11. Pembunuh yang Bersembunyi

Met core, cayaankk. Jangan lupa vote di cerita ini 😆🫶

-oOo-

IHATRA kira dia akan segera minggat dari rumah ini selepas mengucapkan terima kasih kepada keluarga Tsabita, tetapi rupanya mereka malah mengajak pria itu makan malam. Dan karena Shaka memberinya ratapan penuh pengharapan, Ihatra yang hatinya lemah melihat kemalangan di wajah anak SMA itu akhirnya menyambut undangan makan malam dengan senang hati.

Pukul setengah tujuh, setelah semua orang menyelesaikan ibadah, mereka berkumpul di meja makan yang sudah dipenuhi makanan laut. Mereka makan dengan tenang. Tidak ada yang menghujani Ihatra dengan pertanyaan tentang siapa dia atau apa yang dia lakukan di kota asalnya. Tidak pula ada yang bercerita panjang lebar tentang seluk beluk perkampungan Pinggala yang harus Ihatra akui kadang membuat kupingnya lelah. Dia toh sudah tahu bahwa kawasan ini memang indah, dan lebih suka bila orang lain tidak mengaturnya secara berlebihan untuk datang ke tempat ini dan itu.

Dari sesi makan malam, Ihatra juga menjadi lebih kenal dengan keluarga Tsabita. Bu Nilam rupanya adalah kepala keluarga di rumah ini; wanita berperawakan ramping dan berwajah ramah―senyumnya mirip Shaka. Terkadang Ihatra menangkap basah Bu Nilam sedang menatapnya dengan sorot ingin tahu. Barangkali Bu Nilam memang penasaran tentangnya, hanya saja tidak berani untuk menanyakan langsung, atau memang memilih membiarkan Ihatra menjelaskan sendiri―yang tentu saja tidak akan sudi Ihatra lakukan.

"Di sini kami cuma tinggal bertiga," kata Bu Nilam sembari membereskan piring dan gelas yang sudah selesai digunakan. Sementara Ihatra membantu membersihkan permukaan meja makan dengan kain lap (sebelumnya Shaka sudah membujuknya agar tidak perlu melakukan apa-apa, tetapi pria itu menolak). "Cuma ada saya, Shaka, dan Tsabita. Kalau pagi sampai sore biasanya rumah sepi karena anak-anak pada keluar. Satunya jaga toko, satunya lagi sekolah."

Ihatra teringat foto seorang pria berpostur kekar yang dilihatnya di kamar Shaka, dan baru sadar bahwa sejak tadi dia tidak melihat pria itu di mana-mana. Belum sempat Ihatra bertanya, Bu Nilam tiba-tiba menghampirinya dan mengambil kain lap dari tangan Ihatra. "Makasih ya, Yat, karena sudah makan malam di sini. Sudah lama banget rumah kami enggak kedatangan tamu dari luar."

"Saya yang seharusnya terima kasih, Bu." Lalu Ihatra tidak enak sendiri karena Bu Nilam malah meneruskan pekerjaan melap meja. Jangan-jangan ibu ini kesel karena ngelihat gue enggak becus beres-beres?

"Yat," Bu Nilam mendongak pada Iyat. "Kamu istirahat aja. Kakimu kan masih sakit. Nanti Ibu panggilin tukang urut, biar besok orangnya datang ke rumahmu."

"Jangan, Bu―maksudnya enggak usah!" Ihatra tampak panik.

"Loh, kenapa? Kamu enggak biasa dipijat?"

"Saya gelian orangnya." Ihatra nyengir tipis sambil menggaruk leher. Bu Nilam akhirnya mengiyakan alasan itu dan menyuruh Ihatra untuk istirahat lagi di dalam kamar. Namun, Ihatra ogah rebahan di kamar milik orang lain. Sebagai gantinya, dia celingukan di sekitar rumah dan bertanya, "Ngomong-ngomong Shaka sama Mbak Bita ke mana, Bu?"

"Shaka barusan saya suruh beli gula di warung. Kalau Tsabita, tuh ... dia di luar, lagi ngurusin anak-anaknya."

Anak-anak? Ihatra menatap pintu yang dibuka lebar. Dari tempatnya berdiri, tampak Tsabita yang sedang membungkuk menghadap langkan beton yang mengelilingi serambi rumah. Ihatra perlu membicarakan sesuatu dengan Tsabita, jadi dia meninggalkan Bu Nilam dan menghampiri wanita itu dengan langkah yang masih pincang.

Dia mengejutkan Tsabita ketika tiba-tiba muncul dari belakang.

"Eh, Mas Iyat!" seru Tsabita. Gunting di tangannya jatuh ke ubin lantai sehingga Ihatra buru-buru memungut dan mengembalikannya. Pria itu melihat deretan mungil tanaman kaktus dan bonsai yang dipajang di atas langkan, seketika menyadari bahwa benda-benda inilah yang dijuluki Bu Nilam sebagai anak-anak Tsabita.

"Mbak," Ihatra berdeham kecil, "saya mau bicara sebentar."

"Iya, kenapa, Mas?" Wanita itu meletakkan gunting yang tadinya dipakai untuk merapikan tanaman di atas langkan, lalu berputar menghadap Ihatra.

"Saya ... saya mau minta maaf soal tadi."

Tsabita terdiam sebentar. Dia tahu apa yang sedang dibicarakan Ihatra. Pasti soal bentakannya di kamar Shaka tadi sore. Akan tetapi wanita itu berpura-pura kurang peka karena tidak tega membuat Ihatra kepikiran tentang kesalahannya. Jadi dia bertanya, "Soal tadi yang mana, Mas?"

"Tadi di kamar Shaka ... saya ngomong ke Mbak Bita pakai nada tinggi," Ihatra berkata lirih sambil berusaha menatap mata Tsabita yang tampak sayu di bawah sinar lampu teras. Pria itu menjelaskan lebih banyak, "Tadi itu saya kelepasan, jadinya enggak sengaja bentak. Saya sebetulnya enggak marah sama Mbak, kok. Maaf, ya."

"Oh, yang itu." Tsabita tertawa kecil, merasa tersentuh melihat kesungguhan Ihatra. "Iya, enggak papa. Saya tahu Mas Iyat lagi enggak enak badan. Tadi kan Mas basah kuyup, kakinya sakit, ditambah lagi lemas gara-gara habis tenggelam. Siapa pun pasti perlu waktu buat istirahat. Yang penting sekarang Mas enggak papa, kan?"

"Udah baik kok, Mbak. Palingan besok bisa jalan kayak biasa."

"Syukur, deh. Saya takut kalau Mas kenapa-kenapa."

Ihatra biasanya tidak begitu suka bila ada orang yang terlalu khawatir kepadanya, tetapi ketika mendengar Tsabita yang menyatakan keprihatinan itu, entah bagaimana dia merasa sumbat kecil dalam perutnya tertarik lepas. Ada gelombang asing yang membanjiri rongga tubuhnya. Sensasi itu anehnya terasa menyenangkan. Entah apakah ini perasaan lega karena permintaan maafnya diterima, ataukah justru hal lain.

Setelah obrolan singkat itu, Tsabita kembali berputar menghadap tanamannya dan memunguti daun-daun kering yang berjatuhan di sekitar pot. Ihatra melangkah lebih dekat dan bertanya lagi, "Mbak suka tanaman, ya?"

"Hal favorit ketiga setelah buku dan menyulam," balasnya tanpa menatap Ihatra.

"Banyak juga hobinya."

"Kalau Mas hobinya apa?"

"Mm ...." Ihatra menggosok-gosok dagu sambil berpikir. "Saya suka melukis, fotografi, dan bikin lagu."

"Sendirinya hobinya juga banyak!" Tsabita mendadak berputar menghadap Ihatra, yang langsung melengoskan pandangan dari wajah wanita itu lantaran posisi mereka terlalu dekat.

Tsabita yang terlalu santai dengan sikap kikuk Ihatra langsung melanjutkan obrolannya, "Mas kayaknya condong ke seni, ya. Hobinya artistik banget. Kapan-kapan saya mau lihat hasil karya lukis dan fotografinya Mas Iyat, boleh?"

"Nanti saya lihatin kalau sempat. Saya juga mau ngelihat hasil sulaman Mbak. Boleh?"

"Makrame yang dibeli Mas Iyat waktu pertama kali dateng ke toko kami, itu saya yang bikin."

"Serius, Mbak? Jadi semua yang dipajang di toko itu bikinannya Mbak Bita?"

"Iya. Ada makrame dan beberapa aksesoris seperti kalung dari manik-manik dan gelang rajut. Saya bikin semua itu kalau lagi senggang. Shaka juga bikin, sih. Tapi sama dia dipakai sendiri, bukannya dijual."

Ihatra mengangguk paham, merasa terkejut sekaligus terkesan. Makrame yang dibelinya dari Tsabita selalu terpajang indah di kamarnya, dan Ihatra memang suka menatap hiasan itu bila sedang melamun. Aneh sekali baru mendengar informasi penting itu sekarang.

Saat mereka masih berdiri di teras, Shaka tiba-tiba muncul dari arah pintu gerbang sambil menenteng plastik hitam berisi gula. Anak itu berlari kecil menghampiri Tsabita dan Shaka.

"Mas Iyat, maaf nunggu lama. Mas mau pulang kan, ya? Bentar lagi aku anterin."

Ihatra mengangguk, walaupun sebetulnya sejak tadi dia betah mengobrol dengan Tsabita.

"Bentar, ya. Aku ke dapur dulu buat naruh gula," lalu Shaka berlari ke dalam rumah.

Tsabita menawari Ihatra untuk duduk. Pria itu mengiyakan saat wanita itu pamit ke kamar mandi sebentar untuk mencuci tangan. Kini tinggalah Ihatra seorang diri di teras, duduk santai di kursi rotan sambil menatap langit gelap yang tampak syahdu. Di tengah suasana sepi itu, tiba-tiba ponsel Ihatra berbunyi. Jayden meneleponnya.

"Sayangku, kamu lagi ngapain?" Kalimat pertama dari Jayden membuat Ihatra siap muntah di wajah anak itu.

"Apaan sih lo," katanya.

"Dih, gitu aja ngambek," Jayden tertawa. "Eh, gue tadi mimpi lo Yat. Makanya nelepon."

"Random banget pake mimpiin gue segala. Kangen lo?"

"Lo enggak mau nanya gitu mimpi gue tentang apa?"

Ihatra menggaruk-garuk pipinya yang gatal karena gigitan nyamuk. "Mimpi apa?"

"Gue mimpi lo jadi odol. Terus sama gue, pala lo gue pencet-pencet sampai keluar odolnya."

Ihatra tertawa mendengar Jayden, walaupun sebenarnya dia tidak tahu bagian mana dari cerita itu yang lucu. Biasanya dia tidak begitu mempan dengan humor garing, tetapi ini Jayden, sahabatnya yang kalau diam saja kadang sudah mengundang tawa. Apalagi kalau mencoba melawak. Pada intinya, bunyi cekikikan Ihatra membuat Jayden di seberang telepon merasa puas. Pria itu melanjutkan lagi, "Itu mimpi yang pertama, Yat. Gue mimpi lo dua kali. Yang kedua ini agak serem."

"Oke, gue jadi apa di mimpi kedua lo?" Ihatra sudah menyiapkan diri untuk tertawa.

"Gue mimpi lo minta tolong," kata Jayden.

Setelah itu obrolan mereka terjeda lama.

"Minta tolong?" Ihatra mengusap-usap bibirnya karena tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

"Iya. Lo minta tolong, tapi gue enggak tahu lo ada di mana. Terus gue bangun dan langsung kepikiran sama lo. Kerjaan gue baru aja kelar, jadi gue baru bisa hubungin lo sekarang buat tanya keadaan lo."

"Yah, kok suasananya jadi serius gini sih, Jay?"

"Gue sebagai sahabat lo lagi khawatir, ye. Jangan buang mentah-mentah rasa perhatian gue dong, Yat. Lo lagi di mana sekarang?"

"Mm ... di rumah Tsabita."

"Ha, siapa tuh?"

"Lo inget tempo lalu gue sempat cerita kalau gue ketemu orang yang ngaku penggemar, kan? Nah, Tsabita ini saudaranya Shaka, orang yang ngaku suka sama lagu gue."

"Lah, lah," Suara Jayden naik, menunjukkan rasa penasaran. "Kok sekarang lo udah ada di rumah cewek? Lo ngapain di sana?"

Ihatra mencubit-cubit kain celana di bagian paha, menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan kejadian tadi kepada Jayden atau tidak. Setelah itu, dia akhirnya berkata, "Bukan apa-apa, kok. Tadi ada kecelakaan kecil pas gue main di sungai sama Tsabita dan Shaka, terus gue mampir ke rumah mereka buat ganti pakaian."

"Ganti pakaian? Sungai?" Nada Jayden berubah curiga. "Lo ... lo kenapa, Yat? Ada kecelakaan apa?"

"Gue hampir tenggelem," kata Ihatra cepat. "Tapi gue enggak papa. Sekarang gue udah siap pulang dan―"

"LO APA? TENGGELEM?"

Suara itu melecut seperti cemeti. Secara spontan Ihatra menjauhkan ponsel dari telinganya. Masih terdengar Jayden menggebu-gebu, "Sumpah, ya! Makanya dari tadi perasaan gue enggak enak, sampai mimpi kayak gitu tentang lo! Ternyata emang ada apa-apa, kan!"

"Jay, gue enggak papa. Gue udah ditolong sama mereka berdua," Ihatra menjadi agak menyesal karena sudah bercerita hal itu pada sahabatnya. Seharusnya tadi dia beralasan hal lain saja.

Sambil mendengarkan Jayden yang belum berhenti mengoceh, Ihatra menarik napas dalam-dalam, sekali saja menoleh ke belakang pintu untuk memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya. Akhirnya dia berkata untuk mencairkan suasana, "Gue harus akuin kalau mimpi lo kali ini cukup mengerikan. Ajaib. Waktu di dalam sungai tadi gue emang sempat minta tolong. Mungkin lo berbakat jadi cenayang, Jay. Hahaha."

"Enggak lucu, Yat." Jayden membalas ketus. "Gue khawatir sama lo. Gimana kalau lo mati?"

"Yaelah, semua orang juga bisa mati kapan aja, enggak harus disebabkan tenggelam."

"Bukan itu poin gue!"

"Gue tahu, gue tahu." Ihatra memijat tengah keningnya. "Sorry."

"Lo itu kenapa sampai bisa tenggelem?"

"Kaki gue kram karena lupa pemanasan. Ceroboh satu kali itu doang."

"Dari dulu lo itu emang ceroboh. Lo suka melakukan hal-hal yang berbahaya."

Ihatra tersenyum, tanpa sadar mengingat masa-masa bandelnya bersama Jayden ketika sama-sama duduk di bangku SMA dulu. Jayden yang perusuh, Ihatra yang nekat. Masih segar di ingatannya ketika mereka menyelundup masuk ke sekolah larut malam karena ingin berenang di kolam sekolah, tetapi usaha mereka ketahuan guru pengawas sehingga keduanya mendapat surat peringatan dan detensi.

"Btw, Yat," kata Jayden. "Kok lo bisa ketemu lagi sama orang yang ngaku jadi penggemar lo? Lo enggak waspada atau takut gitu sama dia?"

"Awalnya sih gitu. Tapi ternyata mereka asli baik, kok."

"Apa mereka tahu ... soal lo ...." Jayden menjeda kata-katanya untuk memikirkan kata yang pas.

"Tentang masalah gue?"

"Iya."

"Enggak, mereka belom tahu," kata Ihatra, lalu pelan-pelan tengadah memandang langit yang diisi bintang-bintang. "Tapi gue takut, Jay. Gue takut lihat reaksi mereka saat tahu kalau gue ini pembunuh."

Selepas kata-kata itu, terdengar bunyi sentakan napas seseorang dari belakangnya. Ihatra langsung menarik ponsel dari telinganya dan berbalik.

Tsabita sedang berdiri di ambang pintu dengan raut terkejut.[]

-oOo-

.

.

.

Waduh, waduh, belum-belum udah ke-spill duluan bang 🙂

Menurut kalian gimana reaksi Tsabita?

A. Untungnya dia enggak denger
B. Pura-pura enggak denger
C. Langsung nanyain tanpa babibu
D. Jawaban lain

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top