12. Mimpi Buruk Pertama
Tahu enggak sih? Aku jadi kebayang Ihatra Kama sebagai keluarga Weasley, karena rambutnya dicat tembaga ๐
Mungkin kalau main film, Ihatra cocok jadi Bill, abang tertuanya Ron yang paling cakep
-oOo-
PUKUL delapan, bunyi batuk-batuk knalpot dari vespa tua Shaka terdengar dari luar kebun rumah Ihatra. Pria itu turun dari vespa, sementara Shaka mendongak menatap hamparan halaman hijau yang dikelilingi kebun bunga. Dari balik jeruji pagar yang tinggi, rumah berlantai dua yang berada di tengah-tengah kebun itu amat benderang melawan kegelapan malam.
"Rumahnya Mas Iyat bagus, ya ...." Shaka tanpa sadar bergumam.
"Mau mampir dulu?"
Rasanya Shaka terkena serangan jantung saat mendengar kalimat itu. Dia melotot pada Ihatra sambil memegangi dadanya. "Mas serius ngajakin saya masuk ke sana?"
Reaksi berlebihan itu mengundang kekehan tawa dari Ihatra. "Ya kalau mau, ayo."
Shaka nyengir senang, tetapi kemudian rautnya menekuk muram. "Enggak, deh. Udah malem. Mas Iyat kan harus istirahat. Tapi kalau kapan-kapan ke sini, boleh enggak?"
"Boleh."
"Bentar, Mas." Shaka turun dari vespa, dengan gegabah dan agak panik memeriksa saku jaketnya, lalu menarik ponsel dari salah satu kantong. "Saya boleh minta nomornya Mas Iyat, enggak? Janji, enggak bakal saya sebar! Nanti kalau mau mampir, saya kirim pesan WA dulu, supaya enggak ngerepotin Mas Iyat."
Ihatra terdiam menimbang-nimbang, tetapi akhirnya mengiyakan. Dia mengambil ponsel Shaka lalu mengetikkan nomornya di sana, menyimpannya dengan nama "Iyat" lalu memberikannya lagi. Tangan Shaka agak gemetar ketika menerimanya kembali.
"Ya ampun, aku punya nomornya artis di hapeku .... makasih banyak ya, Mas!"
"Kamu udah nyelamatin saya tadi sore. Saya yang berutang sama kamu, Shak."
Mendengar hal itu, Shaka buru-buru menggeleng sambil berkata, "Sebenarnya ... yang nyelamatin Mas Iyat tuh Mbak Bita. Saya cuma bantu naikin Mas ke tepi sungai."
Ihatra mengangkat alis. "Maksudnya?"
"Yang nyari ke dalam sungai dan ngasih napas buatan itu Mbak Bita. Tadi saya kayaknya belum cerita, ya, Mas? Hehe, maaf, ya." Shaka menggaruk telinganya dengan kikuk, sementara Ihatra yang mendengar kenyataan tersebut langsung merasa mulas, seakan ada sesuatu yang menyala di perutnya.
Barangkali itu perasaan karena terbakar malu, sebab seumur hidup, Ihatra tidak pernah sungguh-sungguh berciuman bibir dengan wanita.
-oOo-
Malam itu Ihatra tidak bisa tidur.
Dia berbaring terjaga di kamar sambil berpikir-pikir lagi, menyusun peristiwa selama beberapa jam belakangan yang membuat kepalanya pening dan hatinya berdebar karena dicabik emosi campur aduk. Semuanya terjadi begitu saja. Ihatra merasa malu karena telah tenggelam secara konyol di sungai, merasa tidak enak karena sudah ditolong, merasa hatinya menghangat saat mengetahui bahwa upaya penolongan itu berwujud ciuman napas buatan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Ihatra menyentuhkan jari pada bibir, mengusapnya dengan tekanan yang lembut.
Selain Jayden, tidak ada yang tahu bahwa selama ini Ihatra punya masalah dalam hubungan percintaan. Walau dikenal sebagai artis yang memikat, Ihatra tidak pernah benar-benar berpengalaman bila berurusan dengan perempuan. Sahabatnya Jayden Raespati sebenarnya sudah sering memberinya wejangan atau bahkan kesempatan untuk bisa berkencan dengan orang-orang pilihannya. Namun, Ihatra selalu gagal karena merasa tidak bisa menempatkan diri sebagai pasangan yang baik.
Sebagian besar hubungannya kandas karena Ihatra dinilai sebagai pria yang tidak mengerti bagaimana cara memperlakukan wanita. Dia pernah mendiskusikan masalah ini dengan Jayden, tetapi menurutnya sahabatnya itu tidak begitu ahli memberikan solusi.
"Lo itu orang paling enggak peka yang pernah gue kenal," kata Jayden kepadanya. Ihatra masih ingat bagaimana raut Jayden menatapnya kala itu. Itu adalah tatapan jengkel penuh semburan kebingungan. "Gue kan udah bilang, Yat. Kalau lo suka sama cewek, perlihatkan terang-terangan. Tunjukkan rasa cinta lo. Kasih ciuman kek, bilang dia cantik, bilang kalau dia bikin hawa nafsu lo naik, terus ajak tidur bareng."
"Mulut lo gue tabok, ya!" Ihatra pura-pura melempar tinju, tetapi Jayden melengos dengan mudah.
"Lo itu enggak tinggal di tahun delapan puluhan, zaman waktu para cowok nyatain perasaan ke cewek pakai surat berisi puisi panjang dan beraninya kissing di malam pertama pernikahan yang syahdu. Cewek-cewek sekarang sukanya di-treat like a princess, to be worshiped like a queen's crown. Mereka suka hubungan itu dipamerkan di depan khalayak, apalagi kalau cowoknya lo."
"Emang kenapa kalau cowoknya gue?"
"Enggak usah sok naif, dasar celengan babi." Jayden memukul lengan Ihatra dengan main-main. "Emang siapa yang enggak pengin kencan sama lo? Coba sono nongolin batang hidung di depan sekolah anak SMA, belom lima menit lo pasti remuk jadi kejaran cewek-cewek puber."
"Ya enggak sampai gitu kali," Ihatra membuang napas.
"Kan belom dicoba," kata Jayden. "Lagian lo itu ... aduh, gimana ya bilangnya? Lo emang kagak nafsu sama cewek apa gimana, sih? Kenapa semua cewek yang kencan sama lo kritiknya selalu sama?"
"Iya, iya, gue enggak kayak lo yang kelihatan tulus banget kalau cinta sama cewek," Ihatra berkata ogah-ogahan. "Gue rasa itu emang cara gue dalam berhubungan. Cinta kan enggak perlu ditunjukkan terang-terangan ke khalayak luas, karena menurut gue hubungan kayak gitu sifatnya privasi. Asal lo tahu aja, pas kencan gue orangnya so sweet kok. Gue layanin cewek gue sepenuh hati, memastikan dia aman dan terlindungi."
"Eh, lo itu pacar mereka, bukan bodyguard mereka!" Jayden menyembur marah. "Emang sinting nih orang. Lo enggak punya ambisi buat bucin ke mereka apa?"
"Bucin? Ngapain? Gue bukan bocah SMA."
"Terus gaya pacaran lo kayak gimana? Lo cuma ngajakin mereka makan dan ngobrol doang gitu? Enggak ada ... kissing, at least? Cuddle?"
Ihatra diam saja, dan Jayden langsung menepuk kening. "Astagfirullah."
"Gaya lo pake istigfar, padahal dari tadi lo ngajarin gue buat zina!" Ihatra menoyor kening Jayden sampai kepala pria itu terlempar ke belakang.
"Kan lo udah dewasa, Yat. Umur lo udah dua tujuh."
"Dua empat!"
"Ya terserah!" Jayden saat itu hanya menggeleng-geleng tidak habis pikir. Percakapaan itu lantas tidak menemukan ujung karena Ihatra terlalu bodoh mengenali kesalahannya, sementara Jayden terlalu tidak sabaran (semuanya saling melempar lontaran protes dan makian).
Ah, bego banget gue, batin Ihatra di balik selimut. Dia bergelung ke samping dan mengeratkan selimutnya agar menutupi sampai puncak kepala. Jangankan menghadapi cewek, menghadapi sahabatnya saja dia tidak bisa.
Di tengah-tengah perasaan jengkel dan tidak terima yang melanda benaknya, tahu-tahu pikiran Ihatra terisi dengan kabut kecemasan ketika mengingat-ingat bagaimana wajah Tsabita saat dia tidak sengaja keceplosan bahwa dirinya seorang pembunuh.
Iya juga. Yang tadi itu nyaris aja.
Saat melihat ekspresi Tsabita yang terkejut, Ihatra langsung memutus panggilan dari Jayden dan berdiri dari kursi. Dia berusaha menjelaskan bahwa kata-katanya tadi memiliki maksud yang tidak bisa dia utarakan (karena sakit pilunya selalu terasa apabila Ihatra mengingat-ingatnya). Sebagai gantinya, Ihatra menjelaskan pada Tsabita bahwa dia tidak seperti yang wanita itu pikirkan. "Itu cuma kiasan aja, Mbak. Bukan sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi."
Walau sudah berusaha membela diri, Ihatra masih tidak bisa melupakan raut Tsabita.
"Saya percaya sama Mas Iyat, kok. Tenang aja."
Namun, ekspresinya saat itu kelihatan tidak nyaman dan dipenuhi lapisan kecurigaan.
Oh, memikirkan ini membuat perutnya tambah mulas dan dadanya sakit. Ihatra merunduk seperti janin di atas kasur. Peristiwa yang dilaluinya sontak terasa seperti batu karang yang dihantam ombak. Sakit, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengurangi rasa sakitnya.
Malam itu, Ihatra tertidur dengan perasaan campur aduk.
-oOo-
Mimpi itu membawa Ihatra kembali dalam nestapa masa kecil yang tidak terlupakan.
Duduk meringkuk di sebuah ruang sempit, dia menangis tersedu-sedu. Tangannya yang belepotan tanah dan lecet-lecet berdarah Ihatra lingkarkan di kakinya yang menekuk. Gemetaran dan merasa tidak aman, Ihatra bisa merasakan napasnya sendiri yang dingin.
"Tolong," pintanya, tetapi tidak pernah ada yang menjawab.
Ihatra tidak tahu mengapa dia berada di tempat ini. Mungkin ini adalah salah satu permainan atau salah satu hukuman yang pernah dijalaninya dulu. Sekujur tubuhnya pegal dan kesemutan. Dia bisa merasakan dinding-dinding di sampingnya mengapitnya seolah Ihatra adalah seonggok mainan yang dijejalkan ke dalam kotak sempit. Napasnya terengah akibat terlalu banyak menangis, tetapi sejak tadi tidak ada yang menggapainya.
Suara ketukan, keriat kayu yang dibuka. Seberkas cahaya masuk dari celah di sampingnya. Ihatra mendongak dan melihat dengan sebelah mata memejam karena silau.
Akhirnya ada yang nolong. Akhirnya ada yang berhasil nemuin tempat persembunyian ini. Dalam hati Ihatra melambung lega dan begitu senang. Dia mengulurkan tangan mungilnya untuk membuka pintu lebih lebar. Tepat saat udara hangat menyapu pipinya, teriakan melengking justru terdengar;
"TERNYATA KAMU DI SITU, ANAK NAKAL!"
Ihatra tersentak dan membuka mata.
Bangkit dengan panik dari ranjang, Ihatra menunduk sambil mengusap wajah dengan kalut. Keringat bercucuran di leher dan pelipisnya. Napasnya memburu akibat mimpi buruk. Dia melihat dalam cahaya remang kamarnyaโagak linglung. Mimpi buruk itu memakannya lagi dari dalam, mengingatkannya pada potongan kenangan yang pernah dialaminya dulu. Tempat persembunyian. Teriakan. Darah. Tanah. Keempat hal itu belakangan ini selalu menerornya.
Jantungnya bertalu-talu, sementara rasa panik membuatnya gamang. Dengan tangan gemetar, Ihatra membuka laci nakas di samping tempat tidur dan mengambil sebuah tabung kecil berisi tablet obat, memutar tutupnya, menuangkan sebutir di telapaknya. Dia menyambar sebotol air yang selalu disediakan di sana dan langsung meminum obat tersebut dalam beberapa detik saja. Setelah beberapa saat, kepalanya terasa ringan. Ihatra menyugar rambut lembabnya ke belakang. Dia mendongak. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 pagi.
Setelah berminggu-minggu bisa tidur nyenyak, kenapa harus sekarang? Sambil bertanya-tanya, pria itu melorot kembali ke kasur dan menyelimuti dirinya dengan selimut. Sembari menunggu kantuk datang lagi, membayangkan kembali tentang mimpi yang dialaminya. Ihatra tidak pernah akrab dengan sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya. Siksaan batin dan pikiran yang membentuk kepribadiannya, memagari kehidupannya ke dalam masa-masa tragis seorang diri.
Tenang, tenang, tenang, batinnya. Yang penting sekarang semuanya udah berlalu.
Bersamaan dengan detik jam yang bergeser, perlahan-lahan kantuk menyeret Ihatra ke alam tidur yang tenang tanpa mimpi.[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Sesuai trope novel ini: "Dude with a problem", Ihatra Kama bakalan jadi karakter cowok berikutnya yang penuh trauma, ngahahahahahahhaa ๐
Btw kalian lebih suka mana?
A. Alur angst ending happy
B. Alur happy ending angst
C. Alur terserah ending terserah
D. Preferensi lain?
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top