14. Teman Lama yang Mengusik

Malem, evrywan. Nih kukasih hadiah update di malem kamis 😘

-oOo-


"LO enggak bisa bohongin gue lagi.” Suara tegas Jayden mengusik Ihatra yang sejak tadi asyik merakit lego di atas meja ruang bermain. Karena tidak mendapat respons yang diinginkan, Jayden melanjutkan tuduhannya lagi dengan nada menggebu, “Udah berapa lama lo nyimpan perasaan ke Tsabita?” 

“Ikut campur aja lo. Minggir,” Ihatra menepis lembut lengan Jayden yang menutupi pandangannya dari hamparan lego. 

“Kita udah temenan lebih dari lima belas tahun, Yat. Gue bisa baca ekspresi wajah lo kalau lagi demen sama cewek. Kali ini target lo Tsabita, kan?”

“Target, target. Mulut lo tuh, ya. Lo kira gue nganggap Tsabita mangsa?” Ihatra berdecak, akhirnya terpaksa menggeser pantat ke kiri agar Jayden bisa duduk di sampingnya. Mereka berdua melanjutkan obrolan sambil menonton jemari Ihatra yang cekatan memasang potongan lego menjadi pilar-pilar beton mini. 

Sorry, kebawa skrip drama FTV,” Jayden terkekeh. “Eh tapi serius. Apa ini alasan lo betah tinggal di Pinggala? Lo udah nemu orang yang lo suka, hm?”

“Gue betah di Pinggala karena suasananya emang nyaman, itu aja. Perihal Tsabita, gue cuma sekadar tertarik sama dia. Enggak ada niatan mau jadiin dia pacar.”

“Kenapa?”

“Dia udah ada pawang.”

Jayden menepuk keningnya dengan telapak tangan, seolah menunjukkan gelagat kecewa. Ihatra hanya menggeleng maklum lalu kembali mengurusi lego. “Udah ya, Jay. Lo enggak usah kasih gue nasihat sesat buat ngerebut Bita dari pacarnya yang sekarang. Tujuan gue pergi ke sini buat menghilangkan beban hidup, bukan buat nambah masalah.”

“Gue cuma berduka buat lo kali. Emang enggak boleh?” Kata-katanya yang tidak kunjung mendapat tanggapan malah membuat Jayden penasaran dengan hal lain. “Terus lo yakin bisa mandang Tsabita sebagai teman semata? Gue lihat-lihat lo kayaknya bakal sering ketemu sama cewek itu, deh. Gimana kalau entar perasaan lo ke dia jadi enggak tertahankan?” 

“Soal menahan itu gampang. Gue bukan cowok yang diperbudak nafsu.”

“Widih jawabannya!” Jayden tergelak sampai melempar kepalanya ke belakang. “Asli, dah. Selain jadi orang yang kurang peka dan enggak romantis, ternyata lo juga nafsunya lempeng.”

Ihatra sudah siap menonjok Jayden, tetapi pria itu melengos cepat dengan berdiri dari kursi. Sambil terkekeh, memandangi hasil rakitan lego Ihatra yang belum sepenuhnya jadi; sahabatnya baru saja menyelesaikan setengah bagian menara Pisa. Jayden mengusap-usap bangunan lego tersebut, terang-terangan mengaguminya. 

“Asyik bener kayaknya ngerakit dan ngoleksi lego kayak gini. Jadi pengin, deh. Tapi gue jarang punya waktu luang.”

“Selama liburan di sini, lo kan banyak nganggur. Puas-puasin aja main. Tuh, tumpukan lego gue banyak yang belom disentuh. Entar kita ngerakit bareng-bareng.” Ihatra menunjuk kabinet kecil di seberang ruangan yang dipenuhi kotak-kotak lego. Jayden nyengir lebar sambil manggut-manggut setuju. 

“Terus juga ….” Ihatra mendongak menatap Jayden. “Bulan depan lo masih di sini, kan? Kalau iya, ikut gue nonton festival, yuk.” 

“Festival apaan? Ada yang begituan di tempat kayak gini?” 

Lalu sambil menyusun lego, Ihatra menjelaskan tentang festival panahan yang akan dilaksanakan kurang dari tiga minggu dari sekarang. Dia juga memberitahu Jayden bahwa Tsabita akan tampil di acara tersebut sebagai seorang penari. Fakta itu membuat Jayden tidak habis-habisnya menggoda Ihatra. 

“Astaga … Iyat, Iyat. Ke mana-mana ketemunya sama cewek pantai itu mulu. Semoga lo enggak jadi sad boy deh. Masa jauh-jauh ke Pinggala dapetnya patah hati doang?”

“Biasa aja kali. Cewek enggak cuma dia doang.”

“Hahaha, gue doain nanti ada cewek yang bisa menggantikan Tsabita dari pikiran lo, deh. Biar lo enggak sedih-sedih amat di kampung orang!”

Ihatra yang sudah kepalang jengkel tiba-tiba membalas, “Lo daripada heboh doain gue dapet cewek, mendingan doain gue biar cepet move on dari masa lalu, deh. Capek gue inget-inget kejadian itu berulang-ulang.”

Kalimat barusan membuat cengiran Jayden luntur dalam sekejap. Suasana di sekitar mereka mendadak sunyi, seolah keributan obrolan barusan dirampas begitu saja oleh kelebatan angin. Jayden yang sudah melupakan topik Tsabita langsung bertanya serius, “Lo masih mimpi buruk?”

Ihatra membisu. Kata-katanya barusan terhitung keceplosan karena ledakan emosi sesaat saja. Namun karena wajah prihatin Jayden mendesaknya untuk bicara lebih banyak, akhirnya Ihatra berkata, “Udah enggak sesering dulu, kok. Kayaknya gue kecapekan aja pas itu gara-gara habis tenggelam.”

“Lo mimpi hal itu pas lagi tenggelam?”

“Enggak. Tapi malemnya.” 

Jayden mendekati Ihatra lalu memijat pelan tengkuknya. “Gue kira tempat ini sukses mengalihkan lo dari mimpi buruk. Terus gimana, Yat? Lo sehat, kan?”

“Ya kan lo bisa lihat sendiri. Aman-aman aja.”

Aman-aman aja? Kayaknya nih anak boong. Jawaban itu tidak membuat Jayden puas. Semenjak mengalami kecelakaan dan tersandung kasus dengan rombongan wali murid TK, Ihatra yang awalnya seperti burung yang suka mengoceh tiba-tiba berubah laksana tiram yang tertutup rapat. Dahulu Ihatra lebih leluasa dalam mengungkapkan perasaan, tetapi sekarang dia lebih banyak menyembunyikan beban dan sengaja bicara untuk menutupi maksud sebenarnya. Jayden bukan orang bodoh yang pandai ditipu. Dia tahu sebetulnya Ihatra masih kepikiran betul tentang mimpi itu. Rasanya pasti seperti diteror sesuatu yang mengerikan, absurd, dan rusak. Namun pria itu ogah menyinggung-nyinggung bagian buruknya. 

Merasa tidak yakin dengan jawaban Ihatra, Jayden memancing lagi, “Orang waktu tenggelam kan biasanya masih sadar pas di dalam air sebelum mereka bener-bener kehabisan napas. Lo mungkin terlalu panik waktu tenggelem, sampai gejala PTSD lo kambuh. Iya, kan?”

Ihatra mengusap wajah untuk menyembunyikan kekalutan. Jayden benar. Dia memang sempat terbayang kilatan momen saat dirinya terperangkap di dalam mobil yang hancur sebelum napasnya benar-benar habis disapu arus sungai; rasanya sempit, dadanya terbakar, dan sekujur tubuhnya sakit. Ihatra nyaris berpikir dia akan mati, dan dia yakin bahwa nyawanya sudah di ujung tenggorokan. 

Aduh, sialan. 

Walaupun hanya mengingat, rasanya trauma Ihatra kembali lagi. Pria itu merasakan jantungnya mulai berdenyut tidak ritmis. Dia menyembunyikan kedua tangannya di bawah meja dan beralih meremas celananya kuat-kuat, berusaha mengusir lagi bayangan pedih itu menggunakan cara yang diajarkan oleh terapisnya; metode memperkenalkan diri dengan runtut. Nama gue Iyandra Maharu Seta. Umur gue 24 tahun. Gue lahir di Jogja dan pindah ke Jakarta atas tuntutan profesi. Gue punya kucing oren namanya Thomas Shelby, sekarang umurnya udah empat tahun. Terakhir ketemu si Thomas sekitar sebulan lalu, waktu gue pamitan sama dia di rumah majikan barunya.

Tampaknya usaha itu cukup berhasil. Ihatra merasa lebih tenang, akan tetapi Jayden yang sejak tadi menangkap gelagat aneh Ihatra yang sedang memejamkan mata, akhirnya bertanya, “Lo kenapa, dah? Kesambet?”

Dan Ihatra tiba-tiba saja memukul permukaan meja sehingga membuat beberapa keping lego bergetar. Jayden spontan memekik kecil karena bunyi mengagetkan itu. “Eh, apa sih? Jangan kesambet, woy! Di sini enggak ada pak kiyai!”

“Ngagetin lo doang, haha.” Ihatra tertawa, dalam sekejap sukses menekan guncangan ketegangan itu kembali ke jurang terdalam kesadarannya. “Kalau gue kesambet beneran bisa berabe, soalnya lo pasti enggak hafal doa ruqyah.”

“Sialan lo. Gue ayat kursi hafal, ye! Lumayan bisa ngusir tuyul.” Lalu Jayden memastikan lagi keadaan temannya. “Jangan suka ngalihin topik. Gue tadi tanya belom dijawab. Trauma lo kambuh lagi?”

“Serius amat sih, Jay. Kan udah gue bilang gue enggak papa.”

“Beneran? Habisnya katanya lo udah lebih baik semenjak minum obat. Makanya psikolog dan dokter lo ngebolehin datang ke sini sendirian.”

“Iya bener. Itu cuma gejala yang sekali muncul doang kali, enggak usah dibesar-besarin. Emangnya siapa yang mau tenggelam lagi? Gara-gara kejadian di sungai itu, kayaknya gue enggak bakal nyentuh kolam renang lagi selama beberapa tahun ke depan.” 

Jayden mendengkus, lalu meninju pelan lengan Ihatra. “Trauma lo nambah satu lagi, dong? Tapi ya udah deh, yang penting lo enggak papa. Untung gue ke sini mastiin keadaan lo. Kalau enggak, gue pasti nyesel dan overthinking sendirian di Jakarta.”

“Santai aja, Jay. Gue bisa kok jaga diri. Toh di sini juga ada Pak Ersan yang dateng tiap hari buat mantau gue,” Ihatra bangkit dari kursi dan mengajak Jayden keluar. Saat menyusuri ruang tengah yang berbatasan dengan kebun bunga, dia menyempatkan diri menyapa Pak Ersan yang sedang merapikan tanaman di pot-pot selasar menggunakan gunting besar, lalu bertanya lagi pada Jayden, “Omong-omong, lo mendadak dateng ke sini, emangnya enggak ditanya orang-orang mau ke mana gitu? Sama manajer lo misal?”

“Aman, aman. Gue enggak bilang kalau gue mau ketemu lo, kok. Mereka tahunya gue liburan ke kampung halaman.” Lalu langkah Jayden tiba-tiba berhenti, seolah ada sesuatu yang baru terpetik di ingatannya. 

Ihatra berputar menghadap sahabatnya yang terdiam. “Napa lo?” 

Jayden tersenyum lemah, entah bagaimana seperti orang yang sungkan mengatakan sesuatu. “Gue inget sesuatu. Sehari sebelum berangkat ke sini, si Tasya dateng ke tempat gue nanyain lo.”

“Anastasya maksud lo?” Suara Ihatra berlumur cemas. 

“Iya, siapa lagi kalau bukan cewek itu.”

“Ngapain dia dateng ke lo?”

Jayden terdiam sejenak seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Yaa, lo tahulah. Dia kangen lo. Pengin ketemu.”

Tiba-tiba saja gunting yang dipegang Pak Ersan jatuh membentur pelataran selasar. Ihatra dan Jayden sama-sama menatap pria itu, yang langsung Pak Ersan balas dengan cengiran malu dan gestur yang mengungkap bahwa tangannya licin. Ihatra kembali berpaling menatap Jayden dan berkata, “Lo serius dia bilang kayak gitu ke lo? Terus lo bilang apa?”

“Lo tenang aja. Gue enggak bocorin lo di mana. Ujung-ujungnya si Tasya pergi dengan muka kecewa.”

Namun jawaban itu tidak memuaskan hati Ihatra, sebab dia tahu seperti apa Anastasya dan bagaimana ambisi gadis itu dalam menemukannya. Jayden yang melihat sepercik kekacauan dalam wajah Ihatra akhirnya bertanya dengan khawatir, “Yat, lo enggak papa, kan?”

Ihatra mengedip pelan, merasa setengah kapasitas tenaganya terkuras lebih efektif hanya dari mendengar berita tentang Anastasya. Lantas dia membalas lemah seperti orang putus asa;

“Kalau sampai dia tahu lokasi persembunyian gue, fix tempat ini bakalan jadi neraka kedua yang gue injak setelah penjara.”[]

-oOo-

.

.

.

.

Hmmm, tokoh baru?

🙂🙂🙂🙂🙂🙂

Kayaknya Ihatra benci banget sama Tasya, tapi.... let's see deh. Menurut kalian sendiri gimana? Tasya kayak apa?

A. Karakter pelakor
B. Karakter tersakiti
C. Karakter beban
D. Karakter baik

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top