2. Pengunjung Tidak Terduga

Halo, semua. Cerita ini resmi on going tiap minggu yak awkwkwk. Aku habis seneng nih karena satu bukuku udah tamat ๐Ÿ˜†

Btw kalian yang baca cerita ini umur berapa sie?

a. Remaja 13-17 tahun

b. Dewasa muda 18-30 tahun

c. Dewasa 30+ tahun

Selamat membaca! Jangan lupa vote dan komen part yang paling kamu suka! ๐Ÿ˜˜

-oOo-

Bab 2
Pengunjung Tidak Terduga

.

.

.

"SEMUANYA seratus sepuluh ribu."

Ihatra Kama merogoh kantong di sisi celananya dan mengeluarkan lembaran seratus dan lima puluh ribu yang sudah terlipat kaku. Entah sudah berapa lama uang itu berada di kantongnyaโ€•seminggu, atau mungkin lebih dari itu. Dia tidak terbiasa memeriksa pakaian yang hendak dijejalkan ke mesin cuci. Ini tak menjadi masalah untuk Ihatra, kecuali dua orang di belakang konter kasir yang sepertinya punya gagasan berbeda.

"Ihatra Kama, kan?" Penjaga kasir yang laki-laki bertanya kepadanya. Wajahnya tampan dan muda, berambut cokelat ikal dan mengilap seperti setengah basah. Saat berbicara, giginya yang putih tampak kontras dengan kulitnya yang terbakar gelap karena keseringan terpapar sinar. Matanya lebar dan berbinar ketika memandang Ihatra. Jenis pandangan yang membawa Ihatra pada konsep dirinya yang tidak diinginkan lagi.

"Iya," kata Ihatra. Suaranya lirih dan sedikit canggung.

Si pemuda berpaling kepada si wanita yang sekarang mulai menunjukkan tanda-tanda malu. "Mbak, ini beneran Ihatra Kama yang barusan kita bicarain! Aktor dan penyanyi terkenal itu, loh!"

Terkenal bikin masalah. Ihatra mengulas senyum dan menyimpan kalimat itu dalam benaknya sendiri.

"Saya punya albumnya Mas Ihatra, loh! Saya juga pernah nyanyiin lagunya Mas di perpisahan SMP setahun lalu!" Pemuda itu sudah siap mengoceh lagi, tetapi wanita di sampingnya menegur lembut dengan cara meremas lengannya.

Ihatra sendiri tampaknya tahu posisinya di situasi seperti ini, walau, sebetulnya, dia agak tidak menyangka. Otaknya kebingungan memproses semua kalimat yang keluar seperti keran bocor dari si pemuda. Ternyata, di desa kecil ini masih ada orang yang kenal dirinya, ya?

"Namamu siapa?" Ihatra bertanya kepada si pemuda. Kebiasaan dari dulu. Dia merasa kurang adil apabila tidak meninggalkan kesan pengingat kepada orang yang mengenalnya.

"Pandushaka Biru, dipanggilnya Pandu atau Shaka, tapi keluarga dan teman-teman di SMA suka panggil Shaka," katanya seraya nyengir lebih lebar. Eskpresi wajahnya ceria dan tanpa beban. Tangan Shaka hampir terangkat ke depan dada untuk menyalami Ihatra, tetapi seakan menyadari sesuatu, dengan canggung dia menurunkan tangannya lagi. Wajahnya langsung merah jambu.

Ihatra segera mengulurkan tangan untuk membesarkan hati Shaka.

"Salam kenal, ya, Shaka. Saya Ihatra Kama, biasa dipanggil Iyat."

Shaka membulatkan mata tidak percaya. Walau begitu dengan antusias menyambut jabatannya. "Makasih, Mas Iyat. Saya enggak percaya bisa ketemu Mas di sini. Mas ada keperluan syuting? Main film lagi? Atau bikin video klip?"

"Saya ke sini buat liburan," kata Ihatra. Dia tidak sepenuhnya berbohong. Meski sebetulnya tujuan utamanya bukan untuk itu. Ke mana lagi kamu harus sembunyi dari reputasi yang anjlok kalau bukan melarikan diri ke tempat jauh seperti ini?

Shaka mengangguk antusias. "Di Pinggala banyak spot bagus. Saya bisa ngantar Mas keliling bahkan sampai ke seluk beluk lokasi yang enggak ada di brosur wisata. Apalagi saudara saya, Tsabitaโ€•" katanya seraya berpaling pada si wanita yang sedari tadi hanya diam saja. "โ€•adalah penyelam andal di desa ini. Kami juga kenal tempat-tempat istimewa yang enggak banyak penduduk lokal tahu. Ada banyak budaya dan perayaan unik yang ...."

"Shak, masnya pasti udah tahu soal itu," kata si wanita, yang pipinya semakin merona karena malu. "Biarin masnya nikmatin liburannya di sini."

"Oh, jangan sungkan, Mbak," kata Ihatra saat menyadari Shaka termakan teguran saudaranya. "Saya justru penasaran buat menjelajah tempat ini lebih jauh."

Seraya tengadah memandang Ihatra, wanita itu tersenyum sopan dan berkata, "Maaf kalau kesannya lancang, ya, Mas. Saudara saya selalu antusias kalau ketemu orang baru. Kebetulan Mas orang yang dia sukai juga."

"Enggak masalah," kata Ihatra. "Setelah apa yang saya alami, saya bersyukur masih punya penggemar seperti Shaka."

Kalimat itu mendadak saja mengirimkan keheningan baru yang tidak nyaman.

Ihatra tersadar telah membuat kedua penjaga kasir ini kebingungan, seolah mereka tidak paham dengan apa yang baru saja dibicarakannya. Tampaknya Ihatra keliru mengartikan seluruh sikap penuh kekaguman Shaka kepadanya, atau barangkali sebenarnya ada ironi lain yang tersirat. Pria itu merasa malu, dan sekali lagi merasa tidak pantas. Wajahnya berpaling ke arah tembok yang memajang makrame berbagai bentuk dan ukuran, kemudian secepat mungkin dia mengganti topik, "Oh, ya, saya mau beli ini satu."

Ihatra berjalan tergesa-gesa dan memilih makrame secara asal. Mengambil salah satu yang berbentuk anyaman dreamcatcher, kemudian membayarnya di meja kasir. Saat kembali, sepasang saudara itu tampaknya lupa dengan apa yang dikatakan Ihatra. Shaka bertanya lagi kepadanya.

"Saya boleh foto sama Mas Iyat, enggak?"

Ihatra terpaku.

"Maaf, tapi saya enggak bisa berfoto sembarangan. Terus, kalau boleh saya minta, apa kalian mau menyimpan rahasia tentang kedatangan saya di sini?"

Kedua penjaga kasir langsung bertukar pandang dengan raut kikuk.

"Oh, iya, Mas," Shaka nyengir malu sedikit. "Maaf."

Wanita di samping Shaka tampaknya langsung mengerti apa yang dimaksud Ihatra. Dia merasakan desakan agar kecanggungan ini cepat lenyap, dan tepat saat itulah lonceng di birai pintu berbunyi lagi. Rasanya seperti lonceng penyelamat. Dia cepat-cepat menyodorkan barang-barang pembelian Ihatra selagi langkah kaki beberapa pengunjung masuk toko. Ruangan mulai dipenuhi oleh dengung dan bisik sepasang orang yang tertawa dan berbicara.

"Makasih banyak," kata Ihatra. Dia harus pergi sebelum pengunjung di sini mulai menunjukkan gelagat mengenal dirinya.

Sebelum meninggalkan toko, Ihatra mendengar suara penjaga kasir wanita berbicara di belakangnya. "Bulan depan ada festival panahan di pesisir pantai. Mas boleh ikut nonton kalau masih ada di Pinggala."

Ihatra berbalik, melihat wanita bernama Tsabita menatapnya. Sosok ramping berkulit kecokelatan yang sangat manis. Rambut gelap dan bergelombang terjuntai anggun di pundaknya yang sempit. Dia tidak tersenyum kepada Ihatra, tetapi sorotnya terasa ramah dan sejuk.

Dan, belum sempat Ihatra membalas ajakannya, Shaka yang ada di samping Tsabita menyungging senyum lebar dan menyahuti enteng;

"Mas Iyat harus datang, karena Mbak Bita bakalan menari di festival itu."

-oOo-

Tidak banyak orang yang tahu tentang kepergiannya.

Ihatra tidak mau menjelaskan alasan kepergiannya kepada pihak mana pun yang mengikutinya seperti itik kelaparan. Bukan karena dia merasa itu cara yang paling bijak, tetapi memang tak ada pilihan selain menutup diri dan tidak terlalu terbuka seperti dulu. Sebab, apa yang dia pikirkan selalu bertolak belakang dengan pendapat orang lain. Terakhir kali dia berani terbuka, orang-orang justru menghakiminya dengan kesimpulan sederhana yang mengarah pada kesakitan mental dan tanda-tanda keras kepala akut.

Gelar seorang artis terkenal yang tersemat padanya rupanya malah menceburkan Ihatra ke dalam lautan prasangka. Dia tak bisa mencegah banyak pihak berspekulasi tentang skandalnya, kesalahan-kasalahan kecil yang dibuatnya selama merintis karier, atau bahkan kecelakaan besar yang melandanya satu setengah tahun lalu. Semua itu membebani pikirannya, membuat diirnya seakan dibenamkan jauh ke dalam laut sehingga tidak sanggup melawan tekanan airnya.

Ihatra diliputi duka setelah kematian manajer dan para korban dalam kecelakaan, lalu menghadapi kemunafikan orang-orang yang mendekatinya hanya demi keuntungan, dan pelemparan dakwaan mengenai dirinya yang menjadi pembunuh puluhan anak tidak berdosa malah semakin memperburuk situasi. Dia toh seharusnya bersyukur tidak mendekam terlalu lama di penjara karena bukti dan tuduhan yang tidak valid.

Musim panas pada sore hari itu merambat melalui udara yang membawa aroma garam serta sengatannya yang tajam di kulit. Kebun bunga yang terhampar sejauh satu kilometer dari arah pantai menyembul kekuningan dari jarak pandang Ihatra yang mengintip lewat jalanan melandai di hadapannya. Bunga-bunga itu mekar di tengah-tengah musim panas, seolah melawan mentari yang berkobar di awal bulan Juni.

Ihatra melangkah cepat-cepat lantaran kepalanya mulai pening oleh panas. Sambil menahan rasa sakit di pergelangan kakinya, yang berulang kali kambuh karena efek kecelakaan, Ihatra berpikir bahwa dia rupanya bepergian di waktu yang salah. Dia agak menyesal, tetapi saat memikirkan siapa yang bertemu dengannya di toko oleh-oleh dekat pantai itu, rasa kesalnya sedikit berkurang, walau Ihatra tidak benar-benar tahu apakah kedua orang itu bermaksud tulus atau hanya menyindirnya saja.

Ketika mencapai jalanan setapak yang hanya diselimuti tanah gembur, Ihatra masuk ke balik gerbang.

Tampak seperti villa wisata untuk satu keluarga, rumah mewah itu berdiri di tengah-tengah kebun bunga, yang dibatasi dengan tatakan bidak batu berpola di sepanjang halaman. Bangunan yang mewah dengan desain kaca yang melingkupi hampir seperempat sisi dinding. Tirai berwarna gading keemasan menutup permukaannya dengan anggun. Ihatra menyukai tempat ini; salah satu destinasi pribadi yang dibelinya secara rahasia. Dia memang tidak bisa sembarangan melarikan diri ke suatu tempat kalau tidak ingin orang-orang media dan keluarganya mencarinya.

Sesampainya di teras, langkah Ihatra terhenti oleh sebuah paket yang diletakkan di depan pintu. Seukuran kotak televisi, tetapi lebih ringan dan agak tebal. Dia membungkuk untuk mengambilnya, membaca informasinya sekilas dari kertas yang direkatkan di permukaan kardus, kemudian tersenyum kecil.

Ketika sedang berpikir-pikir akan ditaruh di mana isi paket itu, ponselnya berdering. Terpampang nama seseorang di layar.

"Yat, lo di mana?" kata seseorang di seberang sambungan.

"Baru aja pulang. Paketnya udah dateng, Thanks, Jay." Langkahnya berderap di sepanjang koridor. Ihatra berbelok ke ambang ruang tengah, lalu duduk di sofa empuk di depan televisi. Plastik belanja dan paketnya disandarkan hati-hati di samping meja, yang dipenuhi botol air mineral, plastik-plastik obat, serta kotak-kotak sisa makan semalam.

"Sip, deh. Gue tadi ditelepon Pak Ersan karena katanya paket dari gue udah nyampai, tapi lonya enggak ada di rumah."

"Iya, jalan-jalan bentar di deket sini."

"Jalan-jalan? Lo berani amat dah keluar sendirian. Enggak ada yang kenal sama lo, kan?" Nada Jayden terdengar menyindir. Suara di balik ponselnya sedikit berisik. Ihatra berasumsi Jayden sedang berada di lokasi terbuka.

"Ya beranilah kalau cuma jalan-jalan, kan di sini sepi. Tapi tadi gue sempet ketemu fans," kata Ihatra.

"Wah, Yat. Baru seminggu lo tinggal di sana, udah ketemu fans aja. Mereka nanya aneh-aneh enggak ke lo?"

"Enggak yakin, sih. Salah satunya ngaku punya album gue dan dengerin lagu-lagu gue, tapi kayaknya dia enggak bener-bener ngikutin berita. Atau ... barangkali sejak awal niatnya nyindir. Masa dia bilang gue artis terkenal?"

"Lah, kan lo emang terkenal?" kata Jayden, diselingi tawa kecil. "Jangan kebiasaan negthink kali, Yat. Kayaknya dia emang enggak ada niat ngeledek atau nyindir lo. Wajarlah kalau enggak ada fans yang ngikutin berita, apalagi di tempat kayak Pinggala, yang sinyal internet aja masih kalah lambat sama kungkang lahiran. Baperan lo kayak anak cewek."

"Gue enggak kayak dulu lagi, Jayden. Lo tahu sendiri gue ada trust issue ke orang-orang."

"Iya, deh. Tapi jangan dikit-dikit negthink. Enggak baik. Lo foto sama mereka?"

"Enggak."

"Sip. Terus lo mau balik kapan?"

Ihatra termenung cukup lama.

"Iyat?"

"Jay, lo kapan ke sini? Katanya mau dateng habis jadwal kelar. Lo sesibuk apa, sih?"

"Sabar, buset. Minggu depan gue masih diundang podcast, nih."

"Idih, podcast apaan yang mau ngundang lo? Lo mau cerita pengalaman ketemu wewe gombel?"

"Promosi film, woy! Kan debut pertama gue jadi aktor!"

Ihatra tertawa seraya mengusap wajahnya. "O, iya. Sorry, sorry. Gue lama enggak pernah aktif medsos lagi."

"It's okay. Lo mah mending di sana aja, puas-puasin ngelukis atau bikin lagu baru, atau godain kembang desa. Kali aja pas balik ke Jogja lo tiba-tiba udah gandeng calon."

Ihatra membuat suara geraman kesal yang mengundang kekehan kecil dari mulut Jayden, kemudian mendongak pada jam di dinding yang hampir menyentuh pukul empat sore. Dia menurunkan pandang ke bawah dan memeriksa pergelangan kaki kirinya yang sejak tadi berdenyut-denyut.

Ketika Ihatra menekan lembut mata kakinya, dia tak sengaja mendesis kesakitan. Jayden yang mendengar suaranya segera bertanya.

"Kenapa, Yat?"

Ihatra mengangkat kakinya pelan-pelan di atas sofa, meluruskannya agar sejajar dengan tubuhnya. "Kayaknya karena kelamaan jalan-jalan. Gue mau ngompres kaki bentar lagi."

"Bengkak, ya?"

"Enggak. Nyeri aja."

"Lo jalan-jalan ke mana, sih?"

"Pantai. Gue mampir di toko oleh-oleh dan beli jajan ... sama makrame."

"Hah? Pantai Pinggala maksud lo? Itu kan lumayan jauh dari rumah. Dulu lo kayaknya pernah bilang kalau enggak sanggup jalan lebih dari satu kilo." Jayden terdengar agak protes, tetapi Ihatra masih bisa menangkap nada cemas dalam suaranya.

"Ya kan enggak selamanya gue bakal kayak gini," sahut Ihatra, tidak sudi terlihat lemah. "Gue perlu banyak latihan supaya otot-otot gue enggak kaku. Kalau diem terus di rumah nanti tulang-tulang gue mengalami demineralisasi."

"Enggak usah lebay, deh. Lo kagak lumpuh, ya. Jangan dipikir gue enggak paham sama istilah medis."

"Ahaha, gue bercanda. Tapi lo tahu gue enggak bisa diem."

"Nanti gue telepon Pak Ersan buat mantau lo. Jangan maksain diri, Yat. Lo selamat dari kecelakaan besar kayak gitu aja udah sebuah anugerah. Jangan bikin gue khawatir kayak dulu."

Setelah terdiam sebentar, Ihatra menghela napas. "Iye, iye, Bang Jali. Yaudah ah, gue mau ngompres kaki dulu, Bye!"

"Eh, Yat tungguโ€•"

Sambungan telepon ditutup sebelum Jayden menyelesaikan kalimatnya, lantaran Ihatra tahu sahabatnya yang satu itu masih akan menceramahinya panjang lebar perkara kaki yang nyut-nyutan. Ihatra tidak suka diatur. Dia semestinya selalu aktif dan bertenaga, energik, penuh inspirasi. Seperti golden retriever yang bergerak liar di alam bebas. Akan tetapi, kecelakaan yang dialaminya membuat aktivitasnya semakin terbatas, juga kesempatan karier yang mulai meredup. Sementara Jayden tidak satu dua kali menunjukkan rasa simpatinya terlalu berlebihan sehingga rasanya Ihatra hidup di bawah belas kasihan orang lain. Itu bukan hidup yang diinginkannya.

Semakin lama denyut di kakinya semakin terasa. Maka, Ihatra memutuskan pergi ke dapur untuk mengambil es batu dengan langkah pincang.

Semenjak datang di desa ini, dia bertekad memiliki banyak ketertarikan di luar pekerjaannya. Dia merencanakan akan pergi ke banyak tempat dan mencoba beberapa hobi baru. Mungkin Ihatra bisa belajar berkebun bersama Pak Ersanโ€•bapak pengurus rumah, atau memotret pemandangan, atau mengikuti para nelayan menangkap buruan laut. Dia bisa melakukan apa pun selama berada di sini, asalkan identitasnya tetap terjaga. Dalam waktu dekat, dia juga berencana akan menghadiri festival yang diadakan di pesisir pantai.

Benar, festival itu! Ihatra tersentak kecil ketika mengingatnya.

Festival Panahan.

Ihatra membayangkan kembali si wanita bernama Tsabita memberitahu nama festival itu kepadanya.[]

-oOo-

.

.

.

Suka enggak sama chapter ini?

Dari keempat tokoh yang muncul (Ihatra, Bita, Shaka, dan Jayden), mana yang paling menggali rasa penasaran kalian?

Kalau aku, terus terang aja cukup terpesona sama Shaka. Dari deskripsinya (kulit gelap, tampan, rambut ikal) kayaknya profilnya aestheticaly unique. Dan juga Tsabita. Wanita berambut gelombang panjang dan berkulit gelap juga, uhuhuuuuu. This is my first time bikin cewek yang standar kecantikannya bukan kayak cewek FTV yang putih mulus bak idol koreya ๐Ÿคฃ

But please, kalian kudu lihat deskripsi Ihatra nanti di bab 3, karena dia.... wow just wow ๐ŸคŒ๐ŸคŒ๐ŸคŒ๐ŸคŒโค๏ธโ€๐Ÿ”ฅโค๏ธโ€๐Ÿ”ฅโค๏ธโ€๐Ÿ”ฅ

Kalian bakalan menemukan sesuatu yang menarik di desa Pinggala ini ngihihi. Mungkin bakalan ada myth tipis-tipis, tapi enggak sampai nyeret cerita ini ke genre fantasi kok ๐Ÿ˜…

Next chapter bakalan aku update secepatnya. Please vote and comment, yah! ๐Ÿ˜˜

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top