16. Hanya Ingin Bahagia
Selamat siaangg 🫶
Hari ini cuaca mulai dingin yak. Di rumahku dari pagi gerimis manja terus. Di rumah kalian gimana?
Udah siap baca ceritanya? Hehe ini diaa~
Btw untuk permulaan jangan lupa vote dan komen gesss 😆
-oOo-
SETELAH mengirim pesan terakhir dan meletakkan ponsel di atas bantal, Tsabita duduk di pinggiran ranjang sambil membuang napas berat. Dia melepas hairnet di kepala, lalu mengurai rambutnya yang dikepang semalaman sehingga menjadi untaian bergelombang yang rapi. Selagi mematut diri di hadapan cermin, berpikir-pikir; Ini baru pukul setengah enam pagi, tetapi Egar sukses membuat mood-nya berantakan perkara janji yang dibatalkan.
Sebenarnya harus berapa kali Tsabita sabar menghadapinya? Semenjak resmi berpacaran dengan pria itu, rasanya hubungan keduanya malah semakin berjarak. Ada saja masalah yang menahan mereka untuk bertemu. Padahal Tsabita selalu ada di sini untuk menunggu, tetapi Egar berulang kali menjadikannya daftar cadangan dari aktivitasnya. Memangnya siapa sih yang sejak awal meminta pacaran?
Jengkel dengan situasi ini, Tsabita memilih memadamkan emosi dengan beres-beres kamar, lalu mandi dan berdandan untuk persiapan ke toko. Dia baru saja menuju dapur untuk membantu Bu Nilam memasak ketika tiba-tiba Shaka berseru padanya dari ruang tamu, "Mbak, nanti malam kita diundang Mas Iyat datang ke rumahnya!"
Baik Tsabita dan Bu Nilam yang kebetulan ada di dekatnya langsung memasang ekspresi terkejut. Shaka yang memperhatikan reaksi ibunya, menjelaskan, "Katanya ini sebagai ganti karena kemarin kita cepet-cepet pulang. Ibu kalau mau dateng juga boleh, kok. Ini Mas Iyat ngajakin semuanya soalnya." Lalu Shaka membaca ulang pesan di ponselnya. "Ada Pak Ersan juga yang ikut makan malam."
"Ibu mau datang?" Tsabita menawarkan.
Bu Nilam menggeleng, kembali sibuk mengaduk-aduk santan di dalam panci. "Kalian aja yang dateng. Ibu capek malam-malam keluar, lagi pula motornya cuma satu."
"Kalau gitu Ibu bareng Shaka aja naik motor. Aku pake sepeda."
"Walaupun Ibu diundang, ya harus tahu diri juga. Kan kemarin yang datang ngasih makanan kalian berdua, jadi sekarang kalian aja yang datang," kata Bu Nilam. "Lagian Ibu malu datang ke rumah artis kayak Ihatra Kama."
"Dulu siapa yang bilang artis kalau udah masuk ke Pinggala statusnya sama aja kayak pelancong?" Tsabita tertawa sambil mengiris bawang. Shaka ikut terkikik geli, sementara Bu Nilam hanya mendengkus malu mengenang kalimatnya beberapa waktu lalu.
"Pas Ihatra dateng ke sini suasananya langsung beda soalnya," komentar Bu Nilam. "Mungkin karena aura artis kali, ya. Dia enggak ngapa-ngapain aja rasanya kayak jadi bintang yang disorot pakai lampu panggung. Ibu yang ada di dekatnya langsung ciut, ngerasa jadi penonton yang duduk di barisan belakang, yang bangkunya gelap karena enggak ada lampu."
"Bisa aja perbandingannya," Tsabita semakin tergelak. Mendadak saja bebannya sebelum ini berkurang dan hatinya agak melega. Entah disebabkan karena komentar ibunya mengenai Ihatra atau fakta bahwa Ihatra Kama baru saja mengundangnya makan malam. Tsabita hanya berharap jawabannya bukan opsi kedua.
"Nanti Ibu titip salam aja. Omong-omong, Bit, tolong bantu adukin santan. Ibu mau ke belakang, udah kebelet." Ibu menyalurkan sendok sayur kepada Tsabita, lalu langsung kabur ke kamar mandi. Sementara Shaka yang sudah hendak berangkat sekolah malah masih asyik jelalatan di sekitar dapur sambil mencari makanan yang bisa dicomot.
Tsabita menemukan kesempatan untuk berbicara dengan Shaka perihal Egar, lalu memulai, "Shak, gimana kamu di klub tinju?"
"Biasa aja. Tiap minggu masih latihan kayak biasa. Kenapa?"
"Kegiatan kalian lagi sibuk-sibuknya, ya? Tumben Egar enggak ke main ke rumah."
"Mm, kalau Mas Egar kayaknya emang lagi sibuk, sih." Shaka menjilat ujung jarinya yang habis mencicipi tempe orek, lalu berpikir sebentar, "Lusa kemarin ada insiden bocah yang jatuh waktu latihan sampai lututnya sobek, terus Mas Egar ditegur orangtuanya karena dianggap lalai. Mungkin lagi stres mikirin itu, makanya belum dateng ke sini."
Setelah mendengar pengakuan barusan, Tsabita terhenyak. Tiba-tiba merasa agak bersalah karena sudah berpikiran negatif pada Egar.
Shaka yang melihat reaksi Tsabita bertanya memastikan, "Mbak ada perlu sama Mas Egar?"
"Ah?" Tsabita mengerjap, lalu langsung teringat untuk mengaduk santan. "Egar itu janji mau ngajakin keluar, Shak. Tapi sejak seminggu lalu dia batalin terus."
"Ngajakin keluar? Biasanya kan bertiga sama aku, kok sekarang kalian janjian berdua?" Shaka mendesak bingung, lalu menarik kesimpulan dengan cepat, "Mbak asli pacaran?"
Tsabita lupa bahwa hubungannya dengan Egar belum diberitahukan secara resmi kepada Shaka dan Bu Nilam. Dia belum terbiasa memamerkan Egar sebagai pacarnya, walaupun telah menaruh perasaan romantis pada pria itu sejak dulu. Dan, Tsabita tidak enak harus mengatakan hal ini kepada Shaka. Rasanya seolah-olah memutus tali pertemanan di antara mereka bertiga.
"Maaf ya, Shak. Mbak belum sempat ngomong." Akhirnya Tsabita mengatakan dengan nada menyesal.
"Loh, aku tuh malah ngiranya kalian udah pacaran sejak dulu tahu, habisnya Mas Egar nempelin dan godain Mbak terus. Semua orang pasti bakal nyangka kalian pacaran." Shaka terkekeh kecil sambil berkacak pinggang, diam-diam teringat bahwa beberapa waktu lalu dia memberitahu Ihatra dengan percaya diri bahwa Egar adalah kekasih Tsabita yang bucin. Sekarang toh Shaka tidak perlu capek mencari bahan untuk menjaili kakaknya secara terang-terangan. "Bahkan Ibu aja pernah nanyain ke aku apa kalian berdua pacaran. Ya aku jawab aja iya!"
"Serius? Kamu tuh jangan suka nyebarin hal yang belum tahu kepastiannya!" Tsabita hendak mencubit perut Shaka, tetapi anak itu melengos dengan cepat.
"Ya jangan salahin aku, dong. Kalau waktu itu Mbak emang belum pacaran sama Mas Egar, kenapa mau-mau aja ditempelin dan dibucinin? Mbak juga suka kan sama dia? Hayo ngaku!"
Tsabita jadi malu sendiri, tetapi tidak bisa membantah karena hal tersebut memang benar. Akhirnya dia mengalah dan berkata hal lain, "Aku juga enggak tahu gimana kita berdua bisa pacaran gini. Tiba-tiba dia nembak di toko cuma karena kugoda pakai kata-kata, 'Emang kita pacaran?'"
"Hoo, jadi Mbak duluan yang nodong buat minta dipacarin?"
"Aku enggak bermaksud nodong. Awalnya dia cemburu enggak jelas waktu lihat Ihatra boncengan sama kamu. Dia curiga dan nuduh aku selingkuh, ya langsung aja kubales, 'Emang kita pacaran?' Habis itu dia langsung minta aku jadi pacarnya beneran."
Shaka tertawa membayangkan reaksi Egar yang panik karena kena skak mat. "Untung aja nggak ngajakin nikah―eh tapi tunggu, berarti Mbak bocorin siapa Mas Ihatra ke Mas Egar, dong?"
"Aku cuma bilang kalau Ihatra itu wisatawan, kok."
Shaka manggut-manggut lega. "Syukur deh. Terus nanti jadi kan ke rumahnya Mas Iyat? Jangan-jangan Mbak Bita enggak dibolehin sama Mas Egar."
Santan di dalam panci sudah cukup matang. Tsabita mematikan kompor, lalu berpaling pada Shaka.
"Sebenarnya ada rasa enggak enak ke Egar, tapi karena kita berdua udah diundang, kesannya malah buruk kalau tiba-tiba menolak. Menurutmu gimana, Shak? Apa kamu datang sendiri aja ke sana?"
"Yah, masa aku dateng sendiri." Shaka mencebik tidak terima, lalu menarik-narik pakaian Tsabita seperti bocah umur lima tahun. "Temenin aku, dong."
"Nanti kalau Egar tahu gimana?"
"Kan Mbak enggak ngapa-ngapain di rumah Mas Iyat. Orang di sana ada Mas Jayden dan Pak Ersan juga, kok. Kita cuma dateng buat makan malam, ngapain harus takut?"
"Bukan takut, tapi males kalau dia nuduh yang enggak-enggak."
"Nanti aku belain deh kalau dituduh selingkuh lagi," kata Shaka. "Lagi pula ... emang Mbak Bita enggak ingat apa kata Pak Ersan? Mas Iyat nanti sedih kalau kita berdua menjauh."
"Kan yang jauh aku aja ...." lalu sebelum Tsabita melanjutkan, mendadak dia kepikiran sesuatu yang sejak dulu selalu mengganggu pikirannya. Wanita itu menggigit bibirnya sebentar seraya melongok ke balik lorong tempat Bu Nilam pergi. Sepertinya tidak ada tanda-tanda bahwa Bu Nilam akan kembali. Jadi Tsabita mendongak lagi pada Shaka. "Shak, kira-kira kamu tahu yang sebetulnya dialami Mas Iyat, enggak? Maksudnya ... kenapa dia sampai harus pergi ke desa ini dan meninggalkan pekerjaannya sebagai aktor?"
Shaka menggaruk-garuk leher sambil berpikir-pikir. "Mm, jujur aku kurang tahu, sih. Tapi denger-denger Mas Iyat emang beberapa kali terlibat masalah sama artis lain, cuma akunya enggak ngikutin."
"Jadi itu alasan dia pergi ke sini?"
"Bukan cuma itu." Shaka mengernyitkan kening ketika teringat sesuatu. "Waktu kami berdua main di sungai, sebelum Mbak Bita nyusul kami, Mas Iyat sempet bilang sesuatu ke aku."
"Bilang apa?" Tsabita menatap Shaka lurus-lurus, kentara penasaran.
"Aku enggak tahu apa ini boleh dibocorin."
"Udah jujur aja. Emangnya aku mau bocorin ke siapa?"
Shaka membuang napas, akhirnya terpaksa mengakui, "Mas Iyat bilang ... dokternya menyarankan dia pergi ke tempat jauh buat menyembuhkan diri. Makanya Mas Iyat menetap di sini sementara waktu."
"Menyembuhkan diri?" Tsabita meremang. "Jadi dia ke sini bukan buat liburan?"
"Kayaknya Mas Iyat ... sakit," kata Shaka.
Tsabita terdiam, dalam hati merasakan rongga dadanya menyempit. Ingatannya mundur pada hari ketika dia mendengar Ihatra berbincang di telepon dengan seseorang dan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pembunuh. Tsabita mulanya percaya obrolan itu hanya kiasan semata yang entah apa tujuannya, tetapi ... melihat ekspresi panik dan gelagat muram di wajah Ihatra, tampaknya pria itu memang menyembunyikan sesuatu. Barangkali sikap tersebut ada hubungannya dengan alasan mengapa dia datang kemari.
Menyembuhkan diri, katanya? Menyembuhkan diri dari apa? Dari fakta bahwa dia adalah seorang pembunuh?
"Mbak, kenapa?" Shaka tiba-tiba mencolek lengannya.
Tsabita mengerjap. "Enggak papa. Kayaknya kita enggak usah ikut campur terlalu jauh sama urusan Mas Iyat."
"Aku tahu sih, tapi ...." Shaka mendesaukan napas berat. "Mbak ngerasain juga, enggak? Mas Iyat itu penuh misteri. Kadang ketawa lepas, tapi kalau lagi diem kelihatan mikir sesuatu."
"Mungkin dia lagi mikir masalahnya."
"Mbak enggak lihat gimana ekspresinya Mas Iyat waktu cerita hal itu ke aku," kata Shaka lirih. Kalimat selanjutnya terdengar berat dan prihatin;
"Mas Iyat bilang dia cuma ingin bahagia."[]
-oOo-
.
.
.
Siapa yang kangen Ihatraaaa???
Next chapter (hari Minggu) kita ketemu di makan malam, yak! Jangan lupa buat hadir tepat waktu pukul 20.00 WIB
Spoiler: Jayden yang jadi chef 🙃
Btw book ini masih sepi gaess. Minta tolong ramein dengan merekomendasikan DTD ke temen-temen yang lain 😍🫶
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top