36. Aman Bersamaku
Hati2 gigit jari gemes 🤭
Jangan lupa vote dan komen yaaak
-oOo-
HUJAN turun bagaikan serbuan tombak yang memburu bumi. Bunyi gunturnya meredam tangisan Tsabita di sepanjang jalanan desa yang sepi dan berliku. Kepayahan dan kedinginan, Tsabita pun berteduh di sebuah halte kosong yang gelap. Tidak ada penerangan apa pun kecuali sepotong bulan di langit yang bermurah hati membagi sedikit cahayanya. Dia merogoh ponsel di saku celana, dengan tangan gemetar memencet-mencet tombol untuk menghidupkan layar. Namun tidak berfungsi apa-apa. Ponselnya mati karena sudah terlalu lama terguyur air hujan.
Apa yang harus dia lakukan? Jarak dari rumahnya masih begitu jauh. Dia sendiri tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Udara dingin mencekiknya, dan ingatan itu ... ingatan saat Egar menyentuhnya dengan kasar membuat kacau pertahanannya. Bagaimana bila orang itu menyusul kemari?
Dari bangku halte, Tsabita melongok hati-hati ke arah jalanan gelap tempatnya datang tadi, dengan gelisah membayangkan sorot lampu sen motor Egar muncul dari kejauhan.
Dia harus pergi, tetapi tubuhnya tidak bisa diajak kerjasama. Syok dan kelelahan menderanya hingga untuk berjalan pun rasanya sulit. Kakinya masih gemetar, dan dadanya terasa berat. Tsabita berusaha menyandarkan kepala di dinding dan memejamkan mata, berharap serangan panik ini mereda, walau kelihatannya tidak mungkin. Tidak mungkin. Semua energinya terkuras. Kepalanya sakit. Napasnya tinggal sepotong-potong.
Dia mungkin akan jatuh pingsan di sini.
Lalu kelak esok pagi, orang-orang desa akan menemukannya mati membeku....
Tsabita sedang membayangkan skenario buruk yang akan terjadi selanjutnya tatkala terdengar suara seseorang.
"Bita?"
Egar. Tidak.
Tsabita membuka mata dan cepat-cepat memekik panik. Dia bangkit dari kursi halte dan hendak kabur lagi menembus rinai hujan. Namun, pergelangannya tahu-tahu dicekal kuat; tubuhnya ditarik dan didekap erat. Wanita itu memberontak dan menjerit-jerit histeris, "LEPAS! LEPASIN―"
"Bita, tunggu―"
"JANGAN! TOLONG!"
"BITA, BERHENTI! INI SAYA!"
Butuh waktu beberapa detik sampai Tsabita sadar orang ini bukanlah Egar. Akhirnya dia berhenti memukul dan memprotes, lalu mendongak dengan takut.
Wajah cemas Ihatra menatapnya.
"Bita, astaga, kamu ngapain malem-malem di sini? Apa yang terjadi?"
"Mas Iyat...." Tsabita menyahut lirih. Adrenalin yang meliputinya tiba-tiba luntur dalam sekejap; wanita itu merosot lemas ke bawah. Ihatra buru-buru menopang tubuhnya sebelum menyentuh lantai. Payung yang dibawanya dibiarkan jatuh, sementara Ihatra menuntun Tsabita supaya duduk di bangku halte. Kepala wanita itu bersandar di dadanya. Napasnya bercampur senggukan tidak terkontrol dari tangisannya yang meledak-ledak. Ihatra menyingkirkan rambut Tsabita di wajahnya dan berusaha menenangkannya.
"Tsabita, tenang. Kamu kenapa?"
"Saya mau pulang...." Tsabita hanya meracau sambil meremas pakaian Ihatra dengan erat. "Mau pulang ... tolong...."
"Iya, saya antar pulang, tapi jawab dulu kamu kenapa?"
Namun Tsabita tidak menjawab. Hanya menangis dan merapatkan diri karena menggigil.
"Sial." Ihatra yakin pasti telah terjadi sesuatu pada wanita ini. Dia berpaling ke sekitar, menatap kawasan gelap yang diguyur hujan. Tidak ada orang lain atau kendaraan satu pun yang lewat. Apakah Tsabita baru saja dirampok? Dilukai orang? Asumsi itu membuatnya gelap mata; Ihatra segera memeriksa Tsabita lebih cermat―wajahnya, kedua tangan, dan tungkainya yang―astaga―tanpa alas kaki. Kenapa dia keluyuran sendirian di tengah hujan begini? Selain pakaiannya yang basah kuyup dan tubuhnya yang gemetar, kelihatannya Tsabita tidak terluka. Namun, ekspresinya meneriakkan teror. Ihatra ingin segera menggali jawabannya, tetapi waktunya tidak tepat. Saat ini yang terbaik adalah menyelamatkannya dulu. Bawa dia pergi.
Bukan, bukan di rumahnya. Lokasi itu terlalu jauh dari sini.
"Bita," Ihatra membujuk pelan, "kita ke rumah saya dulu karena lebih dekat."
Tsabita menggeleng. "Enggak―"
"Di rumah ada Jayden dan Pak Ersan," potong Ihatra, bergegas melepaskan jaketnya sendiri dan membantu Tsabita mengenakannya. Selepas itu dia menyelipkan tangannya pada belakang lutut Tsabita. Setelah meminta izin, dia mengangkat wanita itu dengan sekali ayunan.
Lalu Ihatra berkata yakin di dekatnya, "Saya janji kamu aman dengan saya."
-oOo-
Tsabita rasanya ingin melupakan kejadian hari ini, walaupun dia tahu itu mustahil. Bayangan perbuatan Egar akan menjadi satu dari sekian banyak mimpi buruk yang memburunya selama dia hidup. Dan kelak tidak ada yang bisa Tsabita lakukan selain berpura-pura kebal setiap kali ingatan pelecehan Egar datang, seperti halnya dia yang pura-pura tersenyum setiap kali Bu Nilam menanyainya tentang tragedi masa kecilnya.
Namun tidak mengapa, yang terpenting saat ini dirinya aman. Ihatra sudah berjanji akan menjaganya, dan Tsabita yakin pria itu memegang kata-katanya. Setelah digotong ke rumahnya dan diberi pakaian kering, Tsabita bahkan diizinkan untuk beristirahat di kasurnya. "Saya buatkan makanan dulu," begitulah kata-kata terakhir Ihatra sebelum pamit keluar dan meninggalkan Tsabita sendirian. Tsabita tidak membalas apa pun. Benaknya sejak tadi berubah layaknya gasing yang berputar cepat; menjejalinya dengan berbagai lapisan perasaan―keresahan, kebingungan, rasa malu, dan tidak percaya. Setelah Ihatra pergi, dia hanya merebah saja sambil menyelubungi tubuhnya dengan selimut yang hangat dan tebal. Matanya terpejam, tetapi pikirannya kacau. Jadi Tsabita membuka mata dan berusaha menyamankan diri di ruangan ini.
Beberapa saat kemudian, Tsabita mendengar suara langkah mendekati kamar. Tidak masuk, melainkan berdiri di ambang pintu yang terbuka setengah (Ihatra mungkin sengaja tidak menutup pintunya). Lalu bunyi langkah itu terganti dengan kasak-kusuk yang terdengar jelas dari tempat tidur.
"... udah tidur dia?" Suara Jayden, terdengar ingin tahu.
Tsabita pura-pura memejamkan mata. Dia bisa membayangkan seseorang mengintipnya dari kejauhan.
Lalu suara Ihatra terdengar, "Udah, Jay. Kita biarin dia istirahat dulu."
"Gimana ceritanya lo ketemu dia di pinggir jalan sih, Yat?"
"Ya gue enggak tahu. Tiba-tiba dia ada di halte deket perempatan apotek tutup itu, loh. Duduk sendirian sambil gemeteran. Gue kira hantu, anjir. Soalnya di sana gelap, deket semak-semak. Mana suaranya sesengukan kayak kunti nangis. Eh pas gue deketin ternyata Tsabita."
"Astaga, terus lo kenapa enggak telepon gue aja, sih? Kan bisa gue jemput pakai motor! Malah sok-sokan gendong Tsabita sampai sini sampai sendirinya basah kuyup, kagak takut masuk angin lo?"
"Gue juga panik pas itu." Lalu jeda sejenak. "Habisnya gue takut dia kenapa-kenapa."
"Lo udah cek dia? Ada luka nggak di badannya? Jangan-jangan sempet ketabrak kendaraan tuh cewek."
"Nggak ada. Gue udah nanya apa yang terjadi, tapi dia cuma nangis histeris. Gue juga awalnya khawatir dia kena begal, tapi di sekitaran sana enggak ada orang atau kendaraan."
"Lo nggak hubungin Shaka, Yat? Kan lo punya nomornya."
Tsabita meremas selimutnya. Jangan hubungi dia, tolong.
"Belom," kata Ihatra, lemah. "Gue mau pastiin ke Tsabita dulu apa masalahnya."
"Lo yang bener aja, monyet!"
"Gue serius! Kalau bilang ke Shaka sekarang pasti bakalan lebih kacau. Ntar dia heboh dateng ke sini, dan kita berdua pasti bakalan diinterogasi macam-macam. Belom lagi Tsabita bakal kebangun dan panik lagi kayak tadi. Lo mau tanggung jawab kalau tiba-tiba dia ada trauma atau semacamnya? Menurut gue yang paling bijak adalah biarin dia istirahat dulu sampai tenang, Jay. Baru ntar kita tanya dia baik-baik. Masalah pulang itu gampang."
Tsabita bahkan bisa mendengar desauan napas Jayden. "Ya udah, terserah. Lo masuk gih, anterin makanan dan obatnya. Kalau setengah jam dia belom bangun, lo bangunin aja dia buat minum obat dulu. Entar keburu demam."
Kemudian Tsabita mendengar pintu kamar dibuka, dan seseorang masuk. Wanita itu tetap pura-pura tidur di kasur. Selimut menutupi tubuh Tsabita sampai dada. Lalu dia merasakan Ihatra menarik pelan selimutnya agar menutup sampai leher. Pria itu meletakkan baki berisi makanan dan obat-obatan di nakas, kemudian duduk di pinggir ranjang dan mengecek suhu tubuh Tsabita dengan menempelkan punggung tangan di keningnya.
Selama beberapa saat, Tsabita tidak mendengar suara apa pun. Dia bertanya-tanya apa yang sedang Ihatra lakukan sekarang. Kenapa dia belum beranjak dari kasur? Apakah dia sedang bermain ponsel? Apakah dia sedang melamun? Apakah dia ....
Tsabita semakin penasaran, jadi dia memutuskan untuk membuka mata.
Saat itulah dia melihat Ihatra yang sejak tadi menatapnya tidur.
"Udah enakan?" Begitulah pertanyaan pertamanya.
Tsabita merasakan napasnya tercekat di tenggorokan. Rahangnya tegang dan jantungnya berdesir. Bukan karena malu, melainkan karena cemas dan takut. Jejak Egar masih membekas di tubuhnya, sehingga rasanya membiarkan dirinya berada sedekat ini dengan laki-laki lain memicu paniknya. Aneh, mengapa Tsabita baru merasakan ketidaknyamanan ini sekarang?
"Tsabita?" Ihatra bertanya lagi, dan Tsabita mengerjap sadar.
Wanita itu meremas selimut dan mendekapnya erat. "Sudah, Mas."
"Minum obat dulu, ya. Supaya besok enggak demam."
Tsabita bangun pelan-pelan dan berupaya mengusir rasa tidak nyaman itu jauh-jauh. Dia mengulang kata-kata Ihatra di benaknya; Saya janji kamu aman dengan saya.
Setelah meminum obatnya, Tsabita memandang Ihatra. "Makasih ya Mas."
"Sama-sama. Kamu beneran ngerasa baik-baik aja, kan?"
Tsabita mengangguk.
"Ada luka, nggak? Kakinya, mungkin? Soalnya tadi kamu keluyuran tanpa alas kaki."
"Hmm. Cekat-cekit aja, palingan lecet dikit."
"Ya udah nanti saya bawain salep," kata Ihatra, lalu jeda sejenak. "Kamu mau cerita ke saya apa yang terjadi tadi?"
Tsabita terdiam sebentar. Dia tidak ingin menceritakannya, tetapi ekspresi dan sorot mata Ihatra membuatnya goyah. Bagaimana memulainya? Tsabita tidak tahu. Setiap kali mengingat kejadian itu, dia merasa tersakiti dan kotor. Rasanya seperti dipermalukan terang-terangan namun tidak bisa membela diri. Mengapa tadi Tsabita tidak melawan Egar? Mengapa dia tidak memukulnya? Mengapa dia justru lari dari orang itu dan meninggalkannya begitu saja?
Pemikiran itu membuat Tsabita semakin merasa bodoh dan marah. Dia ingin melampiaskan emosinya pada sesuatu, tetapi tidak bisa. Dirinya terlalu pengecut, sehingga yang bisa dilakukannya hanyalah menangis dan meminta pertolongan....
"Bita, kamu nangis lagi," Ihatra meremas lembut tangan Tsabita. Ekspresinya berubah menyesal. "Kamu masih syok, ya? Ya udah kalau gitu enggak usah cerita. Istirahat dulu."
"Sa-saya...." Tsabita tidak mau kalah dengan perasaan itu. Dia berusaha menenangkan diri dan bersikap tegar, "Saya baru aja ... dilecehkan."
Ihatra membeku lama. "Hah, astaga ..." Tiba-tiba remasan di tangannya menguat. Raut pria itu menegang seperti dipenuhi amarah. "Siapa yang melakukan?"
Tsabita hanya menggeleng, dan Ihatra menebak; "Egar?"
Kebisuan Tsabita adalah jawabannya.
"Di mana dia sekarang?" Ihatra buru-buru bangkit, tetapi Tsabita menahan lengannya. Kecemasannya datang lagi. Bodoh kamu, Tsabita.
"Jangan, Mas―"
"Kamu diapain sama Egar?" Suara Ihatra naik beberapa tingkat, terselubungi amarah menggebu dan tersakiti. Rona merah keunguan melapisi raut Ihatra. Dia berlutut di lantai dan memegang kedua tangan Tsabita, meremasnya kuat. "Bita, jawab saya. Kamu diapain sama dia?"
Tsabita berjuang mengambil napas. "Dicium ... dipegang-pegang...."
"Astagfirullah." Ihatra mengusap wajahnya sendiri dan rautnya sedikit memucat. Dia terdiam seraya menatap Tsabita lamat-lamat, masih tidak menyangka setelah mendengar berita ini. "Terus tadi gimana cara kamu lepas dari dia?"
"Egar ... kayaknya sadar sesuatu, karena tiba-tiba dia berhenti nyentuh saya. Dia sempat minta maaf, tapi saya kabur duluan karena takut."
Ihatra mengangguk mengerti. Sorotnya seperti memberi Tsabita kekuatan.
"Besok pagi," kata Ihatra, "kita laporkan Egar ke poli―"
"Jangan, Mas." Tsabita buru-buru memotong. Saking paniknya, wanita itu menangkup tangan Ihatra dan membawanya ke keningnya. Ihatra bisa merasakan genggaman Tsabita bergetar karena rasa takut. "Jangan laporkan dia, saya mohon. Tadi Egar sudah menyadari perbuatannya."
"Bita, dia baru aja melecehkan kamu. Penjahat itu harus dilaporkan!"
"Saya yakin dia cuma khilaf."
"Enggak memperbaiki apa yang udah dia lakukan ke kamu."
Tsabita menggeleng. "Kalau lapor polisi, akan semakin rumit, Mas. Saya enggak mau ini jadi konflik antara keluarga saya dan keluarganya Egar. Saya kenal dengan ibunya―dia baik sekali sama keluaga saya. Kami sudah seperti saudara sejak dulu."
"Terus kamu mau biarin dia gitu aja, gitu? Kamu memaafkan dia yang udah berbuat seperti itu ke kamu?"
"Saya ... saya akan selesaikan itu sendiri," kata Tsabita, masih memohon. "Satu hal yang pasti, saya enggak akan mempertahankan hubungan lagi dengan dia. Biar ini menjadi urusan kami berdua aja. Enggak perlu ada acara lapor polisi apalagi sampai menyeret nama keluarganya. Kasihan ibu dan adiknya. Mereka pasti jadi gunjingan orang-orang sekitar...."
Ekspresi Ihatra melunak. Akhirnya dia menyetujui keputusan itu.
"Kamu mau saya temani ngomong sama dia?"
"Jangan, Mas. Kalau dia tahu, masalahnya enggak akan selesai dengan mudah."
"Saya pukuli dia buat kamu."
"Astaga, jangan kekerasan lagi ...." Tsabita mulai merengek. Genggamannya di tangan Ihatra semakin menguat. "Saya mohon."
"Kalau gitu kamu ngomong ke dia lewat telepon atau pesan," putus Ihatra. "Jangan ketemuan sama dia selama beberapa waktu ini. Bahkan kalau dia datang ke rumahmu, kamu harus berani buat usir dia, Bita."
Tsabita terdiam sejenak, berpikir-pikir. "Iya."
"Janji ke saya," Ihatra mengacungkan jari kelingkingnya di depan Tsabita. "Ayo, janji ke saya kalau kamu enggak akan ketemu dia selama beberapa waktu ini, setidaknya sampai kamu benar-benar siap dan yakin bahwa dia sudah betul-betul taubat. Saya enggak mau dengar berita kamu dilecehkan lagi, apalagi sama si keparat itu."
Tsabita menyambut kelingking Ihatra sambil tersenyum lemah. "Makasih sudah membela saya, Mas."
"Kalau saya tahu dia berbuat ulah, saya enggak akan segan buat menantangnya."
"Dia petinju yang enggak bisa diremehkan," kata Tsabita. "Saya yang takut Mas Iyat kenapa-kenapa."
"Ada banyak cara buat menghukum orang seperti itu."
"Pokoknya saya mau bicara dulu sama dia. Saya yakin semuanya akan selesai tanpa ada konflik berkelanjutan." Tsabita menatap Ihatra lurus-lurus. "Lalu maafkan saya karena udah cerita soal ini. Saya mohon ... jangan bilang siapa-siapa dulu."
Namun Ihatra tiba-tiba berpaling ke seberang ruangan. "Sayangnya Jayden udah nguping dari tadi."
Tsabita terkejut dan menoleh. Tepat saat itu, ada bayangan yang berkelebat dari balik pintu yang tidak tertutup. Kemudian terdengar langkah orang yang sedang berlari menjauh dengan bunyi gedebak-gedebuk.
Jayden, batin Ihatra. Lo selalu ngerusak suasana.
Ihatra meyakinkan Tsabita yang memasang wajah khawatir, "Tenang, nanti saya bilang dia supaya merahasiakan hal ini."
"Saya udah ngerepotin kalian berdua ...."
"Yang penting kamu baik-baik aja sekarang."
Tsabita mengangguk, dan Ihatra akhirnya berdiri. "Kalau gitu saya tinggal dulu bentar. Buburnya dimakan, keburu dingin. Nanti kalau hujan udah reda, saya antar kamu pulang."[]
-oOo-
.
.
.
Masih kurang?
Tenang, besok2 bakalan lebih panjang 😙
Dan ada hal yg lebih menggemaskan lagi~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top