7. Mimpi Masa Muda
-oOo-
DEDAUNAN pohon yang membingkai langit cerah di atasnya mengingatkan Daru tentang masa sekolahnya dulu.
Guru SMA-nya―Bu Risma―duduk di balik meja kerjanya, sambil memegang lembaran berkas pendataan murid yang diperlukan untuk pendaftaran sekolah lanjutan. Kacamata kotaknya bertengger miring di hidung, sementara kepalanya bergerak naik turun memeriksa barisan kolom yang kosong pada lembaran paling atas. Dia meletakkan kembali tumpukan berkas itu dan mendongakkan wajah.
Daru duduk di hadapannya, tetapi atensinya malah terpaku pada daun-daun hijau yang mencuat dari ranting pepohonan di balik jendela.
"Daru?"
Anak itu diam saja. Bu Risma memanggil lagi, "Asraf Dewandaru."
"Ya, Bu?" Daru menoleh cepat-cepat.
Bu Risma membuang napas sembari mengetuk-ngetukkan jarinya di lembaran berkas paling atas. Selanjutnya, nada pertanyaannya lebih lembut, "Kenapa berkas pendataannya enggak diisi lengkap?"
Daru diam sejenak. Bu Risma tahu jawabannya.
"Kamu enggak mau melanjutkan kuliah?"
Daru mengangguk mengiyakan.
"Kenapa, Nak?"
"Enggak ada biaya, Bu."
"Kita sudah berdiskusi ini sebelumnya. Kamu bisa pakai beasiswa pemerintah untuk lanjut kuliah. Nanti Ibu bantu untuk mengurusnya."
"Itu ... saya enggak bisa." Daru memikirkan kata-kata untuk membalas. "Kalau mau kuliah, berarti harus pergi dari desa. Saya enggak bisa ninggalin adik sendirian di rumah."
Sekarang giliran Bu Risma yang terdiam. Wanita itu tahu kalau Daru hanya tinggal berdua dengan adiknya, tetapi selama ini Bu Risma mengira bahwa ada sanak keluarga yang rutin menjenguk dan mengurus mereka. "Di dekat sini enggak ada keluargamu yang bisa dititipin adik?"
Daru menggeleng.
Bu Risma menghirup napas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan sekali embusan. Ada keprihatinan yang menjepit dadanya ketika dia mendengar jawaban lesu itu keluar dari mulut Daru. Anak didiknya satu ini adalah murid berprestasi yang rankingnya tidak pernah turun dari tiga besar sejak masuk SMA. Sayang sekali bila kepintarannya dibiarkan mengendap begitu saja di desa kecil seperti ini, yang jauh dari sentuhan teknologi perkotaan dan akses pendidikan lebih baik. Daru bisa menjadi guru atau dosen matematika kalau dia mau. Nilai-nilainya di mata pelajaran itu sangat memuaskan.
"Kalau kamu enggak mau kuliah, terus kamu mau apa?" Bu Risma bertanya hati-hati.
"Saya bisa kerja apa aja, Bu. Jadi guru les, guru ngaji, penjaga toko, montir bengkel, atau pelayan di warung." Jawaban itu keluar dengan lancar, seolah-olah Daru sudah matang-matang memikirkan rencananya setelah lulus.
Bu Risma menjadi terbawa perasaan. Untuk sejenak, guru berkacamata itu tidak bisa berkata apa-apa.
"Kamu enggak sayang sama kemampuanmu?"
Kata-kata Bu Risma membuat Daru menunduk, tak berani menatap matanya.
Daru enggan mengakui kalau dia pun merasa sayang dengan pencapaiannya selama ini. Namun, kalau diinterogasi lebih dalam, Daru juga tidak tahu jurusan apa yang mau diambilnya setelah lulus. Dia tidak pernah sekali saja membayangkan dunia perkuliahan, karena menurutnya impian itu terlalu tinggi dan mustahil.
"Kalau boleh Ibu tahu, apa Daru punya alasan yang lebih besar untuk meninggalkan kesempatan kuliah ini?"
"Kalau saya memaksa buat kuliah, pasti akan ada banyak masalah yang menunggu di belakang, entah ekonomi yang semakin memburuk, atau adik saya yang enggak terurus. Saya ... enggak mau itu terjadi. Saya belum siap."
"Jadi kamu belum siap, ya?"
Barangkali enggak akan pernah siap, tetapi Daru tidak mengatakannya. Sebagai gantinya, pemuda itu berpaling lagi memandangi dedaunan pohon yang berayun-ayun hikmat di luar sana. Rasanya pasti menyenangkan untuk duduk diam mengamati berbagai peristiwa dan tidak memikirkan apa-apa.
"Daru," panggil Bu Risma lagi. Daru menatap sorot mata gurunya yang kali ini memancarkan harapan, dan merasakan firasat buruk.
"Kamu itu adalah tipe pemikir yang enggak tanggung-tanggung membuat skenario terburuk dalam benakmu. Sudah, tenang saja, Nak. Hal apa pun yang kamu takutkan, pasti bisa teratasi dengan baik. Ibu punya saudara di Surabaya sana yang suka anak kecil. Kalau kamu mau, Ibu bisa minta ke beliau untuk menampung kamu dan―"
"Maaf, Bu," Daru tidak tahan lagi berada di ruangan ini. Kenapa gurunya bahkan tidak membiarkannya mengambil keputusan sendiri? Dia melanjutkan dengan suara penuh tekad, "Saya tetap ingin tinggal di sini dan mengurus adik saya sendiri."
Lalu pemuda itu pamit dari ruang guru dan berlari keluar, menuju lapangan sekolah yang luas. Setelah lega karena terbebas dari desakan Bu Risma, Daru mendongak menatap langit yang bersinar terik di atas kepalanya. Dedaunan pohon yang berdiri di samping ruang guru mengusik perhatian Daru. Dia memperhatikannya lagi.
Hijau, bersemburat kuning, dan lembab oleh tetesan embun. Menari-nari disapu dersik angin yang lembut.
Rasanya nyaman untuk tidak memikirkan apa-apa.
Dan, Daru membuka mata. Mengerjap linglung.
Keadaan kembali ke masa kini. Terik dan panas. Kepala belakangnya sakit, tetapi dia merasa lebih nyaman berbaring di tanah seperti ini.
Pelan-pelan, Daru mendorong dirinya duduk sambil menahan erangan. Tangannya merambat menyentuh kepala yang benjol di bagian belakang. Dia meringis sedikit, memejamkan mata untuk mengatur napas.
Daru berpaling menatap batu seukuran telur ayam di belakangnya. Di permukaannya yang berlumut terdapat sedikit noda darah. Kemudian, dia melihat telapak tangannya yang tadi meraba kepala, dan melihat bercak darah berbentuk pasta kering juga membekas di sana.
Darah itu rupanya dari kepalanya sendiri.
"Meooong!"
Setelah menyelesaikan pesta ikan pindangnya, alih-alih kabur, Inaw malah duduk manis di dekat Daru sambil menjilati tangan dan wajahnya, seolah-olah dia sedang menanti Daru bangun dari tidur siang.
"Nasib, nasib," Daru menggumam nada lelah. Pelan-pelan dia bangkit berdiri sambil menepuk-nepuk pakaian belakangnya yang kotor. Kepalanya masih pening, bahkan sampai menembus mata. Sepertinya dia sudah tidak sadarkan diri cukup lama―memalukan sekali. Untung saja luka di kepalanya tidak parah, dan untung pula tidak ada orang yang melihatnya.
Daru merogoh ponsel di kantong belakang celana, mengernyit saat melihat jam yang menunjukkan pukul delapan.
Seharusnya dia sudah ada di Wiramart sejak pukul tujuh tadi.
Gawat.
"Inaw, ayo pulang," kata Daru, kemudian mengangkat Inaw dengan lembut. Kucing itu mulanya menunjukkan tanda-tanpa penolakan, tetapi setelah lehernya dielus oleh Daru, dia menjadi lebih jinak.
Beres. Misinya sudah beres.
Sekarang Daru bisa bernapas dengan tenang.
-oOo-
Hita sedang duduk-duduk sambil mengayunkan kaki di depan undakan teras ketika Daru datang dari kejauhan.
Setelah melihat makhluk berbulu cokelat di gendongan abangnya, Hita langsung menjatuhkan rahang dan melotot. Sekonyong-konyong dia berlari menghampiri Daru sambil berteriak-teriak girang;
"MAS PULANG BAWA INAW! MAS PULANG BAWA INAW!"
Inaw tampaknya memahami arti lonjakan semangat dari Hita. Kucing itu langsung luluh dalam digendong Hita, dalam sekejap sudah mendengkur di pelukannya. Wajahnya yang berlumur debu dibenamkan di lekukan lengan Hita, barangkali kelewat kangen mengendusi aroma tubuh Hita yang berbau bedak dan minyak telon.
"Inaw, aku kangen kamu!" Hita menyerbu puncak kepala Inaw dengan serangan ciuman heboh. "Pokoknya kamu enggak boleh pergi lagi! Enggak boleh!"
Sementara itu, Daru nyengir senang melihat adiknya yang kembali bahagia karena kehadiran Inaw. Syukurlah dia menemukan kembali kucing itu. Dengan demikian, segala beban di hatinya terangkat, dan untuk sementara waktu, mari singkirkan kebencian terhadap binatang. Daru tidak akan berbuat sembrono seperti dulu lagi.
"Mas, kok lama banget?" Hita bertanya sambil mengikuti Daru memasuki rumah, sementara Inaw dibiarkan berbaring di keset rumah sembari menggigit-gigiti serat rajutannya.
"Tadi masih nyari Inaw, kan," jawab Daru sekenanya.
Hita, sementara itu, terlihat sehat dan riang sekali, padahal kemarin sepulang dari Nawarma, badannya langsung panas dan lemas semalaman. Fakta ini membuat Daru lega, sebab artinya dia bisa berangkat kerja tanpa kepikiran Hita di rumah. Apalagi sudah ada Inaw, Hita pasti betah berada di sini.
"Ta," kata Daru, sementara dia menaruh bungkusan plastik berisi sup dan nasi di atas meja lipat, "Mas mau langsung berangkat kerja, kamu sarapan dulu, terus tidur lagi, ya."
"Oke, Mas!" Hita menyahut riang. Dia mengambil plastik dan mengeluarkan isinya. "Loh, punya Mas mana? Enggak beli nasi juga?"
"Mas makan di toko aja. Ini udah telat banget."
Ketika Daru hendak keluar dapur dengan buru-buru, kepalanya mendadak pening dan berputar-putar. Pemuda itu langsung duduk di kursi meja makan sebelum tubuhnya benar-benar oleng. Pasti gara-gara jatuh tadi. Dalam hati Daru menggerutu sambil memijat bagian belakang kepala yang tadi kena batu. Matanya terpejam merasakan sakit yang berdenyar.
Hita yang memperhatikan abangnya berceletuk, "Kenapa, Mas?"
"Pusing, Ta."
"Mas sakit? Sudah minum obat?"
"Iya, nanti beli di toko aja."
"Atau mau libur kerja aja, Mas? Nanti aku kelonin."
"Mas enggak apa-apa, kok." Daru membalas sambil tertawa. Lucu sekali mendengar bujukan Hita yang ingin kelonan dengannya.
Setelah beberapa saat, sang abang merasa lebih baik. Lantas dia pergi ke kamar dan mematut di hadapan cermin―sekadar merapikan diri sebelum pergi kerja. Sosok yang menyambutnya di cermin adalah pemuda berwajah pucat dan mata yang agak cekung seperti orang sakit. Daru meringis melihat refleksinya sendiri. Padahal dia sudah mandi, tetapi penampilannya selalu masam dan berantakan. Rambutnya acak-acakan, jadi dia menyambar sisir dan menyugar rambut sekenanya.
"Udah, ya, Mas mau berangkat. Sini cium dulu." Daru berputar menghadap Hita yang sejak tadi berdiri di muka pintu kamarnya.
Dia membungkukkan badan dan membubuhkan ciumannya di kening Hita seperti biasa. Adiknya merasa ada yang berbeda ketika sang abang menciumnya barusan. Bibir Daru terasa panas.
"Mas, kok rasanya pan―"
"Assallamuallaikum, Ta."
Namun, abangnya tidak mendengar seruan cemas itu dan buru-buru keluar dari kamar. Terdengar derap langkah kakinya yang berlari menyusuri lorong, sampai menapaki teras. Dari jendela kamar Daru, Hita melihat abangnya meluncurkan sepeda kayuhnya menembus pekarangan. Dalam beberapa detik, pemuda itu sudah tak terlihat lagi. Cepat sekali.
Hita yang merasa agak kecewa dengan sikap buru-buru Daru, memutuskan keluar kamar untuk lanjut sarapan. Namun langkahnya terhenti sejenak ketika dia melihat sisir Daru yang masih digeletakkan di atas rak dorong. Kening Hita berkerut saat dia menangkap sesuatu. Anak itu melangkah lebih dekat.
Dia melihat ada bercak darah kering yang membekas di sisirnya.[]
-oOo-
.
.
.
.
Mas Daru, kalau nggak ada waktu untuk merawat luka, sini aku yang rawat 🥲
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top