9. Bapak Bukan Abang

-oOo-

PEMUDA itu merasakannya, walau samar―ingatannya mirip seperti kabut yang berpusing dalam benak―saat-saat tubuhnya diangkut ke mobil di tengah hujan deras yang menggempur. Kepalanya bersandar di pangkuan entah siapa. Namun ada aroma manis parfum yang menguar dari tubuh orang ini. Sepanjang perjalanan ke klinik, suara itu lembut seperti tiupan angin, berbisik di telinganya untuk menenangkannya;

"Mas bakal baik-baik aja. Bertahan, ya."

Daru tidak tahu dari mana harus memulainya, tetapi hidupnya sejak dulu tidak pernah baik-baik saja.

Ini hanya perkara untuk menyembunyikan apa yang dia tahu. Hanya perkara menyimpan rahasia besar yang entah kapan akan dikatakannya kepada Hita. Dan, selama rahasia itu masih terselip rapi dalam arsip ingatannya, Daru tahu hidupnya tidak akan baik-baik saja. Setidaknya, setiap malam kecemasan itu kembali menggerogoti kepalanya bagi belatung yang memakan bangkai. Dia mungkin bisa bertahan, tetapi tidak tanpa Hita.

"Mas Daru, tadi aku berantem sama temen."

Waktu itu, Hita yang baru masuk TK mengadu padanya dengan nada menahan jengkel―pipinya menggembung lucu sampai mirip bakpau. "Temenku nanya kenapa yang jemput aku tiap pulang sekolah itu Mas Daru, kenapa bukan Bapak atau Ibu. Waktu aku bilang alasannya, dia malah ketawa."

"Emang Hita bilang apa?"

"Ya aku bilang kalau Mas Daru itu bapakku. Temenku malah nuduh aku bohong, padahal kan bener!" Hita mencebikkan bibir dan menampakkan raut ingin menangis. Daru lekas-lekas menangkup pipinya dan mengusapnya pelan, menenangkan Hita. Diselingi gelombang kesedihan, Hita meneruskan, "Kata temenku, Mas Daru itu masih anak sekolah, soalnya tiap jemput aku, Mas pakai seragam SMA. Mana ada anak SMA yang udah jadi bapak-bapak!"

Daru merasakan sengatan prihatin di dadanya, lalu berkata pelan, "Mas Daru itu abangmu, bukan bapakmu."

"Tapi katanya Mas, Mas jadi orangtuaku juga?"

"Iya, tapi sebagai pengganti. Kalau pengganti itu namanya wali. Jadi bukan orangtua asli, ya."

"Bedanya apa?"

"Ya sama aja. Namanya aja yang beda." Daru terkekeh kecil melihat raut wajah Hita yang berpikir keras. Keningnya berkerut dan bibirnya monyong ke depan. Karena gemas dengan ekspresinya, sang abang mencubit bibir Hita pelan. "Jadi, kalau ada yang nanya soal Bapak lagi, sebut aja nama Pak Rusidi. Dia kan bapaknya Hita juga. Oke?"

Daru berpikir dia akan mendapatkan anggukan setuju dari Hita, tetapi nyatanya Hita malah terdiam. Matanya menatap sang abang lurus-lurus, tanpa berkedip.

"Kenapa, Ta?"

"Pak Rusidi kan bukan bapakku," Hita membalas kecil. Pelan-pelan kepalanya berpaling ke kamar tidur yang terletak di dekat ruang keluarga. Di balik pintunya yang terbuka sedikit, tampak seorang pria paruh baya tengah tidur terlentang di atas kasur yang digelar di lantai. Perut orang itu bergerak naik turun dengan pelan.

Hita kembali menoleh pada Daru. Kalimatnya kali ini diutarakan dengan mantap, "Pak Rusidi bukan bapakku. Dia kan bapaknya Mas Daru. Kalau aku enggak punya bapak."

"Mas Daru?"

Seseorang menyerukan namanya, pelan dan hati-hati. Kenangan tentang masa kecil Hita kembali merayap ke dalam kegelapan. Kesadaran Daru terpanggil ke dunianya yang malang.

"Mas Daru."

Dia membuka mata.

"Mas, sudah sadar?"

Di atasnya, wajah Senja meratap cemas. Daru merasakan jemari gadis itu membenahi poni agar tak menutupi matanya. Dan, pada sentuhan pertama itulah Daru menyadari, terbantu oleh semilir angin dari kisi jendela yang menyerak anak rambut si puan, aroma manis parfum itu rupanya milik Senja.

"Sekarang gimana perasaannya?"

"Baik ...." Suara Daru parau dan lirih. Kecuali perutnya yang sedikit mual dan kepalanya yang berat, tubuhnya baik-baik saja. Hidup dan hangat.

"Mas inget nggak tadi kenapa?"

Daru tertahan sejenak. Seingatnya, dia sedang berjaga di toko, kemudian ....

"Saya kenapa?"

"Pingsan." Suara Senja berirama cemas. "Mas pingsan di toko. Masa enggak inget?"

Ingatan Daru agak kacau. Sedikit-sedikit dia memang ingat bahwa badannya panas-dingin, lalu kepalanya berat dan kakinya lemas sekali. Dia juga teringat sedang berbaring di pangkuan Senja.

Tangan gadis itu lantas berayun di depan wajahnya.

"Mas, masih di sini, kan?" Senja membuyarkan kenangan Daru, lalu mengangkat tiga jarinya, "Coba bilang, ini berapa?"

"Empat," jawab Daru.

Rahang Senja langsung jatuh. Ekspresi terkejut setengah mati. "Mas Daru!"

"Bohong, Mbak," kata Daru. "Tiga."

Senja langsung menggigit bibirnya dengan jengkel. Kepalang sebal hingga rasanya dia bisa memukul kepala Daru dengan keras. "Mas masih bisa bercanda di situasi begini?"

"Maaf," kata Daru.

"Panas badannya Mas itu sampai 41 derajat. Dokter bilang, kalau demamnya sedikit lebih tinggi lagi, bisa jadi Mas mengalami kerusakan otak dan organ ... dan itu benar-benar bahaya. Mas Daru enggak bakal bisa berjalan atau berbicara dengan normal lagi. Tahu enggak betapa mengerikannya itu?"

Suara Senja mengirimkan denyut kepedihan dalam hati Daru. Rautnya seperti khawatir, tetapi Daru dirudung paranoia bahwa dia mungkin membaca pesan tersembunyi di balik ekspresi gadis itu. Apakah Senja berpikir bahwa dirinya adalah beban? Apakah Senja membencinya? Apakah keberadaan Daru adalah kutukan, sama seperti apa yang dia dengar sebelum ini?

Daru ragu-ragu menanyakan apa yang mengganggu pikirannya, karena dia takut bahwa Senja akan mengiyakan kegelisahannya.

"Mbak Senja," kata Daru, sementara tangannya merambat menyentuh pergelangan Senja di dekatnya. "Maaf karena udah ngerepotin Mbak."

"Ya udah, enggak papa. Pokoknya jangan diulangi lagi, Mas. Kalau ngerasa sakit, langsung istirahat."

"Iya, Mbak."

"Mas sebelumnya pernah sakit sampai pingsan kayak gini?"

"Kalau di toko, ini pertama kali."

"Ha, maksudnya Mas pernah ngalamin kayak gini di tempat lain?"

"Di toko tadi saya kenapa, Mbak?" Daru tidak ingin membahas soal itu sehingga dia memutar pembicaraan.

"Pas pingsan tadi Mas enggak ingat kalang kabutnya kita waktu ngantar Mas ke klinik?"

Daru menggeleng gelisah, merasa bersalah.

"Waktu Mas pingsan, aku sempat panik. Mau minta bantuan orang buat gotong Mas, soalnya Mas berat, tapi enggak ada orang lewat di sekitaran toko. Mas bayangin aja ... masa aku harus nyeret Mas sampai ke ruang pegawai?" Senja melihat kekhawatiran di mata Daru, lalu melanjutkan, "Akhirnya aku telepon Tante Wita. Untung aja Tante kebetulan ada di dekat sini, lagi naik mobil juga sama Om Wiraya. Jadi mereka langsung anter Mas ke klinik. Bayangin ... posisinya di luar lagi hujan deras, dan Mas enggak bangun-bangun. Eh tiba-tiba ada tiga pengunjung toko yang datang mau belanja keperluan. Aku sama Tante Garwita ya panik, dong, bingung mau ngurusin siapa dulu. Sementara Om Wira juga tegang. Om gotong Mas sendirian ke mobil, terus balik ke toko buat minta kompres dan minyak angin, soalnya Mas udah ngeracau macam-macam kayak orang mimpi buruk. Kita takut Mas keburu kejang-kejang kalau enggak segera disadarin. Soalnya dulu kecilnya Ganesh pernah sakit sampai kayak gitu."

Rasa malu tersepuh di wajah Daru yang pucat. Kenapa dirinya seperti sekarung beban yang merepotkan?

"Terus mereka sekarang di mana, Mbak?"

"Om lagi di toko, Tante keluar sebentar buat beli makan," kata Senja.

Daru tidak mau menatap ekspresi menuduh pada raut Senja sehingga dia beralih ke sesuatu yang lain. Matanya jelalatan memandangi bilik klinik, kemudian atensinya tersedot pada jam digital yang terpasang di dinding atas ruangan.

Pukul sembilan malam.

Mata Daru membelalak kaget. "Mbak nungguin saya sampai malem gini?"

"Terus mau biarin Mas sendirian?" Senja memberi tatapan khawatir yang agak polos. "Tante Wita juga harus jaga Ganesh di rumah. Siapa lagi yang nunggu kalau bukan aku? Enggak mungkin kan kalau aku suruh Hita kemari?"

Hita. Astaga.

"Hita gimana?" tanya Daru.

"Hita diantar nginap ke rumah Tante Wita."

"Hita tahu kalau saya di sini?"

"Menurut Mas, apa kita sengaja bohongin Hita kalau abangnya lagi pergi darmawisata?" Senja membalas seolah Daru telah bertanya sesuatu yang konyol. "Hita tahu Mas di klinik. Tadi dia maksa mau kemari, tapi enggak dibolehin sama Tante, soalnya Mas masih butuh istirahat. Besok pagi dia ke sini, kalau demam Mas udah lebih turun."

Memikirkan kata "besok" membuat pertanyaan lain berkembang dalam benak Daru. Mendadak saja, pemuda itu mendorong dirinya untuk duduk. Senja langsung diserbu oleh perasaan kaget dan was-was.

"Loh, mau apa, Mas?"

Daru berusaha melepas jarum infus di tangannya, tetapi Senja langsung menahannya. "Mas! Aku lapor dokter, loh, ya! Mas mau ngapain, sih?"

"Mbak, saya pulang aja sekarang, kalau enggak ...." Dia hampir mengatakan, "Biaya klinik akan membengkak" tapi tidak jadi. Entah mengapa, rasanya malu mengatakannya di hadapan Senja. Orang lain tidak boleh tahu tentang betapa carut marutnya pikirannya bila membahas masalah uang.

"Kalau enggak, kenapa?" Senja membalas panas.

"Kalau enggak ...."

Suara Daru melemah. Mendadak saja darah di kepalanya seperti terkuras lagi. Dia menekan pelipisnya dengan tangan, tidak kuat lagi. Memang pilihan yang paling baik adalah berbaring dan diam.

Senja membantunya untuk merebah kembali. Sembari membetulkan letak infus dan selimut Daru yang sudah berantakan, dia mengoceh panjang lebar seperti burung, "Tuh, kan? Gini jadinya kalau Mas enggak diawasi. Pasti bakalan memaksakan diri lagi."

Daru membuang napas sambil memejamkan mata. "Saya ... nggak suka ada di klinik, Mbak ...."

"Ya siapa yang suka kalau dirawat di klinik, Mas?" Senja menyentuh keningnya untuk memeriksa suhu tubuh Daru. "Sabar bentar, dong. Emangnya Mas itu mau ke mana, sih? Mau kerja lagi?"

"Besok saya kerja, Mbak."

"Ha? Gila kamu, Mas!" Senja melotot tidak habis pikir. "Badan kayak gini dibuat kerja, emangnya Mas mau mati cepet? Dengar, ya, Mas. Aku bakal ada di sini dan nungguin sampai pagi. Awas saja kalau melakukan hal bodoh, sembrono, nekat, dan enggak didasari pemikiran panjang, aku gampar kepalanya Mas." Dia mengakhirnya dengan menunjukkan kepalan tangannya yang mungil sambil mendengkus marah hingga membuat lubang hidungnya kembang-kempis.

Di mata Daru, Senja bertingkah seperti ibu-ibu yang cerewet soal kesehatan. Namun, bukannya terpukul, fakta ini malah membuatnya tersentil gemas. Dia nyaris membayangkan Hita akan melakukan hal yang sama persis untuknya.

Tanpa sadar, Daru mengulas cengiran kecil. Senja membalasnya dengan suara bingung. "Loh, malah ketawa. Dikiranya aku bercanda?"

"Enggak papa, Mbak."

"Mas Daru ini aneh. Orang lagi marah malah diketawain. Emangnya aku ngebadut?" kata Senja dengan bibir bersungut-sungut. Tanpa menaruh rasa curiga, gadis itu kembali menaikkan selimut Daru hingga batas leher. Suaranya yang berikutnya terdengar penuh ketulusan dan harapan, "Ya udah, sana tidur lagi. Aku jagain Mas di sini."

Daru, entah karena alasan apa, merasakan gelombang hangat membanjiri jantungnya tatkala suara terakhir Senja menyapa telinganya.[]

-oOo-

.

.

.

Kalau jadi Daru malu, pasti. Aku dulu punya teman yang pernah sakit kayak gitu juga. Dia pingsan di kelas mata kuliah, dan bikin panik satu kelas (sampai dosennya juga ikutan panik awkwkwk). Pas sadar bentar, dia nangis-nangis minta pulang. Ternyata dia sakit gara-gara kangen kampung halaman. Derita anak kos 🙂

Btw kalian pembacaku, jaga kesehatan yaa. Jangan sampai kayak Daru. Dia nih adalah salah satu tokoh nomor dua paling rapuh yang pernah kubikin. Nomor satunya Jauza, ada di novel sebelah (Angel's Circus)

Soon bakalan ada tokoh cowok rapuh lagi yang bakalan mengalahkan Jauza dan juga Daru. Buat yang baca Daruhita sampai titik ini, selamat, karena aku ngasih spoiler tokoh baruku di project mendatang; si anak pungut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top