4. Kebebasan yang Dipaksakan
Happy readiiiingg~
-oOo-ย
CAHAYA matahari menembus kaca yang menghadap kebun bunga di pekarangan, menerangi ruang tamu berantakan di baliknya. Ihatra yang berdiri di dekat sofa tidak bisa menutup mata dari kekacauan yang ditimbulkannya sendiri; kotak-kotak makan sisa dua hari lalu masih teronggok di sudut, kemeja bekas pakai dan kaus kaki berserakan di lantai. Di atas meja terdapat stoples kukis yang tutupnya hilang entah ke mana, lalu kabel-kabel kusut menjuntai dari laptop dan gawai.
Biasanya selalu ada yang mengurus hari-hari Ihatra di Jakarta. Selain manajer baru dan staf yang setiap waktu mengontrol jadwalnya, Ihatra terbiasa mengandalkan urusan bersih-bersih kepada asisten mesinnya di rumah; pemrograman canggih dan fitur-fitur yang mempermudah pekerjaannya, bahkan layanan pesan antar khusus yang tahu kebutuhan nutrisinya. Pokoknya semua kenyamanan modern ada di dalamnya. Namun, dia yang sekarang tinggal sendiri di sebuah pulau harus menahan hasrat untuk bermanja dengan teknologi, dan tidak ada yang bisa dilakukannya selain membiasakan diri dengan semua keterbatasan ini.
Dengan kesal, Ihatra menatap kebun bunga di sisi ruangan. Sinar yang jatuh pada kuncup-kuncupnya yang berembun membuat kebun berkilau seperti dalam dunia dongeng. Seorang laki-laki berada di antara semak-semak, berdiri membelakanginya sambil menyirami tanaman; Pak Ersan.
Kepalanya yang hampir plontos nyaris membutakan mata Ihatra.
Sepertinya sejak pagi pria itu sudah datang untuk mengurus kebun. Dia bukan orang yang diminta khusus mengurus Ihatra, tetapi selama ini Pak Ersan banyak membantunya. Ihatra menggeser kaca di sisi ruangan, lalu keluar dari ruang tamu.
Pak Ersan rupanya mendengar suaranya sehingga dia berbalik. "Baru bangun, Yat?"
"Tadi habis subuh tidur lagi, Pak."
"Waduh, enggak baik itu tidur setelah subuh. Bisa ngusir rezeki."
"Hehe, maaf, Pak. Tadi enggak kuat nahan ngantuk." Ihatra duduk di undakan teras lalu meluruskan kakinya sehingga terpapar sinar. "Di sini panas terus ya, Pak, hawanya. Padahal masih jam sembilan, loh."
"Biasanya emang sering panas sepanjang tahun. Hujannya cuma beberapa hari di bulan-bulan tertentu." Pak Ersan berujar. "Tapi ini jenis panas yang bikin kamu rindu, Yat. Panas tapi anginnya sejuk. Kamu nanti sore ada acara, enggak?"
Ihatra menggeleng.
"Sip. Bapak mau ajak kamu keliling. Di balai desa sore nanti ada latihan buat festival bulan depan. Banyak ibu-ibu yang masak. Kita sekalian makan di sana."
"Wah, baik banget warga sini. Bapak juga ikut festival itu?"
"Ikut bantu-bantu aja. Yang tampil di pertunjukan hanya orang-orang tertentuโanak-anak muda atau orang dewasa yang masih kuat gitu."
"Emang ada apa aja di festivalnya, Pak?"
"Yaa ... enggak banyak. Tapi ada aktraksi, tarian, sama undian berhadiah. Ngomong-ngomong kamu udah tahu festivalnya, ya?" Pak Ersan bertanya selagi mengguncang-guncang pot penyiram tanaman, mengosongkan isinya pada semak bunga terakhir yang masih berupa kuncup-kuncup berwarna kuning.
"Waktu itu ada yang beritahu saya sih, Pak. Katanya dia penari," kata Ihatra sambil mengerutkan kening, mengingat-ingat. "Namanya ... Tsabita. Adiknya namanya Pandushaka."
"Ooh, Bita sama Shaka. Iya, iya, yang cewek memang jadi salah satu penari. Lah kok kamu bisa ketemu mereka?"
"Ketemu di toko pinggir pantai yang jual oleh-oleh, Pak."
Pak Ersan menyongsong pot air yang kosong lalu meletakkannya di bawah undakan teras, secara hati-hati ikut duduk di sebelah Ihatra. Kemudian dia bercerita sedikit mengenai sepasang saudara itu.
Rupanya, Bita dan Shaka tinggal tidak jauh dari rumah Ihatra. Palingan jalan kaki tiga puluh menit nyampe, begitu kata Pak Ersan, selanjutnya mengoceh tentang rute perjalanan ke rumah Shaka tanpa peduli apakah Ihatra kebingungan atau tidak. Karena tidak enak mau memotong penjelasannya, Ihatra memutuskan untuk yang-penting-mendengarkan sambil menatap sekawanan kupu-kupu yang mengitari bunga-bunga kebun.
Sempat terlintas di pikiran Ihatra bahwa dia ingin menanyakan kepada Pak Ersan apakah Bita dan Shaka punya kecenderungan untuk membuatnya merasa terintimidasi sebagai artis bermasalah, tetapi niatnya urung. Akhirnya dia bertanya hal lain, "Pak Ersan di desa ini tinggal sama siapa?"
Pak Ersan merogoh kantong di saku celananya, mengeluarkan sebatang rokok dan geretan api. "Sama istri aja, Yat. Tiga tahun lalu Bapak masih tinggal sama putra, namanya Zakir. Tapi sekarang dia udah kerja di Australia dan katanya mau nyari jodoh orang sana." Lalu Pak Ersan menyodorkan sebungkus rokok kepada Ihatra, yang ditolaknya dengan gelengan sopan.
"Loh, Bapak pikir kamu ngerokok."
"Emang saya kelihatan kayak perokok?"
Pak Ersan terkikik kecil. "Haha, ya enggak, sih. Cuma Bapak kira artis-artis muda itu sudah biasa ngerokok. Kan katanya kamu pernah main film juga, eh? Emangnya enggak ada adegan ngerokok gitu?"
"Ada sih dulu. Rokoknya saya selipin di bibir doang, enggak diisap," Ihatra mengingat-ingat kenangan beberapa tahun lalu sambil tertawa. "Lagi pula penggemar saya dulu bisa kecewa kalau ngelihat saya ngerokok."
"Loh," Pak Ersan langsung mengernyitkan kening. "Berarti kamu pura-pura jadi anak baik dong kalau di depan penggemar?"
Ihatra rasanya ingin mengelus dada mendengar hal itu.
"Enggak gitu, Pak. Saya memang menghindari rokok demi alasan kesehatan, bukan karena takut kehilangan nama. Lagi pula, tanpa merokok pun karier saya udah hancur."
Mendadak saja, timbul keheningan di tempat itu. Ihatra rupanya menyadari bahwa dia tak sengaja meluapkan emosi pada orang yang salah. Dia melirik Pak Ersan, yang tampaknya masih asyik ngebal-ngebul asap dan tidak terpengaruh apa-apa atas ucapannya. Pak Ersan memang hanya sebatas tahu bahwa Ihatra adalah seorang artis. Tidak ada kelanjutan kisah yang diberitahukan kepada pria itu tentang alasan kedatangannya.
Pelan-pelan, Ihatra mencairkan suasana dengan bertanya kembali, sekadar memastikan. "Bapak masih ingat kan tentang permintaan saya?"
Pak Ersan menjawab dengan kalem. "Tentang kamu yang kepengin identitasnya dirahasiakan? Kalau itu kamu tenang aja. Orang-orang di desa ini enggak ada yang peduli dengan pendatang baru, bahkan kalau kamu cerewet menggemborkan siapa dirimu."
Entah bagaimana, kalimat terakhir Pak Ersan membuat Ihatra larut dalam pemikiran baru. Dia tidak ingin dikenali, karena toh namanya yang sekarang telah tercemar.
Rasanya menyedihkan, bersembunyi di tempat ini hanya agar terbebas dari mulut-mulut yang membicarakannya di kota tempat kariernya bersahaja dulu, dan kenyataan tentang penduduk Pinggala yang terlalu tidak peduli siapa dirinya malah membuatnya malu. Mengapa Ihatra terlalu repot memikirkan apa yang ada di dalam otak orang lain mengenai dirinya, sih? Seakan-akan dia sendiri berharap untuk diperhatikan. Dia kan bukan siapa-siapa di desa kecil ini. Dia tidak menjadi bagian yang layak untuk diberitakan. Termasuk pemuda bernama Shaka dan kakaknya yang bernama Tsabita itu ... mungkin selama ini Ihatra hanya salah paham tentang mereka berdua ....
"Kamu itu sebenarnya kenapa, Yat?" tanya Pak Ersan tiba-tiba. "Tahu, enggak? Waktu pertama kali datang untuk membeli rumah ini, kamu pendiam dan muruuung sekali. Kamu sekadar bilang kalau sementara waktu kamu akan tinggal di sini. Kamu bilang kamu seorang artis yang sedang berlibur, tapi Bapak bisa membaca rahasia di wajahmu."
Ihatra tidak tahu bagaimana harus menanggapi Pak Ersan, sehingga dia hanya berkata dengan alis terangkat. "Bapak serius tahu rahasia saya?"
"Kamu pergi ke tempat ini karena ada sesuatu yang kamu hindari di luar sana, kan?"
Ihatra tidak menjawab pertanyaan itu. Dia memandang ke arah kakinya yang berselonjor melewati batas teras. Pada kaki kirinya yang sudah tidak bisa digunakan seluwes dulu lagi. Kalau diperhatikan baik-baik, ada bekas jahitan yang membujur dari tumit kirinya sampai beberapa senti melewati garis pergelangannya. Itu sisa luka akibat kecelakaan mobil yang dideritanya beberapa bulan lalu, yang cukup serius, walau tidak mengancam nyawanya. Tetapi apabila membayangkan kembali dirinya yang mengalami kecelakaan saat itu, serta tanggapan serta tindakan orang-orang di sekelilingnya, Ihatra mungkin berpikir yang bisa membunuhnya bukanlah luka akibat kecelakaan, melainkan hidup baru yang dia dapat setelah kecelakaan. Dia tidak bisa tinggal lebih lama lagi di Jakarta, maupun di Jogja tempat kelahirannya. Dia tidak mau melihat orang-orang itu lagi.
"Betul, Pak," kata Ihatra lirih. "Saya takut sama media yang ngejar-ngejar saya dan bikin berita buruk tentang saya. Saya takut sama penggemar saya yang sekarang."
Pak Ersan tiba-tiba berdiri dengan menumpu berat badan pada kaki kirinya, lalu mengambil tongkat di dekatnya. Pria itu berputar sebentar menghadap Ihatra.
"Iyat, Bapak beritahu sesuatu. Apa pun yang kamu cemaskan tentang dirimu, selama kamu berada di desa ini, lupakan sejenak masalahmu. Kamu datang untuk berlibur, jadi jangan mengacaukan liburanmu sendiri dengan berpikir yang enggak-enggak. Hiduplah sedikit, Iyat. Desa ini enggak seperti kotamu yang padat penduduk. Enggak bakal ada wartawan, media, atau gadis-gadis muda yang mengejarmu karena desa ini dipenuhi manula."
Tiba-tiba Ihatra kepikiran Tsabita.
"Yah, ada satu gadis yang luput dari perhitungan Bapak."
Pak Ersan terkejut, sekejap saja lupa tentang siapa gadis yang dibicarakan Ihatra. Kemudian, dia tertawa, "Oh, Bita, maksudmu? Yah, kalau dia enggak nempel terus sama si pelatih tinju itu, mungkin dia juga bisa naksir sama kamu."[]
-oOo-
.
.
.
Pelatih tinju?
Second lead?
Hmmm, let's see dia second lead apa bukan
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top