5. Akhirnya Ditemukan
-oOo-
DARU kembali ke rumah. Namun, tidak ada tanda-tanda Hita.
Pakaiannya basah kuyup, tetapi dia sudah tidak berselera untuk ganti baju, sebab kecemasan yang tadi tertanam dalam benaknya kini telah tumbuh dan mengakar menjadi ketakutan yang rimbun dan lebat, bagai semak belukar yang menutupi damai di hatinya.
Hita adalah pegangannya selama ini. Satu-satunya tali harapan yang dia gantungkan setelah masa lalu menghancurkannya. Daru rela memberikan apa pun agar Hita kembali, walau itu nyawanya sekalipun. Bila dipikir-pikir lagi, selama ini dia hidup untuk Hita. Dia rela tidak melanjutkan kuliah supaya adiknya bisa sekolah. Dia rela tidak membeli pakaian baru hanya agar Hita bisa membeli seragam barunya. Dia rela bekerja pagi dan malam hanya untuk memastikan Hita memiliki kebutuhan sandang dan pangan yang cukup. Segalanya dia lakukan untuk Hita. Bila Hita tidak ada ... Bila Hita tidak kembali .....
Daru membungkuk di karpet ruang tamu sambil memegang perutnya yang tiba-tiba menegang. Rasanya sakit sekali, seolah organ dalamnya dipuntir-puntir dan diremas. Napasnya terengah-engah, dan kakinya lemas. Bisa-bisa dia pingsan kalau terus seperti ini.
Saat pemikiran nyaris membuatnya kacau, ponsel di kantong Daru berbunyi. Rupanya Senja meneleponnya.
"Mas Daru, di mana sekarang?"
Daru terdiam sejenak untuk mengumpulkan kekuatan. Suaranya kacau dan napasnya tidak terkendali. Jangan sampai Senja mencium kecurigaan darinya.
"Mas Daru, kok diem aja? Mas di mana sekarang?"
"Di-di rumah ... saya belum ketemu Hita."
"Hita ada di Nawarma, aku sudah ketemu dia."
Nawarma. Itu adalah nama game center satu-satunya yang berdiri di desa ini―pusat permainan daring komputer dan rental playstation langganan bocah-bocah bermasalah yang sering bolos dari sekolah atau minggat dari rumah. Kening Daru berkerut. Dia memastikan telinganya tidak salah dengar, "Hita ... beneran ada di sana?"
"Iya, tapi Mas jangan suudzan dulu. Hita cuma berteduh aja, bukannya main."
Alhamdulillah. Ada kelegaan yang berembus di hati Daru. Secara ajaib, rasa tidak nyaman yang sejak tadi meneror tubuhnya menjadi jauh berkurang. Pemuda itu bisa bernapas tenang dan mulai berpikir jernih.
"Apa dia baik-baik aja?" tanya Daru.
Terdengar kasak-kusuk keramaian dari seberang telepon.
"Iya, baik-baik aja, kok. Yang punya Nawarma nemenin dia terus dari tadi. Ini anaknya lagi makan Mie Sedap, tadi dibuatin sama bapaknya."
"Makasih, Mbak Senja," kata Daru. "Aku segera ke sana, ya."
Namun, sebelum Daru menutup teleponnya, Senja berseru lagi, "Mas Daru, tunggu!"
"Kenapa?"
"Hujan deras, Mas. Hita biar kujaga dulu di sini, nanti kuantar pulang."
Daru terdiam sejenak. Badannya sudah basah kuyup dan menggigil kedinginan sejak tadi, tetapi membayangkan Hita berada di tempat seperti itu membuatnya khawatir. Dia mungkin bisa memercayakan adiknya pada Senja, tetapi yang merobek ketenangannya bukan hanya soal kepercayaan. Bagaimana kalau Senja tiba-tiba menceritakan pada Hita tentang siapa yang membuang Inaw?
Membayangkan hal itu membuatnya semakin takut.
"Enggak apa, Mbak. Saya langsung jemput aja. Teleponnya saya tutup, ya. Assallamualaikum."
"Loh, Mas, ini masih deres bang―"
Namun Daru sudah menutupnya.
-oOo-
Hujan mereda ketika Daru memarkir sepedanya. Dia memasuki bangunan tua bercat jingga yang lahan parkirnya dipenuhi oleh sepeda-sepeda milik bocah sekolah. Dari luar sini, suara keroyokan dan tembak-tembakan dari gim komputer sudah terdengar, ditingkahi kekeh tawa remaja laki-laki dan obrolan sahut-sahutan yang kadang disisipi kata-kata kotor.
Walaupun Daru sendiri adalah laki-laki, dia tak pernah main di tempat ini kecuali menyewa komputernya untuk mengerjakan tugas sekolah dulu. Belum lagi, karena keseringan mengurus Hita sejak kecil, jiwa keibuannya ikut tumbuh. Pikirannya dilanda cemas membayangkan Hita ada di sana. Bahkan, dia juga mengkhawatirkan Senja, sebab kelihatannya gadis itu bukan tipe orang yang suka pergi ke tempat penuh laki-laki seperti ini.
Saat melewati pintu masuk, Daru langsung melihat Pak Gin―sang pemilik game center, duduk di dekat konter sambil menghitung uang kertas. Sang bapak mendongak dan melihat Daru muncul dengan kondisi basah kuyup, lantas bertanya dengan bahasa Jawa halus, "Loh, kok hujan-hujanan, Nak?"
Daru tertawa menahan malu. Dia mundur sejenak dari pintu dan memeras-meras pakaiannya di luar. Pak Gin bangkit dari konternya dan menghampiri Daru. "Masuk dulu, ya. Mau Bapak bikinin teh anget?"
"Enggak usah repot-repot, Pak. Saya ke sini cuma mau jemput adik saya. Tadi ada yang telepon, katanya dia di sini."
"O, iya. Tadi memang ada anak perempuan yang berteduh di sini."
Pak Gin menaikkan gagang kacamata di pangkal hidungnya dan menunjuk seberang ruangan di sebelah konter pemesanan yang dipenuhi barisan televisi. Sekitar setengah lusin anak laki-laki yang masih mengenakan seragam SMA berkumpul di karpet yang digelar di lantai sambil memegang mouse. Tak jauh dari kawanan pemain, Daru melihat Senja, sedang memangku Hita yang kelihatannya sedang asyik menonton sesuatu di layar ponsel. Adiknya sudah berpakaian kering dan mengenakan jaket merah berukuran besar. Kepala mungilnya tenggelam di balik kupluk tebal dan hangat. Kedua orang itu kelihatannya tidak tahu kalau Daru sudah datang.
"Sejak kapan dia di sini, Pak?" Daru kembali menatap Pak Gin.
"Udah dari jam dua. Tadi itu dia mondar-mandir di dekat sini sambil meang-meong manggil kucing. Terus langsung saya tuntun ke sini karena hujan. Saya suruh tunggu sini dulu, siapa tahu nanti orangtuanya datang menjemput."
Daru langsung menundukkan kepala dengan sopan, "Makasih banyak, ya, Pak. Saya nyari Hita sejak tadi, soalnya anak itu enggak pulang-pulang."
Selepas itu, Daru menengok pada Senja dan mereka berdua langsung bertatapan. Senja menjatuhkan rahangnya melihat Daru datang secepat ini, sambil basah kuyup pula. Sementara Hita, yang juga merasakan kehadiran Daru, langsung mengembalikan ponsel kepada Senja. Dengan tergopoh-gopoh, anak itu bangkit dari pangkuan dan berlari menghampiri Daru.
"Mas Daruuuu!"
Hita langsung menghambur memeluk Daru. Badannya yang kecil hanya mampu mencapai pinggang abangnya. Daru mengelus punggung Hita dengan luapan perasaan lega dan sayang, tetapi dia semakin merasa sedih dan bersalah beribu kali lipat.
Senja, sementara itu, menghampiri mereka semua dengan tampang khawatir. "Kok malah hujan-hujanan, Mas? Apa enggak punya mantel di rumah?"
"Maaf, Mbak, tadi enggak kepikiran pakai mantel," Daru membalas sekenanya.
Menurut Senja, itu adalah jawaban bodoh. Kenapa sampai seceroboh itu melupakan mantel hujan? Padahal cuacanya sangat buruk dan anginnya kencang sekali.
Daru menggendong Hita, membiarkan sang adik mengusakkan hidung dan pipinya di ceruk leher abangnya. Jelas kelihatan lelah dan murung.
Setelah membiarkan kejengkelan itu surut, Senja langsung menjelaskan, "Tadinya Hita nangis waktu aku datang. Pas kuperiksa, badannya agak hangat. Nanti setelah sampai rumah, segera diminumin obat, ya, Mas."
"Iya, Mbak. Terima kasih karena sudah bantu saya nyari Hita."
"Enggak apa, Mas. Aku juga merasa bertanggung jawab. Soalnya tadinya dia pulang bareng Ganesh, tapi Ganesh malah lalai menjaganya dan pulang sendiri ke rumah."
"Menjaga Hita itu tugas saya, Mbak, bukan Ganesh. Anak itu jangan dimarahi, ya," Daru menambahkan dengan nada minta maaf.
Hita, sementara itu, sepertinya sudah mengantuk sekali. Gadis kecil itu menyandarkan kepalanya pada pundak Daru yang lengas, lalu menguap lebar.
"Kalau begitu kami pulang dulu," kata Daru, sekali lagi membungkuk pada Pak Gin dan Senja. Selepas mendapat anggukan dan senyum dari Pak Gin, sang abang langsung membawa Hita ke tempat parkir. Namun, langkahnya berhenti saat mendadak Senja menyerukan namanya.
"Mas, rumahnya di mana?"
Daru menyebutkan nama sebuah jalan dan gang yang selalu dilewatinya. "Kenapa, Mbak?"
"Lumayan jauh dari sini, Mas. Tunggu bentar," lalu Senja berlari kecil menuju rak penitipan barang di dekat area parkir dan mengambil sesuatu dari biliknya. Daru hanya diam saja memperhatikan sampai Senja kembali menghampirinya sambil membawa sebuah bungkusan segi empat berwarna kuning. "Mas bawa mantel saya, ya. Siapa tahu di jalan hujan lagi."
"Enggak usah, Mbak. Itu dipakai Mbak aja."
"Udah, Mas, pakai aja dulu. Kalau mau, ini bisa buat Hita, siapa tahu di jalan nanti hujan lagi. Yang penting kalian berdua cepat sampai rumah."
"Mbak gimana?"
"Aku juga mau langsung pulang. Kalau hujan lagi, aku tinggal nyari tempat berteduh." Senja nyengir tipis. Daru masih tetap ragu, tetapi Senja meyakinkannya bahwa ini tidak apa-apa, sebab kesehatan anak sekecil Hita lebih penting. Akhirnya, Daru menerima mantel pinjaman dari Senja. Dia menggumamkan terima kasih dengan ekspresi malu.
"Oh, ya, Mbak Senja?" kata Daru dengan nada berbisik, meyakinkan diri bahwa Hita tidak akan curiga dengan pertanyaannya, "Mbak enggak bilang ... soal Inaw yang kemarin ...."
Senja yang mengetahui maksud pembicaraannya langsung menyahut, "O, enggak, kok."
Berlandaskan fakta itu, Daru menatap Senja dan melihat pancaran kebaikan di matanya. Kemudian, dengan tulus, Daru tersenyum lebar sebagai balasan bersyukur.
Pemuda itu pamit keluar dari Nawarma, meninggalkan Senja yang berdiri di muka pintu sendirian, tanpa tahu bahwa jantung gadis itu mendadak jumpalitan saat diberi senyum semanis itu oleh Daru.[]
-oOo-
.
.
.
Cowok yang sehari-harinya diem dan cemberut, biasanya kalau sekali senyum, suasana langsung terang kayak dipasangi lampu 20 Watt 😝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top