelum kecelakaan terjadi, Iyat sempat ada konflik sama aktor cewek pendatang baru, namanya Anastasya. Mereka sempat pacaran, lalu tiba-tiba keduanya kena skandal. Iyat sama sekali nggak tahu kalau Tasya tuh cewek di bawah umur―goblok emang tuh anak. Pacaran kagak dilihat-lihat dulu. Ya emang kalau dari perawakan, si Tasya ini kayak udah gede―wajahnya mirip cewek usia dua puluhan, badannya bahenol, terus―ah, anjir. Sorry, harusnya enggak bahas itu. Nah balik lagi; sialnya, cewek yang jadi pacarnya Iyat ini cegil mampus. Dia ngejar terus walaupun Iyat udah putusin dia. FYI, setelah tahu umurnya, si Iyat kagak mau berurusan sama bocah yang baru lulus SMP ini, yekan. Tapi, si Tasya tiba-tiba malah ngirimin foto-foto pribadi dia tanpa consent dari si Iyat."
"Foto-foto pribadi?" Tsabita mengernyitkan kening. "Apa itu foto ...."
"Ya tahulah foto kayak gimana―foto seksi, pakai pose-pose enggak senonoh. Kagak tahu alasannya apa. Mungkin si Tasya pikir dengan ngirim foto begituan, Iyat bakalan suka lagi sama dia kali? Long story short, manajernya Tasya tahu, dan bukannya menutup aib itu, dia malah nyebar rumor kalau Iyat itu aktor cabul. Saya enggak tahu apa yang Tasya bilang ke manajernya. Tapi kayaknya si cewek itu ngibul karena mau melindungi reputasi dirinya."
"Ngibulnya kayak gimana, Mas?"
"Sekarang gini aja, Bita. Pikirin baik-baik; harusnya kalau Tasya jujur, dia bisa bilang ke manajernya kalau sejak awal yang ngirim foto itu adalah kemauan Tasya sendiri, bukan karena tuntutan Iyat. Tapi masalahnya, dia malah enggak konfirmasi apa-apa ke publik dan membiarkan netizen berasumsi seenak jidat. Ya tambah rame dong kasusnya, ya enggak?"
"Oh ... oke. Jadi, itu yang bikin Mas Iyat dapat julukan ...." Tsabita mengingat potongan berita yang dibacanya beberapa waktu lalu, lalu berkata ragu, "... pedofil?"
"Iya, gitu ceritanya. Pedofil, groomer, penculik bocil, pokoknya sejak saat itu si Iyat dapat julukan baru." Jayden manggut-manggut sambil melipat lengannya di dada.
"Terus kenapa Mas Iyat enggak coba konfirmasi soal itu? Dan apa hubungan kasus itu sama pelecehan yang diterima Mas Iyat belakangan?"
"Kan saya udah sempat bilang di awal, Iyat itu orangnya pasrahan dan agak pesimis. Dia males nanggepin maunya netizen dan selalu sok yakin kalau semuanya bakalan mereda. Dia juga orangnya nggak tegaan. Mungkin dia enggak mau karier Tasya yang baru aja dibangun jadi rusak dengan cepat karena masalah ini, makanya dia tahan-tahan buat up true story ke publik―wait, iya saya tahu itu keputusan paling bego," Jayden buru-buru berkata ketika menangkap raut Tsabita yang membelalak terkejut, "Tapi begitulah yang terjadi, Bit. Saya pun enggak tahu gimana bisa tuh anak keluar dengan keputusan konyol kayak gitu. Sok-sokan jadi pelindungnya Tasya, padahal selama ini yang Tasya beri cuma kerugian. Malahan karena si Iyat enggak keluarin statement apa-apa, popularitas Tasya naik! Dia jadi terkenal di kalangan netizen sebagai seorang cewek polos korban grooming. Sejak saat itu, banyak tawaran main film yang datang buat Tasya, dan netizen jadi ada di pihaknya. Padahal cerita yang terjadi enggak kayak gitu."
Tsabita menahan diri untuk tidak mengumpat, lalu melanjutkan, "Oke, saya bisa paham. Terus gimana soal pelecehan yang dialami Mas Iyat?"
"Nah, untuk masalah pelecehan yang Iyat dapat, itu terjadi karena netizen masih kebawa-bawa kasus Iyat sama Tasya dulu. Jadi semacam ... balas dendam gitulah. Kalau dulu Tasya pernah jadi korban grooming Iyat, sekarang kesannya netizen yang balesin dendam Tasya. Wah, gila banget pokoknya, Bit. Waktu Iyat masih dalam proses pemulihan setelah kecelakaan, sempet-sempetnya ada netizen usil yang ngedit foto Iyat jadi bugil, terus disebar di medsos-medsos, bahkan sampai dibikin stiker dan ditempel di mana-mana. Ada pula orang sinting yang unggah video dirinya lagi ngelecehin foto Iyat yang diedit bugil. Sorry, saya enggak berani cerita detail pelecehannya kayak gimana karena saya enggak enak sama kamu, tapi pokoknya itu sesuatu yang menjijikkan dan enggak pantas buat disebar di publik."
Tsabita mengangguk, diam-diam merasakan pipinya panas. Rasa malu dan kemarahan bercokol dalam benaknya, tetapi dia berusaha tenang. Kemudian, Jayden melanjutkan, "Sebenarnya waktu itu pelaku tukang edit itu udah ditangkap, tapi foto editannya terlanjur menyebar dan bikin keadaan semakin kacau. Stres yang dialami Iyat bikin dia enggak bisa ditinggal sendirian. Dokter terapisnya bahkan udah wanti-wanti kami buat terus nemenin, karena Iyat punya kecenderungan buat selfharm atau, the worst case―commiting suicide. Saking merasa terhinanya dengan kasus-kasus yang tumpah ruah sekaligus. Bayangin aja, belum kelar kasus insiden kecelakaan, dia harus nerima nyinyiran dan pelecehan publik. Maminya bahkan sampai meninggal karena ikut stres."
"Astaga, maminya meninggal?"
"Iya, meninggal setahun setelah insiden itu. Sebenarnya penyebabnya karena serangan jantung, tapi dokternya bilang kalau maminya juga nyimpan stres berkepanjangan. Ya apa lagi kalau bukan gara-gara masalahnya Iyat. Eh, eh, kok nangis, Bit?" Jayden cepat-cepat mencabut tisu dari dari kotak dan menyalurkannya pada Tsabita. Wanita itu menunduk dengan pundak berkejat-kejat, disertai bunyi isakan lirih. Seraya menepuk-nepuk lengannya dengan lembut, pria itu berkata menenangkan, "Sorry ya, Bit. Saya enggak maksud bikin kamu nangis."
Tsabita hanya menggeleng, tetapi wanita itu belum mampu menegakkan kepala. Jadilah selama beberapa menit berikutnya, obrolan itu terjeda.
Setelah beberapa saat, Tsabita mendongak. Matanya langsung bengkak dan agak memerah seperti habis menangis. Jayden yang melihat hal itu jadi tidak tega.
"Saya ... enggak nyangka kamu bersimpati sampai seperti ini ke Iyat," kata Jayden, lirih.
"Waktu Mas Jayden cerita soal maminya Mas Iyat, saya enggak tahan lagi. Saya inget almarhum ibu saya sendiri. Beliau pasti juga sama sedihnya seandainya saya ada di posisi Mas Iyat ...."
"Yah, begitulah, Bit. Hidupnya Iyat benar-benar berantakan selama beberapa tahun belakangan." Jayden berkata muram. "Di antara keluarga besarnya Iyat, cuma maminya yang sejak dulu peduli dengan dia. Walaupun maminya tipe yang tegas dan keras, tapi Iyat selalu berusaha nurut dan sayang. Maminya pula yang selama ini selalu dorong Iyat supaya jadi selebritas, bahkan maju jadi pembela paling depan tiap Iyat tersangkut skandal. Cuma memang waktu itu suasananya lagi keruh banget. Maminya enggak bisa lagi mengatur Iyat buat klarifikasi ke publik, jadi dia sendiri jatuh sakit dan jantungnya sering kumat ... sampai akhirnya meninggal."
"Lalu Mas Iyat ... jadi sebatang kara," kata Tsabita.
"Ya. Semenjak ibunya meninggal, Iyat berpikir, enggak ada orang di dunia ini yang enggak membencinya."
Rasanya ada sesuatu yang membuat mata Tsabita panas lagi. Wanita itu menggigit bibir, berusaha mempertahankan ekspresi. "Mustahil membenci orang sebaik Mas Iyat."
Kalimat barusan membuat Jayden tersenyum lemah. Dia memberikan tatapan berkaca-kaca pada Tsabita, lalu berkata tulus;
"Iyat beneran beruntung bisa ketemu kamu."
-oOo-
Jayden memarkirkan sepeda yang baru dipinjamnya dari Pak Ersan di halaman rumah. Dia memasuki dapur lewat pintu belakang, kemudian melihat Ihatra berdiri di depan lemari pendingin sambil meminum jus jeruk dari kemasan karton.
"Woy," sapa Jayden.
Ihatra mengelap sisa jus dari mulutnya dengan punggung tangan. "Dari mana aja sih lo? Pagi-pagi gue tengok di kamar udah enggak ada."
"Lo sih tidur kayak kebo. Akhirnya gue jalan-jalan sendiri," dusta Jayden. Dia merebut jus jeruk dari tangan Ihatra dan meminumnya juga.
"Jam sepuluh lo mau balik kan? Bisa-bisanya malah jalan-jalan. Mana kagak ngajak gue pula," kata Ihatra dengan nada jengkel. Jayden memeriksa raut cemberut Ihatra, kemudian mengusak kepala sahabatnya, yang tentu saja langsung ditepis dengan muka bersungut-sungut.
"Ditinggal bentar udah kayak cewek PMS lo, lebay," katanya. Dia mendorong Ihatra sedikit agar menyingkir dari muka pintu lemari pendingin, kemudian menyambar beberapa bahan makanan. "Udah, ah. Masih ada dua jam sebelum gue balik. Gimana kalau gue bikinin lo makanan enak? Ada apaan di kulkas?"
"Cuma ceker ayam."
"Duh, masak makanan terakhir gue di sini malah ceker, sih?"
"Ya lo tadi keluar bukannya sekalian belanja malah kelayapan doang."
"Bawel ya lo." Jayden menonjok perut Ihatra dengan main-main, lalu keduanya sama-sama tertawa dan saling melempar pukulan.
Setelah puas, Ihatra menegakkan diri sambil menatap Jayden dengan yakin. "Habis sarapan, gimana kalau kita pergi ke toko Sanuraga buat ketemu Bita? Ntar sekalian pamit ke dia juga."
"Enggak usah, Yat." Jayden nyengir, berusaha menyembunyikan rahasianya. "Pokoknya sebelum gue pulang, gue cuma pengin ngabisin waktu sama lo."[]
-oOo-
.
.
.
Kalian kangen Iyat ya? Sabar yaa, minggu depan kita puas-puasin lihat Iyat hihihi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top