27. Kesinisan Para Pesaing

Ayo hitung udah berapa lama aku menelantarkan work ini awkwkwk. Maaf yaa gais, soalnya belakangan ini tugasku numpuk lagi, dan book sebelah juga perlu segera ditamatin >.<

Btw, silakan vote atau komen duyuh sebelum baca cerita inieehh

-oOo-

LATIHAN di sasana tinju Asura berlangsung selama satu setengah jam. Setelah Shaka dan anak-anak pamit pulang, Egar yang masih kelebihan energi menghampiri Ihatra dan Jayden yang sedang duduk-duduk menunggu giliran di dekat tangga, lalu melancarkan titahnya bagai jenderal perang yang bernafsu menyiksa prajurit; "Lari enam kali putaran mengelilingi rute yang udah saya buat. Mas Jaya juga lari. Tadi Mas kan cuma keliling satu kali terus minta istirahat."

"Buset! Enam putaran? Anak-anak yang tadi cuma tiga kali!" Jayden menyahut protes.

"Ini saya udah ngasih keringanan, loh. Umur anak-anak itu kan sepertiga dari umur kalian. Kalau mau adil, harusnya kalian berdua lari sembilan kali putaran."

Ihatra menelan ludah gugup. Emang gila nih orang. "Mas, maaf nih, saya terus terang enggak bisa kalau―"

"Oh, iya, buat Mas Iyat beda," Egar memotong kalimat Ihatra tanpa rasa bersalah. Sambil menggosok-gosok dagu, mengusulkan dengan enteng, "Buat Mas Iyat lari tiga kali aja, bisa kan? Itu porsi larinya anak-anak, loh. Kalau enggak kuat lari nanti bisa jalan pelan-pelan, tapi usahakan ngikutin latihan saya dengan serius."

Tanpa menghiraukan ekspresi Jayden yang meliriknya iri, akhirnya Ihatra memutuskan untuk menyetujui usul itu. Mereka pun keluar dari gedung sasana dan berlari mengelilingi rute yang sudah disebar di pepohonan dan dipasak di tepian lintasan. Beruntungnya jarak tiap putaran tidak terlalu jauh, kendati medannya agak sulit karena jalannya naik dan agak berbatu. Ihatra selesai lebih dulu dan kembali ke gedung, lalu duduk di undakan ring sambil mengipas-ngipasi leher dengan tangan. Kakinya agak nyeri, tetapi dia lumayan puas karena berhasil menyelesaikan tantangan.

Lima belas menit kemudian, Jayden menyusul, lalu langsung merebah di lantai yang sejuk. Saat Ihatra menawarinya sebotol air minum, Jayden langsung menyambarnya dan, seperti seorang musafir kehausan, dia tenggak rakus isinya hingga tersisa seperempat botol.

"Gorila kampret!" rutuk Jayden dengan suara berbisik dan kehabisan napas. "Kalau aja dia tahu kita siapa, enggak bakal dia berani nyuruh-nyuruh kayak gini!"

Ihatra terkekeh. "Ssst, diem. Orangnya ke sini."

Benar saja, rupanya Egar (lagi-lagi dengan senyum khasnya yang angkuh dan―menurut Jayden―agak tolol) menghampiri mereka berdua. Pria itu menasihati bahwa latihan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan latihan yang dijalaninya dahulu saat masih berstatus murid Wiwangsa Nugraha―seorang mantan juara silver belt di kejuaraan WBC Asian yang sampai kini namanya masih harum di kancah nasional. "Dulu saya nih disuruh lari sepuluh putaran sambil nyeret ban truk, push up seribu kali setiap hari, belum lagi harus diet ketat buat ngebentuk otot. Pokoknya modelan kalian ini kalau jalanin gaya latihan saya enggak bakal sanggup. Apalagi saya dulu...."

Jayden dan Ihatra tidak punya alasan untuk memotong ceramah Egar, jadi mereka diam saja dan memilih menggerutu dalam hati. Namun ketika Egar pamit sebentar untuk mengambil minum, Jayden menyikut pelan rusuk Ihatra sambil berbisik dengki, "Lo tahu apa yang paling sia-sia di dunia ini? Ngedengerin bacotannya si Egar bangke."

Tidak beberapa lama, Egar kembali dari mengambil minum dan mengoceh lagi, "Ini baru latihan pertama. Saya kira saya bakalan lihat sesuatu yang membanggakan dari kalian berdua―habisnya badan kalian termasuk yang proporsinya bagus dan mudah dibentuk, tapi ternyata kalian enggak jauh beda dari anggota pemula, ya. Mas Iyat saya lihat tadi masih jalan waktu lari, terus Mas Jaya juga ... postur larinya harus dibenerin. Posisi dagu dan bahu jangan kebanyakan turun, karena nanti menekan laju napas."

"Iya nanti saya benerin. Namanya juga capek," Jayden tidak tahan lagi untuk protes.

"Mungkin karena dari kota, makanya enggak familier sama latihan begini," lalu Egar tiba-tiba menyambar lengan Ihatra dan membolak-baliknya seperti memeriksa sesuatu, "Buat Mas Iyat kayaknya emang perlu lebih banyak berjemur biar kulitnya jadi lebih cokelat. Ini pucet banget udah kayak singkong belom mateng. Mas ini takut matahari apa gimana, sih?"

"Saya pake sunscreen supaya kulitnya enggak kebakar. Pinggala panas banget kayak neraka," kata Ihatra, sengaja menyelipkan nada sinis dalam suaranya. Sekali-kali orang ini memang perlu dikonfrontasi terang-terangan.

Egar berdecak meremehkan, "Cowok kok takut kena sinar matahari."

"Ya daripada takut pacarnya direbut orang, itu tandanya minder sama diri sendiri."

Komentar Ihatra barusan membuat Egar terpaku. Pria itu menatap Ihatra dengan sorot lebih serius, seakan sudah siap melayangkan pukulan, "Maksudnya apa ngomong gitu?"

"Maksudnya, Mas enggak perlu minder pacarnya direbut orang." Ihatra meninju pelan lengan Egar yang lebih besar dari miliknya, lalu melanjutkan dengan nada jail, "Badan segini gede masa takut sama cowok lain?"

Entah bagaimana Egar merasakan pecutan persaingan di mata Ihatra. Mengapa seolah-olah orang ini berusaha menantangnya? Dia ingin mengklarifikasi penjelasan Ihatra lebih lanjut, namun urung, sebab suara batuk Tsabita menyela keduanya―kentara ingin menyudahi perbincangan menegangkan ini. "Kita mau lanjut latihan apa pulang aja, nih?"

Egar langsung membuang napas dan menggulung lengan kaosnya hingga menampakkan otot lengannya yang menggembung mengerikan. Suaranya mengecil ketika berkata pada Tsabita, "Kita latihan samsak bentar. Aku mau lihat gimana kekuatan dua orang ini."

Kemudian mereka menuju samsak yang menggantung di dekat ring pertandingan.

"Enggak usah pakai sarung tinju dulu buat membiasakan kepalan tangan kita menyentuh kulit samsak ini," Egar meraba samsak merah di hadapannya, lalu memasang posisi siap untuk meninju. "Dengerin saya. Tinju yang lurus begini namanya jab." Tinju pertama dihantamkan dengan keras. Ihatra dan Jayden melihat samsak yang berat itu berguncang karena hantaman buku-buku jari Egar. "Tinju menyamping namanya hook. Biasanya ini digunakan buat menyerang sisi kepala lawan. Kalian pusatkan kekuatannya di bahu sama siku kayak gini." Lalu Egar meninju samsak dengan gaya berbeda. "Terus yang ketiga uppercut. Ini teknik meninju wajah lawan yang area serangannya dari bawah. Kalian lihat di sini ...."

Untuk urusan latihan, Egar memang cocok disebut pelatih. Ketika menghantamkan buku-buku jari pada kulit samsak, otot pada lengan atasnya berkontraksi sehingga semua orang melihat bagaimana urat nadinya menonjol di permukaan kulitnya yang kecokelatan dan mengilap karena keringat. Begitu maskulin dan ... seksi.

Ihatra menelan ludah, diam-diam meraba lengan bagian atasnya yang kepucatan dan tidak semenggembung milik Egar. Saat dia melirik ke kanan, ternyata Jayden juga melakukan hal yang sama. Mereka berdua saling menatap dalam kesuraman canggung.

Selepas memberikan banyak contoh dan penjelasan, Egar memberikan kesempatan pada dua anak kencur di depannya.

"Sekarang, giliran kalian."

Jayden-lah yang pertama mencobanya.

Saat maju ke depan samsak, dia terlihat gugup dan terlalu banyak menelan ludah. Egar membetulkan posisi Jayden dengan memutar arah lengannya. "Nah, Mas Jaya, lebarkan kaki dan longgarkan bahu. Pukul sekuat tenaga di bagian tengah."

Pukulan pertama di samsak; "BUGH!" Jayden tidak sengaja meloloskan lenguhan kesakitan yang menyebabkan semua orang menatapnya penuh tanda tanya.

"Tenang, tenang," kata Jayden, tampak rikuh dan malu. Pada percobaan kedua dan ketiga dia sudah mulai terbiasa, tetapi samsak tidak berayun―hanya bergetar saja. Rupanya benda ini luar biasa berat, tidak seperti properti yang sering ditemuinya di lokasi syuting. Akhirnya, dia menyerah pada serbuan pukulan kelima. Jayden kembali ke samping Ihatra sambil mengusap buku-buku jarinya yang memerah. Berikutnya giliran Ihatra.

Ketika Ihatra mencobanya, secara mengejutkan, tenaganya cukup untuk membuat samsak berayun. Kulitnya kemerahan karena menghantam kain samsak. Ihatra merasakan energi semakin menggelora dalam tubuhnya, jadi dia meninju lebih banyak dan lebih cepat. Pukulan-pukulan itu mengingatkannya pada lapisan kemarahan dan kesedihan yang selama ini dia tahan. Ihatra tidak memerlukan waktu banyak untuk melampiaskan apa yang selama ini membuat pikirannya nyaris gila—kariernya, keluarganya, kehidupan tenangnya yang dulu direnggut dan kini dipenuhi oleh mata-mata kamera dan media yang menggali cacatnya. Matanya terbuka lebar, dan otot-ototnya berkedut seakan dia menyadari ada kekuatan yang menghancurkan dalam tubuhnya. Tiga pukulan. Empat pukulan. Lima pukulan. Ihatra terus meninju samsak sampai dia kehabisan napas. Ketika berhenti, dia mendongak.

Semua orang melihatnya dengan tatapan terkejut.

"Hm, lumayan," kata Egar, akhirnya mengomentari dengan nada tidak ikhlas. Sepertinya pria itu agak terintimidasi dengan tatapan Ihatra yang seperti elang hendak menyabet mangsa, tetapi dia berusaha menahan diri. "Ternyata punya tenaga juga."

"Sudah lama saya enggak mukul," kata Ihatra. Untuk bagian ini dia tidak mengada-ada. Sebelum mengalami kecelakaan, Ihatra pernah berlatih di sebuah sasana milik teman manajernya, demi meriset tokoh untuk sebuah peran di proyek film. Walaupun kecelakaan telah membuatnya kehilangan keluwesan otot, tetapi Ihatra tidak melupakan latihan-latihannya yang dulu.

"Mas pernah latihan tinju?" tanya Egar.

"Pernah, cuma sebulan, terus setelah itu saya berhenti."

"Kenapa?"

Ihatra ogah memberitahu alasannya. Tidak mungkin membocorkan Egar bahwa tujuannya latihan adalah demi meriset karakter yang diperankannya di sebuah film.

"Males, jangan-jangan," tebak Egar, yang langsung mendapat tatapan sengit dari Ihatra. Sebelum Ihatra dapat menyangga opininya yang tidak jelas, pria kekar itu melanjutkan lagi, "Yaa, memang kayak gitulah. Banyak yang jenuh duluan sama latihan tinju, padahal di dunia ini enggak ada yang bisa diraih dengan waktu singkat. Anehnya ada juga orang yang cenderung puas duluan cuma karena bisa melayangkan tinju ke samsak. Kadang mereka lupa kalau kekuatan pukulan itu enggak berarti apa-apa kalau belum belajar teknik." Cengirannya yang tolol kini kelihatan lebih tolol di mata Ihatra. Memang benar gorila kampret!

"Nyindirnya kelihatan banget, Mas. Ada masalah apa, sih?" Jayden tahu-tahu berceletuk.

Mendadak saja, kesunyian menyergap ruangan. Selama beberapa saat, pandangan Egar terpaku pada sorot tajam Jayden yang melayangkan tanda tidak suka atas celotehan Egar yang tidak tahu diri. Ihatra sendiri merasakan ketegangan di ruangan meningkat. Dia sudah hendak mengatakan sesuatu untuk mencairkan suasana ketika Tsabita tiba-tiba angkat bicara.

"Latihannya kita sudahin sampai sini aja, ya. Udah mau magrib."

Ketiganya berpaling dan menatap Tsabita yang sudah siap dengan tiga handuk di pundak dan tangannya. Gadis itu melemparkan senyum polos seolah tidak menangkap ketegangan yang terjadi di ruangan, atau mungkin itu hanya akting Tsabita saja agar tiga orang alfa ini tidak memulai keributan yang sesungguhnya.

"Oke, kita sudahin sekarang," kata Egar.

Seketika, suasana kembali luruh. Jayden menyeka keringat di leher, sementara Ihatra mengusak handuk ke kepala untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Tsabita yang berdiri di dekat Ihatra langsung bertanya. "Gimana latihan hari ini?"

"Masih terlalu segar buat berhenti. Rasanya bisa ninju muka orang yang saya benci," timpal Ihatra, lalu tanpa sepengetahuan Tsabita, dia melirik Egar.

"Kalau ikut latihan lagi boleh, enggak?" Jayden iseng bertanya.

Egar berdeham kecil. Tampangnya seperti benci disangkutpautkan dengan jadwal berikutnya, tetapi ketiganya sepertinya tidak menyadari hal itu. "Terserah kalian. Bilang dulu kalau mau datang. Tapi jangan datang minggu depan, karena kita tutup."

"Hah, tutup kenapa?" tanya Jayden.

"Festival Panahan."

"Aaahh," Ihatra manggut-manggut. "Acara yang paling ditunggu-tunggu. Saya sama Jayden bakalan datang buat nonton, terutama pentas tarinya Bita." Dia memberikan satu senyuman lebar. Jenis senyuman yang bisa membuat siapa pun terpana ketika melihatnya, bahkan barangkali Tsabita, yang saat ini tengah dipelototi Egar seakan khawatir bila dirinya disingkirkan.

Akhirnya Ihatra dan Jayden pulang dari tempat latihan. Sebelum melenggang melalui pintu, kepergian mereka mendapat lambaian selamat tinggal dari Tsabita. Ihatra membalas lambaian itu sambil nyengir girang, merasa jauh lebih baik karena sudah meninju samsak. Punggung mereka menghilang seiring sepeda motor melaju membelah jalanan.

"Jadi," Egar tiba-tiba mengagetkan Tsabita yang masih setia memandangi pintu yang terbuka. Gadis itu berputar menghadap kekasihnya tepat ketika Egar berkomentar lagi. "Mereka sepertinya bakal sulit berhasil. Seenggaknya dalam dua bulan pertama, masih butuh latihan ekstra keras untuk menaikkan massa otot. Pukulan mereka payah."

"Tapi tadi Mas Iyat tinjunya lumayan kuat," sergah Tsabita. "Aku tahu mereka berdua butuh waktu lama buat belajar, tetapi sulit bukan berarti enggak bisa, kan?"

Egar terdiam. "Iya, sih."

"Mereka punya potensi," tambah Tsabita.

"Aku enggak tahu kamu itu muji kekuatan mereka yang pas-pasan atau sebenarnya ada hal lain yang bikin kamu dukung mereka." Mendadak saja suara Egar terdengar dingin.

"Mereka memang punya potensi, dan aku mendukung sebagai teman," kata Tsabita, tertawa hambar. Dia merasa ada yang aneh pada Egar hari ini, terutama tatapannya yang tidak lagi berbinar-binar ketika mendapatkan anggota klub baru.

"Tapi kamu kelewatan," kata Egar.

"Kelewatan apa, sih?"

"Kelewat perhatian sama cowok yang namanya Iyat."

Tsabita terdiam lama, dilumuri terkejut dengan anggapan itu.

"Kamu naksir ya sama dia?" Pria itu melangkah mendekati Tsabita, membuat wanita itu terhimpit di tembok. Rautnya berubah menjadi suram, seolah dia bisa meremukkan apa saja di tangannya. "Sejak sesi latihan tadi, aku tahu kamu ngelirik Iyat terus. Kamu mulai lupa sama aku, hah? Padahal aku ini pacarmu."

"Aku ngelirik bukan bermaksud naksir sama dia. Aku cuma khawatir kalau serangan cemasnya kambuh lagi!"

"Khawatir? Ngapain khawatir sama orang asing? Dia itu cuma caper aja ke kamu."

"Egar, berhenti―" Tsabita tiba-tiba merasakan tangan Egar terselip di pinggangnya. Pria itu menunduk menciumi leher kekasihnya, seperti dimabuk api cemburu.

Ini sudah keterlaluan. Tsabita, yang tidak tahan dengan perbuatan tidak sopan Egar, mendadak saja mendorong dada pria itu dengan keras. Rautnya yang semula tenang kini berubah drastis menjadi waspada dan penuh rasa kalut. Alis Tsabita menukik naik seolah dia tidak habis pikir dengan kecemburuan Egar yang salah tempat. Bagaimana mungkin pacarnya menuduhnya macam-macam di situasi seperti ini?

"Berengsek kamu," kata Tsabita, dengan bisikan suara yang dingin dan penuh kemarahan. "Kamu mau ngapain aku, hah? Kamu mau ngelecehkan aku di sini?"

Egar seketika sadar bahwa dia telah kelewatan.

"Tsabita, aku minta maaf."

"Kamu ini aneh," timpal Tsabita, tak bisa menyembunyikan rona amarah di wajahnya. "Sejak awal kamu nyuruh aku buat jauhin Mas Iyat, dan aku ikutin apa mau kamu. Aku berusaha jaga jarak demi kamu. Tapi selama ini justru kamu yang narik Mas Iyat buat mendekat―kamu ajak mereka makan malam bareng kita, dan kamu juga yang nyuruh mereka ke sini. Waktu aku ngobrol dikit sama dia, kamu cemburunya minta ampun. Padahal kamu pun tahu apa yang lagi aku obrolin. Siapa yang sebenernya sengaja bikin ribut di sini? Kamu atau Mas Iyat?"

Hujanan kalimat itu menyergap pikiran Egar dan meninggalkan setitik kesadaran di sana.

"Sayang ... itu ...."

"Terlambat nyadar?" Tsabita mendengkus ironis.

Ah, sialan, Egar membatin. Kini dia merasa payah dan bodoh sekali. Pria itu menurunkan wajah pada tangan, mengontrol napas. Tiba-tiba saja merasa bersalah. "Sayang, aku minta maaf," bisiknya, lalu melepaskan pegangannya pada pinggang Tsabita. Pacarnya masih memasang tampang sekeras batu, seolah tidak bisa lagi dipengaruhi ombak dan angin topan.

"Sayang, aku sadar aku salah. Aku janji enggak akan ngulangin itu lagi."

Tsabita merapatkan rahang, berkata sinis, "Kalau janji itu kamu rusak lagi, aku enggak akan segan-segan buat mengakhiri hubungan kita."[]

-oOo-

.

.

Kapan lagi kalian baca cerita yang ML-nya berpotensi jadi penikung hubungan? Ngehehe. Yaa selama janur kuning belum melengkung, masih bisa ditikung nggak sih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top