Foreword
In the end of the day,
all we have is who we are.
FOREWORD
-oOo-
.
.
Aku tak pernah ingat detailnya.
Katanya, saat itu ada sebuah bencana besar menimpaku, menyerang keluarga dan pemukiman kami. Tanah berguncang, batu-batu sebesar tong sampah melesat di udara, menghantam apa pun dengan kecepatan tinggi. Api menjilat pepohonan, tanaman, dan segalanya yang terperangkap di dalam hutan. Deru panas angin dan kabut asap berwarna hitam membumbung tinggi, meracuni pernapasan.
Katanya, itu adalah sebuah ledakan tambang yang begitu dahsyat.
Aku adalah satu di antara beberapa orang yang selamat. Tuhan memberiku sesuatu yang benar-benar melegakan, walau harus terbangun setelah sekarat di ranjang rumah sakit selama tiga minggu dan menerima kenyataan pahit tentang berita kematian Ayah yang tidak bisa diselamatkan.
Aku berhasil hidup, tanpa luka yang fatal. Kata Ibu, itu adalah yang terpenting dan harus benar-benar disyukuri. Dia memelukku erat ketika aku terbangun dari koma, membisikkan kata-kata itu di telingaku, tanpa tahu adanya sesuatu yang aneh terjadi dalam diriku;
Sentuhan kulit ibu yang merengkuhku adalah penglihatan pertama yang kulihat.
Ada sebuah potongan gambar di dalam kepalaku ketika aku menyentuh Ibu. Bukan ingatan masa lalu, bukan pula dΓ©jΓ vu.Β Hanya dapat kulihat sekilas, selama beberapa detik saja, dan rasanya sungguh menyakitkan. Hantaman pening yang nyaris bisa membuatku pingsan lagi, lalu selongsong perasaan duka dan kepedihan yang menyayat.
Ketika wajahku tenggelam dalam ceruk lehernya, kulihat di dalam pikiranku, wajah Ibu yang tampak begitu berbeda; matanya melotot, mulut terbuka dengan lidah ungu yang menjulur. Rambut hitam sebahunya tampak lepek dan berantakan. Kepalanya miring ke kanan, seperti patah. Satu hal yang terpikir di benakku saat itu adalah aku mungkin melihat mayat, bukannya Ibu.
Keterkejutan menyerangku, kepalang takut hingga rasanya ingin menjerit, tapi pelukan Ibu yang hangat menenangkanku. Perasaan shock dan lemas luar biasa setelah bangun dari koma juga mengalihkan perhatianku lebih dari apa pun, meredakan histeria yang mengguncang dalam dada. Aku mendapat penglihatan itu, dan langsung kulupakan di menit berikutnya.
Satu tahun setelahnya, baru kusadari kalau yang kulihat waktu itu adalah penglihatan masa depan.
Saat itu, angin sejuk berembus masuk melewati celah pintu yang terbuka. Aku tahu Ibu ada di rumah, tapi bukan itu yang menjadi ketakutanku. Lampu padam, ruang tamu berantakan, obat-obatan tercecer di karpet. Firasat tidak enak menyerangku. Aku berlari melintasi tangga ke kamar Ibu, membuka pintunya yang tidak terkunci, berharap setengah mati melihatnya memeluk foto Ayah seperti yang biasa dia lakukan di kala depresinya kumat, atau bergelung di kasur seperti bocah yang tidak mau diganggu, atau duduk di dekat jendela sambil menatap hampa jalanan di bawah. Paling tidak, pokoknya aku bisa memastikan kalau dia baik-baik saja.
Tetapi rupanya ketakutanku terbukti lebih cepat dari yang bisa kubayangkan.
Aku menemukan Ibu tergantung kaku di atas langit-langit, dengan mata melotot dan bibir yang terbuka lebar. Ada sebuah tali yang melilit lehernya, dan kakinya berayun-ayun pelan di atas lantai. Angin yang berembus dari kisi jendela di belakangnya menyapu helai kehitaman rambut Ibu, menutup segenap ekspresi kesedihan paling dalam yang pernah kutemukan pada wajahnya.
Itu adalah ekspresi yang sama dengan yang pernah kulihat di dalam benakku, di rumah sakit, satu tahun sebelumnya.
Aku sudah melihat kematian Ibu jauh sebelum dia melakukan aksi bunuh dirinya.
Saat itu aku berpikir, dalam usia remajaku, bahwa barangkali, kematian Ayah membawa dampak yang begitu besar bagi Ibu. Rasa sakit karena ditinggalkan menyerangnya entah dari mana, membawa kepedihan yang berlipat ganda, mengurung Ibu dalam suatu depresi karena kehilangan, hingga membuatnya berpikir bahwa mati adalah jalan terbaik. Aku tak pernah memikirkan diriku yang begitu hancur setelah kematiannya. Mati-matian aku menolak kenyataan bahwa Ibu pergi tanpa memedulikanku. Mati-matian aku berpikir, bahwa barangkali kesehatan Ibu memang sudah memburuk jauh-jauh hari. Barangkali obat-obatan membuatnya kehilangan akal sehat, hingga mengira bunuh diri adalah cara terindah untuk bertemu dengan Ayah. Aku ditinggalkan sendiri, dan tak bisa berbuat apa-apa untuk mengembalikan takdir.
Tetapi, andai saat di rumah sakit itu aku menyadari bahwa yang kulihat adalah kematian Ibu, aku pasti tak akan pernah merasa semenyesal ini.
Dalam dua tahun masa berdukaku, aku melihat kematian yang lain;
Kematian Nenek.
Sama seperti Ibu, gambar itu muncul ketika aku menyentuhnya. Bukan sentuhan ringan seperti menggenggam atau meraba, melainkan sebuah pelukan erat yang sarat emosi.
Aku bertemu dengan Nenek di hari pemakaman Ibu. Rasa rindu yang begitu besar membuatku kalang kabut ingin memeluknya, menumpahkan duka yang begitu menyedihkan. Kudapatkan penglihatan ketika merengkuh kepala nenek di bahuku. Dia sedang terbaring di atas kasur, dengan mata agak membuka, bibir kering dan pucat, serta warna kulit yang nyaris berubah kelabu. Gambar itu hanya muncul sekilas, dan telak membuat kepalaku sakit bukan main. Aku langsung menarik diriku dan berlari keluar setelahnya.
Dan, sama seperti yang kulakukan pada Ibu, aku tak bisa melakukan apa-apa ketika takdir membawa Nenek pada kematian. Nenek meninggal karena komplikasi, empat bulan setelah aku mendapat penglihatan itu.
Bertahun-tahun hidup dalam keterpurukan yang mencabik, kupelajari sesuatu dari kemampuanku, bahwa penglihatan tentang kematian hanya akan muncul ketika aku menyentuh seseorang dengan luapan emosi. Sentuhan biasa ketika aku sedang mengobrol atau tertawa tak akan ada pengaruhnya.
Tapi, tetap saja, melihat kematian adalah sesuatu yang begitu buruk. Begitu menyeramkan hingga rasanya aku rela menukar apapun yang kupunya hanya agar aku tidak mendapat kemampuan seperti itu. Mulanya, aku meyakinkan diriku bahwa Tuhan memiliki maksud di balik ketidaknormalan yang kualami, tapi setelah aku melihat sendiri kematian Ibu dan Nenek tanpa bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan mereka, keyakinan itu meleleh seperti es. Aku hanya bisa melihat kematian, tanpa bisa mencegahnya.
Bagiku, kemampuan ini adalah sebuah kutukan.[]
__________ oOo __________
Fanfiksi ini pernah kupublish dulu, sekitar tahun 2017. Sempat kuunpub karena merasa geli dengan jalan cerita school life-nya, hohoho. Tapi kali ini, aku rombak lagi dan berusaha menyajikan cerita bangtan yang berbeda. Siapa yang penasaran baca kehidupan VMINKOOK di asrama sekolah? Tunggu kelanjutan chapter pertama setelah ff Before I Wake tamat, yaa^^
BαΊ‘n Δang Δα»c truyα»n trΓͺn: AzTruyen.Top