21. Jalan Satu-Satunya
Chapter ini rada ngeselin ya ges. Awas emosi ketarik-tarik ๐ฅธ
Sebelum baca jangan lupa vote dulu~
-oOo-
TSABITA memiliki alasan di balik keengganannya untuk berbicara. Dia begitu gelisah dan tidak tahu bagaimana cara bersikap lantaran terbayang-bayang berita mengerikan yang kemarin dibacanya. Saat akhirnya Ihatra menanyakan apa yang terjadi, rasanya Tsabita seperti didorong ke sudut dinding. Dia ogah berbohong demi persoalan ini karena tindakan itu hanya membuatnya benci dengan dirinya sendiri. Namun bila mengakui perasaan kecewanya kepada laki-laki itu, Ihatra-lah yang akan lebih sedih.
Tiba-tiba saja nasihat Pak Ersan kembali menghantuinya; "Iyat itu lagi ada masalah di tempat tinggalnya dulu, jadi jangan mengungkit-ungkit tentang profesinya. Berteman aja kayak biasa. Saya yakin Iyat orangnya baik." Baik, katanya? Apakah orang yang menyeret gadis berusia enam belas tahun ke dalam pergaulan bebas itu baik? Apakah menyetir dalam keadaan mabuk sampai menewaskan puluhan anak-anak itu baik? Saat Tsabita mencoba menemukan celah untuk menoleransi keadaan ini, kata-kata Shaka beberapa waktu lalu ikut menerobos benaknya; "Dokter pribadinya menyarankan dia pergi ke tempat jauh buat menyembuhkan diri. Makanya Mas Iyat menetap di sini sementara waktu."
Menyembuhkan diri, itulah kuncinya. Ihatra datang ke tempat ini bukan semata-mata kabur dari masalah. Dia sedang sakit, dan memerlukan bantuan. Namun dengan semua skandalnya, Tsabita masih tetap kewalahan untuk mengontrol moralitas mana yang dia pilih. Apakah Ihatra masih layak mendapat perhatian, padahal Tsabita tidak tahu sudah sejauh mana pria ini menyesali perbuatannya di masa lalu?
"Bit, kamu dengar saya, kan? Kamu kenapa?" Tiba-tiba pertanyaan Ihatra memecah lamunan Tsabita. Wanita itu mengerjap lalu mendongak pada Ihatra yang sudah menatapnya dengan sorot khawatir. "Wajahmu pucat. Kamu sakit?"
"E-enggak." Tsabita melengos agak malu.
Tiba-tiba saja gelang yang sedang dibuatnya tergelincir dari jemari. Butiran maniknya menggelinding di lantai. Tsabita bergegas keluar dari konter untuk memungut manik-manik, sementara Ihatra juga melakukan hal yang serupa;
JEDUG! Kepala mereka saling membentur ketika sama-sama membungkuk.
Tsabita memekik kaget, sementara Ihatra hampir terjungkal ke lantai saking kuatnya hantaman itu. Setelah mendapatkan kembali keseimbangannya, Ihatra menatap Tsabita sambil menggosok keningnya yang berdenyut, "Aduh, kepalamu keras banget. Enggak sakit?"
Tsabita meraba keningnya sebentar, karena sakitnya tidak begitu parah. Kata Shaka, kepala Tsabita sejak dulu memang keras seperti batu. Seorang temannya bahkan pernah menjuluki Tsabita "Banteng Jadi-jadian" hanya karena dia tidak merasa sakit ketika temannya tidak sengaja melempar botol minum kosong sampai mengenai kepalanya.
Sekarang, mendengar Ihatra mengatakan hal serupa, malah membuat Tsabita teringat dengan olok-olok masa kecilnya. Wanita itu tertawa. "Maaf. Kepala saya emang keras."
Saya sampai lihat bintang-bintang waktu kebentur tadi. Kamu enggak?"
"Enggak." Tsabita menggeleng. "Mas mau minum dulu? Maaf kalau rasanya sakit."
"Saya enggak papa." Ihatra menyamankan dirinya berdiri di dekat konter. Tiba-tiba denyut di keningnya hilang karena memandang ekspresi Tsabita yang kembali ceria. Namun dia masih penasaran dengan sikap Tsabita yang seolah tidak mau bersentuhan dengannya. "Kamu beneran enggak papa? Tadi waktu saya pegang, kamu kelihatan kaget."
Tsabita menggigit bibirnya. "Iya, saya cuma kaget." Akhirnya memutuskan bersikap sopan dan pura-pura tidak tahu tentang skandal-skandal itu. "Kalau lagi fokus, kadang saya lupa sama sekitar. Jadi maaf ya kalau kesannya kasar."
"Oh, enggak papa." Ihatra menengok Jayden yang kelihatannya masih lama memilih-milih barang. Orang satu ini walaupun laki-laki tapi belanjanya super lama. "Sambil nunggu Jayden milih makrame, saya boleh ikut bikin gelang?"
"Boleh. Mau coba jual gelangnya?"
"Kalau hasilnya bagus, saya jual. Tapi nanti saya dapat persenan, ya?"
"Tenang aja kalau itu." Sambil tersenyum, Tsabita mempersilakan Ihatra masuk melalui pintu dorong yang menjadi batasan konter kasir dengan ambang antrean. Pria itu duduk di kursi yang biasanya ditempati Shaka, lalu menyaksikan Tsabita yang mengajarinya memasukkan manik-manik ke dalam benang dan mengikatnya menjadi simpul longgar. Ihatra belajar dengan cepat, lantas segera membuat kreasi gelangnya sendiri tanpa mencontoh Tsabita lagi.
Sementara itu, di tengah pengerjaan, Tsabita sengaja menghentikan aktivitasnya dan beralih memandang Ihatra yang sibuk memilih warna manik-manik. Pria ini rupanya punya kebiasaan mengerucutkan bibir kalau sedang serius. Pada kesenyapan itu, Tsabita bertanya-tanya tentang apa yang ada di otaknya.
"Mas Iyat gimana liburannya di sini?" Tsabita akhirnya memecah sunyi.
"Seru, kok. Saya udah pergi ke beberapa tempat yang waktu itu disarankan Pak Ersan sama Shaka. Rencananya saya sama Jayden juga mau makan di depot bukit pantai. Katanya kalau malem pemandangannya bagus dari atas sana." Lalu Ihatra terdiam sebentar. "Rasanya nyesel baru bisa liburan di sini sekarang. Saya kira dulu Pinggala enggak ada bedanya kayak Bali, tapi ternyata di sini jauh lebih tenang dan sepi. Masyarakatnya juga ramah dan enggak beda-bedain wisatawan."
"Maksudnya beda-bedain wisatawan?"
"Biasanya kalau wisatawan yang beli oleh-oleh, harganya dimahalin. Ya walaupun saya enggak masalah sama harga, tapi kadang sebel ajaโrasanya kayak dimanfaatin."
"Oh, haha." Tsabita meletakkan gelang yang sudah jadi di atas meja. "Semoga harga di toko saya enggak kemahalan, ya, Mas."
"Enggak, lah." Mau semahal apa pun kalau yang jual lo, gue bakal beli. "Tapi di sini emang sepi ya, Bit? Saya kaget pas pertama kali datang ke pantainya, pengunjungnya enggak sebanyak yang biasa saya lihat di tempat wisata. Padahal pemandangannya bagus, loh. Daerahnya masih asri. Saya jadi ingat Nusa Penida. Lima tahun lalu saya pernah ke sanaโsuasana pantainya mirip-mirip kayak gini, dan wisatawannya enggak begitu banyak."
"Iya, memang Pinggala belum begitu populer, Mas. Kalau bicara soal pantai, orang-orang pasti ingetnya Bali, bukan Pinggala. Jadi wajar aja." Lalu Tsabita mencoba menggali hal lain, "Tapi Mas suka kan di sini? Daripada Jakarta atau Jogja?"
"Di sini saya bebas ngelakuin apa aja. Di Jakarta atau Jogja boro-boro. Pasti ada aja orang yang kenal sama saya." Lalu Ihatra menatap Tsabita seolah keceplosan berbicara, "Maaf ya, Bit. Bukannya saya sombong dan enggak suka sama hal itu, tapi ... belakangan ini saya lebih suka menghindar dari orang yang tahu saya."
Tsabita tersenyum menenangkan. "Iya, saya ngerti. Jadi selebriti kayaknya capek ya, Mas."
"Bagian yang paling capek adalah ketika kamu harus bersikap tenang saat semua hal sedang enggak baik-baik aja."
"Harus profesional, ya?"
"Gimana ya," kata Ihatra, tersenyum miris. "Rasanya di keadaan yang saya alami, bersikap profesional pun bukan menjadi alasan terbesar saya untuk bertahan. Saya dipaksa tegar walaupun saya tahu enggak ada lagi jaminan bahwa semuanya akan membaik."
"Enggak akan membaik?"
"Enggak akan membaik selamanya."
Tsabita berhenti merangkai gelang dan menatap Ihatra lurus-lurus. Ada gelombang menyedihkan yang menyerang perutnya seolah dia memahami makna kalimat itu. Dia menunggu Ihatra untuk menjelaskan lebih jauh, namun pria itu hanya diam dan sibuk memasukkan manik-manik. Barangkali dia menghindari percakapan ini, atau barangkali dia hanya lelah saja.
"Mas pernah ngalamin perasaan itu?" Tsabita sengaja bertanya dengan hati-hati. "Situasi dimana keadaan enggak akan membaik selamanya."
"Itu yang saya rasakan belakangan ini."
"Terus Mas udah cari jalan keluarnya?"
"Saya pikir ... jalan keluar dari semua ini adalah dengan mati."
Kalimat itu memukul Tsabita dengan keras, mengisi rongga dadanya dengan rasa prihatin atas kondisi Ihatra. Wanita itu mencoba menguasai diri dengan menarik napas dalam-dalam, lalu berujar pelan, "Mas Iyat ... serius berpikir gitu?"
Ihatra agaknya menyesal telah mengatakan hal seperti itu di depan Tsabita. Dia tercenung sejenak dan langsung tertawa kecil setelahnya.
"Maaf ya, Bita. Barusan saya kebawa suasana," katanya sungguh-sungguh, merasa tidak enak sekaligus marah kepada dirinya sendiri. Mengapa harus sembarangan mengumbar aib ke Tsabita?
Tsabita, sementara itu, sudah kepalang khawatir sehingga rasanya ingin menanyakan sendiri tentang kebenaran skandal yang dibacanya di portal berita internet. Namun, dia merasa ini bukan waktu yang tepat, terutama ketika bel pintu mendadak berbunyi dan membuatnya tersentak. Seorang pengunjung masuk ke dalam toko.
Rupanya dia Damar, adiknya Egar.
Ihatra buru-buru memasang topi dan menunduk rendah-rendah agar identitasnya tidak ketahuan.
"Loh, Mar. Tumben pagi-pagi ke sini." Tsabita menyambut ramah, agak mengernyit melihat penampilan Damar yang masih mengenakan seragam sekolah lengkap. "Enggak sekolah?"
"Bolos," kata Damar enteng. Anak itu masuk ke dalam rak makanan dan menyambar beberapa kemasan roti melon dan keripik, lalu menghampiri kasir, membiarkan Tsabita menghitung jumlah makanan, "Mas Shaka mana?"
"Ya masih sekolah. Dia biasanya dateng ke toko sekitar jam dua."
"Oh." Damar jelalatan memandangi etalase yang memajang permen karet aneka rasa, lalu pandangannya merambat pada Ihatra yang sedang duduk di kursi Shaka."Ini siapa?"
"Temanku," Tsabita berusaha tenang, sementara Ihatra memasukkan lebih banyak manik-manik yang keliru dalam benangnya. "Dia dateng ke sini buat bantuin Mbak bikin gelang."
Damar hanya memasang tampang tidak minat.
"Oh iya, Mbak, permen stoples yang waktu itu kubeli kayaknya basi. Masa bentuk permennya peyot dan lengket-lengket?"
"Loh, bener?" Tsabita memasukkan kemasan roti ke dalam kantong plastik. "Mbak selalu rutin cek tanggal kadaluwarsanya, kok."
"Tapi kata Mas Egar itu permen udah busuk."
"Oh, gitu." Tsabita entah bagaimana merasa terpukul saat mendengar Egar sungguh-sungguh berkomentar begitu tentang produk dagangannya. Emangnya enggak ada kata ganti selain busuk? "Kalau gitu maaf ya, Damar. Kedepannya Mbak bakal lebih hati-hati lagi untuk cek tanggalannya. Sebagai gantinya kamu boleh ambil makanan lain, deh. Terserah mau apa."
Ihatra, yang duduk sambil memasang manik-manik, merasa janggal dengan nama Egar. Kalau tidak salah, itu adalah nama kekasih Tsabita. Ada apa di antara mereka, dan siapa bocah yang lagi ngobrol sama Tsabita?
Diliputi penasaran, Ihatra mendongak sedikit untuk mengintip bocah itu dari balik topinya,
Dan, tatapan mereka sekilas bertemu.
Ihatra pikir Damar hanya bocah desa yang tidak tahu siapa dirinya. Namun di luar dugaan, Damar justru tidak membutuhkan waktu lama untuk mengenal wajah Ihatra. Anak itu langsung berkata dengan nada tinggi;
"Eh, kok aku kayak kenal? Kamu artis, ya?"
Dilanda panik karena terkejut, Ihatra langsung menunduk dan menekan topinya lebih ke bawah. Tsabita belum sempat menghalau Damar karena bocah itu dengan lancang langsung merapat ke konter kasir dan mengintip wajah Ihatra dari bawah. Sekejap kemudian melonjak kaget sambil menunjuk-nunjuk muka Ihatra dengan tidak tahu sopan santun. "DIA ARTIS! ARTIS BENERAN! IHATRA KAMA!"
"Damar, jangan berisik, tolongโ" Tsabita kelimpungan, hendak memegang Damar, tetapi bocah gempal itu nyatanya lebih gesit dan tidak bisa diam.
"IHATRA KAMA BENERAN, KAN? IYA KAN?"
Ihatra rasanya ingin kabur dari tempat itu, tetapi dia tidak bisa menelan risiko pergi ke luar toko tanpa khawatir orang-orang di pantai sana bisa mendengar suara teriakan bocah ini. Selagi Tsabita berusaha menutup mulut Damar yang tidak bisa berhenti mengoceh, Jayden keluar dari salah satu rak dan langsung memasang tampang kebingungan. Pemahaman langsung terbit di wajahnya ketika melihat situasi gempar yang terjadi.
"Loh, itu kan JAYDEN!" Damar menjadi semakin heboh sambil menunjuk-nunjuk Jayden yang berdiri di dekat rak makanan. "ITU JAYDEN! JAYDEN RAESPATI! KOK ADA ARTIS DI SINI? MEREKA SEMUA NGAPAIN, MBAK?"
Tsabita yang tidak tahan lagi langsung mengguncang bahu anak itu dengan erat, lalu berteriak tepat di depan mukanya; "DIAM, DAMAR!"
Bentakannya seketika membuat Damar terkesiap. Anak itu langsung membeku sambil memasang tampang syok.
Tsabita yang tidak tega, langsung mengelus puncak kepala Damar untuk meminta maaf. "Damar, maaf, ya. Mbak mau menjelaskan sebentar. Kamu jangan teriak seperti tadi, oke?"
Damar tidak menjawab, barangkali merasa takut karena Tsabita yang selalu ramah kepadanya tiba-tiba membentaknya seperti itu. Namun, syukurlah anak itu mau menuruti kata-katanya untuk diam dan menyimak.
Tsabita menatap Jayden seolah meminta izin untuk jujur, lalu Jayden mengangguk samar.
"Jadi, kamu benar," kata Tsabita pada Damar. "Kakak ini memang...."
"Ihatra Kama, iya, kan? Terus yang rambut biru namanya Jayden Raespati! Aku enggak mungkin salah!" Damar menjawab dengan nada tercabik antara antusias dan takut.
Ihatra yang melihat bagaimana ekspresi Damar, merasa tidak enak hati. Dia mengusap lehernya dengan canggung dan berusaha memberi sikap yang tepat untuk menghadapinya. Mudah-mudahan anak ini hanya sekadar tahu namanya saja tanpa tahu segudang besar masalahnya.
"Kamu benar," Tsabita tersenyum menahan cemas. "Mereka liburan sebentar."
Damar terdiam dengan raut polos, namun pandangannya terpaku terus pada Ihatra. Karena merasa tidak enak, akhirnya Ihatra menghampiri anak itu lalu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. "Halo, Damar. Senang ketemu sama kamu."
Damar berusia sekitar 7-8 tahun. Badannya yang pendek serta tambun semestinya membuat siapa pun yang melihatnya merasa gemas dan ingin mencubit pipinya yang gembul. Namun, Ihatra tidak pernah merasakan keinginan untuk menyentuh apalagi mencubit pipinya. Bukan karena membenci anak-anak, namun karena traumanya yang tidak pernah bisa lepas dari kecelakaan itu. Ketika melihat tangan mungil-seperti-sosis milik Damar, Ihatra malah kepikiran gambar-gambar korban yang pernah dia lihat di kantor polisi; tangan-tangan mungil berlumuran darah, wajah kecil yang terbakar hangus ....
Ingatan itu membuatnya ingin bersembunyi, terutama ketika dia tidak sengaja mengingat lebih jauh dan malah terbayang-bayang suara teriakan orang tua korban yang menangis atas kematian anaknya.
"Mas Iyat?"
"Hah?"
Ihatra harus disadarkan oleh fakta bahwa kini tangannya masih menggantung di depan dada Damar. Anak itu hanya menatapnya dengan ekspresi yang ganjil, entah karena takut, marah, atau mungkin sesuatu yang lebih buruk.
Ihatra yang mendadak merasa malu, akhirnya menurunkan jabat tangannya. Dia bahkan tidak pernah berpikir akan ditolak begini oleh anak kecil. Apa Damar malu bertemu dengannya? Anak ini belum tahu soal masalahnya, bukan?
Namun Damar mendadak berceletuk dengan ketus, "Kamu bukannya dipenjara?"
"Eh ...."
Anak itu merangkul Tsabita dengan erat. Nada suaranya berubah menjadi penuh kebencian. "Kok Mbak Bita temenan sama pembunuh kayak dia? Dia kan seharusnya dipenjara, enggak boleh ada di dekat-dekat sini!"
Ihatra mendadak gemetar ketakutan melihat reaksi Damar.[]
-oOo-
.
.
.
Damar si biang kerok ๐
Kira-kira apa yang bakal terjadi sama Ihatra di chapter depan? Jawaban yang bener kudoain dapet suami spek karakter fiksi ๐
Btw terima kasih buat teman2 yang baca cerita ini. Jangan lupa vote, komen, dan share cerita ini supaya banyak orang yang baca yaa!
Ai lop youuu ๐
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top