3. Cacat yang Disembunyikan
Selamat sore. Sedang apa kalian saat ini? Masih di sekolah, kerja? Nungguin gerimis reda di halte, atau lagi rebahan di kamar?
Di chapter kali ini kalian akan mengenal Ihatra Kama dari sudut pandang Tsabita ๐
Vote dulu, gaisss~
-oOo-
BITA dan Shaka tiba di rumah pada pukul lima sore. Setelah memarkirkan vespa di halaman, mereka disambut oleh ibunya ShakaโBu Nilam, wanita berbadan ramping dan berwajah ramahโdi muka pintu yang terbuka. Sepasang saudara itu bergantian mencium punggung tangan Bu Nilam lalu masuk ke ruang tamu, yang sebagian kursi dan mejanya telah terisi tumpukan pakaian bersih dan terlipat rapi.
"Loh," kata Bita setelah melihat pemandangan di atas meja. "Ibu ngelipat semua ini?"
"Udah Ibu setrika sekalian, Bit." Bu Nilam kembali dari arah pintu lalu mengambil jaket Shaka yang digantungkan begitu saja di punggung kursi.
"Kan udah aku bilang, enggak usah." Bita mendadak tidak enak. "Aku yang bakalan lipat dan setrika semua pakaiannya sepulang dari jaga toko. Kok malah Ibu yang ngerjain."
"Kamu kan udah jaga toko dari pagi. Nanti capek."
"Enggak capek, kok. Dibantuin Shaka juga."
Shaka yang berdiri di dekat kursi langsung nyengir sambil mengangkat jempol.
"Ya udah enggak papa, hitung-hitung biar Ibu ada kerjaan. Nih, Shak, bawa jaketmu ke kamar."
Shaka menyambar jaketnya sendiri, tetapi ketika hendak menggeluyur kabur dari ruang tamu, Bita langsung menjewer telinga Shaka dan menggeret saudaranya itu agar membantu membawa tumpukan pakaiannya ke lemarinya sendiri. Bu Nilam yang melihat hal itu langsung mengikik, sambil menggeleng maklum pergi ke dapur yang letaknya berseberangan dengan ruang tamu. "Gimana tadi di toko, Bit? Banyak pembeli?"
"Normal-normal aja, Bu. Kayak hari biasa." Bita membuntuti ke dapur dan menaruh gelas di bawah dispenser. Sambil menunggu airnya penuh, dia memberitahu, "Tapi tadi di toko ada tamu spesial."
"Tamu spesial?"
"Ada artis yang mampir ke toko kiโ" Kata-kata Bita terhenti sejenak lantaran baru ingat apa yang artis laki-laki itu pesankan kepada mereka. Bu Nilam yang sepertinya menangkap gelagat tidak biasa itu langsung menatap Bita sambil mengernyit kebingungan.
"Artis beneran dari ibu kota?"
"Aaa, mm ...." Bita mengusap bibirnya yang keceplosan bicara. "Iya, artis gitu, deh. Tapi Ibu jangan bilang siapa-siapa. Nanti takutnya jadi ramai...."
"Halah, Ibu sih enggak peduli sama begituan." Bu Nilam mengibaskan tangan di depan muka sambil bersungut geli. "Mau dia artis atau bukan, kalau datang ke Pinggala statusnya sama aja kayak pelancong lain. Emangnya ada aturan bahwa semua artis harus diperlakukan spesial?"
Sekejap kemudian Bu Nilam berputar dari wajan penggorengan dan memberikan pada Bita sepiring besar lauk plecing ikan yang baru dihangatkan. Bita lantas membawa makanannya ke meja makan sambil menyahuti omongan Bu Nilam. "Enggak, sih, tapi artis itu kelihatan serius waktu minta kita buat merahasiakan kedatangannya, Bu."
Terdengar bunyi kelontang peralatan makan yang disiapkan Bu Nilam. "Lagi dikejar-kejar wartawan kali, makanya enggak mau ketahuan."
"Ribet jadi artis, Bu. Ke mana-mana dikuntit wartawan, udah kayak binatang lepas dari penangkaran."
"Siapa sih nama artisnya?" Ibu datang ke meja makan yang sudah hampir terisi oleh lauk-pauk. Tinggal menunggu nasi dari rice cooker matang.
"Ihatra Kama." Bita menutupkan tudung saji ke atas makanan. "Ibu tahu?"
Ibu menggeleng sambil melengkungkan bibir ke bawah. "Namanya kayak bukan orang Indonesia."
"Itu nama panggung aja, kok," Shaka mendadak menyahuti seraya keluar dari kamar di seberang ruangan. Sudah berpakaian rapi layaknya santri yang hendak pergi ke masjid. Dia memasang kopiah di kepala lalu membuka lagi tudung saji di meja makan. Hidungnya kembang-kempis mencium aroma plecing yang tampak pedas dan menggoda.
Bita, entah mengapa merasa agak jengkel kalau melihat Shaka mengendus-endus makanan dari jarak dekat beginiโkayak kucing aja. Jadi dia merebut tudung saji dari tangan Shaka dan langsung menutup kembali plecing ikannya.
"Oh, bukan nama asli. Pantes." Ibunya menaruh piring-piring di meja.
"Nama aslinya siapa?" tanya Bita.
Masih merasa sebal karena saudara perempuannya ini menutup tudung saji, Shaka hanya cemberut sambil mengedikkan bahu. "Enggak ada yang tahu nama aslinya. Udah, ah. Aku mau berangkat ke masjid dulu. Jangan makan dulu sampai aku pulang!"
"Nasinya juga masih belum mateng!" Bita menyahuti, lalu berpaling pada Bu Nilam yang sudah kembali ke ruang tamu. Sambil memukul-mukul bahunya dengan ringan, Bu Nilam membetulkan posisinya supaya bisa duduk agak miring dan bersandar di sandaran kursi kayu. Bita menghampiri Bu Nilam lalu tanpa diminta langsung memijat kedua bahunya dari belakang.
Bu Nilam mendesah keenakan. "Nah, agak kanan dikit, Bit."
"Ibu kebanyakan kerja, sih. Makanya jadi kaku lagi." Bita mengurut otot di sekitar leher dengan lembut. Bu Nilam menelengkan leher kanan dan kirinya sampai berbunyi derak sendi yang memuaskan.
"Enggak, lah. Kaku gini karena Ibu udah mau lima puluh." Bu Nilam melihat refleksi Bita dari rak kaca di hadapannya, lalu bertanya, "Makasih ya Bit, udah bantuin Ibu di sini."
"Apa sih, Bu?" Bita tertawa agak dipaksakan, lantaran kaget dengan kalimat barusan. Jarang-jarang Bu Nilam mengekspresikan rasa terima kasih dalam bentuk kata-kata begini.
"Ibu seneng urusan rumah jadi lebih gampang karena ada kamu," kata Bu Nilam. "Kalau mengandalkan Shaka, yang ada rumah malah kayak kapal pecah. Dia tuh padahal udah Ibu ajari berkali-kali supaya bisa lebih teliti dan rapi, tapi selalu aja kerjaannya enggak beres."
Bita tertawa membayangkan betapa susahnya mengatur Shaka yang kelebihan energi. "Ya namanya juga anak laki-laki, Bu. Dia mau bertanggung jawab untuk kerjaannya aja udah bagus."
"Ya, bener sih. Tapi dia jadi ogah-ogahan kerja karena dia tahu ada kamu yang bakal ambil alih. Kadang-kadang kamu harus tegasin anak itu, Bit. Jangan dibiarin manja aja. Kalau perlu pukul kepalanya, tendang selangkangannya."
"Bu, anak sendiri, loh," Bita terkikik sambil menggeleng tidak habis pikir. Sekarang dia berganti berlutut di dekat meja dan memijat kaki Bu Nilam yang diselonjorkan di kursi panjang. Wanita paruh baya itu menyandarkan kepala sambil memejamkan mata merasakan nikmat dipijat.
"Enggak papa. Ibu enggak suka kalau punya anak manja, apalagi dia laki-laki. Lagi pula," Bu Nilam membuka mata dan menatap Bita di bawah kursi. "Shaka itu kan muridnya Egar. Harusnya dia kuat walaupun kamu pukul atau tendang."
Egar adalah nama seorang pelatih di klub tinju yang berlokasi tidak jauh dari rumah mereka. Ini sudah tahun kedua semenjak Shaka masuk ke klub tersebut, dan kedekatan antara Shaka dengan Egar entah bagaimana juga menyeret Bita ke dalam lingkaran pertemanan yang sama.
Namun saat Bu Nilam menyebutkan nama Egar, pipi Bita mendadak bersemu merah, entah mengapa. Barangkali karena pria itu mengguncang sesuatu dalam dada Bita, atau barangkali karena Egar punya kualifikasi tengil yang sama seperti Shaka, yang membuat orang jadi naik darah dan kepengin menonjoknya.
"Ya tapi enggak sampai tendang selangkangan juga!" kata Bita tergelak, berusaha menyingkirkan wajah Egar dari kepalanya. Bu Nilam hanya tertawa saja melihat tingkah Bita.
Beberapa saat kemudian, pijatan itu selesai karena Bu Nilam menyuruh Bita berhenti. Mereka berdua kemudian kembali ke kesibukan masing-masing sembari menunggu Shaka pulang dari masjid. Bita pergi ke kamarnya sendiri, mandi sebentar, lalu solat Magrib. Setelah pekerjaannya beres, dia kembali ke meja makan yang sudah dihadiri oleh Bu Nilam dan juga Shaka. Nasi dalam rice cooker baru saja matang. Semua orang mengambil lauk bergantian.
Di tengah sesi makan yang tenang, Bu Nilam tiba-tiba berkata lagi, "Tadi sebelum kalian pulang, Pak Ersan datang ke sini, katanya lusa depan ada kumpul-kumpul di balai desa buat latihan bersama menyambut Festival Panahan. Lusa sore habis ashar, tokonya langsung ditutup aja, ya."
"Ibu ikut nonton latihan enggak?" Shaka bertanya setelah menyedot kepala ikan di piring.
"Iya. Ibu nanti bareng sama istrinya Pak Ersan ke sana. Kamu habis pulang dari sekolah langsung jemput Mbak Bita di toko, ya." Lalu Bu Nilam menatap Bita yang sibuk mencabuti duri-duri dari daging ikan dengan jemarinya. "Bit, kamu jangan lupa bawa perlengkapan buat menari. Kan kamu tampil juga di sana."
"Iya, Bu," Bita mendongak sambil menjejalkan daging ke dalam mulut.
Shaka yang sudah tambah piring kedua, bertanya lagi, "Dia bakalan datang ke Festival Panahan, enggak ya?"
"Dia siapa?" Bu Nilam bertanya.
"Itu ... Mas IyatโIhatra Kama. Tadi sebelum Mas Iyat keluar toko, Mbak Bita sempat bujuk dia buat datang ke Festival Panahan. Kita seharusnya ajak dia datang ke balai desa buat nonton latihan, iya enggak, sih?" Shaka bertanya pada Bita.
"Kan kita baru tahu jadwalnya barusan banget," kata Bita, lalu seolah teringat sesuatu, segera bertanya lagi, "Eh, Shak. Sejauh mana kamu tahu soal Ihatra? Kenapa rasanya aku pernah ketemu dia, ya?"
"Ya kan dia artis." Shaka menatap Bita seolah saudara perempuannya itu baru saja berkata hal paling tolol di dunia. "Mbak bukan pernah ketemu, tapi pernah lihat wajah Mas Iyat di suatu tempat. Kan dia sering tuh muncul di TV, main film, jadi bintang iklan, atau jadi berita di acara gosip...."
"Kita enggak punya TV," Bita mengingatkan.
"Ya di sosmed kali? Mbak kan punya hape."
Bita berpikir keras, kemudian menyadari bahwa kata-kata Shaka ada benarnya. "Aku jarang main sosmed, sih. Tapi aku pernah nonton cuplikan film-film di aplikasi. Mungkin bener aku kenal wajahnya dari sana."
"Wajahnya familier, ya?" Bu Nilam bertanya dengan nada menggoda. "Saking terlalu ganteng atau gimana, nih, Bit?"
Wajah Bita panas karena malu saat mendengar ledekan itu. Dia berusaha tenang, "Di desa kita emang jarang ada yang tipe wajahnya kayak dia, sih, Bu."
"Oh, jadi bener cakep, ya? Emang wajahnya kayak gimana?"
"Hmm ... gimana, ya?" Bita melihat atas sambil mengingat kembali wajah Ihatra Kama. Laki-laki bertubuh ramping dan jangkung, berkulit kuning langsat yang sehatโsangat berbeda dengan kulit sawo matang Bita. Warna rambut Ihatra seperti tembaga, tampak bersemburat keemasan bila terkena sinar, serta agak panjang di bagian tengkuk. Hidungnya lurus dan mancung, lalu matanya ... adalah sesuatu yang paling tidak bisa dilupakan Bita; serupa cokelat musim gugur yang hangat, dihiasi bulu mata bagian atas dan bawah yang tebal dan lentik.
Secara keseluruhan, Ihatra tampan luar biasa. Bita melihat Ihatra bagaikan seseorang yang mungkin akan sangat jarang ditemui di hidupnya. Tipe pria yang ketika melihatnya pertama kali kamu akan langsung terpaku pada wajahnya dan tidak bisa lupa selama berhari-hari, atau bahkan selamanya. Bita memandang jauh ke dalam dirinya dan merasa sedikit malu karena dia pun berpikir sama persis seperti itu.
"Tsabita?" Suara Bu Nilam membuatnya terkejut. "Kamu kok malah diem?"
"Wah, kayaknya ada yang termakan pesonanya Mas Iyat, nih," Shaka berceletuk sambil tertawa. "Mbak tertarik kan sama dia?"
"Yah, aku enggak bisa bilang kalau dia satu-satunya yang paling menawan di dunia ini." Bita memulai. Dia menjabarkan komentarnya dengan hati-hati. "Tapi, harus kuakui kalau aku enggak tertarik sama Ihatra. Dia terlalu ganteng sampai-sampai aku yakin dia sendiri sadar kalau dirinya ganteng. Dan aku tahu dekat sama orang kayak dia bakalan sulit. Atau barangkali malah terlalu mudah buat kehilangan dia. Kalian tahu maksudku. Ihatra itu ... seperti pria yang sulit menetap. Sekali terlepas, mungkin enggak bakal kembali lagi."
Bu Nilam dan Shaka sama-sama melongo mendengar penjelasan Bita yang begitu detail.
"Maaf," balas Bita. "Aku juga heran kenapa aku bilang kayak begitu."
"Tapi kayaknya pendapat Mbak ada benarnya," kata Shaka, yang menuangkan teh dari poci ke dalam gelasnya "Aku pernah dengar, Mas Iyat itu artis yang terlibat banyak skandal. Dia dikenal main mata dengan banyak cewek."
"Laahh." Bu Nilam mengangkat alisnya, berkata dengan nada menyeret-nyeret kecewa. "Ibu enggak jadi kagum, deh."
"Tapi aku enggak banyak tahu soal dia, loh," lanjut Shaka. "Walaupun punya banyak skandal, biar bagaimanapun dia artis yang berbakat. Dia pernah dapat penghargaan aktor pendatang di acara apa gitu ... terus aku paling suka lagunya, pesan-pesan yang disampaikannya, gagasan-gagasannya yang menginspirasi. Semua itu kayak menutup karakter buruk yang selama ini diberitakan media. Mungkin aslinya Ihatra itu orang baik, tapi kitanya aja yang kurang mengenalnya."
Melihat Shaka yang tampaknya terbawa perasaan, Bita segera membereskan piring-piring kosong di hadapannya.
"Mungkin kamu bener," kata Bita, di sela kegiatannya menumpuk piring. Terus terang hatinya agak kecewa setelah mendengar fakta bahwa pria setampan Ihatra ternyata punya banyak skandal. "Lagi pula, kalaupun dia memang baik hati dan hidupnya sesempurna kelihatannya, yang namanya manusia pasti menyimpan cacat."[]
-oOo-
.
.
.
Ouppss, Ihatra, moga aja enggak red flag yah
Kalian berharap Ihatra red flag, yellow flag, green flag, atau malah black flag nie? ๐
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top