6. Batu Telur Ayam

-oOo-

KEESOKANNYA, Hita terbangun di kasur dan menyadari abangnya sedang memeluk tubuhnya dari belakang.

Dia berputar, lalu menghadap Daru yang masih tidur nyenyak. Kehangatan abangnya membuat Hita nyaman, jadi anak itu makin merapatkan diri, menyandarkan pipinya pada lengan Daru yang terbuka. Dalam hati, berhitung sampai tiga.

Satu, dua ....

"Hita, lengan Mas sakit ...."

Hita langsung menghela napas sambil mencebikkan bibir khas bocah. Dengan kesal, dia berguling di atas kasur.

Daru, yang telah bangun sepenuhnya, membetulkan selimut Hita yang sudah setengah terlempar ke bawah. Dia menyelimuti adiknya sampai batas leher, lalu berkata, "Semalam badanmu panas. Hari ini istirahat aja, ya. Enggak usah sekolah."

Hita membalas lirih, "Mm, iyaaa."

Daru menyentuh kening Hita untuk memeriksa suhu tubuhnya. Panasnya memang sudah turun. Mengingat semalam dirinya kalang kabut mencari obat demam ke warung dan mengompres Hita sampai pukul dua pagi, sekarang Daru sangat bersyukur karena upayanya terbayarkan.

Betapa aneh, padahal seusai solat subuh tadi, giliran Daru yang merasa tidak enak badan―kepalanya pusing dan badannya panas dingin. Akan tetapi setelah demam adiknya reda, rasa sakit yang dideritanya juga pudar. Kini Daru merasa ikut sembuh.

Daru hendak beringsut pergi dari kasur. Namun, Hita menggamit lengannya dengan lembut, "Mas Daru di sini aja." Suaranya penuh permohonan.

Memenuhi permintaan adiknya, Daru merebah lagi ke kasur seraya mengelus rambut Hita, sementara lengan Hita terentang ke perut Daru seperti memeluk guling.

Tidak ada percakapan selama beberapa detik sampai Daru berceletuk, "Kamu enggak hafal nomor hapenya Mas, ya?"

Daru merasakan kepala Hita menggeleng.

"Hafalin, Ta. Kalau kamu pergi lama, kamu bisa minta tolong orang buat hubungin Mas."

"Mas Daru marah?"

Daru terdiam sejenak. "Mas takut ada apa-apa sama kamu."

"Kemarin aku nyari Inaw."

"Mas tahu."

"Terus Mas enggak takut Inaw kenapa-kenapa?"

Daru ingin membalas, cuma kamu yang Mas pedulikan, tetapi dia tidak tega melihat raut terpukul di wajah Hita. Jadi, Daru mengulur waktu untuk berpikir jawaban lain. Pemuda itu mendorong wajahnya mendekat pada Hita dan mencium kening adiknya dengan lembut, lalu berkata hati-hati, "Kalau suatu saat Mas Daru dan Inaw sama-sama enggak pulang, kamu lebih khawatir sama siapa? Mas atau Inaw?"

Hita merengutkan bibir, "Mas Daru."

Lalu Daru menarik Hita dalam pelukan lebih dalam. "Begitulah yang Mas Daru pikirkan waktu nyari kamu kemarin. Nama pertama yang muncul di kepala Mas itu ya namamu." Saat Daru tak mendengar jawaban apa pun dari Hita, dia melanjutkan dengan nada menasihati, "Sementara Inaw itu kucing liar. Dia pasti bisa hidup mandiri di luar sana. Itulah bedanya Inaw sama kamu, Ta. Kamu butuh Mas, sama halnya kayak Mas butuh kamu."

"Maaf ya, Mas." Hita menguburkan hidungnya ke dada Daru, menekan lebih dalam.

"Jangan diulangin lagi, ya."

"Mm-hm."

"Hari ini mau sarapan apa?"

"Enggak laper," jawab Hita.

"Jangan gitu, dong. Mas capek ngerawat kamu semalaman, loh."

Hita terdiam lama. Barangkali memikirkan bahwa apa yang dikatakan Daru ada benarnya. Dia tahu abangnya sudah berkorban banyak untuknya, terutama untuk kesejahteraan hidup dan pendidikannya. Jadi, Hita mudah terbawa perasaan kalau melihat abangnya susah.

"Mau makan sup," jawab Hita akhirnya.

Daru mengingat-ingat sup buatan Senja kemarin, dan kecewa ketika sadar supnya sudah habis. Dia harus memasak yang baru, yang artinya belanja bahan-bahan terlebih dahulu.

"Ya, udah, tunggu di rumah. Mas mau beli sayur."

"Mau ikut!" Hita langsung duduk dan merentangkan tangannya, jelas minta gendong.

"Tahu artinya disuruh nunggu, enggak, sih?"

Hita merapatkan bibir, mencebik seperti mau menangis.

"Nanti Mas belikan kue pastel kesukaanmu. Kalau kamu ikut, enggak ada pastel."

Terhipnotis oleh kata "pastel", akhirnya Hita mengalah. Anak itu kembali rebah di atas kasur dan menyelimuti dirinya sampai sebatas dagu, membuatnya kelihatan seperti anak ayam yang mungil dan lucu. Daru yang melihatnya tidak tahan, jadi dia mencubit pipi Hita sambil tergelak kecil.

"Kamu itu manusia apa ayam, sih? Gemesin banget."

"Mas juga gemesin."

Daru tertawa lebih keras, lalu mengusal kepala Hita sampai rambutnya berantakan. Abangnya lantas turun dari kasur dan hendak keluar kamar. Namun, Hita memanggilnya lagi, membuat langkah Daru berhenti sejenak.

"Mas Daru, kalau di jalan nanti ketemu Inaw, bawa pulang, ya."

Daru terdiam sejenak, menatap lurus-lurus mata Hita yang berkaca-kaca. Hatinya menjadi patah karena Daru menyadari bahwa dia sudah berbuat kesalahan pada adiknya.

"Kalau Inaw kembali, kamu mau janji ke Mas?" Nada sang abang seperti memohon alih-alih bertanya. "Jangan suka menyisakan makanan lagi, kerjakan tugas sekolah dengan baik, dan tidur tepat waktu. Mas enggak masalah kamu main sama kucing, tapi perhatikan kewajibanmu juga."

Hita mengangguk penuh perasaan. "Iya, janji."

"Kalau kamu enggak menepati janji, apa konsekuensinya?"

"Hah?"

"Harus ada hukuman kalau kamu enggak menepati janjimu. Ayo, tentukan hukuman buat dirimu. Kalau kamu enggak menepati janji, kamu harus melakukan hukuman yang sudah kamu buat sendiri."

"Aku bakal bersih-bersih seluruh rumah, deh."

"Janji?"

"Janji."

Semestinya anak sekecil Hita tidak boleh dipaksa untuk membersihkan seluruh rumah. Daru merasa hukumannya terlalu keras, dan pemuda itu menjadi ingat tentang apa yang dilakukannya semasa kecil dulu. Timbul keinginan untuk membuat Hita mengubah saja hukumannya dengan yang lebih ringan, tetapi dia mengurungkannya.

Barangkali, sudah saatnya mengajari Hita disiplin dengan janjinya sendiri.

-oOo-

Selain berbelanja bahan kebutuhan membuat sup, tujuan lain Daru pergi ke luar rumah adalah untuk mencari Inaw.

Dia tahu ini pasti sudah telat. Inaw yang telah dibuang di hutan barangkali sudah keluyuran dan tidak tahu arah untuk pulang. Kemungkinan tindakan pencariannya akan sia-sia. Namun Daru masih mencekal satu harapan terakhir dalam dirinya. Setidaknya, kali ini, dia datang ke sana demi Hita.

Adiknya sungguh-sungguh menyayangi Inaw, dan Daru pikir dia akan selamanya hidup dalam kubangan rasa bersalah bila tak membawa Inaw pulang. Mulai detik ini, Daru harus belajar dari pengalaman, bahwa jangan seenaknya memisahkan seseorang dari sesuatu yang dicintainya.

Pukul setengah tujuh pagi, Daru datang ke hutan sambil membawa satu kantong plastik berisi beberapa iris ikan pindang―sengaja dibeli untuk memancing Inaw. Diselubungi harapan, Daru menapak lebih jauh ke dalam hutan, mengikuti rute setapak yang masih biasa dilalui para penduduk desa. Dia masih ingat di mana dirinya membuang Inaw.

Saat Daru mendengar arus sungai yang lumayan deras, dia berjalan sedikit lebih jauh. Langkahnya berhenti ketika Daru menemukan gua kecil di tepian sungai yang tertutup semak-semak liar. Beberapa hari lalu dia meninggalkan Inaw di dalam sana dengan sepotong ikan.

Saat Daru melongok ke dalam mulut gua yang sempit, sesuai dugaannya, dia tidak melihat Inaw.

Plastik bekas makanan yang waktu itu dia tinggalkan masih ada, tetapi isinya sudah ludes. Ada jejak kaki berlumpur yang sudah mengering di mulut gua. Dilihat dari ukurannya, kemungkinan jejak kaki Inaw. Namun, saat Daru mencoba mengikuti ke mana rutenya, jejak kaki itu menghilang ditelan rerumputan dan daun-daun kering.

Oh, dia sudah terlambat. Sekarang, kucing itu selamanya tidak akan ditemukan lagi.

Ketika Daru berbalik arah sambil menahan kecewa, apa yang dilihatnya di depan mata betul-betul membuatnya hampir melompat kaget.

Tersembunyi di dekat semak belukar dengan bulu kusut dan coreng moreng lumpur di bulunya, Inaw duduk beberapa meter jauhnya di depan Daru.

"Ssst, Inaw, sini," kata Daru dengan nada seramah mungkin. Dia tahu Inaw pasti marah kepadanya. Kucing ini biasanya akan datang setiap kali ada yang memanggil namanya. Namun, kali ini Inaw melihatnya dengan sorot asing dan liar, seolah-olah Daru adalah pemburu yang hendak menembaknya.

"Inaw?"

Inaw mendesis, seolah merasa terancam. Sepertinya dia merasa trauma sekali bertemu Daru.

"Inaw, sini, Mas bawain ikan!"

Dengan hati-hati, Daru merogoh isi plastik dengan tangannya. Dia mengambil seiris ikan pindang yang paling besar dan mengulurkannya pada Inaw. Bibirnya mengerucut sambil mengeluarkan suara-suara kecil untuk memanggil binatang.

Inaw rupanya tergerak sedikit.

"Meong ...."

Kepala Inaw mendongak dan hidungnya mengendus-endus. Daru perlahan mendekat, satu langkah demi satu langkah, sementara Inaw menggusak moncong hidungnya ke udara bagai mencari sumber bau. Kucing itu akhirnya menghampiri Daru yang menaruh ikan ke atas tanah.

Ketika Inaw akhirnya melahap potongan ikan itu, kebodohannya dimulai. Daru tanpa persiapan apa pun langsung mengangkat perut Inaw.

Dan, aksinya tersebut malah menimbulkan ledakan kemarahan si kucing.

Inaw langsung menggeliut dan mencakar punggung tangan Daru, membuat pemuda itu terkejut dan mundur dengan kelabakan. Dia tidak sempat menyeimbangkan tubuh ketika tumitnya tersandung akar pohon sehingga membuatnya terjungkal ke belakang;

Sekonyong-konyong, kepala Daru terbentur batu berlumut sebesar telur ayam yang tertanam di tanah.[]

-oOo-

.

.

.

.

Mas Daru adalah definisi "sakit dibuat sendiri" awkwkwk. Siapa suruh buang kucing, yekan 😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top