40. Kilas Balik Peristiwa
Jakarta, satu setengah tahun lalu
.
.
.
.
.
SERAYA menggeser-geser layar ponsel, Ihatra tersenyum kegirangan membaca komentar netizen yang menanti konsernya.
Setelah tersangkut skandal yang membuat namanya viral di industri hiburan tanah air, Ihatra memang dipaksa bangkit untuk merebut lagi perhatian masyarakat. Caranya adalah dengan menggelar konser yang sudah sejak tiga tahun lamanya tidak pernah dilakukannya lagi lantaran terlalu tenggelam menggeluti dunia akting. Maka diilhami bantuan segenap jiwa dari manajernya, kini dia bisa mengumpulkan lagi antusiasme penggemar lama yang sempat tenggelam.
Ketika Ihatra sudah siap berangkat ke stadion Meraki, tempat konsernya diadakan, ponsel yang sudah tersimpan di sakunya berbunyi lagi. Pria itu mengangkat panggilan dari manajer.
"Gue di parkiran."
"Lama amat, Bang. Udah mau telat, nih."
"Ya udah buru turun."
Ihatra bergegas melewati ambang pintu kamarnya dan turun ke lantai dasar menggunakan elevator. Siang ini dia berpakaian sederhanaโsetelan yang biasa digunakan sebelum menggelar konser; celana baggie, kaus putih, ditimpa jaket parka, dan sentuhan rambut gelap acak-acakan yang modis. Satu tangannya membawa ponsel, sementara tangan yang lain membetulkan ransel di pundak. Langkahnya terburu ketika menyusuri lorong dalam rumahnya yang megah, melewati pintu kaca dengan pemandangan kolam di baliknya, dan jendela besar yang memperlihatkan suasana perkotaan Jakarta dari puncak dataran tinggi kompleks. Dia berbelok ke landaian menuju area parkir, tempat Ihatra melihat manajernya, Emil Prasetya, sedang duduk menantinya di dalam Toyota Alphard hitam.
Saat mendaratkan diri di kursi belakang, Ihatra mengernyit karena hidungnya menangkap aroma tidak asing yang samar bercampur pewangi mobil. Dia memeriksa keadaan mobilโdi setiap jok, lantai mobil, langit-langit ... sampai kecurigaannya berpusat pada satu sumber paling tak disangka-sangka; aroma tubuh manajernya sendiri.
"Bang," kata Ihatra, mengernyitkan kening dengan ngeri, "Mabok lo?"
"Nggak papa, masih bisa nyetir ini," jawab Emil.
"Goblok!" sembur Ihatra, lalu mencekal bahu Emil agar mau berputar menghadapnya. Ketika manajernya berbalik ke belakang, Ihatra terkejut lantaran melihat betapa kuyu dan menyedihkannya wajah Emil. Alkohol merusak fokus, tetapi yang jauh lebih penting daripada efek itu adalah alasan di baliknya.
"Astaga, anjirโlo gila, Bang? Mabok di saat-saat begini? Kita mau berangkat ke tempat konser!"
Kantong mata Emil bengkak dan merah, menegaskan fakta bahwa pria ini habis menangis. Ada jejak air mata yang membekas di pipinya yang tirus dan pucat. Ihatra jadi tidak tega untuk marah-marah dan malah menanyainya hal lain, "Bang, jangan berangkat dulu. Lo ada masalah apa, hah?"
Emil mulanya tidak ingin menjawabnya, tetapi dia tidak pernah bisa melawan kecemasan dalam ekspresi Ihatra. Akhirnya dia menjawab, "Gue baru aja talak bini."
"Hah?"
"Gue mergokin dia," jawab Emil, pelan dan berbisik. Air mata merembes lagi di pipinya tanpa bisa ditahan. "Selingkuh ... enggak ada jalan keluar. Gue langsung talak dia di tempat ...."
Sesuatu merangsek dada Ihatra; rasa sakit hati, iba, kemarahan, berbagai lapisan perasaan yang menunjukkan betapa terkejutnya dia. Manajernya baru menikah empat bulan lalu, dan saat mengunjungi pesta pernikahannya, Ihatra pikir Emil adalah orang paling berbahagia sejagat raya. Ditalak, katanya? Kabarnya bahkan istrinya sekarang tengah mengandung.
"Tapi lo mau jadi bapak, kan?"
"Yang dikandung bini bukan anak gue."
"Anjโastagfirullah."
Emil mengangguk, tampak seperti pohon besar yang layu. "Semuanya kacau ... hidup gue ... bini gue selingkuh ...." Ada suara degukan kecil di tenggorokannya. Pria ini mabuk. Emosi mengambil alih kesadarannya.
Ihatra, sementara itu, merasa cemas sekaligus jengkel. Dia memeriksa jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 2.46. Mereka harus tiba di Meraki paling lambat pukul empat, dan perjalanan ini biasanya butuh satu setengah jam perjalanan. Sialan. Sudah pasti mereka akan telat. Namun karena Emil terlanjur kemari, Ihatra tidak bisa mengambil alternatif lain. Di sisi lain dia tahu manajernya butuh ruang untuk mengendalikan diri. Emil tidak stabil dan penuh ledakan-ledakan kemarahan akibat permasalahan rumah tangga. Ihatra akan menghiburnya, tetapi saat ini dia tidak mau mengambil risiko membiarkan dirinya disopiri orang mabuk.
"Gue aja yang nyetir," kata Ihatra, lalu cepat-cepat keluar dan berputar ke bangku sopir. Emil menahan pintunya, menggeleng dan meracau.
"Gue masih bisa nyetir. Tadi gue cuma minum sebotol doang ...."
"Nurut sama gue kalau kagak mau kecelakaan!" Dengan satu sentakan kuat, Ihatra berhasil melepaskan tangan Emil di kemudi mobil. Dia mendorong-dorong pria itu agar berpindah ke jok samping, dengan sedikit panik dan dilandasi letupan jengkel, Ihatra menyalakan mesin dan mendorong roda giginya, lantas melaju keluar dari kompleks pemukiman.
Berulang kali Ihatra melirik Emil yang menangis tersedu-sedu. Betapa aneh. Ini pertama kalinya dia melihat manajernya, yang biasanya gagah dan penuh wibawa, kini tampak seperti pria depresif yang ingin mengakhiri hidup. Air mata melelehi pipinya yang tersepuh semerah kepiting karena alkohol.
"Bang, udah, kagak usah nangis," kata Ihatra, masih sempatnya menghibur kala dia sendiri dirudung kesal. "Udah untung bini lo ketahuan sekarang. Bayangin kalau ketahuannya entaran pas anak lo udah lahir!"
"... bini gue, Yat...."
"Gue tahu, Bang, tapi bisa nggak sih lo tunda dulu sedihnya? Lo tahu nggak apa yang udah lo lakuin sekarang? Lo ngacauin acara besar gue!" Sambil marah-marah, Ihatra mengarahkan mobil memasuki jalan pintas yang lebih sepi. Navigasi pada mobilnya membawanya pada rute berkelok perbukitan yang sebelah kanannya berlatar jurang. "Sorry, gue turut berduka atas musibah lo, Bang, tapiโwaktunya keliru. Harusnya lo tuh profesional. Mikirin kerjaan dulu baru mabok-mabokan, bukan kayak gini caranya. Lo nyusahin gue, tahu nggak? Bang?"
"Gue juga enggak nyangka bakalan ngelihat bini berduaan sama orang asing di kamar, Yat. Lo kira gue mau kayak gini?"
"Lo bisa milih buat mabok kapan, ya Bang. Apa menurut lo mabok siang-siang gini itu bener?" Ihatra tidak sengaja melirik ke bawah dan terkejut ketika menemukan sebotol bir yang sudah kosong tergeletak di dekat kakinya. "Astagaโlo bahkan bawa-bawa miras di mobil? Emang gila lo."
Mengetahui Emil tidak merespons apa pun, Ihatra semakin darah tinggi. Rasanya dia ingin mencaci-maki manajernya dengan serapah paling buruk yang pernah dia ucapkan. Namun, niatnya keburu luntur lantaran sisi empatinya mengambil alih. Sejak dulu, Emil selalu bersikap baik kepadanya dan memberinya saran ini-itu setiap kali Ihatra dilanda konflik. Bahkan konser kali ini pun tidak akan terlaksana berkat gagasan dari Emil. Rasanya dia akan menjadi orang jahat bila tidak memberikan hal sebaliknya.
Akhirnya Ihatra mencoba bersabar dan mengajak manajernya bicara.
"Gimana kejadiannya sampai lo bisa nge-gap bini selingkuh?"
"Tadi pagi," kata Emil, dengan nada gusar dan napas terpotong-potong, "Gu-gue izin pergi lebih awal buat ngurus sesuatu. Bini kira gue nggak bakalan balik lagi sampai malem ... jadi dia nyelundupin selingkuhannya di kamar. Tapi dia ketahuan pas gue balik ke rumah buat ambil charger. Gue marah besarโudah hampir nyelakain mereka berdua ... tapi keburu sadar waktu bini ngingetin kalau dia lagi hamil. Di saat itu gue semprot dia pakai kata-kata talak, dan bini gue ... dia langsung minggat sama selingkuhannya. Nggak lama setelah itu dia ngirimin gue pesan yang bilang kalau bayi yang dia kandung selama ini bukan anak gue. Di situ gue hancur, Yat. Gue nggak tahu ... habis itu gue jalanin sisa pagi dengan minum-minum ... terus baru inget kalau sorenya harus antar lo.... "
"Ya ampun, Bang ... tadi siang lo tuh harusnya konfirmasi aja kalau kagak bisa anter. Gue bisa cari orang lain buat gantiin lo sementara waktu. Beruntung lo kagak kecelakaan pas ke rumah gue!"
"Siapa yang punya waktu buat ... mikir jernih ...."
Lalu suara Emil mendadak menghilang. Ihatra menengok ke samping dan melihat manajernya sudah teler, tertidur dengan wajah kacau.
"Lo bilang tadi masih bisa nyetir!" protesnya, yang tentu saja tidak mendapatkan tanggapan apa-apa.
Ketika hendak berbelok ke turunan yang agak curam, Ihatra sengaja menepikan mobil lebih ke kiri. Kemudian dari arah berlawanan, sebuah bus wisata yang membawa anak-anak juga lewat di rute yang sama. Kedua kendaraan berbelok di tikungan. Saat Ihatra sedikit menaikkan kecepatan, mendadak saja ban mobilnya meletus.
Keterkejutan menyentaknya saat itu juga. Ihatra secara refleks membanting setir ke kanan, tetapi tabrakan tidak bisa dielakkan. Dia merasakan bagian mobil sebelah kanan menghantam sesuatu yang luar biasa keras, lalu tubuhnya terdorong ke samping, bersamaan dengan kaca mobilnya yang pecah menjadi serpihan. Bus seketika oleng dan menghantam pembatas jalan sehingga mengoyak pagar. Mobil Ihatra yang tersangkut badan bus pun ikut terseret, kemudian kedua kendaraan jungkir balik dan terjun ke dasar jurang.
-oOo-
Ihatra merasakan anyir darah mengecap di lidahnya, membasahi kepalanya, dan menjepit tubuhnya di antara puing-puing kehancuran.
Dia mengerjapkan mata. Buram.
Seseorang bernapas merintih di dekatnya.
"Tolong...."
Ihatra berusaha menggerakkan jari-jarinya. Dia hampir tidak bisa merasakan kakinya sendiri, tetapi seluruh indranya masih berfungsi. Suara Emil yang merintih membuatnya tersadar.
"Tolong ... gue...."
"Bang ...." Ihatra berjuang menarik tubuhnya sendiri. Dia berada dalam kegelapan yang pekat. Asap pembakaran mesin mengisi penciumannya. Kuat dan berbahaya. Dalam kesadarannya yang hampir timbul tenggelam, alarm dalam kepalanya menyentaknya untuk bangun. Bergerak. Cari bantuan!
"Bang Emil ...." Ihatra menggapai-gapai, menemukan tangan Emil, licin dan hangat karena darah. Dia mengerjapkan mata lagi, kemudian melihat kekacauan lebih jelas. Dirinya sendiri rupanya berada dalam posisi yang memungkinkan untuk keluar lewat lubang pada jendela yang pecah, tetapi Emil tidak. Manajernya terjepit di antara dua jok yang terlipat dan koyak oleh benturan. Separuh wajahnya hancur. Ihatra dapat melihatnya, di antara kemuraman suasana dan kabut asap yang tebal. Mata kanan Emil hampir terdorong keluar, sementara darah melumuri kepalanya, membuatnya bermandikan darah pekat.
Perlahan-lahan, Ihatra mendorong diri agar memanjat jendela di atasnya. Di luar dugaan, dia bisa keluar dengan mudah. Kakinya amat sakit, meninggalkan jejak berdarah setiap kali dia menapakkannya ke dasar jurang yang berkerikil tajam. Ihatra mengintip dari celah jendela, memeriksa Emil yang masih bernapas. Ketika dia berpaling melihat ke belakang, benaknya dikejutkan oleh bus yang terbalik dan terciprat darah dari setiap jendelanya yang pecah.
Dari dalam sana terdengar suara rintihan. Tangisan yang lebih keras.
Ihatra melorot ke tanah, gemetaran dan terguncang.
Pusaran kelabu asap berpusing. Membuatnya mual, membuatnya hancur.
Rintihan anak-anak.
Dia telah membunuh anak-anak di dalam bus.[]ย
-oOo-
.
.
.
.
Jadi.... yah, aku kasian sama Iyat....
Sebenernya chapter ini panjang, tapi aku ringkas aja deh biar efek ngerinya dapet ๐
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top