BAB 2: TSOTKBMHTK

TIDAK SEMUA ORANG TANPA KUTUKAN BISA MENJALANI HIDUP TANPA KUTUKAN


.

.

Saat Taehyung bilang bahwa aku akan menjadi saksi si Kerdil paling bawel dalam sejarah manusia, kukira dia hanya membesar-besarkan saja, tetapi rupanya itu adalah fakta.

Kalau aku harus mendeskripsikannya, selain penampilannya yang agak pendek dan bergaya chick―modis dan trendi, kebalikan dari selera berpakaian Taehyung yang kebapakan dan kolot―Park Jimin juga menaruh perhatian besar pada berita-berita yang terjadi di sekeliling kami. Dia adalah observer sejati, kemampuannya mengetahui desas-desus lebih cepat dan akurat daripada yang bisa dilakukan seluruh penggosip yang pernah kukenal. Bukan berarti aku mengatakan kalau Park Jimin tukang gosip.

"Byul baru saja putus dengan Kitae. Dia marah besar dan melakukan apchagi di selangkangan Kitae!" kata Jimin seperti memulai sebuah kasus, sementara dia menyelipkan batang rokok di kupingnya dan memakai kedua tangannya untuk menuangkan air termos ke dalam cangkir-cangkir berisi bubuk kopi. Kami duduk bersempit-sempitan di lantai melingkarinya.

Taehyung memasang ekspresi serius sambil menganggukkan kepala. "Ceritakan. Kali ini kenapa dia putus?"

"Sebelum ke inti cerita, aku harus memberitahu kalian kalau kebenaran ini bersumber dari Sojin-hyung, yang juga ada di UKS yang sama dengan Kitae," kata Jimin, menyesap kopinya sebentar, lalu menjelaskan lagi dengan menggebu, "Dan kalau kalian tanya kenapa Hyung-nim ada di sana, dia lagi bolos pelajaran Pak Choi, ngakunya bekas operasi usus buntunya sakit―dan omong-omong Sojin-hyung ini menjadi saksi ketika dokter di sana membuka ritsleting celana Kitae dan menemukan pembengkakan yang tidak biasa pada...."

"Bangsat kau, langsung saja ke intinya!" Taehyung menjambak rambut Jimin, yang dibalas dengan gaduhan sakit.

"Sial, sampai mana aku tadi? Oh, iya, Byul melakukan apchagi pada Kitae setelah ketahuan melihat cowoknya selingkuh dengan Sora. Parah sekali. Si Kitae langsung dilarikan ke UKS dan katanya sampai enggak bisa jalan dengan benar."

"Sora?" Taehyung membeo.

"Masa kau lupa? Sora dari klub penyiar, cewek yang bulan kemarin, minggu kemarin, dan lusa kemarin nembak kau!" Melotot pada Kim Taehyung, yang malah mengundang kernyitan lupa dan tatapan bingung.

Jimin menggerutu berbisik, "Percuma, enggak ada cewek yang kauingat selain Bibi kantin, kan...."

"Apchagi?" Aku berceletuk, meyakinkan lagi bahwa kupingku tidak salah mendengarnya sebanyak dua kali.

"Benar, tendangan ke depan, kau tahu? Itu nama jurus Taekwondo," sahut Taehyung, sementara dia mengaduk minumannya dengan bekas bungkus susu bubuk. "Byul adalah mantan atlet yang berbahaya. Kalau kau bertemu Byul dan cewek itu menggoyangkan kakinya di hadapanmu, berarti kau cuma punya dua pilihan. Kabur atau sujud minta maaf. Kusarankan untuk minta maaf. Percuma kau kabur, sebab cewek itu bakal mengejar selangkanganmu sampai ke mana pun."

"Kalau Byul mengincarmu, berarti menurutnya kau itu salah satu dari tiga kemungkinan." Jimin menambahkan dengan cepat, lalu langsung mengangkat tiga jarinya ke atas dan menghitung sambil menyembur serius, "Satu, kau baru saja cari masalah dengannya. Dua, kau mungkin mirip samsak di matanya. Tiga, yah ... dia cuma pengin menendangmu tanpa alasan."

"Tapi aku enggak bisa mengendalikan yang kedua dan ketiga."

"Kita semua enggak ada yang bisa mengendalikannya," kata Jimin setelah dia meminum kopinya, lagi-lagi berbicara cepat dengan nada menggurui. "Biar bagaimanapun, cowok selalu salah kalau di depan Byul. Ini seperti kau menghadapi kombinasi sempurna dari cewek PMS dan ibumu di rumah."

"Kalian berteman dengan cewek seperti itu?"

"Yah, begitulah."

"Byul sahabat kami." Jimin menambahkan dengan nada pelan. "Walau kadang harus kena marah...."

"Taehyung pernah enggak sengaja kepalanya tertendang sampai dia gegar otak ringan," kata Jimin, sementara aku mendengkus tidak habis pikir.

"Dengar," kataku, mencoba mencerahkan. "Mengapa kalian mau-mau saja diperbudak dalam sistem pertemanan toxic? Hidup enggak akan berakhir kalau kalian memutus pertemanan dengan cewek seperti itu."

Taehyung memejamkan mata, sambil menyeringai seolah aku baru saja menghinanya. "Ha. Pertemanan toxic."

"Jelas kau enggak tahu artinya." Jimin menyahut, menatapku.

"Aku tahu. Dari cerita kalian saja sudah jelas Byul orang yang seperti apa," kataku hampir jengkel, sementara Jimin mulai menunjukkan ekspresi seolah aku bicara hal konyol. Aku yang merasa kesal, mengukuhkan tampang keras. "Mengapa bisa ada cewek yang enggak segan menghajar selangkangan laki-laki dan melayangkan tendangan pada apa pun yang membuatnya enggak senang?"

Mendengar kalimatku yang terakhir, Taehyung terkekeh. "Jungkook-aa, kau ini terlalu kaku kalau urusan bersosialisasi."

"Aku enggak menyamakan, justru itulah ... kalau tahu di mana kelirunya, kau harus berpaling dan pergi supaya hidupmu tentram."

Jimin tampaknya tidak begitu minat dengan pertanyaanku, sebab dia langsung berpaling pada Taehyung. "Oke, kita lupakan dulu soal racun pertemanan yang enggak jelas ini. Darurat level dua. Kalau dibiarkan saja, Byul bakalan lebih gawat."

"Benar, kita harus menemui Byul sekarang dan mengadakan pesta."

"Call! Kita siapkan cola dan camilan, jangan lupa rokok!"

Mereka segera menghabiskan minuman dan menghunus puntung rokoknya yang sudah pendek ke asbak, dengan suara kasak-kusuk berisik, cepat-cepat bangkit dan bersiap untuk pergi ketika aku menyela, "Buat apa kalian pesta?"

"Kau ikut sajalah, biar tahu sendiri," kata Taehyung. "Lagi pula sepertinya Byul bakal tertarik denganmu. Dia suka cowok kekar. Katanya bagus dibuat samsak."

"Dan membiarkanku ditendang?" gerutuku.

"Kau bisa, enggak, untuk sebentar saja berhenti ngomel?" Jimin berkata jengkel.

"Karena ini bukan perteman yang kuinginkan," sahutku, mata berpindah-pindah menatap Taehyung dan Jimin. Sekejap saja dibayangi rasa terpukul karena baru saja dianggap tukang omel. "Maaf, tapi ... ini hari pertamaku, dan aku sudah mendengar banyak keonaran. Aku enggak biasa dengan hubungan seperti itu ... merokok dan kekasaran juga enggak bisa membuatku nyaman ... apalagi mengadakan pesta buat merayakan pasangan yang putus karena selingkuh...."

"Jungkook-aa, apa kau ini sebenarnya pecundang?"

"Apa?"

Jimin menaruh tangannya di pundakku, meremasnya pelan. "Dengar, memang enggak mudah buat beradaptasi di tempat baru, tapi kau bisa melakukannya pelan-pelan. Jadi, percayalah dengan kami. Enggak semua yang kauliihat dan kaudengar itu adalah sesuatu yang buruk. Jangan jadi pecundang yang hanya melihat dunia dari satu sudut pandang."

"Kalian berteman dengan cewek yang jelas-jelas kasar dan egois."

"Kau hanya belum tahu dia orang seperti apa," kata Taehyung, lalu menepuk pundakku dengan cara bersahabat.

Pada akhirnya, aku menghela napas dan mengikuti kemauan mereka. Sebelum kami beranjak pergi, Jimin membuka laci pakaian paling bawah dan mengeluarkan semua isinya, lalu menarik dua pak rokok yang dijejalkan tersembunyi dari balik tumpukan celana dalam. Sementara Taehyung menggeret keluar sebuah koper berukuran sedang dari kolong kasur dan membuka ritsletingnya.

Apa yang ada di sana membuat kami melongo.

Ternyata itu adalah timbunan makanan, lebih banyak dari yang selama ini pernah kulihat dimiliki anak seceking Taehyung; selain bir kaleng dengan kadar alkohol rendah, cola, dan selusin lebih minuman dari berbagai merek, segunung cokelat batangan, berbungkus-bungkus bolu, keripik, biskuit, permen karet dan rumput laut kering juga dijejalkan di sana.

"Dari mana kau mendapatkan semua ini?" Aku bertanya terheran-heran.

"Banyak cewek yang memberikannya padaku," kata Taehyung enteng, sementara dia meraup sebanyak yang tangannya sanggup dan menuangkannya ke lantai. Jimin dengan bergairah langsung menyambar tas ransel yang digeletakkan di atas kasur dan memuntahkan semua isi buku di dalamnya. Sebagai gantinya dia memasukkan semua makanan ke dalam tas.

Aku yang membatu di hadapan Taehyung ternyata mengundang perhatiannya. Anak itu langsung melihatku, "Kau tenang saja. Aku enggak bisa menghabiskan ini semua seorang diri. Kau bisa ambil apa yang kausuka."

Jimin menyahutiku selagi memasukkan kue lebih banyak ke dalam tas. "Taehyung kita sungguh terkenal di kalangan murid cewek. Ah, aku iri dengan ketampananmu, apa waktu pembagian muka ganteng saat jadi benih embrio dulu kau melakukan korupsi? Mengapa semua yang serba bagus ada padamu, sih?"

Taehyung menjawab kecil, "Protes saja sama Tuhan, sialan."

Setelah selesai mengemasi makanan dan rokok untuk pesta, aku mengikuti mereka pergi dari kamar. Taehyung menutup dan mengunci pintu di belakang kami, sementara Jimin menjadi pemandu jalan.

Kami turun tangga dan melewati kelokan lobi di mana ada petugas layanan berwajah masam―Do Haesong―yang sedari tadi masih sibuk menelepon. Tanpa kuduga, Taehyung malah mengucapkan selamat bertugas padanya. Do Haesong langsung tergagap, wajahnya merona merah. Seketika melupakan ponsel yang ditempelkan di telinganya.

Setelah kami melewati pintu keluar dan menyeberangi lapangan Choseok yang luas, Jimin berkata, "Ini masih jam empat. Byul masih ada di klub Jurnalistik, kan?"

"Sebentar lagi selesai," kata Taehyung, kemudian dia menoleh padaku yang berjalan di belakangnya sambil nyengir senang, "Nah, sambil menunggu kelasnya usai, mari kita ajak Jungkook melihat-lihat sebentar."

Semangatku langsung muncul kembali. Aku berlari kecil menyamakan langkah.

Mereka mengajakku masuk ke gedung SMA Choseok melalui pintu kaca di jalur utama. Kami berdiri di sebuah lobi luas dan mewah bernuansa oranye. Di tengah-tengah lobi ada sekelompok patung keemasan―tiga pendiri sekolah dua puluh tahun lalu, yang dihias seperti taman kecil dengan ornamen simbolis sekolah. Ruangan berdengung oleh kasak-kusuk berbisik para murid yang berlalu lalang.

"Setiap hari Sabtu, jam pelajaran lebih pendek dan hanya fokus pada kegiatan klub. Ada banyak klub di sekolah ini," kata Jimin ketika kami menyusuri blok kelas di lantai pertama, di mana sebagian kelasnya kosong. Jimin menunjuk ruangan tiap kali kami melewati pintu-pintu yang tertutup, "Klub akting, menari, desain, fashion, lalu...," aku mengintip melalui daun jendela yang terbuka di ruangan paling ujung, di dalam ruangan ada seorang murid laki-laki ketiduran di bangkunya seorang diri.

"Klub musik," lanjut Jimin, sembari menunjuk ruangan itu. Kami mendekati pintu yang terbuka dan berdiri di ambangnya. Jimin berseru pada anak laki-laki yang ketiduran, "Hei, Sunjoon-aa!"

Yang dipanggil Sunjoon langsung menegakkan tubuh, terlonjak kaget seakan seseorang baru saja menamparnya. Untuk sekejap saja, dia memandang kami bertiga dengan tatapan gugup, tetapi napasnya langsung menghela lega.

"Oh, Jimin-aa."

Ekspresinya kelelahan dan tampak kacau―rambutnya seperti kain pel awut-awutan dan matanya seperti tidak tidur berhari-hari. Setelah kuperhatikan lebih cermat, seragam yang dipakai Sunjoon juga basah kuyup di bagian dada.

Jimin sepertinya juga menyadari ada yang aneh, sebab dia langsung berkata, "Kenapa kau berantakan sekali?"

"Eh, enggak apa-apa," kata Sunjoon dengan gagap. Dia cepat-cepat keluar dari bangkunya, membereskan meja dengan suara kelontangan ketika memasukkan, dengan agak panik, kotak makan stainless steel dan tempat kacamata dari kolong meja. Sunjoon melewati kami (yang membuatku mengerutkan hidung dengan tiba-tiba, sebab tercium bau tidak sedap dari badan Sunjoon). Dia mengucapkan salam lirih pada Jimin, "Sampai bertemu lagi, Jimin!" lalu melayangkan tundukan salam buru-buru padaku serta Taehyung.

"Kau mencium bau kencing, enggak?" celetuk Taehyung saat kami mengawasi punggung Sunjoon yang berjalan cepat dan agak membungkuk dari lorong. Kami berdua menggumam mengiyakan, tetapi aku tidak berani untuk membayangkan kebenaran dari gagasan itu.

"Sepertinya diganggu lagi dengan Yeongsob," kata Jimin, sementara dia menuntun kami ke luar ruangan dan melanjutkan berjalan ke arah berlawanan dengan Sunjoon. Jimin sekilas melirikku, "Itu tadi Bae Sunjoon, teman satu klub. Enggak biasanya aku lihat dia seperti itu ... maksudku, dia memang sering diganggu, tapi hari ini sepertinya Sunjoon mengalami hari yang lebih buruk."

"Yeongsob itu anak salah satu anggota komite sekolah, kan?" Taehyung memastikan.

"Benar," jawab Jimin. "Ayahnya juga menggelontorkan banyak dana untuk pembangunan kolam renang sekolah baru-baru ini, jadi dia sangat terkenal. Si Yeongsob itu juga sahabat lengketnya Ilbom, di mana ada mereka biasanya selalu ada target yang dirundung."

Aku membalas termangu, "Jadi Sunjoon adalah korban perundungan?"

"Enggak hanya dia," kata Jimin, sementara kami menaiki tangga lagi dan muncul di blok koridor berikutnya. Kelas-kelas yang ada di sini penuh dengan murid-murid yang sedang belajar dengan senyap, sehingga kami harus memelankan suara. "Anak-anak kelas satu dan dua biasanya banyak yang menjadi korban ... Para perundung memilih anak-anak tertentu sebagai target empuk. Mereka terus-menerus berbuat kasar, memeras, kabarnya juga menyuruh untuk mencuri dan bunuh diri."

"Apa ada yang benar-benar bunuh diri?" Aku mengerutkan alis, kaget.

"Hampir," jawab Jimin. "Dulu waktu kami kelas satu ada anak asrama yang menelan banyak pil tidur, katanya sekelompok senior menyuruhnya minum pil sebagai ujian inisiasi di klub modelling. Untunglah nyawanya bisa diselamatkan."

"Guru-guru enggak ada yang tahu?"

Taehyung mengajak kami duduk di sebuah bangku panjang di dekat loker murid, kemudian menjawabku, "Sejauh ini sebagian besar korban memilih bungkam karena diancam ... kecuali kasus pil tidur itu. Karena seluruh sekolah tahu, beberapa senior akhirnya dikeluarkan dengan catatan khusus dari kepolisian."

"Berbeda dari perundungan nekat dan idiot yang dilakukan para senior dulu, geng Ilbom dan Yeongsob itu licik dan licin seperti ular, belum lagi orang tuanya adalah orang berpengaruh di sekolah," timpal Jimin, yang dibalas anggukan setuju dari Taehyung. "Murid-murid bahkan guru enggak ada yang berani melawan. Mereka bakal disikat kalau ikut campur." Dia menambahkan dengan nada berat dan suram.

Ada getir pahit yang berkecamuk di dalam kepalaku, melolongkan beban menyakitkan atas ketidakadilan yang diterima Sunjoon dan semua korban di sekolah ini. Bagaimana mereka bisa tidur tenang? Bagaimana mereka bisa menikmati masa-masa sekolahnya apabila setiap harinya selalu diganggu seperti itu?

Aku menengok ke dalam diriku sendiri, memikirkan betapa buruknya nasibku selama ini yang harus dikekang oleh kutukan masa depan kematian. Tampaknya berada di sekolah ini membuka satu lagi simpul pengecut dalam dadaku, bahwa tidak semua orang yang tidak dikutuk mempunyai hidup yang baik-baik saja.[]


A/n

Kalau kalian tahu webtoon lookism, cerita ini kubuat dengan mengambil banyak inspirasi darinya, terutama dari kehidupan sekolah yang penuh konflik, kekonyolan, serta kadang anak2nya freak. Tapi kayaknya aku enggak bisa niru vibes komedinya, karena beneran pas aku baca ulang The Cursed Boy rasanya malah garing kriuk kriuk awowkok. Apa karena aku yg bikin? Padahal aku gampang ketawa denger hal receh :"D

BαΊ‘n Δ‘ang đọc truyện trΓͺn: AzTruyen.Top