BAB 3: IPAKPJDDMOL
IMPRESI PERTAMA ADALAH KUNCI POTRET JATI DIRIMU DI MATA ORANG LAIN
.
.
Aku, Taehyung, dan Jimin menanti di depan ruang loker selama sepuluh menit sebelum bel berdering. Kemudian, pintu kelas yang berada di ujung lorong terbuka, dan para murid yang ada di dalam ruangan langsung menghambur keluar seperti gerombolan bebek.
"Itu dia Aebyul. Kita tunggu dia," kata Jimin, menunjuk salah satu titik di antara kerumunan paling belakang. "Kau harus hati-hati kalau mengendap-endap di belakangnya," sambungnya, tetapi aku tak punya waktu untuk mengerti maksud perkataannya karena mulutku melongo melihat cewek secantik bidadari mendekati kami. Jadi, inilah Aebyul. Rambut ikal gelapnya digelung dengan gaya berantakan-tapi-modis, tersampir di bahu kanannya yang sempit. Siapa pun mungkin tidak bakalan mengira gadis semanis dan semungil ini adalah atlet Taekwondo.
Byul langsung menghadap Jimin dan berkata dengan seringai nakal, "Hei, kalau kau belum dengar beritanya, aku bakal beritahu lagi. Bedebah siluman Kitae sudah pergi ke neraka dan akulah yang menghancurkan aset mininya itu."
"Sinting banget hebatnya!" seru Jimin, tertawa. Matanya yang menyipit ke atas menyiratkan kegusaran lain karena mendengar kebarbaran Aebyul menendang selangkangan.
Taehyung maju mendekati Byul, menyahutinya, "Ya, kami sudah tahu itu. Siapa Jimin yang enggak tahu berita apa pun di sekolah ini? Ngomong-ngomong, kenalkan Byul, ini Jeon Jungkook. Kalau dia buka baju, kau bisa nonton perutnya yang kotak-kotak. Jungkook, kenalkan ini Han Aebyul, baru saja meremukkan aset mantannya."
Byul melihatku dan langsung menunjukkan raut wajah menilai. Sekejap kemudian dia mengulurkan tangan padaku.
Dengan kikuk, aku hendak menjabat tangannya, tetapi sebelum bisa menggapai jari Byul, cewek itu berkelit dari salamanku dan tahu-tahu saja tangannya terangkat hendak melemparkan pukulan pada sisi wajahku. Detik terakhirβyang kupikir kepalaku bakalan gepengβrupanya menyadarkanku bahwa Byul menghentikan gerakan tangannya tepat hanya beberapa senti dari pelipisku.
Dia berdecak, "Loh, kukira kau bisa melihat jurusku."
Taehyung tertawa kering, perlahan-lahan menjauhkan kepalan tangan Aebyul dari pelipisku (aku membeku saking terkejutnya), dan berkata, "Byul, tolong jaga adabmu, ya. Dia kesini bukan cari masalah denganmu."
"Aku cuma mengetesnya," kata Aebyul, menyunggingkan cengiran yang agak merendahkan. "Karena badannya berotot, kukira dia ahli di cabang bela diri. Perkiraanku barusan antara Taekwondo dan Muay Thai. Jangan-jangan kau keduanya, ya?" Dia bertanya padaku.
"Pikiranmu dangkal sekali, mana bisa melihat cabang apa yang dikuasai hanya dari proporsi badan?" Taehyung menyeloroh agak menggerutu.
"Wah, Taehyung-aa," kata Jimin dengan wajah seperti hendak membela Byul, "Kau enggak tahu, ya? Byul punya bakat melihat keahlian seseorang hanya dari perawakannya, khususnya di bidang bela diri." Aku melirik Aebyul dan dia tersenyum miringβyang bagiku mirip senyum sombong.
Aku tidak tahu harus menanggapi dengan cara bagaimana sehingga yang kulakukan hanya diam saja. Kemampuan Byul melihat potensi kekuatan seseorang bukanlah bakat yang didapat dari lahir. Itu adalah deduksi seseorang yang telah terjun dalam berbagai macam pengalaman di bidang yang serupa. Sama seperti seorang dokter yang bisa menemukan penyakit dari sebuah gejala. Keistimewaanya didapat dari belajar dan pengalaman, bukan faktor gen. Kalau kemampuanku lain lagi ceritanya.
"Aku enggak ahli di keduanya," kataku pahit.
Byul mengangkat alisnya, "Ya, enggak semua tebakanku benar, sih."
"Sudahlah, ngomong-ngomong," kata Jimin, merasa perlu meluruhkan suasana kaku. Dia berbalik menghadapku. "Byul yang seksi, bersikap baiklah pada Jungkook. Dia bukan anak nakal."
"Oke, maaf ya, aku enggak berniat memukulmu, kok," kata Byul, lalu dia menarik tanganku dan menjabatnya (walau aku menampakkan raut tersinggung, tapi sepertinya dia pura-pura tidak sadar). "Aku enggak bakal melibatkanmu dalam keusilanku melihat respons seseorang saat menghadapi serangan mendadak. Aku suka wajahmu, jadi aku enggak bakal memukulmu tanpa alasan!"
"Kalimat yang bagus buat perkenalan," kataku, tidak tersenyum. Byul malah nyengir.
"Tahu, enggak? Hari ini mood-ku agak berantakan karena habis putus dengan Kitae. Aku enggak fokus di pelajaran tadi dan Jungpil-ssaem melempar kapur ke kepalaku." Byul memulai, kemudian dia menyelip di antara Jimin dan Taehyung lalu memeluk bahu mereka berdua. Sementara aku berada di samping Jimin, kami berempat berjalan bersisian menuju ujung lorong yang berpotongan dengan tangga ke bawah.
"Kami bawa banyak makanan buat menaikkan mood-mu," kata Taehyung.
"Baguslah, aku lapar setengah mampus," kata Byul, menghela napas. "Ngomong-ngomong kau bawa itu juga, enggak?"
"Tentu saja bawa!"
Karena curiga, aku memandang ke arah mereka. Taehyung langsung tersenyum melihat ekspresiku, sementara Jimin tidak bisa menyembunyikan tawanya sehingga dia menyembur tergelak, "Itu, loh ... yang tadi kaucoba dan langsung batuk-batuk," katanya, diikuti dengan Taehyung yang menimpali dengan nada berbisik;
"Ssstt, di lingkungan sekolah enggak boleh bilang rokok keras-keras!"
-oOo-
Kukira kami akan masuk ke kamar asrama Byul lewat pintu depan, tetapi ternyata Byul menggeret kami bertiga untuk berputar di belakang bangunan asrama cewek dan masuk lewat pintu darurat yang dekat dengan pembuangan sampah.
"Kalau murid cowok ketahuan nongkrong di kamar cewek oleh pengawas, detensinya lebih menyakitkan daripada menguras WC," kata Byul sambil melihatku. Bibirnya begitu dekat dengan kupingku ketika dia harus berjinjit sedikit ke arahku sehingga aku bisa merasakan napasnya yang panas (sekaligus mencium aroma tubuhnya yang beraroma vanila).
Kami melewati pintu darurat dan muncul di lorong yang sepi dan remang, berjalan melewati bilik yang berkelok dan naik tangga satu kali. Sebuah papan kayu bertuliskan spidol hitam tebal-tebal, 'KESEMPATAN KETUK CUMA TIGA KALI ATAU KAU HARUS PERGI' terpasang dengan tegas di bagian paling atas pintu kamar Byul. Dia membuka pintu untuk kami dan semuanya berberondong masuk ke dalam.
Kukira aku akan menyaksikan satu fakta abnormalitas seperti jati diri barbar yang kutemukan di balik wajah manisnya yang menipu, tetapi kamar Byul ternyata benar-benar normal seperti remaja kebanyakan. Malah cenderung rapi dan kelihatannya jauh lebih lenggang karena tidak ada perabotan yang berdesak-desakan seperti kamarku dan Taehyung.
Ranjang susunnya dibautkan di tembok, berada bersisian dengan lemari pakaian (yang membuatku iri sebab Byul mendapat kemewahan bisa memakai lemari kayu alih-alih rak berlaci plastik seperti kamar asramaku), serta satu rak mungil yang berdiri di dekat jendela. Setumpuk buku pelajaran disusun rapi di atas raknya. Kamarnya terlihat seperti ruangan yang manusiawi untuk ditempati.
Byul menarik karpet gulung dari bawah kolong tempat tidurnya dan kami membantunya menggelar karpet itu di lantai. Taehyung membuka jendela kamar lebar-lebar sebagai akses bebas asap rokok yang akan mereka hirup. Byulβtanpa permisiβmenyambar tas Taehyung dan mengeluarkan semua isi makanan di baliknya. Hal pertama yang dia ambil adalah sebungkus rokok, mengeluarkan sebatang dari paknya, kemudian menyalakannya dengan geretan dari saku celananya.
"Kenapa enggak duduk?" Byul berceletuk padaku sembari nyengir.
"Jung, sini duduk bersamaku," kata Taehyung, menepuk-nepuk petak karpet yang kosong. Byul menawariku sebatang rokok, tapi Jimin langsung menahannya dengan mengatakan bahwa aku "belum" berani pegang rokok.
"Waktu pertama kali menghirupnya aku sudah tahu kalau aku enggak bakal berteman dengan rokok," kataku pada Jimin, agak tersinggung. "Aku enggak tertarik sama benda itu, jadi jangan bilang kalau aku hanya belum berani pegang."
"Kau pasangan kamar Taehyung, kan?" kata Byul. "Berhati-hatilah kalau suatu saat pengawas menemukan rokok di kamar kalian. Walau enggak ikutan menghirup, kau bisa kena detensi juga."
Aku melirik Taehyung dan anak itu hanya nyengir kotak. "Enggak bakal ketahuan. Si Jimin selalu tahu informasi kapan pengawas bakal keliling." Yang dibalas kedipan kepercayaan diri oleh Jimin.
"Omong-omong," kata Jimin, beralih pada Byul. "Kau enggak dipanggil guru kedisiplinan karena menyerang Kitae?"
"Oh, tentu saja dipanggil," kata Byul, lalu dia meletakkan rokoknya di selipan telinga dan membuka sebatang cokelat. "Aku dapat detensi ringanβmendengarkan ceramah spiritual besok pagi, tapi itu masalah gampang. Yang bikin aku agak sedih adalah ... kenyataan kalau Kitae berani selingkuh dariku padahal malam kemarin aku sudah membiarkannya meremas dadaku."
Aku menelan ludah gugup. Jimin dan Taehyung tampaknya punya reaksi biasa saja soal ini, walau mungkin agak dipaksakan bagi Taehyung, sebab raut wajah anak itu langsung berubah kaku dan berkata, "Kau mau melakukan itu, ya?"
Byul mengembuskan asap lagi, "Um, memangnya melakukan apa lagi?"
Jimin mendesah frustrasi, "Astaga, untung kau enggak jadi melakukannya."
"Benar, coba bayangkan kalau aku terlalu menikmati sentuhannya. Tangannya mungkin sudah menggerayang mau melepas braku!"
Mendengar kata terakhirnya membuatku tersedak saat mencoba minum cola dari kaleng. Sekali lagi, dengan konyolnya aku terbatuk-batuk.
Byul berkata, "Sorry, kau enggak biasa, ya, dengan pergaulan bebas?"
"Sebenarnya, aku mungkin enggak terbiasa dengan semua yang kalian lakukan," kataku nyaris jengkel, lalu berpaling pada Taehyung. "Kau bilang kau bukan pembuat onar?"
"Kami bukan pembuat onar yang seperti itu," kata Taehyung, berusah menjelaskan. "Dengar, enggak ada murid SMA yang enggak onar, Jung. Semuanya pasti pernah terlibat masalah, tapi seberapa parahnya kau membuat kesalahan adalah pengukuran kami untuk bisa mengatakan seseorang itu berengsek atau enggak."
"Benar, pergaulan bebas menurutku bukan keonaran yang perlu dibesar-besarkan," kata Byul dengan enteng. "Aku hanya mencium atau meraba saja, bukan hal besar."
Aku merasa malu mendengar jawaban seperti itu keluar dari mulut seorang cewek.
"Oke, maaf, kelihatannya kau tersinggung sekali." Byul berceletuk lebih halus, dan aku bisa mendengarnya berbisik pada Jimin dan Taehyung, "Dari mana kalian dapat cowok culun ini, sih?"
"Demi Tuhan, aku bisa mendengarnya."
"Ups, sorry."
Aku menghela napas, dan Byul menggigit bibirnya. Dia kemudian bangkit berdiri. "Oke, ini pesta, kan? Tapi kenapa kalian enggak bawa kuenya?"
"Ada banyak kue di sini," kata Taehyung sambil menunjukkan isi dalam tasnya. Tapi Byul mengerutkan hidungnya dan berkata kalau dia punya sesuatu yang lebih hebat dari jajanan murahan. "Aku punya kue tar stroberi yang kutitipkan di kulkas mininya Kyumi. Sebentar, biar kuambilkan!" Lalu diiringi degup heboh dan tepuk tangan dari Jimin dan Taehyung, Byul melanggeng pergi.
Di dalam ruangan, aku melanjutkan meminum sekaleng cola dan mengunyah sedikit keripik. Jimin berceletuk, "Jadi, Jungkook-aa, begitulah kelakuan Byul. Walau kadang menjengkelkan dia bisa berperilaku manis sekali kalau lagi mabuk."
"Kalian bahkan mabuk-mabukan?" kataku mengerutkan kening.
"Cuma sekali saja waktu itu," kata Taehyung, terkekeh. Sepertinya dia mengingat sepotong hal seru dalam kepalanya. "Byul jadi manja kalau mabuk. Dia berhalusinasi kalau dirinya adalah bocah enam tahun yang ngompol di celana. Sepanjang perjalanan pulang ke asrama merengek kalau bokongnya bau pesing."
"Tapi dia lebih baik darimu," sahut Jimin, kemudian dia tertawa sambil berkata padaku. "Jungkook-aa, kau harus dengar ini. Beberapa hari setelahnya, karena Taehyung kalah di pertandingan basket, dia depresi sekali dan memutuskan minum sekaleng bir. Setelahnya, dia langsung menungging di atas kasur. Ketika kutanya dia sedang apa, Taehyung bilang dia sedang berubah menjadi batu."
Aku terkekeh pahit mendengarnya. Taehyung tampaknya malu setengah mati.
"Omong-omong, keahlianmu apa?" Jimin bertanya padaku. Aku mengatakan bahwa aku bisa beberapa cabang olahraga, tapi tidak terlalu menguasai seluruh teknik. Jimin menggelengkan kepalanya seolah aku memberi jawaban keliru, berkata sambil menyipitkan matanya;
"Keahlian yang unik enggak ada?"
"Unik yang seperti apa?"
"Seperti Taehyung misalnya," kata Jimin, sementara dia menunjuk Taehyung yang kala itu melahap sepotong bolu sebesar kepalan tangan dan memasukkannya bulat-bulat ke dalam mulut. Persis seperti monyet yang menjejalkan pisang utuh ke mulutnya. Belum pernah kulihat mulut orang bisa seelastis itu sehingga aku mendadak terperangah.
Jimin, seolah sudah menduga reaksiku yang bakal takjub, menjelaskan, "Lihat, otot mulutnya seperti ular, makanan sebesar apa pun masuk. Taehyung pernah juara lomba makan di festival musim panas tahun kemarin dan berhasil mencetak rekor memasukkan tiga puluh marshmellow ke dalam mulutnya."
"Sinting," gumamku.
"Sinting banget uniknya," tambah Jimin. Lalu, dia menunjuk dadanya sendiri. "Kalau keahlianku di suara. Aku bisa berteriak sangat nyaring dan memecahkan benda-benda di sekitar. Kalau aku mau melakukannya sekarang, kau mungkin harus dilarikan ke rumah sakit karena gendang telingamu bakalan pecah dan mengeluarkan darah."
Aku mengerutkan kening memasang tampang ngeri, tapi Jimin menepuk bahuku sambil berkata girang, "Tenang, yang terakhir cuma bercanda."
"Yah, dia enggak bohong soal memecahkan benda," sahut Taehyung.
"Bagaimana dengan Byul?" tanyaku.
Mereka bilang Byul terlalu sulit untuk dibaca jati dirinya terutama bila mengesampingkan perangai barbarnya yang suka menendang dan melayangkan jurus tiba-tiba. Aku bilang aku mungkin harus mengenalnya selama beberapa waktu untuk mengetahui Byul orang seperti apa. Meski demikian, sikapku yang berkata seperti itu hanyalah kepura-puraan agar semua perbicangan ini beres. Terus terang saja, aku tidak begitu minat mencari tahu bagaimana watak Byul kalau impresi pertamaku padanya sudah cukup buruk. Dia kasar, lancang, sombong, dan agak liar. Bagiku, kecantikannya tak berarti apa-apa kalau dia tak bisa menjaga perilakunya.
"Bagaimana denganmu, Jung?" Taehyung berkata, memecahkan lamunanku. "Kau enggak punya bakat unik atau sesuatu yang membuat kami melongo?"
"Aku bisa melihat kematian orang." Aku sengaja mengatakannya hanya untuk melihat reaksi mereka.
Taehyungβseperti yang kudugaβmenganggapku mengada-ada. Dia langsung tergelak sampai kepalanya terlempar ke belakang. Sementara Jimin hanya memutar bola matanya dan berkata, "Lelucon tergaring abad ini!" kemudian menyandarkan dirinya pada tepian ranjang Byul sambil menjejalkan keripik kentang banyak-banyak di mulutnya. Percakapan siang itu berakhir dengan kejujuran mengenai bakat unikku yang mereka anggap hanya banyolan tidak penting.
"Ah, aku mau ke toilet dulu." Aku bangkit dan hendak pergi ke toilet yang terletak di sudut kamar. Namun, Taehyung buru-buru menahanku.
"Kau enggak bakalan mau ketahuan Byul sedang memakai toiletnya!"
"Memang enggak boleh?" Aku mengerutkan alis.
"Bagi cewek seperti Byul, toilet adalah singgasana pribadinya yang enggak boleh disentuh. Lebih baik kau pakai toilet di luar. Di ujung koridor ini ada, kok."
"Kau serius?" kataku. "Bagaimana kalau ada yang lihat?"
"Ya Tuhan, percayalah, walau ada yang lihat juga enggak bakal peduli!"
Aku menghela napas dan akhirnya pergi ke toilet di luar kamar. Bilik toilet yang ada di ujung koridor blok kamar asrama ini ternyata hanya beberapa meter di depan. Lantas, aku melangkah cepat dengan harapan tidak ada anak cewek yang melihatku berkeliaran di koridor asrama, tetapi saat aku hendak berbelok di lorong toilet, aku melihat sesuatu yang tak biasa.
Byul, dengan tampang sombong dan acuhnya, berdiri sambil melipat tangannya di dada. Di depan pintu toilet, dia berhadapan dengan seorang cewek berbadan gemuk yang jelas kelihatan takut dan menangis. Seluruh baju, bahkan dari kepala hingga ujung kaki anak itu basah kuyup. Kedua tangannya terkepal rapat di pahanya dan aku melihatnya sedang menggenggam kacamata yang patah dengan gemetaran.
Saat aku muncul di ambang lorong, Byul melihatku. Tampang Byul langsung berubah, seakan dia terkejut karena tertangkap basah melakukan sesuatu, sementara anak cewek satunya panik. Dia beringsut keluar dan dan menabrakku lumayan keras. Aku tak sempat memanggilnya sebab dia sudah berlari cepat ke ujung koridor.
Aku membeku di depan lorong toilet.
Byul terbatuk kecil, berusaha menormalkan suaranya saat berbicara padaku, "Yah, Jungkook, itu tadi Kyumi."
Aku memedulikan ekspresi wajah Byul dan anak itu melihatku dengan tatapan nyaris kaku tanpa ekspresi, tetapi itu justru membuat perasaan benciku makin besar padanya. Mengapa dia mampu bersikap kelewat biasa bahkan setelah aku memergokinya merundung seorang cewek?
A/N
Duh elah Byul, kasar banget jadi cewek ye kan :(
BαΊ‘n Δang Δα»c truyα»n trΓͺn: AzTruyen.Top