18. Lukisan yang Disembunyikan
Yang kangen Egar, selamat menikmati ๐
-oOo-
KETIKA melihat ruangan di balik pintu biru, Tsabita terkesiap.
Ruang lukis Ihatra didominasi dinding berwarna putih, easel, dan rak-rak tinggi yang tiap sekatnya diisi gulungan kanvas ataupun lukisan yang sudah jadi. Di ujung ruangan ada lemari kaca yang berisi peralatan melukisโmulai dari cat minyak sampai akrilik, palet, bahkan berbagai jenis kuas yang Tsabita tidak tahu apa namanya.
Mereka menghampiri sofa yang diletakkan di hadapan kaca dengan pemandangan kebun bunga di baliknya. Tsabita melihat seonggok kain kumal bernoda cat di atas sofa. Dia mengambil kain tersebut karena penasaran dengan lukisan di bawahnya.
"Yang itu lukisan terbaru saya," kata Ihatra.
Tsabita memperhatikan lukisan itu lebih dekat; pemandangan balai desa ketika semua orang sibuk berlatih festival. Fokus pada lukisan itu adalah enam wanita yang menari di lapangan. Lima penari lain duduk melingkar sambil memegang kipas yang setengah terbuka, sementara sosok yang berada di tengah adalah Tsabita. Dia dilukiskan sedang berdiri dan mengangkat tangan ke atas seperti memohon pada Dewa.
Ihatra menunggu reaksi wanita itu setelah melihat lukisannya. Dia bisa melihat mata Tsabita berkaca-kaca, entah karena terpana atau hanya pantulan lampu ruangan.
"Gimana menurutmu?"
"Bagus banget," kata Tsabita, nyengir lebar. "Ini keren, asli. Saya enggak tahu mau ngomentarin apa saking indahnya."
Ihatra mendekat pada Tsabita agar bisa lebih leluasa memandangi lukisannya. "Saya belum begitu terampil mencampur warna. Kamu lihat di siniโ" Ihatra menunjuk puncak pepohonan yang membatasi garis cakrawala, "โsemestinya warnanya bisa lebih terang karena ada sinar matahari yang memantul."
Tiba-tiba Tsabita mendongak sambil berseru, "Tapi ini udah bagus!"
Karena terlalu semangat, Tsabita tidak sadar jaraknya dengan wajah Ihatra hanya sejengkal saja. Bersamaan dengan jantung Ihatra yang mencelus karena terkejut, Tsabita langsung memalingkan muka dan mengangkat lukisan lebih ke atas, seketika mengoceh untuk menyingkirkan rasa canggung. "Saya suka sama lukisan ini, terutama karena ada saya di dalamnya. Mas Iyat ngelukis ini pas di balai desa itu, ya? Waktu kami semua lagi latihan?"
Ihatra menggosok dagunya dengan malu. "Iya."
"Kok bisa ingat detailnya semirip ini?"
"Saya foto dulu pakai kamera hape, terus saya tiru gambarnya di rumah."
"Oohh." Tsabita mengangguk-angguk paham.
"Kamu boleh bawa lukisannya kalau mau."
"Apa?" Tsabita terkejut. "Jangan, ini kan punya Mas Iyat."
"Enggak papa, ambil aja. Serius."
Tegas dengan pendiriannya, Tsabita meletakkan lukisan itu kembali di sofa. Dia sungguh tidak mau menerima apa pun dari Ihatra, apalagi sebuah karya lukis yang pembuatannya begitu sulit dan memakan waktu. Rasanya seperti dipaksa mencuri barang. "Saya enggak papa, Mas. Ini kan harta bendanya Mas Iyat, jangan diberikan ke orang sembarangan."
"Tapi kamu bukan orang sembarangan."
Kata-kata Ihatra membuat Tsabita terperenyak sebentar. Ihatra langsung sadar karena kata-katanya terdengar sembrono sekali. Astaga. Kok gue kayak lagi godain dia?
Namun Tsabita membalas sopan, "Walaupun saya pernah menolong Mas Iyat, saya enggak enak kalau terus-menerus dapat hadiah. Sebab waktu itu saya ikhlas menolong Mas."
Bukan gara-gara itu, Tsabitaaaa.
Ihatra rasanya ingin mengoreksi ucapan Tsabita yang kelewat netral, tetapi pria itu keburu sadar bahwa penjelasan yang tidak diperlukan hanya akan membuat situasi semakin salah. Ingat, Yat. Tsabita udah ada pawang! Tekadnya untuk menyembunyikan perasaan sudah diperkuat dengan alasan bahwa dia tidak ingin menambah masalah dengan merusak kisah cinta orang lain.
Maka pria itu mengiyakan kemauan Tsabita.
"Ya udah kalau gitu. Yuk lihat lukisan lagi," Ihatra mencoba tersenyum dan mengajak Tsabita untuk menjelajahi rak lukisan lebih dalam.
Sebagian karya lukis Ihatra bisa langsung dipahami dari maknanya, seperti objek lukisan yang jelas dan apa adanya; kebun bunga di pekarangan villa, kupu-kupu hinggap di ranting, langit biru yang cerah, bahkan lukisan Pak Ersan yang sedang merokok di pelataran belakang. Tsabita dalam sekejap meninggalkan Ihatra di salah satu rak dan menghabiskan waktu sendiri untuk meneliti karya lukis di rak seberang, meraba permukaan kanvas yang berserat dan kasar, sambil sesekali mengagumi tentang betapa indahnya warna-warna yang ditorehkan Ihatra.
Rasa penasarannya terus muncul seiring Tsabita mengitari ruangan lebih jauh. Pada rak paling ujung, beberapa lukisan ditumpuk berantakan di salah satu sekat rak. Tsabita menarik hati-hati salah satu kanvas yang menjorok keluar, kemudian terperenyak ketika mengintip lukisannya.
Yang satu ini sulit diterjemahkan. Tsabita melihat hampir seluruh permukaan kanvas dilumuri cat hitam, seperti sengaja ditorehkan untuk melampiaskan sesuatu. Ada percikan warna cokelat dan merah di bagian tengah, serta goresan-goresan acak yang dibuat penuh penekanan sehingga hampir merobek kanvas. Wanita itu mengernyit, tetapi semakin dicubit penasaran. Dia menarik satu lukisan lagi dari tumpukan tersebut dan kali ini melihat gambar sebuah lemari kayu yang berdiri di tengah-tengah bidang hitam. Pintu lemarinya terbuka, menunjukkan ruang gelap dari baliknya.
Tsabita termenung meresapi apa yang dia lihat. Tampaknya lukisan ini dibuat dengan sengaja, tetapi apa makna di baliknya?
"Lukisan yang itu ... sebetulnya enggak ingin saya perlihatkan." Ihatra tahu-tahu berkata dari belakang Tsabita, sontak membuat wanita itu terkesiap lalu berputar.
"Astaga, maaf, Mas Iyat." Tsabita dengan sigap mengembalikan lukisan ke dalam rak, dalam hati memperingati dirinya sendiri agar tidak kelewat lancang di rumah orang.
Dia kira Ihatra akan marah, tetapi rupanya tidak.
"Enggak papa, Bita. Saya yang salah karena naruh lukisan sembarangan." Ihatra beringsut maju untuk membetulkan lukisan tadi supaya bersandar lebih tegak di sekat rak. Tsabita yang masih diliputi rasa tidak enak, tiba-tiba membeku ketika menyadari ekspresi Ihatra. Entah apakah rautnya menyiratkan rasa kecewa, sedih, atau justru keduanya.
"Mas Iyat, kenapa ...." Tsabita ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sadar bahwa dirinya tak pantas untuk mencari tahu. Ihatra hanya menatapnya seolah menunggu pertanyaan, dan Tsabita langsung mengurungkan niat. "Bukan apa-apa. Saya minta maaf karena udah lancang."
"Kamu pasti kaget lihat lukisan itu," kata Ihatra selagi menjauh dari rak. Tsabita mengikuti di belakangnya. "Kadang kalau enggak menemukan inspirasi, saya melampiaskan kekesalan dengan cara seperti itu. Coretannya, kamu tahu."
"Menurut saya itu wajar. Banyak lukisan diciptakan untuk mengekspresikan pikiran." Tapi ada banyak emosi di dalamnya. Tsabita mengingat-ingat warna yang dipakai Ihatra untuk melambangkan perasaan ituโhitam, merah, dan cokelat. Goresan itu lebih menyiratkan kemarahan alih-alih kesal belaka. Lalu lukisan lemari dan pintu yang terbuka separuh. Apakah itu bagian dari emosinya saat sedang tidak menemukan inspirasi?
Rasanya ada yang mengganjal. Tsabita ingin bertanya lebih, tetapi memilih bungkam.
Ketika mereka mencapai di depan ambang, rupanya Shaka sudah menunggu di dekat rak perpustakan sambil membaca sebuah komik. Pemuda itu melihat kakaknya keluar dari pintu bersama Ihatra, lalu menghampiri keduanya.
"Mbak Bita, kita disuruh Ibu pulang," kata Shaka. "Mas Egar katanya datang ke rumah."
"Hah, dia datang?" Tsabita tampak terkejut. Bukannya tadi pagi Egar bilang lagi sibuk?
Akhirnya wanita itu mendongak pada Ihatra untuk berpamitan. "Mas Iyat, boleh kami...."
Ihatra mengangguk sebelum Tsabita menyelesaikan kalimatnya. "Makasih banyak karena udah makan malam di sini, ya."
"Kami yang harusnya terima kasih," Tsabita dan Shaka sama-sama menunduk sopan, kemudian keduanya pergi ke ruang makan dan berpamitan pada Jayden dan juga Pak Ersan. Malam itu mereka terpaksa meninggalkan rumah terlebih dahulu. Shaka menyetir vespanya tanpa bicara apa-apa, sementara Tsabita yang duduk di belakang memilih menikmati semilir angin sambil berusaha menyingkirkan bayang-bayang arti di balik lukisan Ihatra.
-oOo-
Egar rupanya sedang duduk di kursi serambi rumah sambil menggulir-gulir layar ponsel. Ketika vespa Shaka telah terparkir di halaman depan, pria itu langsung menghampiri Tsabita.
"Aku udah hubungin kamu dari tadi, Bita," protesnya dengan nada menahan jengkel.
Shaka, yang tidak ingin terlibat dengan ocehan mereka berdua, cepat-cepat membuka pintu rumahnya dan melanggeng masuk. Sementara Tsabita dan Egar tetap di luar.
"Maaf, Gar. Tadi hapenya masih di silent mode."
"Enggak mau diganggu ya karena lagi makan malam sama cowok?"
Tsabita memandang Egar dengan sorot terkejut, lalu pria itu melanjutkan, "Aku tanya ke Bude Nilam di mana kamu. Katanya kamu diundang makan malam di rumah cowokโorang yang dulu pernah kamu tolong setelah tenggelam." Kata 'cowok' sengaja diberi penekanan sehingga membuat Tsabita agak kesal. Kenapa orang ini cemburuan parah, sih?
Tsabita berharap Bu Nilam tidak ceroboh membocorkan identitas Ihatra, dan sepertinya Egar memang tidak mengerti informasi itu. Dia bernapas lega, lalu membalas kalem, "Iya emang bener, kami diundang ke sana sebagai balasan terima kasih. Itu cuma makan malam biasa, kok. Ada Shaka dan Pak Ersan juga."
"Kenapa kamu enggak izin aku kalau mau pergi ke sana?"
Tsabita mengerutkan kening. "Sejak kapan semua kegiatanku harus izin ke kamu?"
"Karena sekarang kamu pacar akulah. Aku berhak tahu ke mana kamu."
Tsabita ingin membalas lebih kecut, tetapi kemudian teringat bahwa pagi tadi Shaka memberitahunya bahwa Egar sedang stres di tempat kerja. Fakta itu membuat Tsabita enggan untuk memulai debat. Akhirnya dia mengalah, "Ya udah, lain kali aku izin kamu. Kali ini maafin aku, ya?"
Egar sebetulnya masih kesal, tetapi karena Tsabita bersikap patuh, akhirnya dia melonggarkan emosinya. Namun bukannya memberikan Tsabita ruang, pria itu malah merengkuh pinggang kekasihnya agar merapat padanya.
Dada Tsabita membentur perut Egar, seketika membuat wanita itu terkejut. Dia berpaling pada pintu rumah yang tertutup, cemas bila Shaka atau Bu Nilam melihat aksi tiba-tiba ini.
"Egar, lepasin. Apa sih?"
"Niatku tadi ke sini karena aku mau bikin surprise ke kamu, tapi kamunya malah pergi ke rumah cowok lain."
"Iya, dan aku sudah minta maaf, kan?"
Tsabita merasakan wajah Egar semakin merunduk, dan hidung mereka hampir bersentuhan. Pria itu mengendus leher Tsabita dan menunjukkan nafsunya terang-terangan. Karena tidak terbiasa dengan pendekatan seintim ini, Tsabita memalingkan wajah ke samping, berkata dengan nada kesal sekaligus malu, "Kamu mau apa, sih? Aku udah bilang aku enggak mau dicium."
"Kenapa? Kamu enggak mau dicium pacar?"
Egar tiba-tiba menegapkan tubuh dan memandangnya dengan sorot mata kecewa. Tsabita diam-diam mengepalkan tangan di samping tubuh karena tidak tahu harus menjelaskan dengan cara bagaimana.
"Aku ... aku belum terbiasa," kata Tsabita.
Egar melepas rengkuhannya di pinggang Tsabita, lalu beralih menjalin jemari wanita itu dengan erat. Dia mengangkat tangan Tsabita dan mencium punggung tangannya. "Kita pelan-pelan aja kalau gitu, yang penting kamu merasa nyaman. Gini lebih baik, kan?"
"I-iya." Tsabita menelan ludah gugup. Tatapan Egar kepadanya membuatnya goyah. Wanita itu merasakan jantungnya berdebar, dan kata-kata yang mengalir keluar dari bibirnya terdengar terbata seperti salah tingkah.
Egar yang menangkap reaksi tersipu Tsabita malah semakin senang. Kemarahannya yang tadi sudah jauh berkurang, jadi pria itu meluapkan kedamaiannya dengan mengusak rambut Tsabita.
"Apa ada kemungkinan kamu bakal ketemu lagi sama cowok itu?" tanya Egar.
Tsabita menggeleng. "Enggak tahu. Tapi kalaupun ketemu, kami hanya ngobrol biasa, enggak lebih."
"Aku enggak bisa percaya gitu aja ke kamu," Egar melipat tangannya ke depan dada dan memandang Tsabita dari atas sampai bawah, seperti menilai sesuatu. "Apalagi kamu ketemu dia dengan dandanan begini. Cantik banget, tahu enggak? Penampilan kayak gini harusnya kamu tunjukkan buat aku seorang. Gimana kalau cowok itu jatuh cinta sama kamu?"
Tsabita menghela napas. "Ya ampun, dia enggak akan suka sama aku." Karena dia itu selebritis yang seleranya tinggi, sementara aku cuma orang kampung yang kebetulan ada di dekatnya waktu dia tenggelam. "Hubunganku sama Mas Iyat cuma sebatas penolong aja, enggak lebih."
"Ciye, manggilnya Mas."
Tsabita kembali jengkel saat melihat raut Egar yang seolah mengoloknya.
"Memang itu cara panggilnya, karena dia lebih tua. Kamu mau aku panggil dia pakai sebutan 'Sayang'?"
"Ya jangan, dong."
Lalu Egar menelusupkan jemarinya pada leher Tsabita, mengusap pipi kanan wanita itu dengan lembut. Untuk kali ini Tsabita mencoba membiarkan kekasihnya melakukan apa yang dia mau. Dia menatap mata Egar yang terasa tidak memiliki emosi, entah karena pria itu memang tidak berpikir apa-apa, ataukah dia hanya pandai menyembunyikannya.
"Tsabita," kata Egar. "Aku enggak akan melarang kamu ini-itu. Kalau kamu mau ketemu lagi sama cowok itu, silakan, asalkan izin ke aku. Tapi kamu harus ingat satu janjiku."
Tsabita menangkap senyum di sorot tidak terbaca Egar, mendengarkan cermat saat pria itu berkata dengan nada serius;
"Kalau cowok itu berusaha ngerebut kamu dari aku, aku yang akan turun tangan buat membubarkan drama cinta segitiga yang dibuatnya."[]ย
-oOo-
.
.
.
WADUUHH KALIAN TIM MANA NIH GAIS? ๐ณ๐ณ๐ณ๐ณ
SAYAT (TSABITA IYAT)
ATAU
SAGAR (TSABITA EGAR)
ENGGAK NYANGKA EGAR ORANGNYA SEFRONTAL ITU. TAPI DIA.... DIA HOWT NGGAK SIEEEE ๐๐๐๐
Pertarungan antara male lead introver dan second lead extrover, mana yang menang?
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top