32. Lukisan Tsabita
Akhirnya bisa update lagi! Selamat membacaaaaa~
Pencet bintang dan kasih komen dulu dong. Aku pengin tahu gimana perasaan kalian di hari yang mendung ini. Apa kalian udah makan? Udah mandi? Lagi libur atau ada kesyibukan? ๐
-oOo-
DALAM sebuah ruangan, Ihatra duduk di dekat cahaya temaram dari lampu lantai. Kuas di tangannya menari lihai di kanvas, melukis sosok yang semalam menjadi pusat perhatian di panggung festival.
Cantik sekali, batinnya, memoles warna karmin pada kebaya yang dipakai Tsabita. Profil wajah sang puan dari samping begitu mempesona ketika tengadah pada langit gelap. Sinar lembayung dari lampion menegaskan garis hidungnya yang melengkung elok, bulu matanya yang lentik, bibirnya yang penuh dan merekahโtampak anggun dan memikat. Ihatra tidak tahu apa yang merasukinya setelah kepulangan dari festival, sebab desakannya untuk melukis Tsabita meletup-letup tidak terkendali.
Setelah berjam-jam berlalu, Ihatra menatap lurus-lurus pada kanvas, lalu tersenyum lebar. Kelelahan membayang di matanya. tetapi sorotnya penuh kepuasan ketika memperhatikan betapa artistik hasil lukisannya. Tsabita tampak begitu sempurna di atas kanvas, seolah-olah gadis itu memang diciptakan untuk dilukis. Entah bagaimana, fakta ini menyentuh relung hatinya tepat sasaran. Dia begitu beruntung datang ke tempat ini dan bertemu Tsabita, wanita yang pesonanya bagaikan roh putri duyung yang bangkit dari legenda.
Setelah melepasnya dari easel kanvas, Ihatra meletakkan lukisan itu di sofa lalu pergi ke ambang pintu, mengunci ruang melukisnya dengan suara klik terakhir, kemudian melewati lorong yang sepi. Hari ini, dia telah menyelesaikan satu tugasnya untuk melukis Tsabita, dan Ihatra yakin sisa jam tidurnya akan ditemani oleh mimpi indah soal festival itu.
-oOo-
Jayden baru menutup panggilan di ponsel ketika Ihatra muncul dari arah kamar.
"Masih pagi udah telponan aja lo," bukannya menyapa, Ihatra malah menggerutu ke Jayden sambil mengusak rambut bangun tidurnya yang mencuat ke sana kemari. "Siapa?"
"Siapa apanya?" kata Jayden.
"Yang telepon lo. Kayaknya serius amat tadi."
Ihatra menguap lebar, lalu mengambil sekotak jus dari lemari pendingin dan meminumnya beberapa teguk. Jayden, yang berdiri di sampingnya, hanya melirik dengan sorot tidak tertebak. "Oh, itu ... manajer gue."
"Nyuruh lo supaya cepet balik?"
Alih-alih menatap Ihatra, Jayden menghampiri lemari pendingin yang terbuka dan menyambar keripik ubi dalam kemasan. "Enggak. Udah ah, stop bahas kapan gue balik. Bikin bad mood aja. Btw tidur jam berapa lo semalem?"
"Jam ... berapa, ya? Sekitaran jam tiga kayaknya."
"Jangan keseringan begadang napa, sih?" Jayden mulai mengoceh. Sudah tidak tahu berapa kali dia memberitahu Ihatra soal jam tidur yang berantakan. "Mata udah sayu dan surem gitu masa lo enggak peduli? Dokter kan nyuruh lo buat jaga jam tidur supaya lo enggak mimpi buruk lagi?"
"Iya, iya, nanti gue tidur siang lebih lama," kata Ihatra.
"Gitu katanya siap ditinggal sendirian." Jayden membalas lesu.
Sambil mengacak pinggang, Ihatra memandang Jayden lurus-lurus. Tatapannya menyiratkan seolah dia menduga Jayden akan berkomentar sesuai yang dia takutkan. "Lo bukan nyoโ"
"Gue tahu gue bukan nyokap lo, tapi lo itu kalau enggak dinasihatin pasti bakalan nerusin kebiasaan itu sampai jadi penyakit," Jayden memotong dengan tidak sabar sambil menyobek kemasan keripik ubi dengan kedua tangan. Bret! Serpihan keripik jatuh di atas konter. Dia memunguti beberapa dan menjejalkannya ke dalam mulut sambil terus mengoceh, "Gue udah temenan sama lo belasan tahun, jadi udah hafal sama sifat lo yang jelek itu. Hari ini nyoba begadang, besoknya pasti kepengin lagi. Hari ketiga keterusan, dan hari keempat jadi kebiasaan. Gitu aja terus sampai akhirnya jam tidur lo jadi kebalik. Pagi dibuat tidur, malem dibuat begadang. Entar kalau lo tiba-tiba ambruk dan dokter diagnosis lo kena jantung, stroke, atau darah tinggi, tahu rasa lo."
"Astaga, kok lo doain yang jelek-jelek, sih?"
"Gue enggak doain, babi. Gue ngasih tahu risiko fatal kalau lo jam tidurnya kebalik!"
Bibir Ihatra monyong ke depan, menirukan kata-kata Jayden dengan tengil; "Nenyenyenye...."
"Dasar dajjal!" Jayden menggeplak bahu Ihatra dengan keras, membuat pria itu memekik terkejut. Namun bukannya marah, Ihatra malah terbahak-bahak. Lucu sekali usahanya menyulut amarah Jayden. Sahabatnya yang satu ini punya mulut mirip keran bocor setiap kali dibuat jengkel. Dia akan mengoceh panjang lebar, khawatir ini-itu, dan menyalahkan semua hal yang berada di dekatnya. Persis nenek-nenek kolot.
"Iya, gue minta maaf," kata Ihatra, kali ini sungguh-sungguh. "Gue kemarin begadang bukan tanpa alasan, Jay. Gue lagi ngelukis, dan karena lagi ada di fase flow akhirnya malah kelewatan ngelukis sampai pagi. Lo tenang aja, mulai malam nanti dan seterusnya gue enggak bakalan begadang, kok. Janji. Maksimal jam sebelas malem gue tidur."
"Awas aja lo bohong."
"Kagak, ah. Lagian lo kenapa sih, sejak mau balik ke Jakarta, tiap hari marah mulu soal kesehatan gue? I'll be fine, I promise. Kalaupun gueโnaudzubillahโkenapa-kenapa, itu bukan karena kesalahan atau kecerobohan gue. Itu emang takdir."
"Gue juga ogah marah-marah mulu kayak ibu-ibu yang punya toddler." Jayden memandang sinis, lalu merebut botol jus di tangan Ihatra dan meneguk sisanya dengan rakus. "Dan itulah yang bikin kekhawatiran gue meningkat. Gue selalu merasa lo ini kayak magnet bagi segala masalah, Yat. Bukan lo yang bikin masalah, tapi masalah yang suka ngehampirin lo."
Raut Ihatra seperti telah menduga sesuatu. Pria itu berbicara pelan dan berat, "Kan gue udah pernah bilang ke lo. Keluarga gue aja bilang kalau gue ini anak pembawa sial."
Dan kalimat itu seketika menyihir Jayden menjadi sediam patung.
"Yat, sorry, bukan maksud gueโ"
"Ahaha, napa wajah lo?" Ihatra nyengir sambil menuding-nuding wajah Jayden. "Kayak kucing birahi, anjir."
"Gue serius, Yat. Listen, lo bukan pembawa sial. Tadi gue keliruโ"
"Santai, Jay. Sekalipun gue seperti yang dibilang keluarga gue, it won't change my desire to continue living. Mau gue pembawa sial kek, pembawa rezeki kek, pembawa baki paskibraka kek, gue udah bodo amat sama urusan keluarga yang toxic. Lebih baik tinggalin itu semua dan berdiri pakai kaki gue sendiri. Gue bisa tanpa mereka."
Jayden terdiam, kehilangan kata-kata. Ihatra yang melihat hal itu malah nyengir lebih lebar sambil menepuk-nepuk pundaknya dengan cara kebapakan. "Ngomong-ngomong," lanjut Ihatra. "Pagi ini gue mau ke rumahnya Tsabita. Lo mau ikut, enggak?"
"Hah?" Jayden berkedip sadar. "Maksudnya ke toko?"
"Enggak. Di rumah. Tadi gue udah chat Shaka. Habis tampil kemarin Tsabita libur jaga toko karena capek."
"Ngapain ke rumah dia?"
"Ngasih lukisan."
"Lukisan? Maksud lo lukisan yang tadi lo lukis sampai begadang?"
Dia Mengangguk.
Jayden menggeleng maklum. "Astaga, monyet satu ini...."
"Gue mau ngasih sebagai tanda mata aja, Jay," sergah Ihatra, tahu ke mana arah perbincangan ini. "Lo udah denger kalau gue bertekad buat enggak ganggu Tsabita lagi, kan? Dan inilah yang akan gue lakukan sebagai bentuk perpisahan gue. Semua perasaan itu udah gue curahkan ke dalam lukisan yang akan gue kembalikan ke Tsabita. Setelah ini, gue enggak akan nyari kesempatan buat ketemu dia atau bahkan sekadar lihat dia. Gue akan menjauhi tokonya. Gue akan menyingkir sementara waktu sampai rasa suka ini memudar."
Jayden menatap Ihatra dengan luapan rasa prihatin. "Lo yakin semudah itu caranya ngelupain seseorang?"
"Gue enggak tahu, tapi seenggaknya sekarang gue sedang berusaha."
Tercipta jeda sejenak. Jayden kemudian membuang napas. "Oke. Do what you want."
"Lo mau ikut enggak?"
Pada saat yang bersamaan ponsel di celana Jayden bergetar lagi pertanda ada panggilan masuk. Pria itu langsung mundur sambil mengempit saku celananya. "Eh, mm... gue enggak ikut deh," kata Jayden. "Lo aja yang ke sana. Titip salam ke Tsabita sama Shaka."
"Lo mau di rumah aja sendirian? Enggak bosen?"
"Ada Pak Ersan. Entar gue ajakin bapaknya ngopi." Jayden mengambil ponsel dari sakunya dan memeriksa nama di layar, lalu dengan gelagat buru-buru, dia berputar ke lorong setelah berkata, "Ya udah sono mandi dulu. Gue mau ke kamar bentar!"
Ihatra hanya menatap punggung Jayden yang berlari tergopoh-gopoh ke kamarnya, tanpa petunjuk apa-apa.
-oOo-
Pintu rumah dibuka. Shaka menatap Ihatra dengan luapan kegembiraan.
"Mas Iyaaat! Gimana kabarnya?"
"Baik, Shak. Kamu gimana sekolahnya?"
"Lah, kok bahas sekolah, sih?" Shaka mempersilakan Ihatra masuk dan menempati sofa ruang tengah. "Ya gitulah, tetep jadi anak kece di sekolah. Duduk dulu, Mas. Ibu lagi ke pasar, tapi tadi udah nitipin jajanan ke aku buat Mas Iyat sama Mas Jayden. Nih." Tanpa menunggu jawaban Ihatra, dengan antusias, Shaka membuka tutup saji kecil di meja ruang tamu. Sepiring gorengan hangat dengan taburan cabe hijau kecil tampak menggiurkan pandangan. "Ibu sama Mbak Bita tadi bikin lumpia sama pisang goreng. Enak banget, cobain deh. Oh, ya, Mas Jayden enggak dateng? Kenapa? Kecapekan juga ya habis nonton festival kemarin? Apa lagi sedih gara-gara enggak menang undian?" Hebatnya semua kalimat itu digelontorkan tanpa jeda. Ihatra yang mendengarnya hanya bisa tersenyum maklum. Shaka bisa sangat cerewet di waktu-waktu tertentu.
"Makasih Shak makanannya. Jayden lagi ada urusan sama kerjaan, jadi dia pilih di rumah aja," kata Ihatra, lalu mendongak menatap lorong rumah Shaka yang sepi. "Tsabita mana?"
"Lagi mandi, Mas. Mbak Bita juga baru bangun aslinya. Kemarin habis pulang dari festival dia langsung ketiduran di ruang tamu saking capeknya." Shaka ikut duduk di sofa, lalu atensinya mendarat pada sebuah benda yang sejak tadi dibawa Ihatra. "Mas, itu apaan?"
"Ah, ini...." Pagi ini Ihatra datang sambil membawa lukisan Tsabita yang dibungkus kertas minyak di kepitan lengannya. Sebetulnya dia agak berdebar untuk memberikan hadiah ini kepada wanita itu. Gimana kalau Tsabita pikir gue terlalu lancang? Gimana kalau dia pikir gue cowok mesum karena udah ngelukis dia tanpa izin? Pikiran-pikiran itu memenuhi kepalanya, melapisinya dengan kecemasan, hingga ujung-ujungnya bermuara pada satu pertanyaan terbesar; Apa Tsabita mau nerima lukisan gue?
Namun, Ihatra ingin sekali Tsabita melihat hasil lukisannya dan menyimpannya sebagai kenang-kenangan terakhir sebelum mereka, entah kapan, mungkin akan berpisah. Maka pemikiran terakhir itu ditepis kuat-kuat sebelum dia berubah pikiran.
"Hadiah buat Tsabita," kata Ihatra. Entah bagaimana dia tidak berani mengatakan apa isi di dalam kertas minyak itu.
Namun Shaka sepertinya tidak punya minat untuk tahu lebih lanjut, sebab anak itu kelihatan diburu sesuatu juga. "Aku aslinya bentar lagi mau keluar juga. Ini lagi nunggu Mbak Bita mandi."
"Mau ke mana, Shak?"
"Mau futsal sama temen-temen. Mumpung Minggu." Shaka tiba-tiba mencomot lumpia dari piring dan langsung melahap setengah bagiannya. Kepalanya langsung berguncang kegirangan saat mengunyah gorengan itu. "Mmm~ enak loh, Mas. Harus cobain juga!"
Ihatra yang melihatnya gemas sendiri. Kenapa anak ini mirip perempuan kalau sedang makan? "Iya saya cobain."
Ketika Ihatra sedang menikmati pisang goreng, keriat pintu dari ujung lorong terdengar. Tsabita keluar dari kamar mandi dengan mengenakan setelan kaus dan celana selutut. Kedua tangannya sibuk mengurai dan menyeka rambutnya yang basah dengan handuk.
Ketika melihat pemandangan itu, Ihatra seketika terbayang penampilan Tsabita saat menolongnya di sungai beberapa waktu lalu. Satu hal yang paling diingat Ihatra adalah momen ketika dia tersadar dari pingsan dan mendapati raut khawatir Tsabita di hadapannya ....
"Mas enggak papa?"
"Mas Iyat, kok ngelamun?"
Ihatra langsung mengerjapkan mata. Ingatan itu kembali diusir jauh-jauh. Dia menatap Tsabita berdiri di hadapannya dengan raut sumringah. Handuk di kepalanya telah tersampir rapi di atas sofa. "Wah, kok enggak bilang kalau mau dateng ke rumah?"
"Ah, saya udah bilang Shaka sebenarnya," kata Ihatra. Jantungnya mendadak berdebar-debar menatap Tsabita. Aroma sabun dan shampo wanita ini begitu membius. Rasanya Ihatra ingin memegang dan mengendus rambutnya dari dekat.
"Mbak Bita udah selesai, kan? Kalau gitu aku mau futsal sekarang." Shaka tiba-tiba bangkit dari sofa dan langsung melangkah menuju pintu. "Mas Iyat aku pergi dulu, ya! Assallamualaikum!"
"Waallaikumsalam," Ihatra dan Tsabita menjawab bersamaan.
Kemudian keduanya saling berdiri terpekur. Mendadak terasa kecanggungan di antara mereka.
"Mm," Ihatra buru-buru mencari bahan obrolan. "Bita, yang kemarin selamat atas kemenangannya, ya."
Benar juga. Festival semalam meninggalkan rongga kosong di hati Ihatra. Dia tidak sempat mengucapkan apa pun kepada Tsabita karena situasi di balai pertunjukan kemarin terlalu ramai. Setelah pembacaan nomor undian, semua orang disibukkan dengan acara pelepasan dua ratus lentera ke langit malam. Kerumunan massa semakin membludak dan berebut momen untuk berfoto. Jayden buru-buru menarik tangan Ihatra agar segera pergi, sebelum mereka terjebak di antara arus penonton yang haus dokumentasi.
"Makasih, Mas," Tsabita tersenyum, tetapi hanya sebentar.
Ihatra yang melihat hal itu bertanya cemas, "Kenapa, Bit?"
"Kemarin saya jadi pemenang tunggal. Pasangan saya enggak datang ke panggung."
Ihatra merasakan jantungnya diremas atas kenyataan itu. Dia berusaha tenang. Kalau ngaku sekarang, Tsabita pasti bakal kecewa ke gue.
"Yang sabar ya, Bit. Orang yang jadi pasanganmu kemarin goblok banget karena udah menyia-nyiakan kesempatan itu."
Tsabita terkejut mendengar penekanan kata Ihatra, tetapi wanita itu tetap tersenyum walau terlihat lemah. "Saya sempat takut, Mas. Kalau pasangan saya enggak ada, saya takut itu artinya saya ditakdikan hidup sendirian sampai akhir hayat."
"Loh, kok bilang gitu?" Ihatra mendekat pada Tsabita dan memegang kedua bahunya dengan lembut, "Kamu bilang acara kemarin cuma sekadar perayaan budaya aja, kan? Itu bukan sesuatu yang terlalu serius untuk ditanggapi. They're just ... numbers. Enggak ada hubungannya sama jodoh masa depan."
Tsabita tersenyum lebih lebar untuk menenangkan kecemasan Ihatra.
"Saya tahu kok, Mas. Saya enggak percaya sama begituan, sungguh. Tapi enggak bisa dipungkiri, saya cukup kecewa karena menjadi pemenang tunggal. Sebab kejadian kemarin adalah yang pertama kalinya dalam sejarah perayaan. Entah bagaimana saya ...." Tsabita membuang napas berat. "Saya jadi merasa tersisihkan, seolah kemenangan itu bukanlah diperuntukkan buat saya. Seolah harusnya bukan saya yang berdiri di sana."
Rasa sakit di dada Ihatra kini bercampur dengan perasaan bersalah dan menyesal. Tanpa sadar dia berkata, "Maaf, Bita."
"Maaf kenapa, Mas?"
Ihatra buru-buru menggeleng, lalu melepaskan pegangannya di kedua pundak Tsabita. Ada sensasi basah dari rambut Tsabita di telapak kanan Ihatra. Diam-diam pria itu mengepalkan tangan, seolah dengan cara ini dia bisa menyerap aroma harum Tsabita.
"Bita, ada sesuatu yang mau saya kasih ke kamu."
Ihatra membungkuk dan memungut sebuah papan berbungkus kertas minyak berukuran 30 cm x 40 cm dari bawah meja dan mengulurkannya pada Tsabita.
"Apa ini, Mas?"
"Hadiah dari saya. Kali ini harus diterima, karena saya bikin ini khusus buatmu."
"Astaga. Dalam rangka apa?" Tsabita tercabik antara kaget dan tidak enak. Mengapa Ihatra mendadak memberikannya hadiah? Dari bentuk dan beratnya, sepertinya ini lukisan. Tsabita tidak pernah menerima hadiah semewah ini sebelumnya.
"Anggap aja hadiah dari teman," jelas Ihatra, merasa pahit ketika mengatakannya. "Dibukanya nanti aja, ya."
"Kenapa harus nanti?"
Ihatra menghitung setiap detik yang bergulir di benaknya. Sekujur tubuhnya tiba-tiba menjadi panas dingin karena ditatap selembut itu. Kalau sampai Tsabita membuka lukisannya sekarang, Ihatra pasti tidak akan kuat mendengar reaksinya. "Nggak papa. Nanti aja pokoknya, soalnya saya malu."
"Ya udah kalau gitu saya buka nanti. Makasih ya, Mas Iyat. Saya taruh di sini, ya," kata Tsabita, kemudian menyimpan lukisan itu di sofa.
Ketika mereka hendak melanjutkan perbincangan, mendadak saja pintu diketuk dari luar. Ihatra berpaling ke belakang, menduga-duga siapa yang berani mengganggu waktu berduanya dengan Tsabita. Saat dia kembali menatap Tsabita, wanita itu menampakkan ekspresi ganjil.
"Tunggu bentar." Tanpa menunggu responsnya, wanita itu pergi ke lorong utama.
Dari tempatnya duduk, Ihatra mendengar bunyi pintu dibuka, kemudian sayup-sayup suara sepasang orang yang sedang mengobrol, entah siapa. Pastinya laki-laki, dan jenis suaranya yang menggelegar itu seperti pernah dikenal Ihatra sebelumnya. Ketika dua orang itu menghampiri ruang tamu, Ihatra berpaling ke belakang untuk melihat siapa yang datang ke rumah Tsabita.
Rupanya firasatnya benar.
Tamunya adalah Egar.[]
-oOo-
.
.
.
Asyik bang egar dateng. Kalian mengharapkan pembicaraan baik2 apa baku hantam?
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top