BAB 4: AMTKSDPBYK
AWAL MULA TERJADINYA KONFLIK SOSIAL DAN PERGULATAN BATIN YANG KUALAMI
.
.
.
Sejak awal aku tidak tahu mengapa bisa terlibat dengan cewek ini.
Maksudku, aku tahu Taehyung dan Jimin-lah yang mengajakku, tapi aku mempertanyakan kehendak diriku sendiri yang menyanggupinya. Kenapa aku mau-mau saja diajak ke asrama cewek? Dan menyaksikan perundungan yang semestinya tidak kulihat? Ini membuatku merasa bersalah sekaligus marah. Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk menolong, dan Byul perlu mendapat sanksi atas tindakannya.
"Kau baru saja...." Aku memikirkan kata-kata yang sopan untuk memulainya, tapi sialan, memang ini waktunya bersikap sopan? "Kau baru saja merundung cewek itu?" Aku bertanya tanpa bisa menyembunyikan raut tidak percaya.
Byul melihat padaku, lalu menghampiriku. Bisa kulihat dia melemaskan kakinya di depanku. Oh, tidak. Apa kata Jimin tentang kakinya? Kau harus berhati-hati kalau dia mulai menggoyangkan kaki di hadapanmu?
"Jungkook-aa," katanya dengan gaya lidah yang dikulum di mulut, "Kalau kau sampai membocorkan apa yang kaulihat pada Jimin dan Taehyung, kau tahu apa yang terjadi."
"Kau mau menendangku?"
Byul tersenyum miring. "Kau bisa pilih di bagian mana aku harus mendaratkannya."
Kujawab sedingin mungkin. "Ancamanmu enggak mempan untukku."
"Kau tahu dari cerita mereka kalau aku enggak pernah menggertak saja, kan?"
"Jadi aku harus takut padamu?" Aku menarik langkah maju, membuat jarak kami hanya terpaut sekitar tiga puluh senti saja. Byul mendongak padaku dan aku bisa mencium aroma vanila dari tubuhnya.
"Byul, dengar. Kau enggak boleh selamanya bersikap seperti ini. Manusia selalu punya waktunya sendiri untuk mendapat balasan."
"Well, aku enggak minta nasihatmu, tuh."
"Aku enggak pernah memaksamu menerima kata-kataku," ujarku, cukup untuk membuatnya menggulirkan bola mata tidak peduli.
Aku tahu tak ada gunanya menasehati Byul, tak ada gunanya mengharapkan sesuatu berubah dari dirinya selama dia belum mendapat tamparan yang keras dari apa yang dia lakukan. Maka, bersama kata-kata itu, aku melangkah mundur. Masa bodoh dengan pestanya. Masa bodoh dengan Taehyung dan Jimin. Dan, masa bodoh dengan Byul. Aku tak mau melihat wajah seseorang yang bisa sedemikian tenang setelah melakukan tindakan pengecut.
Namun, ketika hendak berbalik dan pergi, aku malah berujar lagi padanya.
"Setidaknya, masih ada orang lain yang peduli padamu, bukan?"
Byul hanya menatapku, tapi tatapannya seperti terluka ketika dia mendengarkan ucapanku.
-oOo-
Aku menghabiskan sepanjang siang sendirian, di dalam kamar asramaku. Taehyung tak kembali sampai pukul delapan malam. .Selama menunggu, aku melakukan banyak hal dengan beres-beres isi koper dan membaca Catcher in the Ryeβbuku novel yang dititipkan Kakek padakuβtapi aku hanya tahan membacanya hanya beberapa halaman sebelum perutku berbunyi keras.
Aku memanaskan dendeng sapi buatan Kakek ke dalam microwave di bilik dapur asrama, yang terletak di ujung lorong tiap lantai. Di sana aku bertemu seorang muridβdalam balutan jaket football sekolah dan celana olahraga ketat yang menonjolkan betisnya yang berotot dua kali lebih besar darikuβsedang memanggang sosis berukuran besar di atas teflon. Tatapannya ketika melihat padaku cukup sinis, atau kau mungkin beranggapan itu adalah tatapan jahat. Dia beberapa senti lebih tinggi dariku, dengan kulit putih kemerah-merahan dan badan seperti pegulat, sekilas membuatnya mirip seperti babi.
Dan, oh, aku bisa melihat nama yang disulam di bagian dada pada jaketnya.
Moon Ilbom.
Ini adalah orang yang dikhawatirkan Jimin dan Taehyung, bukan? Salah satu dari kelompok perundung di sekolah. Aku pura-pura tidak menyadari apa pun dan melanjutkan bermain ponsel selagi menunggu dendeng panas.
Kami tak saling menyapa atau berbicara, tapi saat makananku sudah matang (waktu itu aku sedang membuka microwave), tahu-tahu Ilbom menghampiriku dari belakang. Untung saja aku sudah cukup berpengalaman menghadapi situasi, sehingga aku bisa bersikap tenang saat menghadapnya.
"Wajah baru," gumamnya. Suaranya berat, seperti suara karakter jahat yang kautemukan dil film. "Hei, Bung, kau di kamar mana?"
Aku berhati-hati untuk tidak begitu saja memberikan informasi. Anak ini punya aura yang jauh lebih membahayakan dari Byul.
"Di kamar bawah," dustaku, lalu aku cepat-cepat menyingkir darinya dengan berkata, "Ah, teman sekamarku sedang sakit. Aku harus segera ke sana."
"Wah, enggak sopan sekali," katanya sambil menahan tangannya di pundakku. Aku tahu orang ini sengaja mencengkeramnya terlalu keras, barangkali untuk menunjukkan dominansinya pada orang-orang awam sepertiku. Tapi, aku berusaha tidak menunjukkan ekspresi kesakitan. "Hei, jagoan, kau enggak tahu peraturannya, ya? Apa maksudmu melihatku dengan tatapan menilai seperti itu?"
"Sorry, lain kali aku akan lebih hati-hati," ujarku, tenang dan tidak angkuh. Kutarik napas dan kuembuskan pelan-pelan. Ilbom berbau seperti keringat laki-laki, karat besi, dan asap rokok. Aku tidak tahu apa saja yang dia lakukan hingga bau badannya menjadi seaneh ini, tapi yang lebih penting dari semuanya, aku harus menyingkir darinya tanpa menghunuskan pemikiran baru bahwa aku layak menjadi sasarannya.
Ilbom melepas cengkeramannya. "Lain kali awas saja kau," katanya. Jari tengah mengacung padaku. Aku memasang tampang setenang mungkin.
Saat kembali ke kamar, aku langsung makan, kemudian mandi. Taehyung kusisakan tiga lembar dendeng agar dia bisa mencicipi masakan Kakek yang enak (apa aku sudah bilang kalau Kakek punya restoran di Busan?). Pada pukul enam sore, Taehyung, tanpa aba-aba, langsung membuka pintu kamar dan kaget saat melihatku tidur tengkurap sambil bermain ponsel di ranjang atas.
"Astaga, aku lupa kalau sekarang ada kau!"
"Ini memberimu alasan untuk mengetuk pintu dulu sebelum membukanya."
Taehyung menanggapi sambil nyengir kotak, lalu melepas topi baret yang dikenakannya. Dia menyugar rambut cokelatnya ke belakang selagi menghampiri ranjang.
"Taehyung-aa, kalau kau belum makan malam, aku sudah menyisakan dendeng untukmu. Kutaruh di atas laci," ujarku.
Taehyung langsung pergi ke arah laci, membuka kotak makan yang kusiapkan di sana. "Trims, Jung. Aku lagi kepingin yang gurih-gurih. Dari tadi bosan makan yang manis melulu. Omong-omong," dia menurunkan tasnya, lalu mencomot dendeng tanpa cuci tangan, "Kenapa kau tiba-tiba pergi dari asrama Byul?"
"Byul enggak bilang apa-apa?" tanyaku dari ranjang atas.
"Memang kau titip pesan pada Byul?"
"Lupakan saja, aku enggak pengin bahas soal itu."
"Hei, kenapa, sih?" desak Taehyung. Anak itu memanjat ke ranjang atas sehingga kini kepalanya sejajar dengan kepalaku. Dia bicara padaku sambil nyengir, yang di mataku terlihat seolah dia sedang menyindir. "Sumpah, Jung, baru kali ini aku lihat ada cowok yang enggak suka dengan Byul."
"Kenapa? Karena Byul seksi, kaupikir itu enggak mungkin?"
Taehyung tahu-tahu mengerutkan kening, dia membuka mulut tapi hanya mengeluarkan suara megap-megap seperti ikan.
Tiba-tiba, kejengkelanku karena kalimat sarkasme itu tidak menonjok pemahamannya justru tersulut lagi. Aku menjelaskan pada Taehyung tanpa memikirkan perasaannya, "Kau masih belum mengerti juga? Biar kuperjelas, inilah yang disebut keadilan untuk orang-orang berwajah menarik. Kau menutup mata atas apa yang mereka lakukan."
Kemudian, ekspresi Taehyung langsung berubah seperti terpukul, dan sekonyong-konyong aku merasa bersalah padanya. Barangkali semestinya aku tidak bilang sesuatu yang seperti itu pada dirinya yang punya wajah tampan luar biasa. Dia mungkin merasa aku juga menyinggungnya, tapi kejengkelanku terhadap Byul lebih besar sehingga aku bisa lebih cepat meredam rasa bersalahku terhadap Taehyung.
"Sorry, kawan, ini sama sekali enggak berhubungan denganmu." Akhirnya, aku hanya menggumam lirih, lalu membalik badan memunggunginya.
Malam itu, aku tertidur dengan kepala yang dipenuhi rasa tidak nyaman karena sulit mengungkapkan apa yang menjadi ganjalan dalam tenggorokanku.
-oOo-
"Pelajaran pertama Biologi, kalau terlambat kau bisa dijemur di tiang bendera sambil dikalungi papan konyol!"
"Apa tulisan di papannya?" kataku selagi memasang kaus kaki. Taehyung menyisir rambutnya sambil mematut diri di kaca.
"Kau tulis dulu apa sanksi selanjutnya, baru bisa mengalungkan papannya di leher. Dulu aku menulis, 'Aku akan mencukur alis kalau sampai telat lagi' lalu Yerim-ssaem langsung menyuruhku menjemur diri di lapangan."
"Lalu kau enggak pernah telat lagi, kan?"
"Enggak, tentu saja," cemooh Taehyung, menyambar tasnya dan memasukkan beberapa buku pelajaran hari ini. "Siapa yang mau mencukur alis cuma karena telat?"
"Seenggaknya kau jera buat enggak melakukannya lagi," kataku.
Setelah menyiapkan diri, kami keluar kamar dan menuju ruang kelas (aku baru tahu kalau Taehyung ternyata satu kelas denganku). Di perjalanan, Taehyung bertanya apakah aku sudah memilih klub, aku bilang aku sudah menandai klub menari modern dan masih berpikir-pikir menambahkan klub selanjutnya.
"Bagaimana dengan klub olahraga?" tanya Taehyung.
"Mungkin football atau berenang," jawabku.
"Ah, football sangat oke," kata Taehyung. "Setiap tahunnya Choseok selalu mencari atlet untuk tim football. Kami memenangi kejuaraan olahraga nasional."
"Entahlah, aku harus pikir-pikir dulu," kataku, yang tanpa disengaja mengingat kejadian kemarin sore, saat aku bertemu Ilbom. Dia anggota klub football yang disinyalir menjadi biang peretak di antara kedamaian murid-murid Choseok, dan sejujurnya aku tidak mau berurusan lebih dalam dengannya.
Kami masuk kelas tepat saat bel berbunyi.
Seperti kelas pada umumnya, cewek-cewek berkerumun sambil membicarakan sesuatu. Ada kelompok anak berkacamata yang duduk mengelilingi meja dan adu pendapat sambil menunjuk-nunjuk buku, serta para badung mesum yang berdiri di sudut menikmati waktu sambil mengawasi paha para cewek.
Taehyung duduk di bangku paling belakang, dan dia memberitahuku bahwa bangku di sebelahnya kosong karena anak yang duduk di sana dikeluarkan dari sekolah. Jadi, kutaruh tasku di bangku itu.
Saat itu, aku sedang membuka ritsleting tas dan hendak mengambil buku tatkala tak sengaja menoleh ke seberang kananku dan melihat cewek yang kemarin dirundung AebyulβKyumi.
Aku hampir tidak percaya kalau ternyata kami berdua sekelas. Selama beberapa saat aku memandangnya. Kyumi mirip seperti anak penyendiri yang biasa kautemukan di dalam kelas, tipe yang tidak berinteraksi dengan orang lain karena lebih sering diganggu atau hanya kutu buku dan pemalu. Menurutku, dia adalah keduanya. Dia memakai sweater merah lengan panjang dan rok seragam putih sehingga membuatnya tampak seperti cake stroberi yang berjalan. Kacamatanya tebal, dan rambutnya dipotong model bobβseperti anak sekolah di zaman sembilan puluhan. Walau begitu, dia sungguh tak terganggu dengan keributan di sekeliling kami. Sedari tadi sibuk sendiri sambil menulis di buku.
Tahu-tahu, kurasakan hantaman tas cukup keras mendarat di lengan atasku. Aku mendongak sambil mengusap lenganku. Salah satu anak dari anggota pembuat onar melihatku garang dari atas. Kalian pasti bisa menebak siapa; Moon Ilbom.
Ya Tuhan, sekarang aku tidak bisa lebih terkejut dari ini. Sekelas dengan Ilbom? Aku yakin dia sengaja melakukannya, dan dia tahu aku tidak akan melakukan apa pun untuk membalasnya, walaupun sebenarnya aku bisa. Aku hanya tidak suka sikap penindas. Jadi aku hanya memasang tampang datar kepadanya.
"Wah, wah, ternyata kau ada di sini juga," katanya, menyeringai sinis. Dia melirikku dengan tatapan tidak enak selagi langkah raksasa mengantarnya ke bangku sendiri.
Lalu, suara debum pintu yang dibuka membuatku cepat-cepat berpaling dari Ilbom.
Yerim-ssaem sudah datang.
Guru Biologi kami (merangkap wali kelas) adalah wanita kepala empat yang punya wajah sinis dengan dagu lancip yang agak maju. Dia mengempit buku absen besar di ketiaknya dan berdiri di podium kelas. Untuk sekejap saja matanya langsung menyapu ruangan, memindai seperti robot yang mengawasi abnormalitas situasi. Dan, benar saja, pandangannya mendarat padaku.
"Selamat pagi, Tuan yang duduk sendiri di belakang. Kenapa wajahmu tampak asing?"
Sekonyong-konyong seluruh murid di dalam kelas langsung menoleh ke belakang, memandangku dengan tatapan bertanya-tanya pula. Sepertinya mereka juga baru menyadari kehadiranku di kelas ini.
"Sayaβ"
"Oh, aku baru ingat. Kau pasti murid baru itu," sela Yerim-ssaem dengan suara nyaring dan tajam seperti cemeti. Aku bisa membayangkan guru ini menghukum seluruh siswanya dengan cara yang seperti Taehyung gambarkan padaku. "Oke, kau maju dulu, kenalkan dirimu di depan kelas, Nak. Ayo, ayo, kemari. Cepat. Kita tidak punya waktu."
Lalu, aku maju dan memperkenalkan diri.
Semuanya berjalan lancar. Murid-murid di dalam kelas menyambutku dengan tepuk tangan hangat, kemudian kelas dimulai. Saat aku kembali di bangku, aku melihat Ilbom, yang duduk dua kursi di sampingku, memelototiku terus. melihat Ilbom yang sok seperti itu entah bagaimana membuat emosiku sedikit tersulut. Aku tak tahu masalah apa yang telah kubuat, tapi mengapa dia melihatku seakan aku ini serangga aneh di sepatunya?[]
A/N
Gais, aku mau curhat tapi kayaknya bakal panjang, dan bentarlagi aku harus kerja sampai sore. Aku curhatnya di buku satunya aja :") Anywy, gimana pendapat kalian sama buku ini? Gila sih aku nulis ini kayak enggak mikir apa-apa huhu beda banget sama the leftovers :"
BαΊ‘n Δang Δα»c truyα»n trΓͺn: AzTruyen.Top