13. Tsabita, Shaka, dan Jayden
-oOo-
IHATRA memelototi layar ponselnya sambil mengerutkan kening. Jayden Raespati! Kalau sampai anak itu sungguh-sungguh datang kemari tanpa pemberitahuan sebelumnya, dia akan menghujaninya dengan pelukan sekaligus tonjokan. Walaupun bagian menghajar itu tidak serius-serius amat, Ihatra diserang gelisah karena Jayden datang di waktu yang tidak tepat. Ruang tamu dan kamarnya sedang berantakan. Dia juga tidak punya jamuan yang layak untuk menyambut tamu dari luar pulau. Di desa kecil yang kanan-kirinya hanya ada perbukitan dan hutan, bagaimana Ihatra bisa menghubungi pesan antar makanan?
Lelah berpikir berat, Ihatra mengempaskan kepala di sandaran sofa sambil menghela napas. Dia menatap langit-langit lalu kepikiran untuk membeli makanan jadi. Memang lokasi depot agak jauh dari sini, tetapi sepertinya waktunya masih sempat kalau pergi sekarang, iya kan? Gagasan itu kedengaran oke. Akan tetapi saat Ihatra berpaling menatap halaman kebun yang dibatasi kaca dan menyaksikan betapa menyengatnya mentari siang itu, semangatnya hancur dalam sekejap.
Panas banget ya gusti. Gue bisa kepanggang kalau keluar lama-lama.
Demi Jayden, Ihatra ogah menyiksa diri. Lantas siang itu Ihatra habiskan dengan berpura-pura tidak terpancing pesan Jayden. Dia merapikan ruang tamu seadanya, lalu pergi ke ruang lukis favoritnya, menggambar sketsa dari foto-foto yang sudah ditangkapnya selama berlibur di Pinggala, membersihkan palet dan kuas, lalu kembali bersantai di kamar untuk menonton lanjutan episode sebuah series populer. Ihatra sedang terkantuk-kantuk dan baru saja ketiduran di atas kasur ketika tiba-tiba bel rumahnya berbunyi.
Jayden! Beneran datang tuh anak!
Bagai disiram air dingin, Ihatra pergi ke depan dengan langkah loyo menyeret-nyeret. Sambil berkedip-kedip mengusir kantuk, mengecek ponsel yang sejak tadi diabaikan karena terlalu fokus menonton series. Ada delapan pesan dan satu panggilan tidak terjawab dari nomor yang tidak dikenal. Ihatra tidak membuka satu pesan pun karena dia berpikir pesan itu pasti dari Jayden, walaupun seharusnya dia curiga mengapa nomor cowok satu ini berganti dalam sekejap.
Ihatra menjeblak pintu rumah, siap protes, tetapi kata-katanya terputus di ujung lidah ketika melihat sosok lain berdiri di luar ambang.
"Mas Iyaaat~" Shaka menyapanya dengan nada seperti mengajak main.
Keterkejutan Ihatra belum luntur, sebab di samping kanan dan kiri Shaka, berdirilah Tsabita dan juga Pak Ersan. Dia mengernyitkan kening untuk memproses apa yang terjadi. Kenapa tiga orang ini ada di depan rumah gue? Gue harus ngapain ya setelah ini?
Kebingungan dalam kepalanya disela oleh Pak Ersan;
"Waduh, waduh, belum mandi pasti kamu. Iya, kan?"
"Hah? Be-belum ...." Ihatra menggaruk kepala dengan linglung. Suaranya serak, dan pikirannya tidak fokus. Dia menatap Tsabita yang sedang menatapnya sambil tersenyum, lalu seketika terpetik sadar; penampilannya sekarang pasti seperti bujangan pemalas yang jorok! Ihatra hanya mengenakan t-shirt polos dan bokser di atas lutut. Bulu kakinya seperti hutan lebat, ditambah lagi selama empat hari ini dia belum bercukur.
Ya Gusti, rasa malu seperti apa lagi yang engkau timpakan kepadaku?
"Di jalan tadi saya udah WA Mas Iyat, tapi enggak dapet balasan," Shaka tiba-tiba berceletuk. "Awalnya saya sama Mbak Bita udah niat pulang lagi, tapi malah ketemu Pak Ersan. Katanya Pak Ersan, Mas pasti lagi tidur di dalem, terus beliau bujuk kami buat masuk aja."
Ihatra yang teringat sesuatu, langsung membuka ponsel di tangannya dan mengecek delapan pesan dari nomor tidak terjawab tadi.
Astaga, gara-gara ketiduran, Ihatra jadi kesulitan mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum ini. Sambil membendung senyum seolah semuanya baik-baik saja, akhirnya Ihatra mempersilakan mereka semua masuk.
"Maaf, ya. Emang bener kata Pak Ersan, tadi saya ketiduran," kata Ihatra, yang dibalas anggukan maklum dari ketiganya. Selagi kedua tamu melenggang masuk menuju ruang tengah, Pak Ersan langsung pamit ke samping halaman untuk mengurus kebun seperti biasa. Ihatra menggaruk-garuk ketiak dan merasa tidak nyaman dengan kondisi rumahnya yang masih berantakan. Dia bahkan belum mandi sejak kemarin. Dan meskipun tubuhnya tidak bau kecut, Ihatra yakin perlu bercukur.
"Mas Iyat," Tsabita tahu-tahu berputar dari sofa dan langsung berhadapan dengan Ihatra yang sedang mengempit tangan di ketiak. Pria itu buru-buru menurunkan tangannya dan menatap wanita itu dengan raut malu sekaligus panik.
"Y-ya, Mbak?"
Tsabita mengulurkan plastik besar beraroma sedap. "Untuk makan siang."
"Wah, kok repot-repot, Mbak." Alasan saja. Ihatra menahan diri untuk tidak cengar-cengir karena baru beberapa saat tadi mengeluh tidak ada makanan. Dia mengintip dari lubang plastik, terperangah melihat menu udang dan kepiting yang terlihat pedas dan menggiurkan.
"Mas tahan makan pedes, kan?"
"Saya suka, kok. Tempo lalu waktu saya makan di rumah Mbak Bita menunya juga pedas, kan?" kata Ihatra, "Makasih banyak ya, Mbak. Tapi kok tiba-tiba bawain segini banyak? Ada yang ulang tahun, ya? Atau ada acara di rumah?"
"Oh, tadi emang ada ...."
Tsabita masih berpikir-pikir untuk menjawab, tetapi Shaka yang mulutnya seperti ember bocor langsung enteng menyahut, "Pagi tadi saya minta Mbak Bita buat nemenin main ke rumah Mas Iyat, terus siangnya Mbak Bita langsung masakin banyak buat oleh-oleh."
Ihatra menatap raut Tsabita yang langsung memerah seperti salah tingkah, dan paham dengan apa yang terjadi. Entah bagaimana reaksi malu-malu Tsabita malah membuat Ihatra jadi geli sekaligus kegirangan. Dia jadi tahu bahwa Tsabita adalah tipe perempuan yang tidak mau membuat orang lain kelihatan segan atas kebaikan yang diberikannya. Kenyataan ini mengusik sesuatu di dasar perut Ihatra; rasanya seperti disayang diam-diam.
Ngayal mulu, Yat! Sadar, sadar! Ihatra mengusir jauh-jauh pikiran liar itu.
"Oh iya," Ihatra yang tidak mau membuat Tsabita lebih malu lagi, akhirnya melompat ke topik lain, "Kalian suka apa, deh? Di sini semuanya lengkap; ada ruang mainan, ruang nonton, ruang baca, terus...."
Mata Shaka seketika berbinar-binar. Dia mendengarkan Ihatra menjelaskan seluk beluk di dalam rumah dengan saksama, tidak berani memotong karena takut momen kekaguman ini rusak karena kebiasaan buruknya yang suka bertanya-tanya tidak jelas. Ketika Ihatra menjelaskan dengan fasih ruang magis apa saja yang ada di lantai dua, tiba-tiba saja penjelasan mereka diinterupsi bunyi bel pintu. Ihatra meminta Shaka dan Tsabita untuk menunggu, sementara dia buru-buru ke lorong utama dan langsung membuka pintu lebar-lebar.
Kali ini Jayden-lah yang berdiri di muka pintunya.
"Jayden!"
"Woy, Yat!" Jayden langsung memeluk Ihatra lalu iseng mencium keningnya sampai berbunyi. Ihatra memasang raut jijik dan langsung mengusap kening menggunakan punggung tangan.
Saat rengkuhan keduanya terpisah, dia baru membalas, "Lo kenapa enggak bilang sebelumnya kalau mau ke sini, sih!"
"Kalau bilang enggak seru dong," Sambil cengar-cengir, Jayden melenggang masuk ke dalam rumah Ihatra tanpa disuruh, dalam sekejap berubah menjadi tukang kritik menyebalkan yang mengomentari hal pertama yang dia endus, "Duh, Yat. Lo perlu kasih rumah lo pewangi, deh. Ini kok ada bau seafood, hah? Lo abis makan apโ"
Kata-kata Jayden terputus lantaran menatap sosok dua manusia lain yang berdiri di ruang tamu Ihatra.
Shaka, yang sepertinya memiliki tanda-tanda pengenalan besar kepada Jayden (terutama pada rambut birunya yang iconic), langsung menjatuhkan rahang seolah baru saja melihat keajaiban dunia. Tsabita memperhatikan mereka berdua secara bergantian, kentara tidak tahu apa yang terjadi. Sementara itu, Ihatra baru saja muncul dari ambang lorong utama dan langsung memecah kebekuan situasi.
"Semuanya, kenalin, ini Jayden sahabat gueโeh saya."
"Jayden? Jayden Raespati, kan?" Shaka maju lebih dulu dan menatap Jayden lebih dekat. Terakhir kali Shaka melihat wajah Jayden adalah ketika dia mengintip photocard di tangan Damar, dan sekarang hanya berselang kurang dari dua minggu saja, Shaka menyaksikan Jayden yang asli di hadapannya!
Akan tetapi, cara Shaka memandang malah membuat Jayden malu sendiri. Kenapa anak ini punya mata besar dan tajam yang membuatnya seperti ditelanjangi bulat-bulat?
"I-iya. Halo, saya Jayden. Kamu siapa?"
"Saya Pandushaka." Shaka menjabat tangan Jayden dengan erat, lalu membiarkan pria itu menyalami Tsabita sambil menanyakan nama. Ihatra memperkenalkan sepasang saudara ini sebagai teman baru yang dikenalnya di desa Pinggala, dan reaksi Jaydenโseperti yang diperkirakan Ihatra sebelumnyaโmenatap mereka berdua dengan wajah setengah melongo setengah puas. Lirikan berikutnya pada Ihatra seolah berkata oh-dua-orang-ini-yang-lo-maksud?
Jayden menaruh koper dan barang bawaannya ke sofa terdekat, lalu menundukkan kepala dengan sopan di hadapan Tsabita dan Shaka. Dengan suara dalam dibuat-buat, berkata, "Saya sebagai perwakilan Ihatra memohon maaf sebesar-besarnya karena anak ini sering bikin ulah selama tinggal di Pinggala."
Tsabita mendengkus senyum geli sambil bertukar pandang dengan Shaka, lalu membalas, "Enggak ada yang perlu dimaafkan, kok. Kami baik-baik aja sama Mas Iyat."
"Kalian berdua yang waktu itu nolongin Iyat waktu tenggelam, kan?"
Tsabita mengangguk dengan canggung, dan Jayden menyungging senyum lebar. "Kalau enggak ada kalian, Iyat pasti udah jadi makanan buaya sama penyu. Makasih, ya."
Shaka tertawa, dan Ihatra hanya menggaruk kepala menanggapi kerandoman Jayden. Emangnya di sungai ada buaya dan penyu? Pria itu melirik koper besar milik sahabatnya, lalu langsung mengganti topik, "Lo buru-buru amat deh, Jay, datengnya. Gue belom nyiapin apa-apa buat nyambut lo."
"Kayak yang udah ahli nyambut tamu aja lo," kata Jayden yang celingukan sebentar, lalu melenggang masuk ke dapur utama yang berbatasan dengan ruang tamu. (Lagi-lagi) tanpa menunggu tawaran Ihatra, dia membuka lemari es dan mengambil sekotak sari buah dari sana. Ihatra tampaknya tidak peduli dengan kelancangan Jayden, malah dia tampak lebih lega karena sahabatnya itu sudah menganggap rumahnya seperti markas pribadinya sendiri.
"Lagi pula, Yat," kata Jayden sambil menuang minuman ke dalam gelas. "Gue itu khawatir sama lo. Habis dapat berita lo tenggelem, gue langsung hubungin manajer buat batalin beberapa jadwal. Pokoknya dalam waktu dekat gue harus ke sini buat mastiin lo baik-baik aja."
Ihatra tiba-tiba saja membeku seperti disihir. Dari ruang tamu, dia memandangi Jayden dengan raut terkejut.
Sementara Jayden yang melihat ekspresi itu langsung tertawa, "Napa muka lo?"
"Kok lo sembrono banget batalin jadwal? Itu kan kerjaan lo!"
"Enggak usah khawatir. Yang gue batalin bukan acara penting."
"Ya enggak gitulah, Jay," kata Ihatra dengan mencibir, "Lo ngapain sih sampai batalin jadwal demi gue? Padahal kan udah gue bilang enggak terjadi apa-apa."
"Enggak terjadi apa-apa pala lo peyang!" Jayden sudah hendak melayangkan gelas kosong ke kepala Ihatra, "Lo kan enggak punya siapa-siapa lagi, gimana gue bisa ngurangin rasa khawatir kalau denger lo kenapa-kenapa dikit?"
"Gue bakal bilang kalau gue butuh ditemenin," kata Ihatra.
"Dan lo selalu bilang kalau lo baik-baik aja."
"Ya emang bener," balas Ihara, agak jengkel. Kalimat berikutnya dilontarkan dengan dingin. "Gue selalu baik-baik aja."
Terjadi keheningan sejenak di tempat itu. Baik Ihatra maupun Jayden saling pandang dengan ekspresi kaku. Di sisi lain, Tsabita dan Shaka yang sejak tadi melihat interaksi mereka hanya bersikap kikuk, seolah-olah mereka seharusnya tidak ada di sini untuk mendengar semua isi percakapan. Shaka yang berdiri di dekat Tsabita berbisik lirih, "Mereka kok kayak pasangan yang lagi berantem sih, Mbak?"
Tsabita mencubit paha Shaka dan menyuruhnya diam.
Selepas beberapa saat, Jayden-lah yang terlebih dahulu mengendurkan emosinya. "Pokoknya ini keputusan gue buat dateng ke sini lebih awal. Toh gue juga pengin ambil libur lebih cepet, jadi lo enggak usah mikir tujuan gue dateng ke sini semata-mata buat lo doang."
Ihatra menyetujui pendapat itu, lalu seketika tersadar bahwa sejak tadi obrolan seriusnya ditonton gratis oleh Tsabita dan juga Shaka. Dia menatap keduanya dengan raut malu sekaligus cemas, "Eh, Mbak Bita dan Shaka, saya minta maaf kalau barusan bikin suasana tegang."
"Enggak papa, Mas." Tsabita tersenyum menenangkan. "Oh, ya. Kayaknya saya dan Shaka pulang aja, deh. Soalnya barusan Ibu minta kita buat cepet balik."
Shaka sepertinya terkejut dengan keputusan itu, tetapi dia tahu Tsabita sedang berusaha tidak terlalu ikut campur urusan orang di situasi begini. Akhirnya dia mendukung, "Iya, Mas. Kita harus pulang cepet."
"Ah, gitu ...." Ihatra melihat kantong plastik berisi seafood buatan Tsabita di atas konter dapur. "Padahal saya pengin makan itu sama kalian."
"Kapan-kapan aja, Mas," Tsabita berkata lembut, lalu tersenyum lebar. "Nanti saya buatin lagi pakai menu lain."
Ihatra tersipu mendengar kalimat manis itu.
Jayden yang tidak sengaja menangkap gelagat malu-malu Ihatra, diam-diam mendengkus puas, sukses membaca isi hati sahabatnya.
Halah, kampret. Ternyata lo suka sama fans sendiri.[]
-oOo-
.
.
.
Gemes banget sama interaksi Iyat ama Jayden awkwkwkwk. Semoga keromantisan mereka berdua enggak ngalahin romantisnya Iyat sama Tsabita, atau Tsabita sama Egar xixixe
Egar gimana ya btw... Ada yang kangen cowok satu itu enggak? ๐คฃ
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top