23. Melukis Kenangan
WOY GES, chapter ini sampai 2500 kata yak, moga nggak bosen Anda membacanya 😃
Sebelum membaca jangan lupa sedekah vote dan komentar dulu. Bikin aku bahagia bisa menjadi cara kalian masuk surga loh 🥸👍🏼
-oOo-
ADA bongkahan batu yang jatuh ke dasar perut dan membuat lambungnya penuh. Ihatra bolak-balik ke kamar mandi dan muntah di toilet, dibantu Jayden yang membungkuk di belakang sambil memijat-mijat tengkuknya. Setelah isi perutnya disedot hingga dia kesulitan berdiri, Ihatra harus memaksakan diri (lebih tepatnya dipapah) ke kamar dan merebah di kasur. Jayden semakin khawatir karena keadaan sahabatnya tampak mengenaskan.
"Yat, kita ke klinik desa, yuk." Jayden duduk di tepi kasur dan meremas lengan Ihatra yang berkeringat. "Gue tahu dimana lokasinya, soalnya waktu nyari rumah lo gue ngelewatin. Agak jauh sih, palingan setengah jam. Tapi daripada lo di sini terus, entar nambah parah."
"Udah lo santai aja, Jay. Gue mual dikit doang. Lebay amat sampai ke klinik," Ihatra mencibir. Dia sudah menyangka kondisinya akan menjadi selemah ini, terutama setelah Jayden memaksanya pergi ke pesisir pantai menggunakan motor (bahkan perjalanan pulang bisa dikatakan lebih buruk, karena Jayden tidak mau insiden penghinaan itu terjadi lagi, pria satu ini malah menyetir dengan kecepatan super). Jayden, yang tampaknya ogah percaya bahwa roda yang berguling adalah penyebabnya, malah melampiaskan kesalahan pada bocah gembul bernama Damar karena sudah lancang mengganggu privasi Ihatra.
"Kampret emang si Damar. Lain kali kalau gue ketemu bocah itu lagi, gue jorokin ke selokan," Jayden merutuk sumpah lagi.
Ihatra mendesaukan napas. "Gue malah khawatir ke lo. Nanti masalahnya jadi gede karena lo jadi incaran si Egar."
"Siapa Egar?"
"Pacarnya Bita. Damar itu adiknya Egar."
Jayden membulatkan mata terkejut. "Lo serius?"
"Ya udah sih, kok lo jadi kaget gitu?"
"Bocah itu nantinya jadi adik iparnya Bita, dong? Kagak rela gue!"
"Napa jadi elo yang kagak rela?" Ihatra mengernyit tidak paham.
Jayden menggerutu kecil seolah ingin meninju kasur. "Kalau si Damar aja kayak gitu gimana sama abangnya coba?"
"Belom tentu mereka mirip kali," Ihatra secara hati-hati mendorong dirinya agar bersandar di kepala kasur, menggeleng tidak habis pikir akibat mendengar tebakan ngawur Jayden. "Kalau gue lihat, cewek kayak Bita enggak bakalan sembarangan pilih cowok. Dia anggun, kalem, dan juga cerdas. Pasti dia tahu mana cowok yang baik buat dirinya."
"Sok tahu lo," Jayden menoyor pelan pundak Ihatra. "Lo tahu enggak di dunia ini ada satu pertanyaan yang belum ada jawabannya?"
"Apa?"
"Alasan kenapa cewek baik-baik selalu dapet cowok yang berengsek."
Ihatra terdiam menatap Jayden, seolah ingin memastikan sesuatu. "Lo bilang kayak gitu mau menyiratkan opini kalau Egar itu orang berengsek?"
"Menurut lo? Bisa aja si Bita belum sadar." Jayden menepuk tangannya satu kali lalu menuding Ihatra dengan dua jari telunjuk. "Ini kesempatan lo buat rebut dia, bro. Kalau Bita sama lo, gue baru ikhlas."
"Apaan sih, yang ada gue yang jadi cowok berengsek!" Sambil bersungut, Ihatra melorot ke kasur lalu menarik selimut di bawah kaki sampai menutupi separuh tubuhnya. Menatap Jayden satu kali sebelum melengos kesal, "Ambilin gue minum, kek. Orang habis muntah malah dibiarin aja."
Jayden terpaksa bangkit sambil bergumam lirih, "Kalau bukan sobat gue, udah gue sumpahin lo nelen biji kopi langsung dari bokong luwak."
Setelah Jayden pergi, Ihatra kembali duduk bersandar di kasur, sebab benaknya tidak bisa diajak tidur atau berpikir jernih. Dia tengadah memandang jendela kaca besar di kamarnya yang langsung menghadap hamparan perbukitan sehijau zamrud, namun pemandangan cantik itu sama sekali tidak bisa mengobati kemurungan di hatinya. Ihatra terjebak oleh perasaan kalut luar biasa, seolah ada spatula yang mengoyak perutnya dan tangan yang mencekik lehernya dan batu besar yang menekan dadanya.
Kenapa rasanya bisa sesakit ini? Itu kan cuma ocehan dari mulut bocah!
Tidak, tepatnya, bukan hanya karena Damar. Melainkan karena Ihatra kehilangan muka di hadapan Tsabita.
Pria itu menutupi wajah dengan tangan, berpikir-pikir, betapa mengerikan karena telah membuka aibnya sendiri di hadapan Tsabita. Kendati wanita itu sudah menenangkannya dan berkata bahwa segalanya baik-baik saja, hatinya tetap gundah. Ihatra malu lantaran menunjukkan kelemahannya dua kali kepada Tsabita, dan merasa pengecut karena di-bully oleh seorang bocah tetapi tidak bisa melakukan apa-apa untuk membela diri. Di mana harga dirinya sebagai seorang pria?
Saat Ihatra masih frustrasi memikirkan hal itu, Jayden sudah kembali dari dapur.
"Yat," kata Jayden sambil meletakkan segelas air hangat dan tablet pereda mual, "Kata Pak Ersan, di dekat sini ada dokter praktik. Dia punya nomornya. Gue panggilin ya supaya lo enakan."
"Gue harus bilang berapa kali sih kalau gue enggak papa?" Ihatra protes dengan nada setengah membentak. "Gue lama-lama kesel kalau diperlakukan kayak bocah penyakitan gini. Lo bikin gue jadi kelihatan lemah dan enggak bisa diandelin, Jay!"
Kata-kata itu membuat Jayden tersinggung, tetapi karena mencoba memahami kondisi Ihatra, dia akhirnya mengalah, "Iye, iye, tantrum mulu lo sejak gue ada di sini. Lo emang enggak butuh gue apa gimana, sih? Apa gue balik aja ke Jakarta dan enggak usah hubungin lo lagi selamanya?"
Mendengar hal itu, Ihatra menciut. Dia menatap Jayden sambil menahan gengsi. "Ya jangan. Gue enggak punya temen."
"Bilang yang keras, lo enggak punya apa?"
"Gue enggak punya babu."
"Lo emang turunan Yajuj Majuj, ye. Sini lo!" Jayden menyambar guling di dekat Ihatra lalu memukulkannya ke wajah pria itu, yang dibalas dengan cekikikan lemah. Ihatra menghalau Jayden sambil memohon, "Jangan pukul lagi, oke-oke, gue salah."
"Buru minum obat, anak babi."
Satu tablet obat pereda mual selesai diteguk, kemudian Ihatra bertanya pada Jayden yang sejak tadi sibuk mengetik sesuatu di layar ponsel. "Jay, gue mau nanya sesuatu ke lo."
Jayden bergumam sambil masih menatap layar ponsel, "Mm?"
"Menurut lo Tsabita bakalan benci gue, enggak?"
"Ya enggak, lah. Orang tadi dia sendiri yang nenangin lo?" Lalu Jayden meletakkan layar ponselnya di atas kasur dan menatap Ihatra. "Kenapa, lo kepikiran sama aksi impulsif lo waktu ngaku ke Bita tentang skandal itu?"
"Enggak cuma ke Bita aja, sih. Gue takut Tsabita bilang ke Shaka dan ibunya di rumah. Gimana kalau mereka udah enggak mau berurusan sama gue lagi?"
"Ya lo enggak usah berlarut-larut mikirin itu, Yat."
"Gue pikir dateng ke pulau ini enggak bakalan nimbulin masalah, ternyata ada aja hal enggak terduga yang muncul," kata Ihatra sambil menatap kosong kebun di balik jendela. "Kayaknya sejak kecil gue emang terlahir jadi magnet buat masalah."
"Jangan sembarangan ngomong. Entar jadi doa." Jayden menasihati. "Lagian kalau lo percaya Bita, seharusnya lo juga percaya omongannya. Enggak mungkin dia meludahi dirinya sendiri dengan ngejauhin lo, padahal sebelumnya dia bilang kalau lo bakal aman di sini."
"Lo bener." Ihatra membuang napas, kemudian memejamkan mata. Kenangan saat Tsabita menyeka keringat di keningnya tahu-tahu menyusup masuk, membuat Ihatra tergelitik lagi. Pria itu membuka mata dan langsung mengusap-usap wajah dengan kasar. "Kacau, kacau. Kalau gini caranya gue makin suka sama cewek itu."
"Lo terlena sama ucapan Tsabita?" Jayden terkekeh.
"Semuanya. Ucapan, kepribadian, fisik, dan cara dia memperlakukan gue."
Ihatra mengangkat tangannya yang tadi sempat diremas Tsabita dengan lembut. Seolah-olah jejak kehangatannya masih tertinggal di sana. Dia merasa bersalah kepada Egar karena menanggung gejolak kasih ini diam-diam, dan merasa benci dengan dirinya sendiri yang kesulitan untuk mengontrol diri di hadapan wanita itu. "Gue enggak mau jadi perusak hubungan orang, Jay. Gue mau ngelupain perasaan ini, tapi enggak bisa, karena gue selalu ketemu sama dia. Gue takut perasaan ini malah semakin berkembang dan nyiksa gue."
"Kayaknya dulu ada yang bilang kalau dirinya bukan cowok yang diperbudak nafsu~" Jayden menggumam sambil bersiul. Dia kembali meraih ponsel dan mengetik sesuatu di layarnya. Sementara Ihatra hanya bisa cemberut dan tidak bisa berkata banyak, sebab dia tahu dirinya memang termakan omongannya tempo lalu.
"Gue pikir gue enggak mudah jatuh cinta," kata Ihatra sekenanya.
"Tapi mantan lo ada banyak," Jayden menyahuti.
"Mulut lo! Cuma tiga, woy. Cewek pertama cinta monyet gue waktu masih SD, cewek kedua si selebgram yang sempet lo kenalin ke gue dulu―yang putus sama gue gara-gara dia kira gue enggak peka dan enggak perhatian. Terus yang ketiga si Tasya, yang kita berdua tahu enggak berakhir baik―justru jadi belati yang nusuk gue dari belakang. Dan menurut gue, semua hubungan yang gue jalani bukan jatuh cinta yang sesungguhnya. Tapi ...." Ihatra berhenti sebentar untuk berpikir jawabannya. "Semacam perasaan suka atau tertarik aja. Belum ada yang bisa bikin gue segalau ini kayak Tsabita."
"Tunggu-tunggu, lo punya mantan waktu SD?"
"Khusus yang itu gue udah hampir lupa, serius. Gue samar-samar inget dulu emang ada cewek yang gue suka―semacam first love, tapi lo tahulah gimana anak SD kalau jatuh cinta. Kalau ada sesuatu yang lebih konyol dari cinta monyet, gue pasti bakal sematin gelarnya buat bocah cewek itu."
Jayden tertawa sambil melempar kepalanya ke belakang. "Bisa aja lo. Padahal di film-film, first love itu justru yang paling awet, a.k.a your true love."
"Kebanyakan nonton film lo."
"Hahaha, yaudah sih, daripada lo terpaksa ngerusak hubungan Tsabita sama Egar, mendingan kan balik sama mantan lo yang masih SD itu?"
Ihatra tidak lagi melontarkan apa pun untuk membalas kejengkelannya kepada Jayden. Walau demikian, bukan berarti kebisuannya mencegah otak untuk tidak membayangkan hal buruk lain. Dia meredam gejolak itu dengan menutup mata, mengendalikan laju napasnya. Harus memikirkan percakapan lain untuk membantunya melupakan Tsabita dan kejadian di toko tadi.
Lalu perhatiannya mendarat pada Jayden yang sejak tadi menarikan jari di layar ponsel. "Eh lo dari tadi chattan sama siapa, sih? Lagi ngobrol sama gue malah asyik hapean mulu."
"Oh, ini manajer gue. Dia nanyain masalah jadwal, tapi udah beres, kok."
"Lo mau balik?"
"Kagak. Masih lama. Katanya lo mau ngajakin gue nonton festival bulan depan?"
"Iya, sih." Ihatra memandang ponsel Jayden lagi. "Lo enggak bilang ke manajer dimana posisi lo, kan?"
"Buset nih orang kagak percaya banget."
"Oke, sorry. Gue enggak ikut campur lagi."
Ihatra berdecak lirih, namun Jayden justru terkekeh karena menurutnya ekspresi Ihatra lucu sekali, terutama kebiasaan memutar bola matanya saat menghadapi sesuatu yang menjengkelkan. Didasari oleh rasa lelah dan ngantuk (akhirnya obat pereda mual tadi mengeluarkan efeknya sekarang), Ihatra berguling ke samping sambil memeluk bantal, memposisikan diri dengan nyaman.
"Yaudah tidur aja, entar malem kalau udah baikan kita keluar cari makan," Jayden berkata sebelum bangkit dari kasur lalu keluar dari kamar Ihatra. Ketika pintu di belakangnya tertutup, pria itu kembali menunduk melihat layar ponselnya yang baru saja menerima notifikasi pesan dari Adam Wanandirja. Dia membaca sebaris pesan terakhir dengan perasaan tidak bersemangat.
-oOo-
Dia tidak ingat persis bagaimana kejadiannya, tetapi sensasi yang tubuhnya rasakan ketika jatuh ke jurang akan selalu menjadi ingatan yang mengentaknya bagai ledakan mengerikan.
Sesaat ketika tubuhnya berguling bersama mobil yang berguncang di bebatuan curam, tulang-tulangnya patah membentur bagian dalam mesin. Rasa sakit menyerangnya bagai tusukan seribu belati yang tajam, menulikan pendengaran dan meloloskan raungan maut dalam kerongkongannya.
Di balik tirai kabut yang menyelimuti dunianya yang terbakar, seseorang―berdiri di luar―mengulurkan tangan pada dirinya yang terjebak di dalam mobil yang terbalik. Dunia di sekelilingnya berderak-derak dan mengabur oleh asap, kobaran api, dan darah, tetapi dia bisa menduga siluet itu sebagai suatu potongan dari masa belasan tahun lalu yang terlupakan.
"Sini," kata suara itu, lirih dan berbisik. "Pegang tanganku."
Ihatra berusaha membuka mulutnya, tetapi yang terdengar dari sana hanya erangan seperti binatang yang disembelih. Entah bagaimana, kesakitan itu bercampur dengan kerinduan yang menyergap hatinya bagai selimut kepompong, hingga dia berusaha keras menyambut uluran itu. Walau satu jengkal saja, rasanya sungguh berat dan sakit luar biasa. Gerakannya tidak terkoordinasi dengan baik. Sendi-sendi di pergelangannya terkilir.
"Pegang tanganku. Kamu bakalan baik-baik aja." Suara itu berbicara lagi dengan lembut, membuatnya teringat seseorang.
Siapa kamu?
Dan, ketika sentuhan pertama mendarat di pipinya, Ihatra terbangun tiba-tiba.
"Yat, bangun! Lo enggak papa?"
Ruangan di sini remang. Kesadaran kembali mendorongnya muncul di permukaan realitas. Kesakitan, rindu, dan perasaaan hancur yang mengoyak dadanya bagai sembilu, mereda seiringan dengan napasnya yang mulai teratur. Ihatra mendorong dirinya duduk di kasur dengan gelisah, mengusap pipinya yang berkeringat―atau basah karena air mata, dia tidak tahu. Kepalanya terasa ringan dan berkabut seolah baru saja menenggak sebotol sirop obat.
Jayden yang duduk di tepi kasur menyalakan lampu duduk, lalu cahaya kuning lembut menerangi kamarnya. "Lo enggak papa? Tadi gue mampir buat lihat lo di kamar, terus lo kayak lagi mimpi buruk―atau ketindihan?"
Ihatra merasa bingung dan kalut. Dia menarik napas dalam-dalam dan menundukkan kepala di tangannya. "Gue mimpi."
"Buset, ini masih siang lo udah mimpi sampai keringetan."
"Gue ... gue ketemu Mami," Ihatra berkata lirih. Siluet dari dalam mimpinya membentuk sosok seorang wanita yang amat dikenalnya. Pemahaman ini mengilhami rasa rindu yang diterimanya dalam hati. Ibunya meninggal karena sakit yang dideritanya setahun lalu. Dan, semenjak saat itu, Ihatra harus berusaha mengobati dirinya yang terkadang dipeluk harapan ingin bertemu kembali. Apakah ini menjadi sebuah pertanda bahwa ibunya di atas sana sedang mengkhawatirkannya?
"Mimpinya gimana?" Jayden mengulurkan segelas air untuk Ihatra.
"Gue mimpi kecelakaan, terus mami datang buat nolong gue." Ihatra bernapas tenang, menerima gelas itu, lalu meneguknya beberapa kali. "Bukan mimpi kayak biasa. Entah kenapa kali ini gue merasa ... lega. Akhirnya ada orang yang nolong gue di sana."
Jayden mengangguk. "Masih mual?"
"Udah enggak."
"Ya udah, tidur lagi sana."
Untuk sesaat, keheningan menyulap ruang tidurnya yang terimbas cahaya dari lampu duduk. Ihatra duduk diam di kasur, tidak berniat berbaring, sebab terlalu letih untuk bermimpi kembali. Kendati mimpi itu membuatnya bertemu ibunya, bayangan kecelakaan parah tidak pernah menjadi gagasan baik di kepalanya. Bahkan sampai saat dia terbangun dan terjaga, aroma besi darah dan bahan bakar mesin terkadang masih tercium, membuatnya pening. Ihatra beralih menyingkap selimutnya, lalu memutuskan keluar kamar.
"Eh, lo mau ke mana?" Jayden menatap Ihatra bingung.
"Ke tempat favorit."
Dan itu adalah ruang lukisnya.
Ihatra membuka pintu ruang lukis, seketika disambut aroma yang familier. Ruangan itu temaram oleh cahaya alami dari kebun yang menembus jendela besar―cukup menjadikannya alasan untuk tidak menyalakan pencahayaan apa pun.
Tidak membutuhkan waktu lama ketika Ihatra sudah duduk manis di kursi lukis kesayangannya. Dia mengambil satu papan kanvas kosong yang diselipkan di balik meja, lalu memasangnya di easel. Sekejap kemudian sudah menggenggam kuas dan palet cat. Selalu ada ide, pikirnya. Ihatra tidak pernah kehabisan objek untuk melukis, dan salah satu sumber yang paling banyak menyumbang adalah dari mimpi-mimpinya.
Terkadang, mimpi yang dialaminya begitu nyata dan kuat, seolah-olah reka kejadian dalam otaknya itu sengaja memanggilnya untuk diabadikan di permukaan kanvas. Sungguh aneh, padahal sebagian besar merupakan bentuk kenangan yang pahit dan begitu buruk, sebagian kecil hanya berupa adegan random―namun perasaannya yang mengekangnya begitu kuat, seperti impian yang dikaitkan dengan mimpinya kala melihat pantai dengan pasir berwarna biru dan merah, lalu kesedihan yang dikaitkan dengan langit kelabu mutiara yang menyimpan pusaran anak badai. Dahulu Ihatra kebingungan bagaimana cara agar tidak bermimpi buruk lagi, sebab dia merasa walau sudah meneguk pil dan istirahat cukup, gambar-gambar itu terus berdatangan dan menghantuinya. Belakangan dia menemukan jawabannya saat dokter terapisnya menyarankan untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu ke dalam lukisan.
Rupanya gagasan itu berhasil. Hanya itulah cara yang bisa membebaskan kenangan buruknya agar tidak terperangkap lagi dalam otaknya.
Dengan melukisnya.
Ihatra mengambil napas, menekankan ujung kuas bermandikan cat kelabu ke permukaan kanvas. Kali ini, dia melukis kenangannya tentang kecelakaan maut itu.[]
-oOo-
.
.
Gais, aku nulis book ini berasa nonton drama china awowkwok
Baiklaaa, chapter depan kalian akan menemukan sebuah adegan paling konyol antara Iyat dan salah satu tokoh DTD. Bisa ditebak siapa itu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top