37. Cerita Dini Hari
Met sowreee. Selamat menikmati hidangan kali ini gaes ๐
-oOo-
KENYATAANNYA, sampai pukul sepuluh malam, hujan tidak kunjung mereda. Justru semakin deras dan liar. Ihatra menatap kaca jendela kamarnya yang terpercik air hujan, lalu menunduk pada langkan di balik teras kamar yang mulai digenangi air sebatas mata kaki. Benaknya khawatir apakah hujan kali ini akan berujung banjir di keesokan hari.
"Bita," Ihatra tiba-tiba berputar dari jendela untuk menatap Tsabita yang sedang duduk di pinggir kasur sambil menyesap teh sedikit-sedikit. "Gimana kalau kamu nginep aja di sini?"
Pertanyaan itu langsung membuat Tsabita hampir memuncratkan teh.
Wanita itu menurunkan gelasnya dan memandang Ihatra dengan senyum canggung. "Saya tungguin sampai hujan reda aja, Mas. Sampai malam juga enggak papa."
"Kalau enggak reda gimana? Saya dan Jayden enggak punya mantel buat ngantar kamu."
"Saya telepon Shaka aja buat jemput." Lalu Tsabita teringat bahwa ponselnya mati karena kena air hujan. "Mas ada WA-nya Shaka, enggak? Boleh pinjam buat kirim pesan?"
Ihatra menghampiri Tsabita dan duduk di kursi di hadapannya. Dia merogoh kantong celana dan menyalurkan ponselnya pada wanita itu. "Nomor pinnya 0901. Saya simpan kontaknya pakai nama dia."
"Eh, iya." Tsabita membuka kunci ponsel Ihatra, berusaha menyingkirkan pertanyaan mengapa pria satu ini membagikan pin layarnya dengan cuma-cuma. Selagi Tsabita sibuk mengetik pesan kepada adiknya lewat WhatsApp, Ihatra memperhatikan wanita itu diam-diam.
Aksinya terpecah ketika Tsabita mendadak mendongak padanya sambil tersenyum. "Sudah, Mas. Makasih, ya."
"Kenapa enggak nginep sini aja sih, Bit? Kan lebih enak," kata Ihatra seraya mengambil ponselnya kembali. "Shaka juga sebetulnya kasihan kalau harus jauh-jauh kemari. Di luar sana derasnya luar biasa. Jalanan juga pasti enggak begitu kelihatan."
Tsabita kebingungan bagaimana menjawabnya. Mengapa orang ini beranggapan menginap di rumah lawan jenis itu lebih baik? Apa semua laki-laki dewasa yang tinggal di daerah perkotaan memang seenteng ini dalam memutuskan? Karena kehabisan alasan untuk membuat jawaban yang tidak menyinggung, akhirnya Tsabita membalas, "Saya enggak enak kalau harus tidur di rumah laki-laki."
"Sekalipun itu teman?"
"Pokoknya lawan jenis."
"Tapi di sini ada Jayden dan Pak Ersan," kata Ihatra. "Pak Ersan juga pasti nginap di sini. Beliau enggak mungkin pulang sendirian hujan deres begini. Yang ada kami bertiga justru menjaga kamu, Bita."
Tsabita sebetulnya percaya kepada mereka semua. Namun, sulit menyingkirkan perasaan bersalah yang berkubang di benaknya. Kendati dirinya sudah ogah melanjutkan hubungan dengan Egar, rasanya aneh kalau setelah pertengkarannya, dia justru tidur di rumah laki-laki lain. Ini seperti perselingkuhan yang direncanakan, walaupun kenyatannya sangat jauh dari itu.
"Nggak papa, Mas. Saya lebih nyaman tidur di rumah," tegas Tsabita, kemudian mengambil cangkir tehnya lagi di meja.
Beberapa saat kemudian, notifikasi pesan Ihatra berbunyi. Pria itu memberitahu bahwa Shaka baru saja membalas. Tsabita yang tidak mau repot meminjam ponsel, akhirnya meminta tolong Ihatra untuk membacakan pesan terakhir.
"Di sini banjir. Aku sama Ibu lagi repot. Kalau nanti udah reda, aku jemput." Tsabita membuang napas lega. Lekas sejenak, Ihatra melanjutkan, "Tapi kalau hujannya masih deras, Mbak nginep di sana aja. Besok pagi-pagi sebelum berangkat sekolah aku jemput pulang. Kayaknya ini hujannya nggak bakal reda sampai subuh, sih. Jadi jaga-jaga aja ya, Mbak."
"Wah," kata Ihatra, menunjukkan layar ponselnya pada Tsabita. Ada cengiran tipis yang muncul di wajahnya. "Shaka aja bilang gini. So?"
"Uh, tapi ...."
"Kamu tidur di kamar ini aja. Nanti saya biar tidur sama Jayden."
Tsabita yang tidak bisa berkutik apa-apa, akhirnya mengangguk pasrah. Selang beberapa menit kemudian, tidak ada perbincangan yang memecah keheningan di antara keduanya. Ihatra masih asyik menggulir-gulir layar ponsel, sementara Tsabita hanya menikmati teh hangat dan mengudap kacang mente sambil sesekali menatap langit di luar. Benaknya sejak tadi masih memutar-mutar skenario putus cinta yang akan dilakukannya ketika bertemu Egar, sebab Tsabita yakin, cepat atau lambat Egar pasti akan berusaha menghubunginya dan membuat penjelasan.
Di saat-saat renungan itu, Ihatra tiba-tiba berceletuk, "Saya boleh tanya sesuatu ke kamu?"
"Tanya apa, Mas?"
"Kenapa kamu menjalin hubungan sama Egar?"
Tsabita terdiam, berpikir-pikir. Entah bagaimana pertanyaan ini terasa sulit dijawab.
"Saya ..." Wanita itu menarik napas dalam-dalam dan berusaha menyusun perasaannya yang terbelit dan kocar-kacir. Keputusan berpacaran dengan Egar bukan sesepele rasa suka biasa. Ada suatu alasan yang melatarbelakangi itu, dan Tsabita baru kepikiran ini sekarang. "Saya suka sama Egar ... karena dia mengingatkan saya sama Om Yanu."
Ihatra memberi waktu Tsabita untuk menjelaskan, dan wanita itu melanjutkan, "Om Yanu udah seperti orang tua saya sendiri. Dia selalu memastikan saya baik-baik aja, dan suka marahin anak-anak yang dulu ganggu saya di sekolah. Duluuu banget, Om Yanu pernah nyeletuk ke saya, katanya dia hanya mau menerima laki-laki yang bisa melindungi dan memberi saya rasa aman. 'Kalau calon suamimu klemar-klemer dan kayak banci, Om nggak mau merestui pernikahan kamu nantinya, Bit' Gitu pesannya Om Yanu." Tsabita terkekeh kecil tatkala mengingat masa itu. "Terus, setelah beliau meninggal, saya kehilangan sosoknya. Hidup saya jadi hampa dan berat. Saya selalu merasa kesepian dan enggak punya sandaran. Lalu ... beberapa tahun kemudian, datanglah Egar, dengan wataknya yang supel dan gemar menolong, dengan mudahnya dia bikin saya nyaman. Saya melihat sifat Om Yanu pada Egarโprotektif, penyayang, dan enggak mau melihat saya kesusahan. Entah bagaimana keberadaan Egar mengingatkan saya dengan nasihat Om Yanu dulu, dan membuat saya yakin buat memilih Egar."
"Kamu suka Egar karena dia mengingatkan kamu sama walimu yang sudah meninggal?" Ihatra memastikan sekali lagi.
"Saya harap ini enggak membuat saya dicap sebagai perempuan yang mencintai orang hanya demi pelampiasan," Tsabita menekankan pelan, tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Saya menyayangi Om Yanu sebagai wali, dan saya menyukai Egar sebagai kekasih. Itu dua hal yang berbeda. Sama sekali enggak ada niat pelampiasan berpacaran sama dia karena saya ditinggal mati orang tercinta. Andai Om Yanu masih hidup pun, saya pikir beliau bakal senang kalau ketemu Egar."
"Iya, saya tahu." Ihatra tersenyum menenangkan, agak terkejut karena Tsabita mudah terbawa perasaan. "Saya justru merasa iri sama Egar karena dia mendapat orang setulus kamu."
"Saya pun selalu berusaha buat jadi orang terbaik buatnya."
"Terus apa kamu masih percaya setelah dia melakukan perbuatan itu?"
Tsabita tersenyum berat dan menggeleng lemah, "Saya mana tahu dia bakal berbuat gitu kan, Mas? Selama ini hubungan saya dengannya baik-baik aja. Egar berubah sejak ...."
Suara Tsabita menghilang di akhir. Ihatra melihat raut wanita itu agak tidak nyaman, seolah-olah hampir saja keceplosan sesuatu. Akhirnya Ihatra menebak tanpa ragu, "Sejak saya datang ke sini?"
"Iya."
"Apa semua ini salah saya?"
"Bukan, Mas."
"Tapi dia cemburu karena saya selalu ada di dekatmu, kan?"
Tsabita mengusap kedua tangannya di pangkuan seraya berpikir, "Saya rasa ... manusia punya sisi buruk, termasuk Egar dan reaksi-reaksi kecemburuannya yang terlalu kelewatan. Semuanya hanya masalah waktu sampai watak terburuknya terungkap. Mungkin ini petunjuk dari Allah agar saya menjauh dari Egar ... sebelum terlambat."
Ihatra mengangguk. Rasanya dia ingin memeluk Tsabita dan berkata sesuatu untuk menghiburnya, tetapi dia tahu Tsabita bukan orang yang mudah menerima perlakuan itu, apalagi dari lawan jenis. Wanita ini menciptakan jarak dan batasan yang jelas dalam hubungannya, dan Ihatra merasa lebih marah karena Egar begitu berani menembus batas itu. Seandainya dia diperbolehkan untuk membalas, Ihatra tidak akan melewatkan satu detik kesempatan demi bisa menyarangkan pukulan ke wajah Egar.
"Omong-omong," Ihatra melihat jam di layar ponselnya, seketika menyingkirkan skenario balas dendam dalam kepalanya. "Kalau kamu ada apa-apa, panggil saya di luar ya, Bit. Anggap aja rumah sendiri." Kemudian Ihatra bangkit dari kursi dan hendak menuju pintu.
Namun, belum sempat langkahnya melewati ambang, Tsabita tahu-tahu berceletuk;
"Apa menurut Mas Iyat saya salah?"
Ihatra berputar. "Maksudnya?"
"Kalau Mas jadi Egar, apa Mas akan marah ke saya karena saya seakan membiarkan Mas Iyat berada di dekat saya terus-menerus?" Suara Tsabita pecah di akhir. "Seperti saat ini?"
"Enggak. Bukan kamu yang salah." Ihatra menatap mata Tsabita yang merah dan berkaca-kaca. Betapa rapuh pundak itu menanggung semua tuduhan yang tidak bermuara jelas. "Kamu enggak melakukan apa pun. Kamu bereaksi dengan normal dan wajar. Seharusnya yang harus introspeksi adalah Egar. Kalian udah coba komunikasi sebelum ini, kan?"
"Kami udah pernah cekcok satu kaliโwaktu itu, di sasana tinju. Tapi Egar sepertinya enggak menangkap dengan baik pembelaan saya."
"Itulah masalahnya. Mau sampai kapan kamu menuruti ego pasangan, padahal dia sendiri enggan berusaha buat memahamimu?" Lalu Ihatra terdiam sejenak, berpikir untuk mengakuinya saja; "Saya rasa sekarang adalah waktunya kamu membuat keputusan, Bita. Ada banyak pria di dunia ini yang bisa lebih menghargai ketulusan pasangannya. Kamu bahkan enggak perlu mencarinya jauh-jauh demi mendapatkan hal itu."
Tsabita menatap mata Ihatra lurus-lurus, dan Ihatra melanjutkan dengan sungguh-sungguh, "Sebab saya selalu ada di sini."
Pria itu berbalik dan keluar kamar, bahkan sebelum Tsabita bisa bereaksi dengan kalimat terakhirnya.
-oOo-
Malam pukul 12.25, hujan akhirnya berhenti, tetapi Tsabita berpikir Shaka pasti sudah tidur di rumahnya sehingga dia tidak akan pergi kemari untuk menjemput. Diilhami pendapat itu, Tsabita sejak tadi menghabiskan waktu di kasur Ihatra dengan berguling ke kanan dan kiri, mencoba mencari posisi nyaman untuk tidur. Namun setelah lima belas menit sibuk sendiri, akhirnya dia menerima kenyataan bahwa malam ini dirinya tidak akan bisa tidur.
Barangkali, Ihatra-lah yang membuat keinginannya untuk tidur lenyap. Sebab Tsabita masih belum melupakan apa yang pria itu katakan sedetik sebelum dia keluar dari kamar; "Sebab saya selalu ada di sini." Kata-kata itu bukanlah kiasan atau gombalan belaka. Dia bisa melihat keyakinan itu terpatri dalam mata Ihatra, bercampur dengan rasa prihatin dan kemalangan atas hubungannya yang bertepuk sebelah tangan. Bagaimana reaksinya setelah mendengarnya? Tsabita hanya diam. Terpaku seperti robot yang kehabisan oli. Kebisuannya bukan tanpa alasan. Justru dia mempertanyakan mengapa sekarang pikirannya dipenuhi bayangan Ihatra. Apakah ini hanyalah efek nyaman setelah diselamatkan dari hujan deras, ataukah sebetulnya Tsabita menyimpan perasaan yang sama?
Tidak, semua ini terasa salah. Hubungannya dengan Egar baru saja berakhir. Tidak pantas baginya untuk berpaling ke lain hati. Tsabita bahkan tidak tahu harus mencintai Ihatra dengan cara apa. Dia memang merasa aman di dekat laki-laki itu, tetapi dia belum mengenalnya lebih jauh. Pria itu ... masih misterius. Masa lalunya belum tertebak. Entah di dunia mana dirinya selama ini berada. Skandal-skandalnya di dunia hiburan selama ini membuat Tsabita ragu.
Tsabita menyingkap selimutnya dan duduk di tepi kasur. Malam ini begitu sunyi. Dengung pendingin ruangan pun tidak terdengar. Benaknya lama-lama kesepian dan mulai mencari alasan untuk menghibur diri. Berusaha membunuh waktu, wanita itu pun memutuskan pergi ke dapur untuk mengambil minum.
Dia membuka pintu kamar Ihatra dan melangkah menyusuri lorongnya yang disepuh sinar temaram. Berbelok ke dapur, lalu mengambil gelas dari rak. Gerakannya pelan dan hati-hati, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara sedikit pun. Di mana dispenser air? Tsabita jelalatan ke kanan dan kiri. Masa rumah sebesar ini enggak ada dispenser? Atau barangkali dirinya yang terlalu norak karena tidak tahu bentuk dispenser yang biasa dipakai orang kaya. Karena malas mencari, akhirnya Tsabita membuka lemari pendingin. Dia baru saja menyentuh kemasan minum berisi sari buah ketika tiba-tiba mendengar bunyi rintihan seseorang.
Hampir saja gelas di tangannya tergelincir jatuh karena kaget. Tsabita buru-buru menutup lemari pendingin dan menatap lajur sofa yang ada di ruang tengah. Lampu di ruangan itu masih menyala, tetapi televisinya mati. Tsabita yakin suara rintihan itu bersumber dari sana. Apa ada orang yang tidur di sofanya?
Pak Ersan? Katanya kan beliau tidur sini.
Tsabita meletakkan gelas di konter dapur dan menghampiri sofa. Lalu, terkejut.
Bukan Pak Ersan. Rupanya Ihatra sedang berbaring di sana.
Kayaknya tadi Mas Iyat bilang mau tidur sama Jayden? Tsabita tidak tahu, barangkali dia akan menanyai hal ini besok pagi.
Lengan Ihatra terangkat menutup sebagian wajahnya. Sementara bunyi rintihan itu masih terdengar dari belah bibirnya yang terbuka lemas. Mimpi buruk? Tsabita secara hati-hati berlutut di dekat sofa dan memperhatikan lebih cermat. Karena tidak tega melihat pose tidur Ihatra, akhirnya dia menurunkan lengan di wajahnya dengan hati-hati, lalu menyampirkan lengannya di sisi tubuh.
"Supaya Mas bisa lega napasnya."
Tsabita tidak tahu mengapa dia berbisik-bisik begitu kepada orang tidur. Memangnya Ihatra akan mendengarnya?
Seharusnya, setelah membetulkan posisinya, Tsabita segera berdiri dan menyingkir. Namun, wanita itu malah berdiam di sana selama beberapa waktu. Memandangi wajah tidur Ihatra yang menunjukkan kerutan tidak nyaman. Apa yang orang ini mimpikan? Kenapa tidurnya enggak nyenyak? Kening Ihatra mengernyit. Bulu matanya bergetar. Lehernya tegang seolah berusaha lepas dari belitan mimpi buruk.
Tsabita menunduk lebih rendah untuk mendengar sesuatu yang dia racaukan, tetapi sejak tadi hanya terdengar erangan halus saja.
Agak prihatin, Tsabita beralih menggenggam tangan Ihatra dan meremasnya pelan. Dia menautkan jemarinya pada Ihatra dan berusaha menyalurkan kehangatan lewat cara itu.
Beberapa saat kemudian, rintihan itu mereda. Kernyitan di keningnya hilang. Ekspresi Ihatra kembali tenang.
Tsabita membuang napas lega dan bangkit pelan-pelan. Dia memandangi wajah Ihatra, lalu tersenyum tulus sambil berbisik, "Semoga setelah ini mimpi indah."
Setelah itu, Tsabita berdiri dengan hati-hati dan menyingkir dari sofa. Dia baru saja hendak kembali ke konter dapur ketika langkahnya terhenti lagi karena melihat sesuatu yang tergeletak di dekat kabinet televisi.
Anak panah dari festival waktu itu.[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Yaaahh anak panahnya ketemu gais. Udah bisa nebak kah apa yang akan terjadi selanjutnya? ๐
Hal buruk atau justru baik? Tebak aja deeehhh
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top