22. Buaian Seorang Kekasih

Ciyeee malam2 aku update nih. Tapi cuma dikit yaak, karena aku lagi gabut aja makanya dibuat ngetik awowkwok (bentar lagi langsung tidur karena mata udah nggak kuat melek) 😭

Jangan lupa buat vote dan komen, gais

-oOo-

"KOK Mbak Bita temenan sama pembunuh kayak dia? Dia ini seharusnya dipenjara, enggak boleh ada di sini!"

Kata-kata itu menusuk Ihatra bagai tombak, menyihirnya bagai patung. Dia tidak merespons―atau tidak sanggup, kendati benaknya menyuruhnya untuk segera kabur dari sana. Hinaan yang dipecutkan Damar membanjiri Ihatra dengan rasa malu dan penyesalan yang begitu besar. Kini bukan hanya tangannya saja yang gemetaran, melainkan sekujur tubuh.

Tsabita yang melihat reaksi terguncang Ihatra segera berlutut menghadap Damar, menekan sepasang pundak bocah itu dengan erat. "Mar, kamu enggak boleh tiba-tiba menuduh seperti itu, apalagi ke orang yang enggak dikenal."

"Hiii, Mbak, nanti aku dibunuh juga kalau deket-deket dia," Damar berkata mencicit. "Orang itu kan pemabuk. Kalau mabuk, dia bisa ngelukain siapa aja, kayak yang dia lakuin sama anak-anak di dalam bus itu."

"Hush, jangan bicara sembarangan, Damar!"

"Aku enggak bohong! SUMPAH! Dia pernah nabrak bus!"

"Iya, iya, tapi jangan dibahas di depan orangnya langsung. Dengerin Mbak―Damar!"

Teriakan Tsabita tidak dihiraukan Damar, sebab bocah tersebut menuding-nuding Ihatra sambil berbicara dengan mata melotot penuh kejengkelan, "Kamu jangan deket-deket Mbak Bita! Aku bilangin Mas Egar kalau kamu sampai deket-deket Mbak Bita! Orang jahat jauh-jauh sana!"

Sebelum Ihatra menunjukkan gejala syok yang lebih parah, Jayden langsung menggusur Ihatra ke ruangan di belakang toko, setidaknya menjauhkan sahabatnya dari sasaran kemarahan bocah tidak dikenal yang menuduhnya pembunuh. Dia mendudukkan Ihatra ke sebuah kursi dekat kamar mandi, sementara dirinya sendiri merapat pada dinding lalu mengintip untuk melihat apa yang terjadi di luar sana.

Tsabita masih berbicara empat mata dengan Damar, kelihatan kewalahan sebab si bocah mulai rewel dan melompat-lompat seakan ingin ikut menyusul kemari. Karena Jayden tidak bisa mendengar pembicaraan mereka, akhirnya dia meluruskan punggung sambil merutuk jengkel dengan nada berbisik, "Bocah freak! Bisa-bisanya mulutnya kayak comberan gitu! Di rumahnya apa enggak pernah diajarin buat ngomong sopan? Yat, lo enggak papa, kan?" Jayden berbalik dan menunduk pada Ihatra yang duduk di kursi.

Ihatra menangkup wajahnya pada tangan yang bertumpu pada lutut, kepalang kalut dan gemetar. Seorang bocah mengetahui kesalahannya. Seorang bocah menghinanya sebagai seorang pembunuh tepat di hadapannya. Bagaimana dia bisa merasa tenang? Dia kira Pinggala aman karena jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, namun nyatanya ....

"Yat, lo bisa napas, kan? Tenang dulu, ayo." Jayden sudah berlutut di hadapan Ihatra sambil memijat lembut tengkuk kawannya. Bisa gawat kalau Ihatra terkena serangan panik di sini. "Celaka―gue enggak tahu apa yang harus dilakuin pas keadaan gini. Yat, please, tenangin diri lo. Lo mau gue ngapain, hah? Apa gue harus kayang di hadapan lo buat ngalihin perhatian?"

Nama gue Iyandra Maharu Seta. Umur gue 24 tahun. Gue lahir di Jogja. Gue punya kucing―namanya Thomas Shelby, sekarang udah empat tahun. Gue.... Ihatra Kama. Iyandra. Nama papi gue.... Ihatra terus melafalkan kalimat-kalimat itu bagaikan mantra. Dia memejamkan mata dan terus berkonsentrasi mengenal dirinya sendiri tanpa menghiraukan Jayden yang sedang menangkup kedua lututnya dengan erat. Sahabatnya harus menelan kenyataan bahwa dia tidak dapat berbuat apa-apa, kendati dia tahu Ihatra sedang berusaha mengontrol diri.

Selang beberapa saat, suara kelenting bel pintu terdengar―tanda bahwa seseorang sudah keluar dari toko. Tsabita akhirnya muncul dari ambang lorong dan menghampiri Jayden.

"Damar udah pulang," katanya dengan tampang lega, lalu beralih memandang Ihatra yang masih membungkuk di kursi.

Jayden langsung berdiri dan bertanya dengan khawatir, "Gimana tadi?"

"Saya udah bilang ke Damar. Dia mengerti, dan katanya enggak bakal membocorkan tentang Mas Iyat ke siapa-siapa," jawab Tsabita.

"Tapi dia masih bocil. Bisa aja dia malah nyebar gosip," Jayden berkata tidak sabar.

Tsabita mengusap keringat di lehernya, tiba-tiba merasa ikutan lelah. "Kita cuma bisa percaya sama Damar aja saat ini. Mudah-mudahan enggak akan terjadi masalah ke depannya, lagi pula ... anak kecil di desa ini yang menaruh perhatian sama industri hiburan di luar sana cuma Damar aja, kok. Saya kenal sama teman-temannya dia, dan cukup yakin enggak ada yang ngikutin berita-berita artis. Mereka semua lebih suka main kayak anak-anak pada umumnya."

"Beneran, kan?" Jayden menjadi agak lega. "Tuh anak beneran psiko. Jiwa-jiwa pembully!"

"Dia masih kecil, Mas. Memang masih perlu bimbingan. Omong-omong, Mas Iyat gimana?" Tsabita berpaling dari Jayden, lalu bergeser untuk berlutut di hadapan Ihatra. Dia bisa melihat wajah pria itu yang kini sudah agak tenang.

"Mas Iyat," Tsabita menyentuh lutut pria itu dengan lembut. "Yang tadi jangan dimasukkan ke hati, ya. Damar cuma refleks aja bilang gitu. Mas Iyat baik-baik aja?""

"Saya enggak papa." Ihatra sudah jauh merasa tenang setelah mengontrol pikiran dan laju napasnya. Pria itu menyugar rambutnya yang lembab ke belakang. Tsabita yang menyadari titik-titik keringat di kening Ihatra, langsung menarik lengan blusnya ke bawah. Tanpa berkata-kata, dia menotolkan lengan kemejanya pada kening Ihatra, menyeka keringatnya dengan lembut.

Pria itu bersikap patuh seraya menatap wajah Tsabita yang terpilin cemas.

"Mas yakin baik-baik aja? Kelihatan pucat, loh," tanya Tsabita.

"Saya udah baikan, kok." Rasanya Ihatra tidak mau menghentikan momen ini. Belaian lembut dari tangan Tsabita lebih ampuh membuat dirinya merasa baikan. Dia merasa nyaman, seperti bayi yang baru ditimang dan dibujuk agar tidur. Keadaan ini membuat Ihatra memejamkan mata sambil bernapas pelan.

"Yat, kita pulang aja, yuk." Jayden mengusulkan dengan cemas. Tiba-tiba saja dia mengalungkan lengannya pada ketiak Ihatra dan menariknya agar bangkit. "Lo harus minum obat dan tidur."

Ihatra menggeleng, merasa agak sebal karena Jayden mengganggu momen istirahatnya.

"Biarin gue gini bentar," katanya, menepis pelan tangan Jayden. Di waktu bersamaan, Tsabita baru saja selesai menyeka keringat di kening Ihatra. Wanita itu berdiri lagi, dan Ihatra terpaksa menerima fakta bahwa sesi terapinya bersama Tsabita telah habis.

"Lo beneran udah oke, kan? Enggak sesak napas?" Jayden memastikan dengan ragu.

Ihatra mengangguk. "Sorry karena gue bikin masalah."

"Mas Iyat enggak bikin masalah, kok." Tsabita buru-buru menenangkan. "Tadi itu waktunya kurang tepat aja. Damar biasanya jam segini tuh masih sekolah, entah kenapa tadi pas banget dia bolos dan malah mampir ke sini. Tapi tenang, Mas. Nanti saya bakal pergi ke rumah Damar buat bicarain lagi masalah ini. Saya pastikan dia enggak bakal menuduh macam-macam soal―"

"Semestinya saya yang harusnya khawatir sama kamu, Bita," Ihatra tahu-tahu memotong. Nada suaranya yang biasanya kalem dan pengertian kini terdengar agak ketus dan tajam, seolah-olah dia dimakan kemarahan karena sesuatu yang terjadi di luar kontrol. Apa kata Tsabita tadi? Menuduh? "Karena ... karena semuanya udah terlanjur, dan enggak ada gunanya menutup-nutupi. Saya rasa kamu harus tahu bahwa apa yang dikatakan Damar tadi adalah fakta, bukan sekadar tuduhan. Saya memang pernah kecelakaan dan menabrak bus yang memuat penumpang anak-anak. Itu semua benar―saya memang pembunuh. Kamu enggak perlu memaksa Damar lagi. Sudah jelas bocah itu takut sama saya. Biarin dia ngelakuin apa yang perlu dilakukan."

Baik Tsabita dan Jayden langsung terdiam. Mereka saling pandang satu sama lain, lalu Jayden berceletuk pelan, "Yat, lo harusnya enggak...."

"Apa? Lo mau gue menyembunyikan fakta bahwa gue adalah pembunuh? Itu semua enggak perlu, Jay. Lama-lama orang juga bakal ngerti siapa gue."

Tsabita, jangan benci gue.

"Ya tapi lo enggak salah sepenuhnya, Yat! Lo bukan pembunuh!"

"Yang dibilang Damar emang ada kelirunya." Ihatra berkata tegas, sepertinya tidak bisa berhenti mengoceh untuk suatu alasan―barangkali bermuara pada keinginan untuk berkata jujur dan diakui. Ada sedikit rasa mencekik di tenggorokannya ketika mengatakan hal ini. Ihatra hanya ingin Tsabita tidak membencinya seperti Damar. "Saya bukan pemabuk, Bita. Waktu kecelakaan itu terjadi, saya sadar sepenuhnya ... ada masalah di jalan waktu saya lagi nyetir. Media enggak pernah membicarakan duduk perkara yang sebenarnya sejak mereka tahu pelakunya adalah saya―si bintang kontroversi. Karena saya udah banyak bikin masalah sejak tiga tahun lalu, jadi orang-orang enggak mau percaya walaupun mereka tahu kejadian yang sebenarnya. Percuma. Mereka akan memutarbalikkan fakta dan menuduh saya menyuap kepolisian. Mereka tetap menganggap saya pembunuh―aktor tukang cari sensasi ... dan mungkin kamu juga...."

"Yat, lo enggak usah bicara lagi." Jayden berkata cemas, lalu memijat tengkuk Ihatra agar sahabatnya bisa meredam emosinya sejenak. "Inget, lo juga mengalami hal mengerikan pasca kecelakaan itu. Lo juga korban!"

"Enggak semengerikan bocah-bocah yang meninggal dalam bus yang terbakar," kata Ihatra. "Seharusnya gue ikut mati aja dalam kecelakaan itu, biar kelar semua urusan. Itu cara terbaik supaya orang-orang melupakan siapa Ihatra Kama."

"Mas," Tsabita tiba-tiba berlutut lagi di hadapan Ihatra dan menangkup lutut pria itu dengan kedua tangannya. "Saya sudah tahu tentang masalah Mas Iyat, dan saya percaya sama Mas."

Ihatra menatap Tsabita lurus-lurus, berusaha mencari celah kebohongan di mata wanita ini. Akan tetapi dia tidak menemukan apa pun selain tatapan redup penuh keyakinan.

"Kamu ... sejak kapan...."

"Saya nyari sendiri lewat internet, karena saya penasaran." Nada Tsabita memelan penuh penyesalan. "Saya minta maaf karena terkesan lancang dan ingin tahu, tapi ... walaupun saya tahu konflik apa yang melanda, saya memutuskan untuk tetap percaya sama Mas. Menurut saya semua orang berhak untuk pengampunan, enggak peduli sebesar apa kesalahan orang itu di masa lalu. Maka dari itu saya ingin membiarkan Mas Iyat menikmati hari-harinya selama ada di Pinggala, karena saya yakin Mas datang kemari bukan untuk kabur, melainkan berjuang untuk memaafkan dan menyembuhkan diri sendiri."

Ihatra terdiam. Dia bisa merasakan jemari Tsabita meremas kuat lututnya. Lantas wanita itu melanjutkan dengan hangat;

"Jadi, Mas Iyat enggak perlu khawatir. Mas aman di sini."[]

-oOo-


.

.

.

Habis dikasih kata-kata manis gitu... gimana Iyat enggak makin cinta sama Tsabita coba? 😭😭😭

Apakah dia bisa bersaing sama Egar?

Atau justru harus menelan kekalahan dan terpaksa jadi second lead sad boy?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top