03. Games
• • •
Kesunyian yang melanda beberapa saat membuat isak tangis dari seorang gadis bersurai merah bata terdengar mendominasi. Namun anehnya, tidak ada seorangpun yang menyadari kecuali seorang pemuda bermahkota eboni. Begitu juga dengan seekor burung gagak yang bertengger di pembatas anak tangga.
Gagak itu terbang begitu Eren mendekati gadis tersebut. Insting bahaya menuntunnya untuk menjauh dari kedua sosok yang ada di sana. Suara kepakan sayap sang Gagak membawa kepala bersurai merah bata itu mendongak, lantas pandangan mereka bertemu.
Eren bagai sedang bercermin. Iris zamrud sang lawan menghipnotisnya untuk beberapa saat, sebelum sosok gadis itu menghilang bersama tiupan angin.
Untuk sepersekian detik Eren benar-benar tak mengerti apa yang baru saja terjadi, seolah semuanya berlalu begitu cepat. Semua datang dan pergi tanpa memberikan Eren sedikit pemahaman, setidaknya alasan mengapa sosok-sosok tanpa bayangan ini menghantuinya dalam dua hari.
• • •
3:45 PM
Basketball court
"Two points!"
Lepas melakukan dunk, Eren mengelap keringat di area wajah dengan jersey kuning yang dipakainya. Napasnya memburu sesaat sebelum ia kembali mendribble bola, mata dan kaki bekerja bersamaan. Waspada bila tim lawan melakukan steal pada bolanya.
Nyatanya melakukan dunk tak semudah yang ia kira, itu tak masalah jika staminanya lebih dari cukup. Melakukannya sekali saja hampir membuat Eren kehilangan keseimbangan, bahkan untuk berlari tubuhnya serasa akan runtuh.
Iris zamrud itu melirik kanan kiri, mencari momentum untuk mengoper bola tersebut kepada teman setimnya. Pandangannya lalu tertuju pada sang kawan yang tampak bebas dari penjagaan, mengetahui itu Eren segera mengoper bolanya.
Chest pass diberikan, bola diterima dengan sempurna oleh Connie. Pemuda itu lantas mendribble bola selama tiga kali, lalu berhenti sejenak untuk mengambil ancang-ancang sebelum melakukan three shot. Bola kemudian melambung tinggi, tampak berhenti beberapa detik jika dilihat dari bawah. Gaya gravitasi membuat benda bulat itu jatuh tepat ke dalam ring lawan.
"Three points!" seru wasit.
Disela-sela itu, Eren memberikan high five kepada beberapa temannya. Tanda bahwa ia menghargai hasil kerjasama mereka.
Pertandingan pun dilanjut, kini bola ada di tangan lawan. Eren berlari untuk mengejarnya. Lagi-lagi keberuntungan memihak Eren beserta kawan-kawannya, steal dilakukan dengan mulus. Pemuda eboni itu mulai mendribble bola ke sana kemari, mengecoh sang lawan sambil mencari timing untuk mengoper bola kepada temannya.
Pandangannya pun terhenti ketika seorang temannya melambaikan tangan, memberitahu bahwa dia bebas dari penjagaan. Eren segera saja melemparkan bola tersebut.
Over head pass dilakukan dengan sempurna, bola kini ada ditangan pemuda dengan tinggi 175 cm tersebut. Dengan memanfaatkan tubuhnya yang tinggi, Jean Kirstein melakukan hook shot begitu ring lawan masuk jangkauan dalam tiga meter.
Bola masuk tanpa halangan. Empat puluh menit permainan akhirnya terselesaikan, kedua ronde dimenangkan oleh tim basket BMS (Berlin Metropolitan School).
Kedua tim diberi waktu istirahat beberapa menit, sebelum berkumpul kembali untuk memberikan salam perpisahan. Eren berlari keluar lapangan, menyapa kehadiran kedua sahabatnya yang menonton pertandingan mereka.
"Mikasa! Armin!" seru Eren.
Yang dipanggil membalas dengan senyuman. Gadis bersyal merah itu memberikan handuk kepada Eren, juga sebotol minuman isotonik. Eren menerimanya dengan hangat, lantas segera meneguk minuman itu hingga kandas.
Melihat kawan cokelatnya membuat Armin teringat topik mereka saat di kantin. "Oh iya Eren─"
"Kak Eren!"
Armin terpaksa menghentikan ucapannya ketika panggilan dari bocah berusia dua belas tahun itu menginterupsi. Tangan kecil itu dilambaikan ke arah mereka─tidak, lebih tepatnya ke arah Eren. Senyum tak henti-hentinya dikembangkan kala Eren memberikan atensi kepadanya.
Iris zamrud menangkap sosok anak laki-laki berambut pirang di ambang pintu, bersama seorang gadis seusianya yang berdiri angkuh di belakang. Eren lalu bergumam, "Falco?"
Falco hendak berlari ke arah sang kakak kelas, tak lupa menarik kawan gadisnya untuk ikut. Namun genggaman tangannya ditepis, lantas bocah pirang itu mengernyit heran.
"Gabi?" tanyanya.
"Temui saja dia sendiri, aku tak ingin berdekatan dengannya," balas Gabi sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Napas berat menjadi jawaban, bocah pirang itu lantas memaklumi. "Oh ayolah, kau itu mirip dengan Kak Eren."
"HAH?! Aku tidak sudi disamakan dengan si Maniak Burger Keju itu," bantahnya tidak terima.
Tak ingin larut dalam perdebatan, Falco mencoba untuk meluruskan tujuannya. Ia lalu berbisik, "Aku tau bukan itu alasanmu untuk tidak bertemu dengan Kak Eren. Tapi percayalah, Kak Eren tidak mungkin sekejam itu."
"Aku tak peduli," balas Gabi.
Mendengar itu Falco lagi-lagi menghela napas, mau tak mau ia harus menyuruh sang kakak kelas untuk mendekat. Terdengar tidak sopan, tapi apa boleh buat. Karena sesuatu yang dibicarakannya juga ada sangkut pautnya dengan Gabi.
Lambaian tangan kembali diberikan, kali ini bukan sebagai perantara untuk menyapa. Melainkan ada maksud lain yang menyuruh pemuda eboni itu untuk mendekat.
Eren menangkap maksud Falco. Ia segera mengambil langkah kecil sebelum tangannya digenggam. Tampak tangan seputih susu itu tertaut dengan tangan miliknya, genggamannya erat seakan tak membiarkan dirinya untuk pergi.
"Aku ikut," kata Mikasa
Teruna itu memutar bola matanya malas. "Oh c'mon, hanya beberapa meter dari sini. Aku tak akan meninggalkanmu─ maksudku kalian."
Mendapat jawaban seperti itu tak membuat Mikasa melepaskan tautan tangannya, ia malah semakin mengeratkan genggamannya. Eren sebenarnya tak masalah, dia juga sudah tahu sifat sahabatnya yang satu ini. Tapi dia sungkan apabila maksud dari Falco merupakan privasi mereka.
Eren melemparkan pandangan pada bocah pirang itu, meminta persetujuan dari sorot matanya. Falco yang memang peka langsung menganggukkan kepalanya.
"Baiklah kalian ikut." Eren mengizinkan.
• • •
4:00 PM
Outdoor
"Hey dengar, aku mungkin tak akan bisa akrab denganmu, Gabi. Tapi aku tak sekejam itu untuk mengirimkan surat ancaman," jelas Eren setelah mendengar cerita singkat dari adik kelasnya.
"Lalu siapa hah?! Kau lihat sendiri kan kalau sidik jarimu ada di kertas ini!" Gabi menunjukkan kertas dengan tulisan bertinta merah. Juga foto sidik jari milik Eren dari hasil identifikasi alat ABIS (Automated Biometrics Identification System).
"Tunggu, kau mempunyai alat itu?" tanya Eren.
"Tidak, aku membawanya ke kepolisian untuk diindentifikasi."
Mendengar pernyataan adik kelasnya membuat Eren melotot. "Kepolisian? Kau ingin memenjarakan aku? Bagaimana kalau aku terbukti tak bersalah?"
"Untuk diidentifikasi, bodoh. Kau pikir aku akan menuduhmu tanpa bukti? Lagi pula yang kubawa cuma kertas, bukan kau," balas Gabi.
Kesalahan yang fatal telah mempertemukan batu dengan batu. Kali ini saja Falco menyesal karena tak menuruti ucapan Gabi, ia pikir dengan mempertemukan korban dengan sang pelaku maka masalah akan selesai. Lagi pula Falco juga tak percaya bila sang kakak kelas idamannya berbuat seperti itu.
"Sekali lagi dengarkan aku. Pukul sembilan aku berada di kantin bersama teman-temanku, kau bisa menanyai mereka. Atau tanyakan saja pada Mikasa dan Armin." Eren menyambar handuk yang melingkari lehernya, guna mengelap keringat yang mengalir di pelipisnya.
Hangat matahari senja semakin membuat perdebatan antara Eren dan adik kelasnya memanas. Tidak ada yang bisa melerai mereka untuk saat ini, bahkan Armin sekalipun. Karena memang mereka tidak tahu kebenarannya, Mikasa juga tidak bisa langsung membela Eren.
Falco terdiam beberapa saat, nalurinya mengatakan bahwa ada yang tidak beres. "Kak Eren ... kami tidak bilang kalau surat itu dikirim pada pukul sembilan."
Tatapan horor diberikan kala Falco memberikan atensinya kepada sang kakak kelas. Iris sewarna hazel itu memicing tajam. Falco merasa tidak mengenal Eren untuk saat ini.
Mengetahui identitasnya tak lagi aman, pemuda bersurai eboni lalu menyunggingkan senyum miring. Wajahnya tertunduk enggan untuk memperlihatkan iris indahnya.
Gabi kemudian menimpali, "Benar, kami bahkan tidak tau kapan surat itu dikirim."
Tepat setelah kata terakhir yang terucap dari mulut Gabi, sosok Eren yang ada dihadapan mereka menghilang. Menyisakan handuk berwarna putih yang tergeletak di atas tanah.
"Eren!" Mikasa panik. Gadis berdarah Jepang itu mengedarkan pandangannya. Menghilangnya sosok Eren benar-benar tidak meninggalkan jejak apapun, kecuali handuk yang diberikannya.
Gadis kecil bersurai cokelat itu terperangah. "Apa?! Dia menghilang? Bagaimana bi─"
Armin menukas, "H-Hei ... k-kalian pernah mendengar kisah Ymir Fritz, nenek moyang kita? I-i-ini sama seperti apa yang kita alami─ bukan, maksudku sama seperti yang Eren alami." Armin menjelaskan dengan gemetar. Bukan maksudnya untuk menciptakan suasana mencekam di waktu terbenamnya matahari. Karena memang Armin sendiri masih tak percaya.
"Apa maksudmu, Armin?" tanya Mikasa tak sabaran.
Armin membalas, "Akan aku jelaskan setelah kita menemukan Eren yang asli." Tatapan kepastian diberikan, lantas Armin mengambil keputusan selanjutnya. "Biasanya ketika Eren membolos klub ... benar, dia ada di kantin. Ayo ikut aku!"
Empat pasang kaki melangkah beriringan, dengan satu tujuan yang sama yaitu ke kantin.
• • •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top