15. Gadis Idola Semua Orang
Chapter ini rada panjang. Moga kalian betah baca
Warning โ ๏ธ cyber bullying
-oOo-
Jakarta, di waktu sekarang.
ANASTASYA sudah terlalu lelah untuk berpikir. Dia tengadah pada deretan botol-botol minuman yang dipajang elok dalam bilik rak bar, di sekeliling sofa panjang tempat beberapa kru dan aktor lain berpesta untuk merayakan syuting hari terakhir. Kendati suasana begitu meriah, sejak beberapa jam lalu Anastasya tidak bisa menikmatinya, sebab dia terlalu sibuk dengan masalah lain dalam pikirannya.
Gadis itu menyandarkan kepala pada punggung sofa. Merasa kesal bukan main saat harus mengingat apa yang terjadi kemarin, ketika dia mengunjungi kediaman Jayden dan melihat ekspresi orang itu. Dilihat dari tingkah Jayden yang serba salah, Anastasya yakin bahwa Jayden Raespati menyimpan rahasia. Pria itulah orang pertama yang akan Ihatra datangi ketika tersangkut masalah, dialah orang yang selama ini menempel pada Ihatra ke mana pun dia pergi, disadari atau tidak. Jayden pasti tahu ke mana Ihatra sembunyi selama ini.
Memikirkan kenyataan itu membuat Anastasya digelung rasa muak sekaligus jengkel. Mengapa dia tidak pernah menjadi bagian yang spesial dalam hidup Ihatra?
Saat hendak menyesap koktailnya lagi untuk mengusir fakta pahit itu, gelas di tangannya tiba-tiba direbut.
"Oh, sweetheart. Since when are you allowed to drink alcohol?"
Gadis itu berpaling dan melihat pria bersetelan semi formal tengah memandanginya penasaran. Usianya kisaran awal tiga puluh. Tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua.
Hadeh, si bapak produser lagi.
"I'm eighteen," kata Anastasya, terpaksa tersenyum sambil menatap wajah bapak ProduserโFranklinโdemi meninggalkan kesan sopan dan tahu diri. Kariernya di dunia akting ini baru seumur jagung. Kalau Anastasya berbuat masalah, bisa-bisa dia didepak dari proyek-proyek potensial berikutnya.
"Justru karena kamu masih muda, Tasya. Don't drink too often. Seorang aktor harus menjaga kesehatan supaya produktif menghasilkan karya." Franklin menyerong posisi duduknya sehingga bisa menatap lantai bar yang ada di balik kaca lantai dua. Setelah mendapat kepatuhan manis dari Anastasya, dia bertanya lagi, "So, how was the shooting? Kamu nyaman sama rekan-rekan yang lain?"
Anastasya mengangguk, sekilas melirik beberapa anggota kru dan aktor yang saling adu bernyanyi. "Saya belajar banyak dari para senior."
"Good to hear that. Insting saya, kamu bisa menjajaki peringkat populer aktor pendatang baru tahun ini. Sebab selain akting, kamu punya banyak penggemar yang loyalitasnya ngalahin k-popers."
"I heard that a lot." Anastasya tersenyum angkuh. "Thank you, Pak Franklin."
"Nah, you really deserve that, Tasya," Lalu Franklin menggeser duduknya lebih dekat, "Omong-omong, saya mau bicara serius denganmu."
"Bicara apa, Pak?"
"Not here." Pak Franklin menunjuk sekilas pintu ruang bar. "Can we talk outside? Ke tempat yang lebih sepi dan sunyi. Di sini ramai."
Anastasya terdiam sebentar. Dia merasa tidak nyaman dengan cara menatap Pak Franklin yang terkesan merayu dan mengharap. Akan tetapi, orang ini menyuarakan perintahnya dengan tegas, seketika membuat gadis itu sadar siapa dirinya di tengah-tengah riak gelombang dunia hiburan ini. Maka Anastasya berdiri dan ikut bersama Pak Franklin keluar ruangan. Mereka mengobrol di koridor bar yang redup dan sepi.
"Ini tentang proyek baru," kata Pak Franklin yang berdiri amat dekat dengannya. "Film dokumenter, digarap oleh penulis naskah yang tahun lalu dapat awardee di FFI. Saya lihat karakter yang dicari cocok untukmu, makanya saya pengin tahu pendapatmu."
"Peran apa, Pak?"
"Roh lukisan yang hidup kembaliโhantu dari zaman kolonial," kata Pak Franklin, lalu menatap wajah Anastasya lebih lama dari seharusnya. "Sutradara mencari aktor perempuan berusia di bawah dua puluh tahun yang ada darah Belanda atau Jerman. Saya langsung ingat kamu, karena penampilanmu cocok untuk karakter iniโketurunan indo, cantik, muda, dan terlihat seperti bunga indah yang rapuh." Kalimat terakhir disuarakan dengan nada nyaris berbisik. Anastasya merasakan Pak Franklin lebih dempet kepadanya daripada tadi. "You want it or not? Nanti akan saya atur untuk ketemu sutradara dan penulis naskahnya langsung."
"Mmโharus casting dulu, kan, Pak?" Anastasya mundur selangkah dengan agak kikuk, tetapi pria itu mendekat lagi sehingga punggung gadis itu merapat ke dinding lorong.
"Kalau kamu mau nurut apa kata saya, enggak perlu casting."
"Apa?"
"Kamu bisa diterima langsung untuk jadi pemain utama di film itu. Ini hal yang bagus untuk lompatan kariermu sebagai aktor. Jarang-jarang ada anak baru yang langsung diberi peran segini penting. Film ini juga diprediksi akan mendulang sukses besar di pemutaran pertama, mengingat penulis naskah dan sutradanya sama-sama orang hebat. Bayangkan kalau kamu sukses membintanginya, Tasya. Kariermu pasti akan melejit tinggi." Lalu Pak Franklin memegang lembut pergelangan tangan Anastasya. "Nurut aja sama saya. Dijamin kamu akan sukses sebagai aktor. Mau ya?"
Gadis itu menggigit bibir bawahnya sambil berpikir. Persaingan di dunia hiburan memang ketat. Kalau saja tawaran ini tidak diambil, dia mungkin akan kehilangan kesempatan selamanya. Siapa dia yang berani meludahkan peluang emas ini?
"Boleh deh, Pak," kata Anastasya, secara enteng melepaskan tangannya dari genggaman Pak Franklin, seakan tidak membaca situasi yang terpampang jelas di mata pria itu. "Saya harus ketemu sutradara dan penulisnya kapan?"
"Setelah kamu menemani saya bentar." Melihat reaksi Anastasya barusan, Pak Franklin mundur selangkah, lalu mengambil rokok dari balik jasnya. Dia menyulut rokok itu dan menyesapnya di depan Anastasya, sengaja mengulur waktu untuk berbincang-bincang. Diam-diam Franklin menikmati Anastasya bagaikan karya seni yang dipamerkan cuma-cuma. Wajah gadis ini memang serupa lukisan klasik yang megah. Rasanya seakan tidak bosan menilai setiap detail kecantikannya.
"Menemani Bapak?" Anastasya memiringkan kepala.
"Yaaa ... dinner biasalah. Saya akan jemput kamu malam Sabtu nanti."
"Dinner?" Anastasya langsung mengira bahwa Franklin barangkali ingin dinner sekaligus membahas film yang dijanjikan itu. Akhirnya dia mengangguk, "Mm, ya, bisa."
"Good. Saya mau pamerin ke kamu apartemen baru saya. Habis dinner kita ke sana, ya."
"Eh, kenapa harus keโ"
"Tasya?" Suara itu memotong pertanyaannya. Gadis itu menoleh ke lorong bar dan melihat seorang pria yang bersetelan office-formal berdiri tidak jauh dari mereka berdua. Seraya membetulkan kacamata yang dikenakannya, pria itu berkata lagi, "Gue udah kirim pesan ke lo berkali-kali. Kenapa enggak dibalas?"
"A-ah, Adam," Tasya tersenyum, diikuti dengan Franklin yang tiba-tiba mundur lebih jauh sambil menjejalkan satu tangannya ke dalam celana. Franklin menatap pria bernama Adam dari atas sampai bawah, seperti seekor serigala yang mewaspadai musuh. Dia lantas menatap Anastasya seolah meminta penjelasan.
"Pak Frank, perkenalkan, ini Adam, kakak laki-laki saya. Tadi saya minta jemput kakak ke sini." Anastasya membiarkan Adam dan Franklin berkenalan, tidak memedulikan suasana kaku yang mendadak terbungkus di antaranya. Gadis itu berpaling pada sang kakak dan turut memperkenalkan siapa Franklin. "Kami lagi ngobrol soal tawaran proyek baru. Iya, kan, Pak?"
"Ya. Tawaran proyek."
Franklin tersenyum seadanya, kemudian minatnya untuk menggoda Anastasya lenyap begitu saja saat melihat Adam bertingkah seperti seorang abang yang protektif (menempel-nempel pada Anastasya sambil berusaha membuat Franklin beringsut mundur). Akhirnya Franklin berpamitan pada Anastasya dan masuk kembali ke dalam ruang karaoke. Sementara Adam mengajaknya pulang.
Mereka baru saja masuk ke dalam mobil di area parkir ketika Adam memecah obrolan, "Lo ditawarin proyek apaan sama orang itu?"
"Namanya Franklin, bukan orang itu." Anastasya mengambil ponsel dari tas dan langsung menggulir-gulir layar dengan setengah tidak minat. Entah bagaimana merasa kesal karena Adam mengganggu perbincangan seriusnya dengan Franklin. Belum lagi, sekarang pria satu ini malah bersikap seperti anjing penjaga yang ketus. "Dia produser gue, jadi ngomongnya yang sopan, ya."
"Whatever. Lo enggak lihat cara dia natap lo, hah?"
Anastasya berkata whaaat? tanpa suara. "Apaan sih, Dam? Dia produser gue, dan kita cuma ngomongin proyek film horor baru. Katanya gue bakalan jadi pemain utama di film itu."
"Pemain utama, are you sure?"
"Yea. He asked me to accompany him to dinner, and later on dia bakal ngajak gue ketemu sutradara dan scrip writer-nya."
"Ngajakin dinner?" Adam melepas pegangannya dari setir dan beralih menatap Anastasya seolah ada yang tidak beres. "Lo enggak curiga sama ajakan begituan?"
Anastasya hanya menggeleng, sementara atensinya terfokus pada halaman Instagram miliknya, memeriksa foto yang pagi tadi dia unggah. Sudah ada lebih dari sembilan puluh ribu orang yang menyukai fotonya, dan di antara ribuan pesan yang dikirim, isinya tidak jauh-jauh dari pujian netizen, komentar yang iri dengan kecantikannya, atau ....
Anastasya menyipitkan mata membaca pesan teratas yang mendapat like terbanyak.
11.000+ likes hanya dari komentar itu saja; Anastasya mengangkat alis terkejut. Ihatra Kama rupanya masih ditunggu-tunggu oleh penggemarnya. Fakta ini membuatnya senang, kepalang ingin terjun ke lokasi bersembunyi Ihatra dan menghadapkan ponsel ini di mukanya. Mana yang lo pikir benci sama lo? Semua orang nungguin lo balik!
Ada beberapa ratus komentar di bawahnya. Ketika Anastasya hendak membukanya, suara Adam berseru lagi, "Tas, lo denger gue enggak sih?"
"Ha? Iya, iya denger...."ย
"Gue ulangin lagi. Tawaran apa pun yang lo dapet dari orang tadi, tolak."
Anastasya langsung melotot terkejut pada Adam, "Kenapa lo ngatur-ngatur hidup gue?"
"Karena gue abang lo, dan gue berhak nentuin apa yang baik buat lo."
"You're not even my manager, silly!"
"Posisi gue lebih tinggi dari manager lo, bego." Adam menyalakan mesin dan menggiring mobilnya keluar area parkir. Tanpa repot-repot menatap Anastasya, melanjutkan, "Lo itu masih muda. Minggu kemarin lo baru ulang tahun ke-18, jangan gampang percaya sama om-om bersetelan parlente yang nawarin lo job tapi pake syarat ngajakin makan malem. Udah jelas itu modus doang. Palingan ujung-ujungnya lo dibawa ke hotel atau apartemen rahasianya, dan dia bakal minta jatah ke lo supaya lo mau puasin dia. He'll do everything so that you obey him."
Anastasya terkesiap mendengar pernyataan itu. Dari mana Adam tahu kalau Frank akan membawanya pergi ke apartemen? "Lo jangan asal ngomong, ya. Masa dia berani ngelakuin hal itu ke gue?"
Adam melirik adiknya dengan malas, lalu mendesahkan napas. Di samping sikap Anastasya yang keras kepala, adiknya itu adalah menifestasi dari bocah naif yang kelewat bodoh, sulit diatur, sekaligus punya masalah dengan temperamental. Bagaimana bisa di usia delapan belas tahun ini dia masih saja percaya laki-laki hidung belang yang menyamar menjadi pria baik-baik?
"Udah, lo percaya aja apa kata gue kalau mau selamat di dunia entertainment. Lagian tadi kan udah gue bilang, lo enggak usah ikutan pesta karena gue bakalan jemput lo. Malah kabur aja nih anak sampai larut malem begini. Minum-minum kan lo?"
Anastasya berdeham. "Enggak."
"Lain kali kalau mau ke bar, sama gue aja."
Anastasya tidak menjawab. Adam mulai menyatakan penolakan itu sebagai pintu terbuka yang bermuara pada penyelidikan analitisnya. Biasanya Anastasya tidak pernah kelayapan sendirian kecuali memang membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, itu pun dengan meminta izin pada orang rumah. Sekarang dia malah membangkang dari aturan dan berakhir nyaris kena perangkap produsernya.
"Lo napa sih? Kesel karena gue ngelarang lo deket-deket si produser itu? Itu kan demi kebaikan lo sendiri, Tasya."
Anastasya melirik Adam dari kaca spion. "Oke, gue emang kesel gara-gara itu, tapi aslinya ada yang bikin gue bad mood seharian ini."
"Jadi seharian ini lo bad mood, makanya lo ngikut ke karaoke bar walaupun gue udah larang lo?"
"Tuh lo tahu."
"Dasar cewek, ribet amat. Gue bikin salah apa, hah?"
"Bukan lo. Tapi pasti lo tahu siapa yang bikin gue kayak gini."
"Si Iyat?"
Anastasya terdiam. Adam menganggapnya sebagai jawaban "ya".
"Yaelah, Tas. Lo kan udah tahu apa yang terjadi sama Iyat. Lo biarin aja anak itu rehat bentar napa, sih? Jangan suka ganggu urusan orang."
"Tapi dia enggak beritahu gue kalau mau pergi!" Anastasya berpaling cepat, mata menujukkan kilat kemarahan dan tidak terima.
"Ngapain juga dia ngehubungin lo? Kan lo bukan siapa-siapa!"
"Dia udah janji mau nikahin gue, Dam."
Adam menghela napas, mengurangi kecepatan ketika berbelok memasuki kawasan pemukiman elite. Pada momen itu, Anastasya terus menyulut frustasinya sambil menggigiti kuku.
"Si Jayden juga pasti nyembunyiin sesuatu, Dam. Dia tahu ke mana Iyat. Lihat aja, misi gue sekarang adalah bikin si rambut biru itu ngaku sebelum gue bongkar semuanya ke publik."
"Kok lo maksa banget sih, Tas?"
Adam memasukkan mobil pada lahan parkir di dalam gedung setelah dia mengakses pintu masuknya dengan kartu pemilik. Mobil berhenti, tetapi mereka berdua masih tetap berdialog di dalam.
"Lo tahu enggak, Dam? Iyat itu aslinya cuma lebay aja."
"Maksud lo?"
"Dia itu cuma mikirin dirinya aja. Dia enggak pernah sebentar aja meluangkan waktu buat muncul ke publik dan menerima tanggapan orang-orang. Lihat, nih," Anastasya menggulir layar pada komentar Instagram, lalu memperlihatkannya pada Adam.
"Coba lihat, Dam. 11.000 likes! Orang-orang pengin Iyat jadi lawan main gue di drama. Lo lihat betapa antusiasnya mereka?"
"Anastasya."
"Gue enggak salah, kan? Gue bicara fakta. Iyat selama ini cuma gede-gedein masalahnya. Dia seharusnya enggak usah terlalu keras ke dirinya sendiri, lebih baik dengerin nasihat gue dan lupain masa lalu."
Adam menurunkan wajah pada setir mobil, menarik napas dalam-dalam. Sementara itu, Anastasya malah memandanginya dengan raut bingung bercampur kesal. "Lo enggak percaya sama gue, Dam?" lalu sebelum gadis itu bisa menyemburnya dengan rentetan pertanyaan lagi, Adam merebut ponsel dari tangan Anastasya. Jarinya dengan cepat menekan sebaris komentar milik akun viola67.
Dalam sekejap, ribuan balasan komentar muncul di bawahnya.
"Lihat sendiri," katanya dengan raut masam, menyodorkan ponsel itu kembali ke tangan Anastasya.
Adiknya membaca komentar-komentar tersebut. Dan, seiring detik berlalu, matanya membulat kaget ketika menghadapi untaian opini baru yang dia temukan.
Setelah membaca semua komentar itu, Anastasya menatap Adam.
"Gimana, Tasya? Lo masih mau maksa Ihatra balik ke dunia hiburan?"[]
-oOo-
.
.
.
Kayaknya aku sensitif banget deh kalau nulis soal bullying gini ๐
Maaf yaa gais kalau kalian ikutan nggak nyaman. Masih pada lanjut baca?
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top