17. Makan Malam Bersama
Awkwkw makan malamnya telat sejam. Enjoy 😘
-oOo-
"MUKA lo kayak mangga yang belom mateng."
Komentar Jayden barusan membuat Ihatra terkesiap. Pemuda itu buru-buru menjejalkan ponsel ke dalam saku celana dan kembali menuang sup labu ke dalam mangkuk-mangkuk kecil para tamu. Suaranya lemah ketika membalas, "Sorry, sorry, habisnya tadi kepikiran sesuatu."
"Lo masih mikirin si Tasya?" tanya Jayden, dan belum sempat Ihatra membalas, pria itu menekan lagi, "Kan udah gue bilang kalau bocah itu enggak bakalan nemuin lo."
"Tapi gue masih ragu, Jay." Ihatra meletakkan sendok sayur ke dalam panci, lalu menatap Jayden yang berdiri di dekat konter dapur dengan wajah setengah cemas dan setengah mengharap. "Lo beneran enggak bilang siapa-siapa kan kalau lo ke sini? Bokap-nyokap? Atau pacar? Gue cuma was-was aja semisal Tasya gali informasi lokasi gue ke orang-orang di sekitar lo."
Seraya membuka air fryer dan mengeluarkan stik ubi yang baru matang, Jayden membalas, "Udah lo tenang aja. Dan btw gue belom pacaran sama siapa-siapa lagi."
"Jawaban lo ambigu."
"Fakta bahwa gue single?"
"Yang pertama. Lo bilang tenang? Jadi sebelumnya ada orang yang tahu lo ke mana?"
"Enggak ada. I told you." Sambil menenteng sekeranjang stik labu, Jayden pergi ke meja makan yang sudah disiapkan di dekat ruang tengah, diikuti Ihatra yang membawa nampan berisi mangkuk-mangkuk sup labu. Keduanya masih berdebat perihal Anastasya sampai Jayden akhirnya menegurnya duluan karena kelewat muak.
"Gini ya, Yat. Lo itu jangan suka hilang fokus. Tujuan lo ke Pinggala itu buat nenangin diri, jadi semestinya lo lupain semua urusan yang bikin kepala sakit, termasuk Anastasya. Lo percaya aja sama gue kalau dia enggak bakalan nemuin lo dengan mudah. She's just 18, and you're a grown ass man. Masa lo takut sama cewek bau kencur kayak gitu?"
Ihatra membuang napas dan memijat tengah keningnya, tiba-tiba merasa seperti dicecoki obat pahit yang membuat dadanya bergemuruh sesak. Dia duduk di salah satu kursi meja makan dan berkata pada Jayden, dengan nada yang setiap detiknya semakin bergetar, "Gue bukan takut. Gue cuma ... gue cemas ngebayangin dia nyeret gue lagi ke dalam skandal besar kayak waktu itu. Even though she's just a girl, she―she has the control to capture everyone's attention. Lo tahu dia itu psiko yang pakai kostum malaikat. The devil in disguise. Kalau dia muncul di hadapan gue, perut gue selalu mual dan gue enggak bisa mikir tenang."
"Oke, oke, berhenti." Jayden buru-buru memijat pundak Ihatra untuk menenangkannya, seketika merasa bersalah karena baru saja menyudutkan Ihatra. "Sorry atas omongan gue barusan. Gue lupa kalau lo ada sejarah kelam sama cewek itu―maksudnya―" Jayden meringis ngeri melihat tatapan Ihatra yang seolah berkata how-dare-you-ngelupain-masalah-gede-itu-begitu-aja, lalu buru-buru melanjutkan, "―gue selama ini cuma fokus sama insiden kecelakaan lo, bukan skandal lo yang sama Tasya. Habisnya lo kebanyakan konflik, sih!"
"Ya siapa juga yang mau punya banyak masalah gini!" gerutu Ihatra.
Jayden langsung mengusak puncak kepala Ihatra seperti menghibur seekor anjing, "Iya, Yat, gue baru inget hidup lo beberapa tahun ini emang penuh drama. Lo inget enggak, tahun kemarin IndoTV sampai bikin acara award pake nominasi 'Artis Paling Problematic', terus acara mereka sampai dapet peringatan gara-gara nampangin muka lo di televisi."
"Gue enggak mau inget-inget itu, anjir! Malu banget gue! Acara TV apaan yang bikin award konyol kayak gitu? Ujung-ujungnya gue yang dirujak lagi sama netizen! Mental gue lagi yang kena!" Ihatra mengusap wajah dengan kasar untuk mengatasi ketegangan dan semburan kecemasan yang menyergap, seketika malah membuat Jayden semakin khawatir sekaligus panik.
Yah, yah, yah... kenapa gue ingetin lagi, sih? Lain kali mulut lo harus dijahit, Jayden! Kalau perbincangan ini diteruskan, Ihatra pasti akan semakin kepikiran. Akhirnya Jayden langsung mengalihkan topik dengan mengajaknya menata makanan, "Ya-ya udah, Yat. Pekerjaan lo belum beres, nih. Bentar lagi orang-orang dateng, dan gue belum plating buat main course-nya. Yok balik kerja, yok."
Seperti dipaksa bangun dari mimpi buruk, Ihatra mengikuti perintah Jayden, berusaha menyingkirkan bayangan Anastasya dan acara konyol televisi yang sempat menggulung rasa percaya dirinya. Sementara itu, Jayden terus-menerus mengajak Ihatra mengobrol tentang rencana makan malam yang sebentar lagi akan dihadiri oleh teman-teman barunya. Sahabatnya itu sengaja menggali perbincangan tentang Pinggala dan tidak menyinggung-nyinggung lagi soal pekerjaan.
Sekitar lima belas menit kemudian, bel berbunyi. Ihatra membuka pintu dan melihat Tsabita, Shaka, dan juga Pak Ersan sudah berdiri di teras sambil cengar-cengir ramah.
Pandangan Ihatra terpaku lama pada Tsabita, yang malam ini mengenakan blus cokelat dipadu rok plisket hitam selutut. Rambut gelombangnya yang biasanya digerai, kini dikepang satu dan disampirkan ke pundak dengan manis. Melihat hal itu saja darah Ihatra berdesir di kepala. Cepat-cepat dia menelan ludah untuk melunturkan tenggorokannya yang kering, lantas mempersilakan para tamunya masuk.
"Hadirin sekalian, terima kasih karena telah datang di acara makan malam istimewa yang dikepalai oleh Chef Jayden Raespati," Jayden membungkukkan tubuh untuk memberi salam, berlagak menjadi orang penting yang memprakarsai acara. Semua tamu yang tahu bagaimana cara bersikap sopan, larut dalam sandiwara kecil itu dengan memberikan tepuk tangan meriah.
Seantero meja makan dipenuhi makanan mewah―menu fine dining ala Prancis, begitu kata Jayden, meskipun dia mengakui ada beberapa masakan yang terpaksa dibuat dengan bahan seadanya. "Yah, kita harus bersabar karena si Iyat enggak bisa bedain mana oregano mana rosemary. Akhirnya dia nyerah sama dua bahan itu dan malah beli Masako."
"Lo pikir kita tinggal di Jakarta yang apa-apa serba ada?" Ihatra membalas dengan wajah cemberut, dan Jayden semakin tergelak melihat raut wajah Ihatra setelah terus-menerus menjadi target perundungan. Pak Ersan dan Tsabita menengahi suasana itu dengan memuji-muji masakan, kendati mereka sendiri tampaknya agak tidak cocok dengan beberapa rasa. Kenapa Jayden memadukan alpukat dengan daun basil dan daging? Kenapa keju yang ada di roti baunya sedikit busuk dan rasanya sedikit asam? Tsabita dan yang lainnya tidak berani bertanya karena tampaknya Jayden menikmati semua ini dengan muka sumringah. Ihatra pun tampaknya tidak akan protes apa-apa.
Shaka beberapa kali membuat ekspresi muka seperti habis menelan jamu, tetapi Tsabita mencubit pinggang Shaka di bawah meja agar berlaku sopan. Makan malam ini pun berlangsung dengan kritik yang dipendam di dada masing-masing.
"Kalau Ihatra punya hobi fotografi dan ngelukis, saya hobinya masak," Jayden berkata ketika seluruh rangkaian acara makan malam telah usai. Pada saat itu semua orang sedang bersantai di meja makan sambil menyesap jus sari buah. "Jadi gimana rasa masakannya? Enak, kan? Saya belajar semua menu ini dari Paman yang jadi chef di Le Petit Chateau. Itu nama restoran terkenal di Prancis."
"E-enak," Tsabita manggut-manggut kecil, tidak tega melukai hati Jayden.
Sementara Pak Ersan menambahkan komentar, "Kalau Bapak lebih suka daging sapi sama supnya. Cocok di lidah Bapak, hehe." Jayden nyengir kegirangan mendengar itu.
"Kalau Tsabita lebih doyan yang mana? Eh, saya manggil Tsabita aja boleh, kan? Umurmu berapa, sih?"
Pertanyaan Jayden seketika membuat Ihatra yang duduk di sampingnya langsung menegapkan punggung seolah ikut penasaran dengan jawaban itu.
"Dua puluh dua," kata Tsabita. "Saya sama kayak Pak Ersan. Suka daging sapi sama supnya."
"Oh, dua-dua!" kata Jayden. "Selisih dua tahun sama saya dan Ihatra. Kalau gitu kita panggil nama aja ya, biar akrab. Sekalian pake gue-lo, boleh enggak?"
"Hahaha, boleh. Tapi saya jawabnya tetep pake saya-kamu."
Jayden dan yang lain tertawa dan melanjutkan obrolan dengan topik macam-macam, sementara sejak tadi Ihatra hanya senyam-senyum sambil menatap Tsabita. Tidak jelas apa yang ada di pikirannya selain kekaguman nyata pada wanita itu. Putri duyung yang hidup dari legenda―begitulah julukan yang diam-diam Ihatra sematkan untuk Tsabita. Kulitnya yang eksotis mengingatkan Ihatra dengan sinar matahari yang menggelora di pantai. Sinar yang mempertemukan putri duyung dengan kekasihnya, sekaligus sinar yang membunuh putri duyung dari kesedihannya.
Ihatra baru melengos dari wajah Tsabita ketika wanita itu tidak sengaja melihat ke arahnya.
"Ah, oh iya," Ihatra langsung bangkit dari kursi untuk menyembunyikan tingkahnya yang kelewat memalukan. "Shak, kamu mau lihat sesuatu, enggak?"
"Ha-ah? Lihat apa, Mas?"
"Yuk, sini." Lalu Ihatra langsung mengajak Shaka pergi menyusuri koridor lain di dalam rumah.
Sementara itu, Jayden masih asyik mengobrol entah-apa dengan Pak Ersan. Kelihatannya dua orang itu cocok dan punya selera humor yang sama. Tsabita yang merasa bosan, akhirnya memutuskan melihat-lihat rumah Ihatra yang ada di sekitar lantai satu. Perhatiannya terpaut pada bilik ruangan kecil yang ada di seberang tangga.
Tsabita berpikir-pikir sebentar, kemudian memutuskan untuk izin kepada Jayden. "Mas Jayden, itu ruangan apa, ya? Saya boleh masuk enggak?"
"Apa? Oh, itu perpustakaan. Masuk aja, Bit. Anggap aja rumah sendiri~" Jayden hanya cengar-cengir lalu melanjutkan obrolan dengan Pak Ersan ("Ya kan, Pak? Saya juga kaget waktu pertama kali syuting adegan ditabrak truk. Tipikal sinetron indo banget! Kata sutradaranya saya harus teriak kenceng sambil nutupin muka! Kalau bisa mah saya langsung kabur sebelum truknya nyampe!")
Tsabita menghampiri perpustakaan yang berisi deretan rak buku. Wanita itu menghampiri rak terdekat dan terkagum-kagum melihat barisan judul yang belum pernah dibacanya seumur hidup. Dari buku pengetahuan umum, novel-novel, sampai literatur keluaran lama yang tetap terjaga bentuknya. Seketika tenggelam dalam bacaan-bacaan memikat sampai lupa waktu. Dia baru sadar bahwa ada yang mengganjal pandangannya ketika menjelajah buku ke bilik rak terjauh.
Atensinya mendarat pada sebuah pintu berwarna biru yang terletak agak tersembunyi dari lorong perpustakaan. Tsabita harus mengerutkan kening ketika memastikan apakah itu pintu atau hanya dinding. Dan saat dia sedang dalam posisi yang jelek (berdiri miring sementara lehernya menjulur seperti mengintip tetangga di atas pagar), seseorang mencekal bahunya dari belakang.
"Lagi ngapain di sini?"
Tsabita terlonjak, hampir saja memekik kaget. Rupanya Ihatra sejak tadi berdiri di dekatnya.
"Lagi baca buku," kata Tsabita sambil memperlihatkan buku di tangannya. Karena takut disangka mengintip hal-hal yang tidak pantas, Tsabita akhirnya mengaku sedikit, "Terus saya baru nyadar kalau ada pintu lain di perpustakaan ini."
"Oh, itu ruang lukis." Lalu Ihatra menawarkan tanpa berpikir. "Mau ke sana?"
"Apa?"
Ihatra menunjuk pintu itu. "Di sana. Di ruang lukis. Katanya kamu mau lihat lukisan saya?"
Kemudian, mereka bertatapan cukup lama. Karena malu, Tsabita memutus kontak mata duluan, seketika membuat Ihatra sadar bahwa sejak tadi dirinya kelewatan memandang wajah seorang wanita.
"Mau masuk ... atau enggak?" tanya Ihatra, kali ini dengan nada ragu. Dia berjanji tidak akan kecewa bila Tsabita menolak tawarannya.
Namun Tsabita malah mengangguk.[]
-oOo-
.
.
.
Dan ternyata di ruang lukis itu ada sesuatu yang menghebohkan... penemuan mayat.
Nggak lah, canda.
Maap, malem2 gini otak kriminalku memikirkan alur cerita yang enggak terduga-duga 😭
Menurut kalian di ruang lukisan itu mereka berdua ngapain?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top