26. Persaingan Dua Alfa

Siyapa kangeennnn (enggak ada awkwk)

Selamat membaca ges. Jangan lupa vote dan komen yakk ๐Ÿ˜—๐Ÿ‘๐Ÿผ๐Ÿ’š

-oOo-

ASURA Boxing Camp, atau Sasana Tinju Asura, adalah sebuah bangunan dua lantai yang terletak di dekat perkebunan bunga matahari milik perangkat desa, sekitar dua kilometer dari arah barat rumah Ihatra. Egar sempat bercerita bahwa tempat tersebut dulunya adalah pabrik tekstil milik pengelola asing yang terbakar dan direstrukturisasi menjadi lahan wisata daerah.

Ihatra dan Jayden memarkirkan motor Astrea Pak Ersan di lahan parkir gedung, lalu masuk lewat pintu kaca. Mereka disambut sebuah ring latihan yang dibangun di tengah-tengah ruangan. Seperempat bagian sasana dipenuhi rak berisi peralatan olahraga. Di seberang ruangan, kurang lebih ada sepuluh anak berusia 7-10 tahun berdiri berjajar menghadap Egar sebagai instruktur pelatih. Tidak jauh dari kerumunan, ada Tsabita dan Shaka yang tersenyum sambil melambaikan tangan kepada mereka.

Kedatangan dua laki-laki dewasa di tempat itu sontak mengundang perhatian dari seluruh orang.

Saat pandangan Ihatra bersirobok dengan beberapa anak-anak, dia merasakan sentakan hebat di perutnya, seketika membuat benaknya terngiang-ngiang dengan wajah para korban yang terlibat kecelakaan. Ihatra menarik napas dalam-dalam dan memaksa dirinya tetap tenang.

"Kampret. Si Egar enggak bilang kalau tempat ini banyak bocilnya," Jayden berbisik-bisik di dekat Ihatra lalu memperhatikan ekspresi wajahnya lamat-lamat. "Lo aman kan, Yat?"

"Aman," kata Ihatra, kemudian mereka maju memberi salam pada kerumunan.

"Dateng beneran ternyata," kata Egar, yang malah menyungging senyum mengejek daripada sambutan sopan. "Gimana kabar kalian? Udah siap buat olahraga?"

"Siap, dong." Jayden menyalami Egar, lalu Tsabita dan terakhir Shaka secara bergantian.

Saat Ihatra menjabat tangan Tsabita, dia mendengar wanita itu berbisik, "Tenang aja, Mas. Di sini enggak ada Damar."

Ihatra tersenyum. Terus terang dia lupa bahwa Damar adalah adik Egar, tetapi sekarang dia bernapas lega karena Tsabita telah menginformasikannya. Ketika mereka berdiri di depan kerumunan, Shaka dan Tsabita pamit sebentar menuju rak untuk mengambil peralatan latihan. Sementara Egar berpaling pada murid-murid.

"Anak-anak," katanya ramah, sementara tangan kanannya membuat gestur agar Jayden dan Ihatra maju lebih dekat. Ihatra melangkah seperti siput, tampak ragu, tetapi Jayden menggandengnya dan menguatkannya. "Perkenalkan, hari ini kita akan latihan sama anggota baru!"

Seluruh orang bersorak heboh dan bertepuk tangan. Sementara Ihatra membatin lega karena tampaknya anak-anak ini tidak tahu siapa dirinya.

"Mas asalnya dari mana?" pertanyaan dari seorang bocah di baris belakang memancing yang lainnya untuk melakukan hal sama;

"Mas turis ya? Kok rambutnya warna-warni?"

"Emang ngecat rambut gitu enggak dimarahi sama gurunya di sekolah?"

"MAS UDAH PUNYA PACAR BELOM?"

"Mas bisa bahasa inggris, enggak?"

"Mas! Mas!"

Egar mengangkat kedua tangannya dan berupaya meredakan keributan, "Sabar dulu kalian. Mereka bakalan memperkenalkan diri. Ayo, silakan."

"Halo, adik-adik," kata Jayden ramah, jenis nada sama seperti yang dipakainya untuk menyapa penggemar. "Perkenalkan, nama saya ... eh Jayapradi, dan iniโ€•" sambil menunjuk Ihatra, "โ€•Iyat aja manggilnya. Kami asli Jogja, dan pengin belajar tinju di sini."

"Ih ganteng-ganteng namanya kok gitu? Lebih bagus nama bapakku!" seorang bocah berseru heboh sambil tertawa. Anak-anak yang lain menyetujui, sehingga ledekan-ledekan berikutnya semakin santer terdengar. Egar berusaha meredam teriakan dan sorakan membahana para bocah, tetapi di tengah bising yang semakin menjadi-jadi itu, Ihatra justru merasakan serangan cemasnya merambat ke inti jantungnya.

Telinga Ihatra pengar dan pandangannya tiba-tiba berputar. Pria itu mencoba berdiri tegak dan menangkupkan tangan pada mulut, menahan gejolak mual. Dia melirik Jayden, tetapi pria itu tampaknya sedang kerepotan menjawab pertanyaan anak-anak yang mengerubunginya seperti serangga. Sementara Ihatra menyusul mengalami hal sama. Tiga sampai empat orang bocah tiba-tiba berdiri di sekelilingnya sambil menarik-narik pakaiannya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan random dengan suara keras;

"Mas sebelumnya pernah main tinju enggak? Mau kuajarin?"

"Mas kenapa dikasih nama Iyat?"

"Mas tingginya berapa, sih?"

"MAS KOK DIEM AJA? JAWAB AKU DONG!"

Aduh, celaka.... suara-suara itu semakin membahana. Tangan-tangan mungil merambat menyentuh lengan dan pinggangnya. Gelak tawa berubah menjadi lengkingan tangis anak-anak dari masa lalu, tumpang tindih menyerbu telinga, bagai gema dari ujung gua yang gelap. Ihatra merasakan sarapan di dalam perutnya mulai naik. Keringat dingin membasahi lehernya. Dia tidak bisa menahan ekspresi wajahnya yang pucat seperti mabuk kendaraan.

Lantas, pada detik dimana dia hampir ingin menyerah, seseorang menggandeng tangannya, menariknya keluar dari kerumunan.

Ihatra berjalan terhuyung sambil terpejam dan menutup mulut. Di saat suara-suara yang menyelimutinya sudah hilang, dia membuka mata dan menatap wajah Tsabita berdiri di dekatnya. Ada sorot kecemasan yang melekat di wajah wanita itu, seolah dia tahu apa yang terjadi pada Ihatra.

"Bita ...."

"Duduk sini," Tsabita mengangkat kedua tangannya dan menekan pundak Ihatra agar duduk di undakan tangga lantai dua. "Gimana perasaan Mas? Mau minum?"

Ihatra menggeleng. Napasnya berangsur tenang. "Kenapa kamu..."

"Saya ingat apa yang terjadi sama Mas waktu di toko, jadi saya bisa mengira kalau sewaktu-waktu Mas kambuh." Tsabita menyerahkan sebotol air mineral pada Ihatra. "Minum, supaya lebih baik."

"Makasih, Bita."

Tsabita tersenyum, lalu menatap kerumunan anak-anak yang memulai aktivitas dari kejauhan. Egar sudah mengajak semua anggota melakukan pemanasan. Wanita itu berpaling lagi pada Ihatra.

"Jadi, Mas phobia anak kecil?"

"Itu tadi anxiety ringan, bukan phobia. Saya masih suka sama anak kecil, kok."

Tsabita menyandarkan punggung di birai tangga. Sambil melipat kedua lengan di dada, menatap lekat-lekat Ihatra yang duduk di undakan. Jemari Ihatra masih gemetar ketika menyeka keringat di kening dan lehernya. Tsabita jadi meragukan jawabannya barusan. Gejala cemas ringan, katanya?

"Mas bawa obat ke sini?"

Ihatra menggeleng. "It's ok. Biasanya obatnya saya minum kalau udah parah."

"Tapi tadi udahโ€•"

"Saya baik-baik aja." Ihatra memotong pendek, terdengar agak jengkel.

Bita menahan napas. Lagi-lagi. Kenapa orang ini selalu kelihatan marah kalau ada orang yang berusaha perhatian dengan kondisinya? "Kalau gitu Mas enggak usah ikut latihan. Saya bakal sampaikan ke Egar biar dia ngebolehin Mas istirahat."

"Saya tetap mau latihan," Ihatra mendongak, lalu rautnya mengeras yakin saat menatap wajah Tsabita. "Saya mau membiasakan diri sama anak-anak."

Tes! Itu adalah suara tali kesabaran Tsabita yang putus.

"Saya tahu Mas mau sembuh, tapi caranya bukan dengan memaksa diri." Suara Tsabita berubah menjadi jengkel. "Kalau Mas udah merasakan gejalanya sejak awal, lebih baik mundurโ€•urungkan niat. Artinya Mas memang belum siap dengan situasinya. Apa sejak dulu Mas enggak bisa menangkap sinyal yang diberikan tubuh? Kapan harus berhenti dan kapan harus lanjut? Mas kelihatan kayak orang mau pingsan, tahu enggak? Emangnya kalau diteruskan Mas bakal berpikir gejalanya hilang dengan sendirinya? Obat aja Mas enggak bawa!"

Kata-kata Tsabita menyinggungnya, tetapi Ihatra tidak bisa melawan lantaran dia tahu pendapat wanita itu benar. Mengapa sejak dulu dia kesulitan meredam kemauannya? Mengapa dia sulit berpikir jernih di situasi-situasi tertentu? Ihatra mengepalkan tangan erat-erat, lalu mengembuskan napas. Dia mengusap wajahnya dan tidak sanggup bicara apa-apa.

Tsabita yang melihat reaksi itu bertanya lagi, "Kenapa Mas susah banget dibilangin?"

"Saya ... enggak mau meninggalkan kesempatan mumpung ada di sini," kata Ihatra, terus terang. "Saya cuma mau merasakan berada di sekeliling orang yang enggak memandang saya sebagai penjahat."

Tsabit memijat tengah keningnya. Selama beberapa saat, mereka hanya berdiam diri. Kemudian, Tsabita berkata lagi, kali ini lebih lembut, "Nanti, kalau anak-anak sudah pulang, Mas bisa latihan."

Ihatra mendongak padanya. Tsabita kembali meyakinkan, "Mas bisa tetap latihan kalau memang ingin, tapi Mas belum siap untuk bergabung sama anggota yang lain. Semuanya harus pelan-pelan dan bertahap dulu."

"Iya."

"Saya bakal sampaikan ini ke Egar kalau Mas Iyat setuju."

Tanpa pikir panjang, dia mengangguk. Jawaban itu otomatis mendorong Tsabita kembali ke tempat latihan, meninggalkan Ihatra yang hanya membisu seraya menatap punggung wanita itu menghilang di kelokan lorong.

Setelah sekitar lima belas menit lamanya, giliran Jayden yang kembali menghampiri Ihatra di undakan tangga. Kawannya satu itu datang sambil ngos-ngosan, "Yat, gue diberitahu Bita barusan. Sorry banget gue enggak peka. Ini gue habis lari keliling lapangan langsung minta waktu istirahat buat nyamperin lo."

Ihatra menyodorinya botol minum miliknya, dan Jayden langsung meneguk isinya sampai habis.

"Gue enggak papa, Jay. Tadi Bita narik tangan gue tepat waktu."

"Untung ada Bita. Terus lo masih mau latihan di kondisi begini?"

"Gue tetep bisa latihan kali. Yang tadi cuma serangan cemas aja gara-gara deket bocah."

Jayden duduk di samping Ihatra dan menepuk lututnya dengan pelan. "Ya udah, yang penting lo enggak papa," lalu nada suaranya berubah menjadi mengeluh, "Egar malah lebih aneh, tahu enggak? Tsabita udah berusaha jelasin apa yang terjadi, tapi dia masih belum paham sama apa yang lo alami. Dia bilang lo cuma malu karena enggak terbiasa jadi pusat perhatian anak-anak. Dia nyangka lo itu minder."

"Gila tuh orang."

"Emang. Sekarang lo paham kan kenapa gue bilang lo juga harus jaga jarak sama abangnya si Damar?" Jayden meletakkan botol minum yang sudah kosong di undakan tangga di bawahnya. "Dengerin teori gue; kalau Damar teridentifikasi sebagai bocah jurig, abangnya teridentifikasi sebagai orang narsis. Lo coba ngomong apa aja sama dia, segalanya bakal dia jadiin kesempatan buat merendahkan lo dan meninggikan derajatnya sendiri. Yang bener aja cowok kayak gitu jadi pacarnya Tsabita!"

Ihatra tertawa kecil mendengar hal itu.

"Kok malah ketawa?"

"Tsabita yang pilih dia sebagai pacar. Pasti dia nemuin sesuatu yang bagus di diri Egar, yang kita semua enggak bisa ngelihat itu," kata Ihatra. "Lagi pula kita baru dua kali ketemu Egar, sementara Tsabita udah lama kenal sama dia. Pastinya dia tahu baik-buruk pacarnya."

Jayden terdiam sebentar. Rautnya seperti berpikir. "Kalau suatu saat lo lihat Tsabita terluka gara-gara ulah Egar, gue harap lo enggak menyesal."

"Kok lo bilang gitu?"

Jayden hanya mengangkat kedua pundaknya. "People tend to turn stupid when they fall in love. Mungkin Bita salah satunya."

Ihatra memikirkan baik-baik kalimat tersebut, kemudian menghela napas. "Gue sendiri aja kewalahan buat ngurusin kesehatan mental gue ya Jay. Gue hampir enggak punya waktu buat mikirin masalah hati dan rasa sayang gue ke Tsabita," katanya seraya menatap Jayden lurus-lurus. Namun setelah beberapa detik terdiam, suaranya berseru mantap mengakhiri obrolan sore itu;ย 

"But you're right anyway, so I'll keep an eye on him."[]

-oOo-

.

.

.

Eittss, acara boxing-nya enggak berhenti sampai sini ges. Kepanjangan. Chap depan ada lagi yak

Iyat jadi orang ketiga di antara Tsabita dan Egar, menurut kalian yes or no?

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top