10. Anjing yang Terluka
-oOo-
IHATRA tidak bisa merasakan kakinya, tidak pula dengan air sungai yang menyelimuti dirinya. Satu-satunya yang dia rasakan hanyalah ingatan traumatis yang merobek pikirannya.
Dia pernah berada dalam fase kematian―saat nyawanya hendak terlepas dari tubuh. Semua memori semasa hidupnya membanjiri pikirannya, seperti keran air yang dibuka. Mengalir begitu deras dan membuatnya tersadar tentang arti hidup sesungguhnya. Memori saat dia masih bayi, anak-anak, remaja, dan tumbuh dewasa. Hal-hal menyedihkan dan menyenangkan yang dia lalui, meletup-letup di belantara hati dan jiwanya bagai kembang yang mekar. Saat dia menyadari betapa rindu dirinya dengan kenangan itu, Ihatra tahu sudah terlambat baginya untuk kembali ke masa lalu.
Ihatra pikir, saat itu dia hampir mati.
Waktunya sudah habis, kata suara di dalam kepalanya.
Dia tidak pernah tahu suara siapa itu, menggema bagai dering suar yang diledakkan di tengah-tengah kehampaan pikirannya. Yang Ihatra lihat hanyalah potongan film tentang masa hidupnya yang diputar kembali―masa kecil yang paling mengiris hatinya dengan luapan penyesalan yang besar, memahat kepribadiannya, membentuk trauma dalam kepalanya, menciptakan dinding tebal yang memagari hidupnya.
Apakah ... saat akhirnya terbebas dari semua itu, hidupnya akan berakhir begitu saja?
Jauh di dasar jurang, terjepit di dalam mobil yang remuk, dadanya kembang-kempis memasok udara. Ihatra menjulurkan tangan di antara asap tebal dan bau mesin serta darah yang menyengat. Ujung-ujung jemari mengacung dalam kegelapan malam dan langit yang diisi bintang-bintang.
Dalam waktu yang sempit itu, merenung.
Tidak ada yang menolongnya. Tidak akan ada sisa waktu lagi untuknya.
Ihatra meminta putus asa;
Siapa pun, tolong.
-oOo-
Setelah mendengar teriakan Shaka, Tsabita tidak ingat apa yang dipikirkannya selain spontanitas menyelam ke dalam sungai. Dalam rengkuhan air yang hangat, dia mengayunkan tangan untuk menukik maju, membelah arus dan menuju jauh ke bawah. Tsabita mencari Ihatra dan menemukannya melayang di tengah-tengah kedalaman air. Dia melihat tangan pria itu terentang bagai seseorang yang hendak menggapai langit. Melolongkan pertolongan, mencari yang terlepas darinya.
Tsabita meraih tangan Ihatra.
Kemudian, proses penyelamatan itu terjadi dalam sekejap mata. Shaka menyambar lengan Tsabita dan menariknya ke permukaan, bersama Ihatra yang jatuh tidak sadarkan diri. Mereka merebahkan tubuhnya di pinggir sungai. Shaka menekan-nekan dadanya agar kembali memompa udara, tetapi tidak berhasil. Ihatra masih memejamkan mata dan tidak terlihat tanda-tanda apa pun untuk terbangun.
"Mbak, gimana ini?"
"Minggir," Tsabita meraih Ihatra dan memberinya napas buatan.
Setelah beberapa saat, tindakan penyelamatan itu berhasil. Ihatra sedikit tersentak, kemudian memuntahkan air di sisi tebing sambil terbatuk-batuk. Tsabita mengangkat punggung Ihatra dan menepuk-nepuk tengkuknya.
"Muntahin semuanya, Mas," katanya, sementara Shaka sudah terduduk lemas melihat situasi itu.
Setelah pandangannya jernih, Ihatra mengangkat kepala dan melihat Tsabita, dengan mata merah dan berair, memandang cemas padanya.
"Bita."
"Mas enggak papa?" tanya Tsabita dengan agak panik. Dia menyuruh Ihatra untuk berbaring, kemudian tanpa menunggu penjelasan, gadis itu meraih kaki Ihatra. "Pasti kram, iya, kan? Mungkin karena Mas belum terbiasa berenang."
Ihatra tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengernyit menahan sakit selagi gadis itu memijat kakinya pelan-pelan. Badannya terasa berat, kaki dan perutnya sakit, dan kepalanya pening. Ihatra berjuang untuk mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu. Dia mendarat di sebuah dataran licin dan terpeleset ke ceruk yang lebih dalam. Saat ingin berenang ke permukaan, tahu-tahu kakinya kaku. Tubuhnya terseret arus yang menekannya ke bawah. Kepanikan merajam Ihatra, mendorong dirinya dalam keputusasaan bahwa dia tidak akan bisa keluar dari kedalaman sungai.
Dalam sekali waktu, saat kesadarannya tersapu, Ihatra seketika melupakan semuanya; seperti kembali ke masa kecelakaan itu, dia melihat potongan masa hidupnya yang dulu ... hidup dalam trauma dan rasa takut yang mengancam ... menatap deretan foto anak-anak korban kecelakan ... diderai air mata dan semburan sumpah serapah dari para orang tua korban ....
Ihatra pikir dia akan mati.
"Mas Iyat," kata sebuah suara. Ihatra berpaling ke sisi kanan dan melihat Shaka, dengan ekspresi seperti mau menangis, mengeluh padanya, "Saya pikir Mas enggak bakal bangun ... saya pikir tadi ... Mas meninggal ...."
Ihatra menyentuh tangan Shaka, dan tiba-tiba merasa malu. Kenapa dia harus mengalami insiden seperti ini di depan dua orang asing?
"Saya enggak papa, tadi saya yang ceroboh."
"Kok bisa tenggelam, Mas? Tadi Mas inget enggak kejadiannya?" tanya Tsabita.
"Saya kepeleset dan enggak tahu kalau nyebur di tempat yang dalam. Waktu mau naik ke atas, tiba-tiba kaki kram ...."
"KAN! Tadi aku bilang kamu enggak usah ngajakin ke tempat ini!" Tsabita tiba-tiba membentak Shaka, membuat anak itu merengut bersalah. Saat Tsabita masih sibuk memijat kakinya, Ihatra merasakan sakit di tempat yang sama saat dia mendapat jahitan, lalu mendesis.
Tsabita, tampak kaget dan panik, berkata, "Eh, mana yang sakit, Mas?"
"Enggak, enggak," kata Ihatra, yang cepat-cepat menarik kakinya dari Tsabita. "Saya udah enggak kram, tapi ...."
"Keseleo, ya?"
Tsabita memeriksa pergelangan kaki Ihatra baik-baik dan melihat garis bekas jahitan yang belum sepenuhnya pudar. Dia belum ingin bertanya tentang hal itu karena kecurigaannya tersorot pada hal lain. Tsabita menekan lembut bagian atas tumit Ihatra dan mendapat reaksi sentakan kecil.
"Ini agak bengkak. Mungkin tadi keseleo waktu Mas kepeleset tadi."
Kemudian, Tsabita membantunya duduk, meminjamkan bahunya untuk disandari kepala Ihatra. Jantung pria itu masih berdebar-debar karena syok dan serangan panik yang dia rasakan di dalam air tadi.
"Mas Iyat, maafin saya," kata Shaka dengan nada menyesal.
Ihatra menggeleng, merasa amat tidak layak mendapat tatapan penyesalan dari Shaka. Bayang-bayang memori saat dirinya berada di gedung pengadilan membuatnya lebih hancur lagi. Dia telah terbiasa dihujani tatapan marah dan kecewa dari orang-orang, sehingga mendapat perhatian lembut seperti ini malah terasa asing dan aneh.
"Mas Iyat, bisa jalan enggak?" tanya Tsabita.
Ihatra berusaha bangkit, tetapi kakinya yang keseleo membuatnya hanya mampu melangkah pincang. Akhirnya Shaka membujuknya, "Sini saya gendong. Naik ke punggung."
"Saya bisa jalan sendiri."
"Udah naik aja, Mas. Daripada nanti keseleonya tambah parah."
Ihatra terpaksa menurut. Shaka membalikkan badan dan menyuruhnya naik ke punggung. Ketika sudah menempelkan pipi di bahu Shaka yang telanjang, Ihatra mendengar suara cemas Tsabita yang berkata pada adiknya;
"Bawa ke rumah kita dulu, Shak."
-oOo-
Rumah Tsabita dan Shaka bagai sebuah pondok penginapan di tengah hutan. Tersembunyi di balik bayang pepohonan, halaman mereka begitu rindang dengan semak-semak yang batangnya menjalari dinding pagar bercat putih. Bunga-bunga kuning dan ungu menyembul dari sana, bersama serbuan gesekan sayap serangga dan cuitan burung yang menganyam sarang di bilik ranting, sepasang saudara itu bagai hidup di tengah orkestra alam yang berisik.
Hanya lima menit berjalan, mereka tiba di bawah siraman cahaya senja, dengan Ihatra yang disongsong pada punggung Shaka. Tsabita membuka pintu rumah dan langsung disambut Bu Nilam, yang memandang mereka dengan sorot terkejut.
"Loh, kalian bawa apa?"
"Manusia, Bu. Emangnya babi hutan?" Shaka menjawab mencibir kepada ibunya dan langsung pergi ke ruang tamu. Bu Nilam membuntuti di belakang sambil menuntut dengan nada setengah panik, "Ibu serius! Ini kalian bawa siapa? Kenapa dia, hah? Kalian nabrak orang di jalan? Shaka kok enggak pakai baju?"
"Bukan, Bu. Tadi mas ini tenggelam. Bajunya Shaka ada di tas." Tsabita membalas sambil menunjukkan tas ransel Shaka yang menggantung berat di punggungnya.
"Tapi kenapa dibawa ke rumah? Terus motormu mana, Shak?"
"Kami habis main di sungai belakang sini loh, Bu. Motornya masih di deket hutan, di tempat biasa. Nanti Shaka ambil lagi."
"Terus dia ini siapa, ibu nanya!"
"Aduh, Bu...."
Ihatra yang masih setengah terbangun rasanya ingin segera turun dari punggung Shaka dan langsung menjelaskan duduk perkaranya. Akan tetapi Shaka lebih dulu membawanya pergi ke lorong dan masuk ke sebuah kamar sederhana, lalu menurunkan Ihatra di pinggir kasur.
Tsabita dengan sigap datang membawa setelan pakaian kering. Dia letakkan pakaian itu di atas kasur. "Ini. Mas ganti baju dulu biar enggak masuk angin."
"Kakinya gimana? Masih sakit?" Shaka melirik kaki Ihatra, mengernyit, "Waduh, itu bengkaknya kayaknya makin gede. Saya siapin kompres dulu, deh."
Lalu tanpa menunggu jawaban Ihatra, Shaka buru-buru keluar dari kamar. Tinggalah Tsabita seorang yang berdiri di hadapannya dengan wajah canggung. Ihatra mendongak dan tidak sengaja melihat ibu-ibu yang tadi masih mengintip di luar ambang kamar, seakan tidak berani masuk untuk mengganggu mereka berdua. Ihatra sendiri merasa sungkan karena tiba-tiba datang ke rumah orang dan membuat heboh situasi. Rasanya ingin cepat keluar saja dari sini.
"Mas Iyat," kata Tsabita. "Saya benar-benar minta maaf."
"Kan udah saya bilang, itu tadi kesalahan saya, bukan kalian," kata Ihatra, seketika merasa jengkel ketika mendengar orang lain terus-menerus meminta maaf atas dirinya. Dia mengingat bayangan ibunya sendiri berderai air mata di hadapan kamera wartawan, lalu tanpa sadar mengepalkan kedua tangan. "Saya yang minta buat diantar ke sungai itu. Sama sekali bukan salah kalian!"
Tsabita menggigit bibir, tersinggung dengan kemarahan Ihatra.
"Kalau begitu, saya tinggal keluar," kata Tsabita. "Bajunya segera dipakai kalau enggak mau masuk angin. Nanti saya teleponkan Pak Ersan untuk beritahu keadaan Mas."
Selepas mengatakannya, Tsabita keluar dan menutup pintu. Ihatra langsung mengusap wajah seraya mendesau frustrasi, tercabik di antara penyesalan dan rasa malu karena barusan tidak sengaja membentak pada orang yang telah menyelamatkannya. Kenapa gue sulit mengontrol diri, sih? Padahal seharusnya gue enggak perlu naikin nada suara. Padahal seharusnya ingatan masa lalu tadi kekubur aja dalam-dalam!
Ihatra menyambar setelan olahraga kering yang tadi diletakkan Tsabita di kasur, lalu mengenakannya dengan cepat. Dia berdiri lalu melangkah agak pincang, menatap seantero kamar yang terasa asing. Dilihat dari tumpukan buku pelajaran SMA di dalam rak susun, sepertinya ini adalah kamar Shaka.
Ada klip foto-foto yang dijepit di papan pajangan dinding, di atas meja belajar. Foto-foto itu menampakkan wajah Shaka dan Tsabita―potret mereka saat masih kecil sampai tumbuh dewasa. Ihatra entah bagaimana membayangkan cerita di balik setiap foto. Saat Shaka dan Tsabita duduk berdua di ayunan―usia keduanya mungkin masih TK dan SD kelas 6. Rambut Tsabita dikuncir di puncak kepala. Wajah mereka tersenyum lebar sambil memegang erat-erat tali kekang ayunan. Lalu saat acara kelulusan SMP Shaka. Begitu sederhana. Tidak ada bunga ataupun hadiah. Keluarga mereka berjumlah empat orang. Shaka, Tsabita, seorang Ibu yang tadi Ihatra lihat mengintip dari luar kamar, dan ... seorang pria yang turut berdiri di samping Tsabita.
Mata Ihatra menyipit kala memperhatikan penampilan sang pria yang agak nyentrik itu. Kendati kerutan di wajah dan ubannya membuat usianya tampak tua, pria itu mengenakan singlet hitam yang menampakkan otot di kedua lengannya, bersama celana olahraga berwarna oranye terang yang seakan mau robek saking ketatnya membungkus sepasang paha dan betis yang tebal. Tubuhnya tinggi, gagah, dan kulitnya gelap. Perangainya garang walaupun sedang tertawa. Sekilas dia tampak seperti seorang pengawal atau ajudan yang jago bergulat. Barangkali itu ayahnya Shaka dan Tsabita.
Ayahnya? Waduh, celaka.
Ihatra menghela napas, tiba-tiba merasa gelisah menghadapi kemungkinan bahwa dia akan bertemu pria garang itu di sini. Berusaha menyingkirkan gejolak mulas di perutnya, Ihatra memutuskan keluar kamar.
Dia menyusuri lorong, lalu hendak berbelok di ujung. Sebelum muncul di ruang tamu, Ihatra tidak sengaja mendengar percakapan beberapa orang. Pria itu berhenti tepat di balik dinding saat mendapati suara Shaka sedang berbicara lewat telepon.
"... Maaf, Pak. Kami enggak sengaja."
Tsabita dan ibunya duduk di kursi juga. Ihatra hanya dapat melihat punggung mereka, namun mendapat akses yang jelas menatap Shaka.
"Enggak usah minta maaf ke saya. Minta maaf ke Iyat," kata Pak Ersan lewat loudspeaker ponsel. Suaranya terdengar lembut dan menasihati, "Iyat mungkin bakal merasa enggak enak juga ke kalian, jadi jangan terlalu kaku sama dia."
"Gara-gara aku," ujar Shaka. "Aku enggak tahu kalau Mas Iyat enggak biasa renang di bagian yang dalem, tapi malah kuajak ke sana...."
"Ya udah, yang penting kan sekarang dia enggak papa."
"Tapi kayaknya Mas Iyat marah," Tsabita menambahkan.
"Yang bener, Mbak?"
"Enggak tahu, sih. Tapi tadi kayak lagi bentak aku."
Tsabita terdengar sedih ketika mengatakannya, dan Ihatra yang bersembunyi di dinding menjadi semakin merasa bersalah.
"Oh iya, Pak Ersan," Bu Nilam menyahut, "kira-kira kalau kita panggilin tukang urut buat ngobatin kakinya, dia mau enggak, ya?"
"Wah, kalau itu saya enggak tahu, Bu," balas Pak Ersan. "Masalahnya kan dia artis dari ibu kota. Kayaknya lebih cocok sama pengobatan di rumah sakit."
Ihatra merasakan perutnya ikut bergejolak mendengar Pak Ersan keceplosan tentang jati dirinya. Di samping itu bersyukur sebab Shaka dan Tsabita sudah tahu siapa dirinya sebenarnya. Dia mencondongkan tubuh untuk mendengar pembicaraan itu lagi.
"Hah, artis?" Bu Nilam mengeluarkan nada terkejut. "Jangan-jangan dia artis yang waktu itu kamu bicarain, Bit?"
"Iya, Bu," Tsabita mengangguk.
"Aduh, gini―" Pak Ersan terdengar panik, "―Saya tadi keceplosan. Maksudnya...."
"Enggak papa, Pak," sela Tsabita. "Kami udah tahu dia siapa. Shaka yang pertama ngenalin Mas Iyat, karena mukanya enggak asing."
"Kalau gitu harus lebih hati-hati lagi supaya dia enggak diketahui orang sekampung."
"Kami bantu rahasiakan soal siapa dia, kok," kata Shaka, lalu menatap Bu Nilam. "Bu, jangan usil ngomong ke tetangga, ya. Takutnya Ibu keceplosan cerita kalau rumah kita didatengin artis."
"Apa sih? Yang sering keceplosan itu kamu, bukan Ibu!"
"Ya tapi kan―"
Debat kedua orang itu dipotong lagi dengan suara Pak Ersan, "Iyat itu lagi ada masalah di tempat tinggalnya dulu, jadi usahakan buat enggak mengungkit-ungkit tentang profesinya, ya. Berteman aja kayak biasa. Saya yakin Iyat orangnya baik. Dia juga sebenarnya enggak marah sama kamu, Bita."
"Iya, Pak."
"Mungkin tadi dia masih syok gara-gara jatuh di sungai, atau mungkin lagi banyak pikiran akibat pekerjaannya, makanya enggak sengaja bentak kamu. Jangan dimasukin ke hati."
"Tahu gini tadi enggak aku tawarin main ke sungai," kata Shaka.
"Eh, jangan kapok buat ngajak Iyat jalan-jalan," kata Pak Ersan dengan sungguh-sungguh. "Dia mungkin lebih sedih kalau kalian enggak ngajakin dia karena takut hal seperti ini bakal terulang lagi."
Ihatra merenung di balik tembok, merasa lebih malu dan tidak berguna. Apakah dirinya begitu menyedihkan sampai orang-orang ini begitu iba melihat dirinya?
Sepanjang dirinya hidup, terutama setelah kecelakaan besar yang menimpanya, terkadang memang ada segelintir orang yang menatapnya dengan sorot kasihan―para penggemarnya, orang-orang yang tidak tahu apa-apa, atau sedikit dari pihak keluarga dan teman yang tersisa. Namun, pada umumnya mereka hanya menganggap dirinya seekor anjing yang terluka. Belas kasihan mereka didasari oleh pendapat bahwa Ihatra terlalu lemah dan tidak berdaya, dan walau Ihatra sendiri tidak bisa menyangkal kekejaman yang diterimanya terkadang membuatnya depresi, dia tidak bisa terus-menerus menerima bantuan orang lain yang didasari rasa kasihan.
Sebab, Ihatra bukanlah anjing terluka yang butuh pertolongan.[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Chapter ini panjang banget nggak sih. Maaf yaa kalau tiap babnya kepanjangan, hehe 😃
Oh yaa maaf juga kalau cerita ini kayak sinetron. Dan mohon maap, kemungkinan ke belakang nanti ceritanya bakalan tambah dramatis awowkwok 😭😭😭
Apakah akan lebih dramatis dari Daruhita?
IYAAAAAAA!!!
🙂🙂🙂🙂🙂
Pokoknya ini cerita bakalan drama abis, tapi janji deh enggak menye-menye banget. Menye dikit sih. Dikiiiiittt 🤏
Yaudah yang penting Ihatra ganteng.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top