BAB 5: MTPTDP
MANUSIA TIDAK PERNAH TAHAN DENGAN PEMAKSAAN
.
.
.
Jam bergeser pada pukul sepuluh. Itu waktu olahraga kelasku. Pelatih menyuruh seluruh anggota kelas untuk berganti pakaian dan bergegas pergi ke dalam gedung olahraga. Hari ini akan diadakan pertandingan voli.
"Pertandingan di hari pertama aku masuk?" kataku pada Taehyung saat kami berdua berganti pakaian di ruang ganti. Atasan olahraga Choseok berwarna jingga terang yang bikin sakit mata dan celana training selutut berwarna hitam. Kami berdua tidak suka perpaduan warnanya.
"Cuma pertandingan biasa," kata Taehyung selepas kepalanya muncul dari lubang kaos. "Tapi bagi sebagian anak cowok, pertandingan olahraga selalu jadi ajang pamer di depan murid kelas 2B."
Aku mengerutkan kening saat Taehyung mengatakan kelas 2B. Itu bukan kelas kami.
"Kita bakal olahraga bersama kelas lain?"
"Ya," jawab Taehyung, sementara kami semua turun tangga menuju tempat olahraga di gedung terpisah.
Selanjutnya, satu cengiran Taehyung yang dilayangkan untukku membuatku ternganga.
"Kita bakal bergabung bersama kelas Aebyul."
-oOo-
Aku tidak begitu berbakat dalam olahraga voli, tapi cukup jeli dan gesit dalam bertanding.
Pelatih menyuruhku bergabung bersama lima murid laki-laki lainnya. Dua di antara mereka adalah kelompok yang saat pelajaran Biologi tadi membuat ricuh kelas karena sempat berdebat tentang isu ekosistem laut duniaβgenerasi kutu buku yang tidak minat dengan olahraga, dua orang lagi asalnya dari kelas 2B, bernama Ryubin dan Jiyoung (tampaknya dari jurusan animasi atau komik, mereka siswa yang dari tampangnya saja kelihatan tidak begitu suka bergaul dengan manusia).
"Man, semua timmu pecundang," kata Taehyung padaku. Dia melayangkan senyum mengejek karena mendapat tim yang lebih jago dan asyik. Empat dari mereka berasal dari kelas 2B dan semuanya jangkung dan bertubuh atletis. Taehyung bilang kelas 2B memang terkenal dengan murid-muridnya yang berbakat, lalu mengapa aku mendapat produk gagalnya?
"Kau enggak boleh main-main di pertandingan ini. Tahu enggak lawanmu siapa? Tadi aku ngintip di buku absen pelatih." Taehyung mendekat padaku dan agak berbisik.
"Siapa?" tanyaku.
"Moon Ilbom."
"Berengsek."
"Bagus, kau sudah bisa ngomong kasar sekarang," kekeh Taehyung sambil menepuk punggungku. Dia melingkarkan bahunya dan berkata, "Enggak biasanya kau kelihatan benci sama orang. Memang Ilbom sudah melakukan sesuatu padamu?"
"Dia bikin aku enggak nyaman," kataku, sementara kepalaku mengingat-ingat tatapan penuh ancaman Ilbom yang ditujukannya untukku. "Aku belum cerita padamu, tapi anak itu sudah memperingatiku supaya aku enggak macam-macam, padahal yang kulakukan cuma memanaskan dendeng di dapur."
"Begitulah dia," kata Taehyung menggelengkan kepala, lalu memandang ke arah tribun penonton. "Coba lihat kakinya, Jung. Itu bukan kaki manusia." Dia melihat Ilbom sedang mempersiapkan diri bersama anggota timnya yang, demi Tuhan, semuanya bermuka garang dan bertubuh besar. Ilbom paling jangkung dan besar, betisnya yang besarnya sepahaku membuatku agak merinding.
"Kenapa dengan kakinya?" Aku berusaha tenang.
"Mengintimidasi," kata Taehyung. "Dia banyak latihan dengan kakinya. Kau tahu dia anak football."
"Kalau aku harus memberitahunya, dia juga perlu cukur bulu kaki."
"Oke, itu bukan jawaban yang kuinginkan, tapi kurasa kau benar," kata Taehyung sambil tertawa. Lalu, kami pergi ke tepi untuk menunggu dipanggil. Saat sedang melintasi lapangan, perhatianku teralihkan dengan gerombolan murid dari kelas 2B yang nongkrong di salah satu sisi tribun, berbincang seru seolah kelas olahraga ini tidak ada. Aku melihat Byul berdiri di pusat gerombolan itu, tertawa-tawa bersama mereka.
Aku berpaling dan berpura-pura tak melihatnya.
Pertandingan antara timku dan tim Ilbom dimulai.
Saat bermain, kusadari kemenangan akan jatuh pada tim lawan karena permainan mereka benar-benar serius. Aku tidak bilang kalau timku ogah-ogahan. Para anggota timkuβkecuali akuβtak bisa disebut mahir voli karena pukulan mereka lemah, sementara pihak lawan yang diisi anak-anak berotot selalu membalas dengan pukulan keras. Aku tidak bisa menyelamatkan timku, tapi setidaknya bisa menyelamatkan diriku yang terus-menerus nyaris kena smashing bola. Karena, entah untuk alasan apa, aku merasa bola itu selalu mengarah padaku.
Butuh beberapa detik untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, sampai aku bersinggungan mata dengan Ilbom. Sebagai tim lawan, anak itu menatapku sambil menyeringai. Dia sengaja memancing kemarahanku.
Skor di akhir babak pertama: 12:0
Melihat tim yang ditindas tampaknya membuat semua orang semangat bersorak. Ketika tim lawan melakukan pukulan serangan yang menyakitkan, penonton mereka sangat berisik. Mereka semua duduk di sekeliling kami, berteriak dan mengentak-ngentakkan kaki, memperolok dan mempercundangi timku. Pada dasarnya, aku bertanding di arena yang tak memiliki pendukung. Atau, barangkali Taehyung adalah pengecualian. Satu kali kudengar anak itu berteriak; "KALIAN SEMUA BERHADAPAN DENGAN ORANG YANG SALAH. HEI, KASIH LIHAT MEREKA PERUTMU, JUNGKOOK!" dan aku bersyukur tak ada yang menggubrisnya.
Di suatu kesempatan, bola melayang dan menghantam dadaku dengan keras. Aku terbanting ke lantai dan tak sengaja mengerang. Terjadi keheningan total saat momen itu; sentakan napas murid-murid saat melihatku jatuh, dan geletar kepuasan di mata Ilbom. Nyaris saja kusergap dirinya dan kupukuli mukanya sampai giginya rontok, tapi terburu ingat kalau emosi yang berlebihan hanya akan membuat keadaan memburuk. Aku tidak ingin menyentuhnya, bahkan seujung jari saja. Aku tidak mau melihat seperti apa kematiannya di masa depan sebenci apa pun kepadanya.
"Culun, kau enggak apa-apa?"
Aku tengadah dan melihat Byul mengulurkan tangan di depanku. Saat kusadari, beberapa murid memandangi kami dengan khawatir.
Tapi, bukannya menyambut uluran tangan itu, aku malah berdiri sendiri dan memasang muka tidak peduli. Bukan karena sengaja mengabaikan Byul, tapi karena masih merasakan emosi atas perbuatan Ilbom. Aku enggak boleh kelewatan, pikirku. Aku enggak boleh bersentuhan dengan siapa pun.
Suara peluit dibunyikan. Pelatih olahraga menghampiriku.
"Baik saja kau?" tanyanya. Aku mengangguk sambil mengusap dadaku, dan pelatih itu berpaling ke tim lawan.
"Hei, Nak!" teriaknya pada Ilbom. "Aku mengawasi permainanmu dari tadi. Jangan terlalu kasar pada lawan, Nak. Kau harusnya bisa memperhitungkan kekuatan untuk melempar bola. Lihat lawanmu siapa!"
Aku merasa pengecut sekali ketika pelatih mengatakan hal itu. Seakan-akan tim kami terlalu lemah dan hanya berisi pecundang. Kulirik Byul dari sudut mataku, dan cewek ituβentah bagaimana sambil menghindari tatapankuβterdiam sambil menggertakkan rahangnya. Apa dia marah? Apa dia justru menahan tawa karena melihatku jatuh dengan konyol? Tak ada waktu untuk berpikir apa yang terjadi padanya.
"Sorry, Ssaem. Terlalu semangat tadi!" teriak Ilbom dari posisinya, lalu menyeringai jahat saat bertatapan denganku.
"PRIIT!" peluit dibunyikan. Pertandingan dimulai kembali.
Skor timku ketinggalan jauh, tapi bukan kemenangan yang aku pikirkan. Rasanya, pertandingan ini menjadi ajang balas dendamku pada Ilbom. Anak itu semakin unjuk kemurkaan dengan memukul bola luar biasa keras. Dia merebut peran anggota lainnya dan menguasai permainan sendiri.
Begitu pun aku. Aku terlalu marah sampai rasanya kekuatanku menggelegak ke permukaan. Bola yang dilemparnya kusambut dengan keras. Dia berulang kali menciptakan smash, dan semuanya secara ajaib bisa kutangkas kembali. Pelatih olahraga entah bagaimana tidak menghentikan kami. Samar terdengar sorak-sorai penonton di tepi lapangan yang mulai berganti mendukung timku (teriakan Taehyung paling keras; "APA KUBILANG? JUNGKOOK BISA MEMUKUL BOLA! AYO BAYAR KALIAN SEMUA!")
Ilbom sepertinya terlalu emosi sampai tidak bisa mengontrol diri. Bola yang kulempar akhirnya meleset dari tangkapannya, menghantam lantai di sebelahnya dan menggelinding melewati garis. Peluit berbunyi. Permainan selesai. Bukan karena kelompok kami yang pada akhirnya menang, tapi karena pelatih sendiri yang menginginkan hal itu. Tampaknya pertandingan tim cowok memakan waktu lebih banyak. Pelatih langsung menyuruh para cewek untuk masuk ke lapangan dan bersiap-siap.
Saat berjalan ke arah tribun, tatapan kami bertemu. Aku dan Ilbom. Matanya berkilat kejam, seakan dia sedang berusaha menyampaikan sesuatu. Aku balas memandangnya, tapi tidak dengan alasan untuk menantang atau apa pun.
-oOo-
Aku tidak bisa bilang masakan kantin Choseok lebih baik dari semua masakan buatan Kakek, tapi mereka punya satu menu spesial yang menurutku bakalan menggemparkan kalau dijual di restoran Kakek di Busan.
"Namanya omelet piza." Taehyung memperkenalkannya padaku. Kami berempatβaku, Taehyung, Jimin, dan Aebyul duduk mengelilingi meja panjang di tengah-tengah kantin. Seloyang telur dadar yang berisi isian tebal (nanas, keju, kacang polong, jagung, dan daging) sudah dikoyak hampir habis oleh tangan-tangan rakus Jimin, Taehyung, dan Aebyul. Aku hanya mencicipi seiris dan ketagihan dengan rasanya. Kubilang pada Taehyung mungkin aku akan membelinya untuk makan malam di asrama nanti.
"Kalau kau enggak beli sekarang, akan kehabisan," kata Taehyung sambil mengunyah. "Tapi, tenang, Nona Hayan biasa kerjasama denganku untuk menyeludupkannya. Kita cuma perlu membayar setengah harga."
"Siapa pula Nona Hayan?" tanyaku.
"Anak bibi kantin," sahut Jimin. "Kalau kau tanya kenapa dia mau-mau saja mengalami rugi, jawabannya karena Taehyung selalu mengajaknya kencan di malam Minggu."
"Enak saja, aku cuma mengajarinya matematika!"
Jimin mendengkus, "Sudah, akui saja kalau kau punya pacar."
"Aku enggak punya pacar!" kata Taehyung dengan nada tinggi. Entah kenapa pembahasan ini membuatnya marah. Dia berdecak sebal sambil melotot menyapu pandangan pada kami semua. "Dan enggak bakal pernah, sorry saja. Aku terlalu sempurna untuk dimiliki seseorang."
Byul menoyor kepala Taehyung dengan sendoknya, membuatnya memekik kecil. "Ayolah, kita punya sesuatu yang lebih hebat buat dibahas," katanya, lalu tatapannya mendarat padaku. "Nah, Jungkook, tampaknya kau sudah jadi cowok tangguh. Kau berhasil bikin Ilbom malu sampai wajahnya yang seperti bakpau itu berubah ungu." Byul melanjutkan.
"Itu wajah orang murka," koreksi Jimin, kemudian dia menatapku juga. "Serius, Jung. Beritanya tersebar sampai ke kelasku. Sekarang murid-murid perempuan di kelasku mulai bertanya-tanya tentangmu. Katanya kau imut."
"Taruhan, kalau kau bisa mempertahankan gelarmu sebagai orang yang mengalahkan Ilbom, kau bisa masuk majalah Choseok." Taehyung mengomentari sambil menggoyangkan telunjuknya di depan mukaku. "Siapa tahu kau menggeser posisiku tahun lalu sebagai Wajah Paling Tampan Versi Majalah Choseok."
"Aku enggak berniat jadi jagoan di sekolah ini," kataku sungguh-sungguh.
"Kau enggak seru," kata Byul dengan nada jengkel. "Padahal aku mengharapkan drama baru yang bakal menggemparkan Choseok. Dengar, aku sudah berpikir buat bikin artikel yang isinya membahas keruntuhan Ilbom. Dan kau bakal kufoto di pose terbaikmu, mengutip kata-kata prestasimu yang kira-kira isinya; Siapa bilang kelinci hutan enggak bisa mengalahkan gajah?"
Selagi Taehyung dan Jimin terpingkal karena candaan Byul, aku justru mengerutkan kening memandang cewek ini. Taehyung yang sepertinya peka saat melihat ekspresiku, menambahkan dengan enteng. "Oh, ya, omong-omong Byul masuk klub jurnalis. Punya selera tinggi membahas kasus-kasus dan drama sekolah."
Aku terdiam sejenak sambil menilai Byul. Cewek itu balas menatapku dengan alis naik sebelah seperti menantang. Di titik ini, aku tak bisa mengerti jalan pikirannya. Kenapa Byul menaruh dukungan padaku untuk memberantas perundung sekolah mahakejam seperti Ilbom? Bukankah dia sendiri adalah perundung? Byul sepertinya tahu bahwa aku tak punya toleransi besar memahami dirinya, sebab gadis itu langsung tersenyum miring padakuβsenyuman yang biasanya; cantik tapi angkuh. Berkata ketus, "Yah, itu terserah kau mau jadi jagoan atau enggak. Tapi, kau sudah jadi target Ilbom dan sudah pasti kau enggak bisa lari darinya."
"Kenapa? Karena aku membuatnya malu di gedung olahraga?"
Mata Byul mendadak saja bergeser sedikit dari wajahku dan anak itu langsung memekik girang pada seseorang, "KYUMI-AA!"
Kami bertiga yang ada di meja langsung kaget (Jimin menumpahkan saus di meja dan Taehyung hampir tersedak), sementara aku sontak menoleh ke belakang.
Kyumi, dengan wajah murung, menghampiri Byul. Anak itu mengulas senyum yang di mataku tampak terpaksa sekali. Dia menyuruh Jimin yang duduk di sebelahnya supaya menyingkir lebih jauh agar Kyumi bisa duduk, lalu mengajak gadis itu bergabung bersama kami.
Mulanya, Byul mengajak Kyumi mengobrol tentang kue stroberi yang dia titipkan di kulkas mininya. Pada pembicaraan itu, kami bertiga sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Jimin dan Taehyung berbincang soal drama sekolah yang katanya bulan depan hendak digelar, sementara aku, entah bagaimana, tidak bisa fokus dengan makan siang tapi tetap mencoba untuk pura-pura makan sambil mendengar perbincangan Byul dan Kyumi.
"Kau sudah makan hari ini?" tanya Byul pada Kyumi.
"Ya, sudah," katanya pelan. Semua kata-kata yang keluar dari mulut Kyumi terdengar pelan dan lambat seperti kura-kura. "Aku baru saja beli roti." Dia melanjutkan.
"Apa? Roti saja? Itu pasti enggak cukup!" Byul langsung melotot, kemudian dia mulai terbawa jiwa pemaksanya. Intinya, Kyumi bilang dia sudah kenyang dan mau kembali ke kelas, tapi Byul menahannya untuk pergi dan malah menawarinya makan sisa omelet kami. "Ayolah, ini enggak beracun. Makan saja satu, kau enggak akan gendut!"
"Byul, aku sudah kenyang," kata Kyumi dengan suara lirih. Anak itu mulai tidak nyaman berada di meja kami.
"Hei, aku sudah menawari baik-baik, masa kau enggak mau?"
"Kumohon, biarkan aku ke kelasβ"
"Enggak boleh, kau harus makan! Sini, biar kusuapi kauβ" Byul, tanpa menunggu respon Kyumi, langsung menyambar sepotong omelet dengan garpu dan hendak menjejalkannya ke mulut Kyumi. Anak itu menolak, tapi dia tak bisa berkutik karena duduk berdempetan dengan Byul.
"Byul, janganβ"
"Ini sangat enak, kau enggak pernah mencoba, kan?"
Di saat-saat terakhir, ketika omelet sudah menyentuh bibir Kyumi, aku sudah tidak tahan lagi sehingga yang kusadari selanjutnya adalah menangkis lengan Byul sampai garpu dari tangannya terjatuh dengan suara kelontang keras di lantai.[]
A/n
Malam semuaa^^
Alhamdulillah, selesai bikin chapter ini. Aduh, ini kasus pertama belum juga mulai yaa--maksudnya kasus yang cukup gede, yang berkaitan dengan kemampuan Jungkook. Sebenarnya, aku sudah enggak sabar buat membuka kasus pertama, tapi karena banyak obrolan yang kudu ditulis (aku sudah bilang kalau cerita ini fokusnya ke daily life juga, kan?) akhirnya harus keundur terus sampai bab 5. Walau begitu, clue2 sudah kusebar sejak awal dan kuharap kalian enggak bosen baca cerita ini karena konflik besarnya belum mulai :"
Thankyou for reading this chapter, guys. Coba berikan pendapatmu mengenai sifat2 mereka di sini awokwowk^^
BαΊ‘n Δang Δα»c truyα»n trΓͺn: AzTruyen.Top