24. Kencan Makan Malam
Selamat membaca gaess~
Jangan lupa vote dan komen ya Anda sekalian
-oOo-
"MBAK, fokus!"
Tsabita seketika tersadar bahwa gerakan tarinya keliru. Sesegera mungkin dia mengembalikan fokus dan menyamakan tempo dengan para penari di sekelilingnya.
Wanita itu menyentak kipas hingga terbuka lalu mengikuti keenam penari lain, berusaha tidak menghiraukan cuaca menyengat di atas kepalanya, juga melupakan gumpalan emosi di hatinya. Ketika irama musik berganti, formasi para penari berubah menjadi lingkaran. Di bagian terakhir ini, Tsabita berdiri di tengah-tengah dan menarikan serangkaian gerakan―melompat ke atas, berputar, berjinjit sambil menyingkap kipas di belakangnya seperti ekor yang patah. Satu ketukan terakhir dilayangkan, dan tarian selesai.
Ketika semua penari membubarkan diri, Shaka datang sambil memberikan sebotol air mineral. Tsabita menerimanya dan langsung menenggak isinya seolah baru saja menari di padang tandus. Dia menyeka mulut yang belepotan air dengan punggung tangan, lalu melirik Shaka yang memberinya pandangan keheranan.
"Tumben latihan kali ini Mbak kurang fokus," celetuk anak itu.
"Tadi kepikiran sesuatu."
"Masalah yang tadi Mbak ceritain? Waktu Damar tiba-tiba dateng ke toko kita?"
Tsabita berputar dan duduk di bawah pohon. Di belakangnya, Shaka mengikuti.
"Iya," kata Tsabita. "Aku enggak bisa berhenti mikirin nasibnya Mas Iyat. Gimana kalau Damar beneran cerita ke semua orang? Gimana kalau Mas Iyat tiba-tiba dikucilkan penduduk?"
"Waduh, Mbak kalau overthinking kelewatan amat, sih."
"Karena kasusnya Mas Iyat beneran separah itu."
Tsabita membuang napas berat. Semenjak keterlibatannya dalam insiden di sungai, dia justru terseret ke dalam lingkaran kehidupan Ihatra Kama. Watak alami Tsabita yang pada dasarnya peduli kepada orang lain membuatnya tidak tega meninggalkan Ihatra menanggung nasib buruknya sendiri. Tsabita tahu dia hanya pihak luar yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Ihatra. Namun, kubangan masalah ini malah melebar sampai pada titik dia penasaran setengah mati untuk tahu lebih jauh. Bila Tsabita kehilangan fokus dan ceroboh ketika latihan, maka ini semua disebabkan karena tindakannya semalam yang sengaja begadang untuk mencari berita Ihatra.
Tidak banyak. Namun, Tsabita mendapatkan beberapa informasi tentang Ihatra Kama. Nama lengkapnya rupanya tidak pernah diberitahukan ke publik, tetapi pria itu lahir di London, tanggal 9 Januari. Mengawali karier sebagai aktor dan debut menjadi penyanyi sembilan tahun silam. Skandalnya mulai muncul ketika foto-foto kencan Ihatra bersama 1-2 orang bocor ke publik. Dia mendapat tudingan sebagai aktor egois perihal perilakunya yang cenderung mengabaikan kritik dari para penggemar hanya karena memilih-milih proyek film. Kasusnya bersama Anastasya Wanandirja juga membuat Ihatra mendapat julukan baru sebagai pelaku pelecehan anak di bawah umur, karena mengajak Anastasya berkencan dan meminta foto-foto mesum. Dan kasus terakhirnya, yang paling menghebohkan di antara semuanya; tuduhan bahwa Ihatra adalah seorang iblis pembunuh yang kabur setelah mengakibatkan kecelakaan besar.
Kesimpulannya, bila dilihat hanya dari satu sisi kacamata media, Ihatra memang seorang selebritas kurang ajar yang layak ditendang.
"Menurut Mbak gimana?" Shaka tiba-tiba bertanya. "Waktu itu kan Mbak sendiri yang minta aku buat jauhin Mas Iyat karena dia aktor problematic, tapi sekarang Mbak malah bersimpati ke orang itu. Sebenernya apa yang bikin Mbak berubah pikiran?"
"Waktu lihat Mas Iyat ... aku ngerasa bahwa dia bukan orang jahat."
Shaka menaikkan alis. "Tahu dari mana?"
"Ya tahu aja. Dari nada bicaranya, dari tatapannya, dari sikapnya waktu berinteraksi. Rasanya dia enggak jahat seperti yang diberitakan media. Semua yang ada di diri Mas Iyat terasa tulus, apa adanya." Lalu Tsabita menatap Shaka lekat-lekat. "Sekarang aku tanya. Kamu kan sering ngobrol sama Mas Iyat. Ngerasa enggak kalau dia berbahaya?"
Shaka menggeleng. "Enggak, sih. Justru aku mikirnya dia baik banget."
"Tuh." Tsabita mendesau lega. "Enggak cuma aku yang bepikiran sama."
"Tapi waktu itu Mbak nyuruh aku jauhin Mas Iyat?" Shaka memprotes.
"Waktu itu aku cuma gegabah aja," kata Tsabita dengan nada minta maaf. "Salahku yang terlalu menghakimi di awal. Kukira dia datang ke sini sekadar untuk healing dan sembunyi dari media, jadi aku berencana enggak ikut campur masalahnya. Tapi waktu di toko tadi pagi, aku lihat sendiri badannya yang gemetar dan wajahnya yang pucat. Ketakutan itu ada di matanya, Shak. Setelah itu aku baru sadar bahwa Mas Iyat memerlukan pertolongan. Dia datang kemari karena ingin sembuh dari trauma yang dideritanya."
"Ternyata kata-kata Mas Iyat waktu itu bener." Shaka memainkan ranting tanaman di dekat kakinya. Ketika Tsabita membalasnya dengan pertanyaan "yang mana?" Shaka melanjutkan, "Kan waktu itu Mas Iyat sempat bilang kalau dokter terapisnya yang nyuruh Mas ke sini. Dia betulan lagi sakit ... mungkin itu tadi kayak kata Mbak."
"Oh, itu. Bener juga, sih." Tsabita ingat lagi, lalu tengadah memandang langit yang bersemburat ungu. Magrib hampir tiba. Wanita itu lantas berceletuk, "Kira-kira kenapa Mas Iyat milih tempat ini untuk menyembuhkan diri, ya? Kenapa enggak pergi ke luar negeri sekalian gitu, biar dia enggak perlu ketemu orang indo."
"Iya juga, sih. Apa karena duitnya enggak cukup?"
Shaka memandang Tsabita, kemudian keduanya sama-sama terkikik.
"Udah, ah. Enggak baik gosipin orang," Tsabita berdiri sambil menepuk-nepuk pantatnya dari rumput kering, lalu menyapu pandang sekitar. Setelah latihan menari selesai, satu per satu warga pergi. Di lapangan balai desa hanya ada dua sampai tiga orang bapak-bapak yang masih mengurus kepentingan acara. Tsabita menunduk pada Shaka. "Pulang, yuk. Habis magrib nanti aku mau keluar."
"Keluar ke mana? Sama siapa?"
Tsabita nyengir tipis. "Sama Egar."
-oOo-
Pinggala terkenal dengan pemandangannya yang masih eksotis, pantai-pantai berpasir putih, dan hutan pinus serta perbukitan yang begitu liar dan asri. Jelas, gaun pesta dan higheels tidak pernah bersahabat dengan kondisi geografis di tempat ini. Jadi, Tsabita hanya mengenakan setelan gaun selutut dan flatshoes cokelat untuk mendukung acara kencannya. Dia mematut diri di hadapan cermin sambil memoleskan lipstik berwarna merah karmin, senada dengan warna pakaiannya.
Ketika Egar datang, Tsabita berpamitan kepada Bu Nilam lalu menghampiri pria itu. Egar rupanya sedang duduk di motornya, sibuk memelototi ponsel.
"Nungga lama?" Tsabita nyengir.
"Oh? Enggak." Egar membalas pendek, hanya sekilas menatap wajah Tsabita, lalu sibuk lagi dengan ponsel. Tsabita agak ragu ketika mendengar nada tidak bersahabat dalam suaranya, sehingga dia mencoba bertanya, "Ada apa, Gar?"
Egar, dengan dramatis, melepas satu desahan frustrasi. Dia mengangkat ponselnya di hadapan Tsabita. "Ada keluarga murid yang mau pindah keluar pulau. Klub boxing-ku kehilangan satu anggota lagi."
"Sayang banget," kata Tsabita ikut prihatin.
"Bukan lagi disayangkan, tapi aku hampir kehilangan donatur!" Egar membalas kesal. "Klubku selama ini dapat donatur rutin dari sebuah yayasan olahraga di luar pulau, tapi tadi mereka ngirim regulasi baru kalau bantuan alat-alat bela diri bisa kapan saja dihentikan kalau jumlah anggota klub enggak sampai sepuluh orang. Belakangan ini aku cuma punya sebelas anggota aja, dan sebentar lagi berkurang jadi sepuluh!"
Tsabita, yang diliputi ketidaktenangan karena Egar mendadak marah-marah, langsung membalas dengan sabar, "Nanti kita pikirin strategi buat mengatasi masalah ini. Kayaknya perlu ada regulasi jadwal atau pemantapan kelas."
Egar hanya berdecak kecil, seolah jawaban Tsabita sama sekali tidak memuaskannya.
"Kamu mau nenangin diri dulu?" Tsabita membujuk setenang mungkin, walau sebetulnya dia sebal, sebab kencan kali ini tampaknya tidak akan berjalan sesuai ekspektasi. Kemarahan Egar membuat segalanya hancur. Padahal ini bukan kesalahan yang dibuat Tsabita, tetapi dia merasa menjadi korban pelampiasan. "Kita batalin pergi, ya, Gar?"
"Jangan, lah." Egar menyentuh pinggang Tsabita dan menariknya mendekat. "Justru aku pengin ketemu kamu buat ngelupain masalah ini. Aku kangen berat." Lalu pria itu mendekatkan bibirnya pada pipi Tsabita dan mencuri ciuman sekilas.
Tsabita lagi-lagi kaget dengan tindakan Egar barusan, tetapi dia mencoba terbiasa.
"Kita mau ke mana dulu?" tanya Tsabita sambil menaiki motor Egar, diam-diam berharap Egar mengajaknya berkeliling ke suatu tempat sebelum pergi makan. Kemarin saat bertukar pesan dengan Egar, Tsabita sempat menyatakan keinginannya untuk mengunjungi pasar malam. Sudah lama sekali dia tidak ke sana.
"Langsung makan di dekat pantai aja ya, Yang, terus pulang. Ada banyak yang harus kukerjain habis ini. Mau ngurus klub."
Yah, dasar PHP.
Belum ada satu menit sejak Egar berkata kalau dia kangen berat pada Tsabita, lalu sekarang dia mau mempersingkat acara kencan ini? Padahal kemarin Egar berjanji lewat chat bahwa dia akan mempersiapkan momen terbaik dengannya.
Tsabita merasa hatinya dongkol dan terdesak perasaan ingin protes, tetapi lagi-lagi dipaksa untuk memahami kondisi Egar. Dan, ketika dia memutuskan menggagapkan keinginan untuk menolak, mesin motor sudah dinyalakan, lalu mereka keluar dari kawasan rumah.
-oOo-
Kedai yang didatangi Tsabita dan Egar cukup terkenal di Pantai Pinggala, terutama karena letaknya di atas tebing menghadap pantai dan tempat makannya berupa pondok lesehan mungil yang tersebar di lahan berumput. Lentera-lentera mengisi tiap sudut halaman, menyadur warna kuning dan merah lembayung lembut di tiap bilik.
Setelah memesan makanan, Tsabita dan Egar duduk di sebuah tempat yang masih sepi. Egar tidak lagi sibuk dengan ponselnya. Kali ini beralih memandangi hamparan lautan luas di bawah tebing pendek sambil memasang raut berpikir-pikir. Tsabita menangkap gelagat murung Egar sehingga akhirnya bertanya, "Masih mikirin masalah klub?"
"Ya, gitulah. Aku harus mikir rencana buat mempertahankan klub itu kedepannya."
"Kamu biasanya santai kalau ada masalah. Tumbenan belakangan ini kelihatan murung?"
"Kali ini beda, Sayang." Egar berpaling dari hamparan laut dan memandang Tsabita lurus-lurus. Sesuatu tiba-tiba terpetik di benaknya. "Omong-omong kamu kok enggak pernah manggil aku pakai sebutan sayang, sih?"
Pertanyaan itu membuat Tsabita terpaku sebentar. "Oh ... iya."
"Gitu doang?" Egar hampir protes, terkejut dengan reaksi Tsabita yang begitu datar. "Lagian kan aku udah manggil kamu sayang, harusnya kamu juga peka dong, Bit. Masa cuma aku aja yang kelihatan cinta ke kamu?"
Astaga, ini kencan pertama mereka semenjak Egar menyatakan perasaan, tetapi rasanya Tsabita seperti kena marah terus-menerus. Wanita itu memutuskan untuk tidak menyembunyikan raut tersinggungnya. "Ya maaf, Egar. Ini kan pertama kalinya buatku. Aku juga enggak pernah berhadapan sama cowok selain kamu sebelumnya, jadi kadang bingung gimana mau bereaksi."
Egar mendesaukan napas, entah mencoba maklum atau tidak puas dengan jawaban Tsabita. "Ya udah, coba panggil aku 'Sayang' gitu."
"Iya, Sayang," kata Tsabita tanpa ragu.
Egar yang mudah terlena dengan perlakuan manis itu akhirnya luluh lagi. Sambil cengar-cengir, dia melipat tangannya di atas meja dan menatap paras Tsabita lamat-lamat. "Gitu, dong. Mulai sekarang panggil aku kayak gitu di depan Shaka dan juga Bude Nilam."
"Enggak mau, ah."
"Oh, kamu malu pacaran sama aku?"
"Bukan malu," kata Tsabita, tersinggung. "Aku enggak mau interaksi kita bikin anggota keluarga di rumahku merasa tersisihkan, terutama Shaka."
"Maksudnya?"
"Panggilan 'sayang' itu terlalu sakral buatku. Kalau Shaka dengar, dia bisa sedih karena kita bertiga enggak kayak dulu lagi. Dia mungkin merasa tersisihkan waktu lihat aku dekatnya sama kamu aja."
Egar terkekeh seolah itu adalah alasan paling tidak masuk akal di dunia.
"Kamu itu aneh, Bit. Kenapa kamu selalu menjaga jarak sama pacarmu sendiri? Sikapmu ke keluargamu juga berlebihan. Shaka itu udah besar―udah kelas satu SMA, seharusnya dia enggak akan mudah iri atau cemburu sama saudaranya sendiri. Dia pasti paham kenapa kamu panggil aku sayang. Dan satu lagi, itu bukan panggilan sakral. Itu cuma panggilan kasih sayang."
"Aku punya pandangan sendiri soal itu," kata Tsabita, kemudian mengucapkan terima kasih kepada seorang pelayan kedai yang memberikan minum. Wanita itu bertanya pada Egar, "Apa semua cewek yang enggak pernah pacaran kayak aku sebelumnya juga mikir begini?"
"Enggak. Cuma kamu doang yang mikirnya aneh gitu." Egar tertawa, tetapi cengirannya lebih mirip kejengkelan. "Panggilan sakral, katamu? Konyol."
"Mungkin karena aku terlalu peduli sama batasan dan hubungan dengan orang lain," Tsabita menyeruput es jeruknya dan berusaha tidak memedulikan suara hati yang retak setelah Egar mengatainya konyol. "Aku enggak terbiasa sama panggilan sayang, makanya aku ngerasa aneh kalau tiba-tiba pakai itu. Aku juga peduli sama perasaan keluargaku, jadi aku amat memikirkan bagaimana reaksi mereka seandainya aku melakukan sesuatu yang enggak umum. Bahkan kalau itu sesepele mengubah nama panggilan jadi panggilan sayang aja, bagiku itu penting."
"Dibandingkan mikirin perasaan, kamu justru kedengeran kayak orang kaku, Bita. Aku ini kan pacarmu, tapi kamu dicium sama aku aja ogah. Disuruh panggil sayang malah pakai alasan kayak gitu. Sebenarnya kamu cinta atau enggak sama aku?"
Tsabita merasakan semacam desakan untuk menjelaskan lebih banyak, tetapi dia takut Egar akan menceramahinya panjang lebar. Belum lagi bila mendengar nada suara Egar yang terkesan ketus dan blak-blakan, rasanya seperti sedang dimarahi. Jadi dia hanya tersenyum kecil dan berkata, "Aku cinta kamu, Egar."
Egar mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. Dari raut wajahnya dia seolah ingin berkata sesuatu, tetapi ujung-ujungnya urung. Sebagai gantinya, Egar mendorong tubuhnya ke depan dan meremas tangan Tsabita dengan lembut, mengusap buku-buku jarinya. "Aku ingin suatu saat kamu membebaskan aku untuk menembus batas-batas itu."
Tsabita menatap mata Egar lurus-lurus. "Pelan-pelan ya, Gar."
Egar tersenyum, dan kali ini lebih lega. "Pokoknya kamu harus berubah demi aku."
Ketika obrolan mereka mendarat pada topik baru (Egar sedang sibuk mengoceh tentang kejadian di klub ketika seorang muridnya jatuh dan mengalami lutut robek), atensi Tsabita mendadak teralihkan oleh sekelebat bayangan yang muncul dari balik pepohonan. Dia harus menyipitkan mata untuk melihat siapa itu.
Enggak mungkin.
"Mas Iyat dan Mas Jayden?"
"Hah?" Egar segera berpaling ke belakang dan melihat sepasang pria bertopi sedang celingukan tidak jauh dari mereka. Satu orang tampak tinggi dan proporsional―berkaus putih dan mengenakan jins tiga perempat, sementara yang satunya lebih jangkung dan kurus, memakai setelan berwarna senada yang style-nya cukup trendi. Raut mereka berdua seperti kebingungan, sepertinya tidak menemukan tempat yang kosong untuk disinggahi.
Egar menghadap Tsabita. "Kamu kenal dua orang itu?"
"Eh, dia ...."
Astaga! Tsabita merutuk dalam hati. Harusnya dia tidak perlu menggumamkan nama mereka keras-keras, bisa-bisa kejadian seperti di toko pagi tadi terjadi lagi. Namun, belum sempat Tsabita memikirkan jawaban untuk beralasan, Egar memotongnya lagi;
"Jangan-jangan mereka yang diceritakan sama Bude Nilam."
"Apa?"
"Mereka yang waktu itu ngundang kamu makan malam di rumahnya, kan? Jujur sama aku."
"Iya, itu ... mereka." Tsabita hampir menjawab dengan suara cicitan mirip tikus. Egar sudah tahu dan dia tidak bisa dibodohi untuk kali kedua.
"Kita suruh mereka gabung," kata Egar tiba-tiba.
Tsabita langsung terkejut sambil mendelik horor. "Apa?"[]
-oOo-
.
.
.
Bagian ini aslinya masih panjang, tapi aku nggak nyadar udah ngetik 2300+ kata 🤧 Yawdah lanjut lusa aja
Gimana menurut kalian waktu Egar ketemu Iyat dan Jayden pertama kali?
A. Merasa tersaingi
B. Menganggap teman
C. Merasa superior
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top