43. (Tamat) Kehidupan Saat Ini

Chapter terakhir ini panjang banget. Silakan dibaca dan dinikmati di jam santai yaaakk 😁

-oOo-

Pertengahan Maret, tahun berikutnya.

"COBA, dong, sebut namaku langsung!"

Daru memandangi wajah Senja di layar ponsel yang terhubung dengan video call. Pukul setengah enam, gadisnya sedang sendirian di ruangan kelas yang mata kuliah paginya masih kosong. Senja tampak cantik dalam balutan blus berenda dilapisi jas almameter kuliah. Bibir yang dipoles lipcream warna merah delima membingkai senyum yang manis, sementara binar matanya menanti-nanti Daru untuk segera menjawab permintaan.

Sambil tersenyum, Daru berkata kecil, "Iya, deh, Senja."

Dari seberang layar, Senja langsung memegang dadanya dengan kedua tangan, berakting seperti kena serangan jantung. "Aaaak, aku bisa mati bahagia sekarang juga!"

"Apaan, sih. Lebay kamu."

"Habisnya kamu kalau sebut namaku maniiis banget. Lebih manis dari sakarin." Senja terkekeh. Sambil membetulkan kerudungnya yang agak miring, dia melanjutkan, "Kenapa sih dari dulu kita selalu manggil satu sama lain pakai sebutan Mbak dan Mas?"

"Kan kamu duluan yang manggil saya pakai Mas. Saya sih menyesuaikan aja."

"Hah, kapan?" Kening Senja langsung mengerut kesal.

"Tanggal dua Juni, kita ketemu pertama kalinya di pelataran toko yang tutup. Waktu itu hujan deras, dan saya baru kembali dari buang Inaw. Kamu tiba-tiba muncul di sebelah saya kayak hantu enggak diundang, terus langsung protes, 'Mas tadi baru buang sesuatu, kan?'" Daru melafal kalimat akhir dengan nada bawel yang dibuat-buat.

Jawaban Daru barusan membuat Senja menjatuhkan rahang terkejut. "Serius aku duluan yang bilang gitu?"

"Ya masa bohong."

Lalu Senja mengusap keningnya dengan gaya dramatis. "Lebih dari itu, kamu masih inget sama pertemuan pertama kita? Sampai ke tanggal dan dialog pertama?"

"Saya juga ingat pertemuan kedua kita di tokonya Pak Wira, lusanya."

"Kalau pertemuan ketiga kita gimana? Masih inget, enggak?"

"Sejak pertemuan kedua, kita kan selalu ketemu tiap hari di toko. Masa harus diingat satu-satu?"

"Eh. Iya juga," Sambil tertawa, Senja kelihatan sibuk mengeluarkan IPad dari dalam tas. Ketika sedang menarikan jarinya di atas layar, gadis itu berkata, "Kamu hebat banget, sih, Dar. Bisa ingat sampai ke detail begitu? Biasanya yang ingatannya kuat itu cewek, loh. Mereka bahkan bisa hafal setiap tanggal-tanggal penting dalam hubungannya―mulai dari tanggal jadian, tanggal ulang tahun, tanggal kencan pertama, kedua, tanggal putus, terus ...."

"Terus kamu ingat semua itu, enggak?" Daru tiba-tiba memotong.

Senja menggeleng seraya mendengkus, "Enggak."

"Berarti teorimu tentang cewek salah."

"Loh, emang aku bilang kalau teoriku itu valid? Kan biasanya. Biasanya. Perhatikan kalimatku baik-baik, dong, pacarku yang ganteng."

Saat Daru tidak kunjung bereaksi, Senja mendongak pada layar ponselnya yang disandarkan di dinding. Rupanya Daru terlihat kaget selepas mendengar julukan itu. Senja yang tidak tahan melihat wajah Daru yang bersemu merah, langsung tertawa lebar. "Apa, sih? Kamu enggak pernah dengar pujian, emang? Enggak pernah dengar orang bilang kamu ganteng? Kasihaaaann."

"Bukan gitu," kata Daru, berusaha mengembalikan rautnya. "Saya cuma kaget aja, habisnya kamu enggak pernah selantang itu bilang saya ini pacarmu."

"Oh, kamu enggak mau jadi pacarku, nih?"

Daru menggeleng.

Senja langsung terlihat sewot. "Terus maunya apa?"

"Maunya langsung jadi suamimu."

Jiaaak. Senja rasanya ingin melempar tasnya ke muka Daru karena digoda seperti itu. Betapa beraninya. Padahal semenjak hubungan keduanya dipertegas dengan pengakuan cinta dari masing-masing pihak, Daru tidak pernah sekalipun menggodanya ke hal-hal yang menjurus ke hubungan rumah tangga. Suami, katanya? Aku juga mau banget jadi istrimu, tahu!

"Apa, sih, Daru! Malu tahuuuu."

"Ya gantian. Biasanya kamu yang malu-maluin saya."

Tiba-tiba saja, pintu kelas di belakang Senja terbuka. Beberapa teman kampusnya melenggang masuk ke ruangan. Senja menoleh sebentar untuk menyapa satu-dua orang di antara mereka, kemudian kembali lagi menghadap Daru. Seketika saja, suasana kelas mulai riuh dengan suara mahasiswa yang mengobrol ini-itu.

"Udah masuk, ya, Ja? Kalau gitu udahan, ya?" Daru mengusulkan.

"Eh, tunggu bentar, Dar. Lanjut aja enggak papa, kok. Ini dosennya bilang bakalan telat lima belas menit." Senja mengubah posisi ponselnya sehingga Daru tidak bisa melihat suasana kelas yang mulai ramai, sekaligus agar Senja tidak terlihat sedang menelepon seseorang. Dia menyadarkan ponsel di punggung kursi barisan depan, lalu tersenyum manis, "Lagian suaranya enggak bakal kedengeran. Temenin aku benerin catatan kemarin, yaa."

Daru terkekeh lebar.

"Jangan mulai, deh. Jangan nyengir lebar-lebar," kata Senja memperingati.

"Kenapa emangnya?"

Aku pengin cakar layar hape, habisnya kamu gantengnya enggak sopan. Tapi Senja malah menjawab hal lain, "Aku jadi pengin gigit hidungmu yang gede itu."

"Ini bangir, tahu. Bukan gede." Daru mencubit hidungnya yang mancung sambil tertawa lagi.

"Aaah, terserah! Pokoknya jangan nyengir lebar-lebar, deh!" Senja menegaskan sambil merengus, kemudian kembali lagi ke catatan Ipad-nya. Selama beberapa detik, Daru menatap kesibukan Senja yang menulis sesuatu di layar. Lantas dia bertanya lagi, "Ini udah masuk semester dua, kan, Ja? Gimana kuliahnya, nyaman enggak di PGSD?" (Pendidikan Guru Sekolah Dasar)

"Nyaman. Nyaman, banget. Materinya di sini lebih nyantai dibandingkan jurusanku yang dulu," kata Senja sambil tersenyum, lalu terbit semangat di wajahnya. "Belakangan ini aku dapat tugas bikin APE yang lucu-lucu, Dar. Bulan kemarin aku bikin puzzle, terus kemarin aku bikin boneka jari sama teman-teman satu kelompok."

"APE itu apa?"

"Alat Peraga Edukatif. Biasanya dipakai guru buat ngajarin anak-anak SD."

"Ooh," Daru manggut-manggut. "Kamu bikin APE sama temen-temen? Dibuatnya pakai apa?"

"Pakai kardus, papan kayu, cat, kain flanel ... ya banyak, deh. Pokoknya. Setelah kupikir-pikir, kayaknya aku emang cocok masuk ke sini. Soalnya sejak kecil aku emang doyan bikin kerajinan tangan gitu, jadinya pas bikin APE, malah berasa nostalgia di masa sekolah. Nanti aku kirimin deh foto APE-ku. Bagus banget, tahu."

"Iyaa, saya tunggu," kata Daru. "Syukur, ya, Ja, sekarang udah nemuin apa yang kamu suka."

"Iya, Dar. Apa lagi aku juga suka anak kecil. Pokoknya nanti pas lulus, aku mau jadi guru SD dan ngajar bocil."

"Ngajar atau jailin bocil, nih?"

"Ngajar, lah. Kalau jailin tuh cuma ke Ganesh sama Hita. Eh―" Senja langsung mendekat pada layar. Matanya berbinar-binar saat mengingat soal Hita. "Hita gimana kabarnya? Duh, karena keasyikan ngobrol, jadi enggak sempet nanyain kabar calon adik ipar."

Daru senyam-senyum sendiri mendengar gombalan itu. Heran. Cewek ini, sekali dipacari jadi suka cari kesempatan untuk membuat hati Daru kegirangan.

"Alhamdulillah, baik," balasnya. "Kalau dihitung-hitung, ini masuk bulan kelima sejak Hita tinggal sama Bu Kasmirah. Biasanya tiap minggu dia kunjung-kunjung ke sini dan main sama saya. Oh, ya. Sempat tuh, di awal kepindahannya, tiap hari dia ngagetin saya―tiba-tiba kirim go-food jauh-jauh sampai ke rumah. Enggak satu dua kali aja, tapi tiap hari!"

"Loh, kan bagus, tuh. Berarti love language dia gift giving."

"Duh, apaan lagi, sih itu?" Daru terkekeh dengan istilah perkotaan yang digunakan Senja. "Saya suruh Hita buat berhenti kirim saya hadiah, Ja. Saya juga udah sampaikan ini ke mamanya. Bukannya apa. Saya takut nantinya dia jadi terlalu loyal dan gampang ngasih-ngasih ke orang lain yang kurang bisa dipercaya. Tahu sendiri kan, pergaulan anak-anak zaman sekarang kayak gimana. Nanti ada orang yang malah memanfaatkan kebaikan Hita buat―"

"Daru, stop! Stop!" Senja langsung mengibaskan tangan di depan layar. Seraya tertawa tidak habis pikir, dia berkata, "Kamu tuh, ya. Persis banget kayak bapak-bapak yang khawatir sama putrinya. Lagi pula kalau mamanya enggak masalah, ya terima aja, enggak sih? Hita tuh kepengin ngasih hadiah supaya kamu terus ingat sama dia."

"Saya tahu Hita seperti apa, Ja," kata Daru. "Andai dulu waktu masih tinggal sama saya, saya enggak perhitungan dengan uang jajannya, anak itu pasti dikit-dikit beli barang enggak penting. Pokoknya watak Hita persis deh kayak mamanya. Soalnya itu juga yang mamanya lakukan setiap jemput Hita ke rumah saya; ngasih hadiaaah terus. Dari makanan, pakaian, peralatan dapur, sampai bibit tanaman juga dikasih ... padahal saya enggak bisa berkebun. Saya tuh cuma enggak mau ini dijadikan kebiasaan Hita tiap kali berkunjung ke rumah saya. Itu kan boros. Berlebihan. Saya juga jadi merasa kayak tamu. Padahal saya kan abangnya. Harusnya santai aja."

Senja sebetulnya ingin membalas Daru dengan opini yang lebih meluruskan. Namun, urung. Sifat Daru sejak dulu memang seperti itu. Apa-apa selalu dianggap berlebihan buatnya. Rasanya Daru juga selalu menemukan kesempatan untuk mendidik Hita lewat cara apa pun, walaupun mungkin bentuk protesnya yang ceplas-ceplos itu bisa membuat Hita merasa sedikit salah paham.

Bocah kayak Hita kan terlalu polos buat memahami isi kepala orang dewasa kayak kamu! Begitu batin Senja. Lagi pula, dibandingkan mempermasalahkan sifat tidak enakan Daru yang tidak pernah berubah sejak dulu, sebetulnya ada banyak sekali sisi kepribadian Daru yang belakangan ini mengalami perubahan. Senja merasa Daru menjadi lebih ceria dan mudah mengekspresikan perasaan. Dia juga jadi banyak bicara, walaupun sifat pemalunya itu masih ada. Padahal dulu, saat Senja baru pindah ke Surabaya, gadis rutin mengecek kondisi Daru lewat video call―menanyakan bagaimana perkembangan pengobatannya, apa saja yang Daru lakukan seharian, bahkan memastikan bagaimana perubahan perasaan Daru―apakah masih sering mengalami mood swing atau tidak. Rasanya Senja sudah seperti psikolognya saja, padahal dia cuma bermodal perhatian.

"Senja?"

"Mm, apa, Dar?"

"Bulan depan saya mau ke Surabaya, ya."

Senja langsung membelalakkan mata sambil senyum sumringah. "Hah, serius? Kok tiba-tiba?"

"Bulan depan masih lama, tahu." Daru terkekeh, lalu melanjutkan, "Sebenarnya saya udah ada rencana mau ke Surabaya sejak minggu kemarin, tapi saya enggak enak sama Bu Garwita kalau harus ninggal tokonya. Apalagi kan Wiramart baru aja bikin cabang baru di dekat kawasan kota, otomatis kita jadi sibuk banget."

"Wah, wah, masyaAllah, tambah gede aja bisnisnya." Senja menggeleng-geleng ikutan senang. Karena sudah lama menjadi keponakannya Bu Garwita, Senja bisa membaca situasi saudaranya tersebut. Kalau Bu Garwita membuka cabang di tempat baru, itu artinya Daru telah berganti posisi menjadi kepala manajer yang dipasrahi tugas untuk mengelola toko. Sebab Tante Garwita dan Om Wira pasti akan lebih sibuk menangani cabang.

Kemudian, entah bagaimana pemikiran itu membuat Senja merenung. Daru melihat gerak-gerik Senja yang seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi ditahan-tahan.

"Mau ngomong apa, sih, Ja? Bilang aja langsung," kata Daru.

Senja melirik keadaan kelasnya sebentar, lalu kembali ke jam tangannya. Karena sepertinya masih ada waktu, dia bertanya, "Dar, sehabis kuliah, kayaknya aku mau pindah aja deh ke Jayastu. Mau ngontrak rumah dan kerja di sana."

"Hah, kenapa?" Daru mengernyit kecil. "Emang enggak mau lanjut S2 gitu?"

"Aku pengin segera mendedikasikan hidup jadi guru," Senja terkekeh malu. "Desamu kan lumayan deket sama kota. Udah banyak juga SD-SMA negeri dan swasta di sana. Selain nyambi jadi guru, aku juga bisa bikin bimbingan belajar buat anak-anak di lingkungan itu."

Daru diam saja. Bukan karena dia tidak tahu harus menanggapi apa, melainkan karena ada banyak pertanyaan yang membuatnya penasaran dengan keputusan Senja.

"Gini, gini," Daru berkata pelan. "Jangan buru-buru mengambil keputusan, Ja. Kan kamu juga masih semester dua. Perjalananmu masih panjang. Lagi pula kenapa harus balik kemari sih, kalau di Surabaya aja masih banyak lapangan pekerjaan? Kamu ngebet banget pengin ketemu saya?"

"Iyaaaa. Aku rindu, huhu." Senja menumpukan dagunya ke tangan sambil memasang wajah cemberut.

Mendengar jawabannya, bukannya senang, Daru lebih merasa sedih.

"Ja," kata Daru. "Kamu itu cewek. Bukan fitrahnya berkorban lebih banyak demi ketemu laki-laki. Udah, nikmatin aja kuliah di sana. Coba lebih banyak kesempatan untuk mencicipi pekerjaan di Surabaya, karena di kota sana sudah pasti banyak peluang menarik yang justru sulit didapatkan kalau kamu tinggal di desa. Kamu enggak perlu khawatir sama hubungan kita. Saya pasti bakal kunjungin kamu terus, kok. Bakalan telepon kamu terus."

"Ya maksudnya kan biar kita bisa saling deket, gitu ...."

"Ya udah, kamu pengin saya kerja aja di Surabaya, gitu?"

"Ih, jangaaan!" Senja langsung menggeleng panik. "Ya kamu jangan gegabah gitu, dong, Dar. Belum tentu juga kalau kamu di Surabaya, semuanya bakalan mulus."

"Tuh, poinnya udah kamu utarakan dengan jelas. Begitu juga kalau kamu pindah ke desa. Belum tentu semuanya lancar sesuai rencana." Mendadak kerut kecemasan di wajah Daru hilang, terganti dengan cengiran hangat seperti sedia kala. "Udahlah, Senja, kalau apa-apa direncanakan detail, ujung-ujungnya pasti berantakan. Sekarang jalanin dan nikmatin aja apa yang ada di hadapanmu. Biarkan semuanya mengalir dengan sendirinya. Masalah masa depan, kalau kamu ikhtiar yang baik, pasti dapatnya bakalan yang terbaik juga. Lagian, kamu tuh masih terlalu dini untuk berpikir soal profesi, orang lulus aja belum. Siapa tahu bukannya jadi guru SD, kamu malah jadi CEO perusahaan."

Senja jadi tergelak gemas karena candaan Daru. "Mana mungkin jadi CEO!"

"Masa depan itu misteri. Kan dulu saya pernah bilang ke kamu. Hidup manusia juga sejatinya enggak ada yang tahu ujungnya ke mana, karena masa depan kita mau gimana pun ya Tuhan yang menentukan, bukan didasarkan pilihan kita semata."

"Iya, ya, bener." Senja menyandarkan sisi kepalanya ke lengan yang dilipat di atas meja, memandangi wajah Daru dengan tatapan hampir terpesona. "Senang deh punya pacar yang bukan tampangnya aja yang ganteng, tapi kata-katanya adem kayak angin pegunungan."

"Ngomong apa, sih, kamu," cetus Daru.

"Kamu tuh. Awas aja ya, aku udah bucin gini malah enggak dijadikan istri."

Daru langsung menepuk jidatnya sendiri sambil tertawa. Ampun, cewek satu ini bar-bar banget kalau minta sesuatu.

"Pokoknya kamu juga harus sabar nunggu aku," kata Daru. "Kan enggak mungkin kalau aku ngelamar kamu tanpa modal. Aku juga harus memantaskan diri secara mental dan finansial, biar Om Krisna ikhlas melepas kamu buatku."

"Udah pasti ikhlas, kok. Papa udah tahu kamu orangnya gimana. Kan sering ngobrol juga lewat vidcall," kata Senja dengan suara agak menggumam, sebab pipi kirinya menekan lengan. "Papa pernah bilang ke aku kalau kamu asyik diajak ngobrol. Kayaknya karena kalian berdua emang udah punya spek bapak-bapak secara alami. Bahkan sampai joke aja seleranya sama."

"Ya enggak sesederhana gitu, tahu." Daru terkekeh sambil menggeleng maklum.

Tepat setelah itu, pertanyaan Daru terputus, sebab Senja tiba-tiba saja menegapkan punggung seolah dia melihat sesuatu yang mengagetkan di depan sana. Rupanya dosennya telah datang.

Gadis itu membungkuk ke depan meja. "Sayang, dosenku udah datang. Nanti telepon lagi, ya."

"Sayang?" Daru merona lagi. Duh, duh, duh.

Senja menyungging cengiran manis. "Cintaku, sampai nanti. Assallamualaikum."

Daru baru saja membalas salam tepat ketika Senja menutup teleponnya.

-oOo-

Setelah menelepon Senja, Daru menaruh ponselnya di atas nakas tempat tidur, kemudian berdiri. Pakaiannya masih lengas oleh keringat karena tadi sebelum bertelepon dengan Senja, dirinya baru selesai berlari pagi di lapangan desa. Lantas, pemuda itu membuka kaus birunya sambil berdiri di hadapan cermin.

Daru mematut dirinya sejenak, tetiba merasa senang melihat tubuhnya sudah lebih sehat dan bugar. Sebelum menggemari olahraga, kulitnya yang kuning kepucatan membuat bekas luka masa kecilnya terlihat lebih mencolok. Namun, seluruh bekas itu semakin samar di tubuhnya yang sekarang. Setelah sekian lama berjuang untuk memulihkan mental, kini otot-otot mulai terbentuk di perutnya yang ramping, sementara lengannya mulai kuat dan berisi. Daru juga tambah senang karena belakangan ini dia tidak mudah capek dan sakit-sakitan seperti dulu.

Daru baru saja mengambil handuk untuk pergi mandi ketika mendadak notifikasi pesannya berbunyi. Dia memeriksa ponsel di atas nakas. Rupanya pesan dari Hita. Anak itu mengirim foto dirinya yang sedang makan buah stroberi ukuran besar sambil menggendong Inaw di taman rumahnya.

Hita:
Mas aku makan stroberi loh 🍓
Agak asem dikit tapi
Inaw lucu kan! 🐱💙
Katanya Inaw, dia kangen Mas Daruu

Daru:
Makanya, kalau makan stroberi,
sambil lihat cermin.

Hita:
Kenapa?

Daru:
Biar rasanya jadi manis
karena sambil ngaca

Hita:
Hah, maksudnya?
Kacanya mengandung gula?
🤔🤔🤔

Daru menggaruk lehernya yang tidak gatal, merasa geli sekaligus kebingungan dengan cara Hita berpikir. Ternyata umur Hita belum cukup untuk mendapat lelucon garing ala bapak-bapak begini.

Merasa gemas sekaligus kesal, akhirnya Daru mengirimi Hita dengan emotikon hati dan stiker lucu yang banyak. Hita senang sekali dikirimi seperti ini. Namun bukannya membalasnya dengan stiker, Hita malah mengirimkan swafotonya lebih banyak.

Daru senyam-seyum melihat dua belas foto baru yang dilampirkan. Empat di antaranya adalah foto Inaw yang sekarang semakin kelihatan gendut dan makmur setelah dipelihara Hita. Dua foto yang lain adalah foto Hita bersama mamanya.

Hita:
Mas, besok mampir rumah ya
Makan malam bareng
Aku kangen Mas Daru soalnya
🥰🥰🥰

Daru:
Kan minggu kemarin
udah ketemu

Hita:
Ya gantian
Kan minggu kemarin aku ke Jayastu
Minggu depan Mas yang kesini
Nanti kubuatin risol mayo, deh. Ya? Ya?
🥺🥺🥺🥺

Daru:
Iya anak ayam
Habis isya Mas dateng ya

Hita:
Yess!
😍🥰💙😍✨🔥💙

Kegiatan mengirim pesan itu berakhir. Daru lantas mandi untuk bersiap berangkat kerja. Seperti biasa, dia mengayuh sepedanya ke Wiramart.

Sejak beberapa minggu lalu, Bu Garwita sebetulnya sudah membujuk Daru untuk kredit sepeda motor agar Daru tidak perlu mengayuh panas-panasan lagi, tetapi Daru bersikeras ingin membeli motor secara tunai saja."Sayang uangnya, Bu. Kalau kredit, harganya bisa sampai dua kali lipat lebih mahal. Toh tabungan saya juga udah setengah jalan. Lebih baik sabar bentar buat nikmatin motor yang dibeli tanpa harus ngutang." Begitu alasan yang Daru lontarkan saat Bu Garwita menanyakannya perihal pembelian motor. Daru sama sekali tidak masalah bila harus mengayuh panas-panasan begini. Hitung-hitung investasi kesehatan di dunia muda.

Begitu sampai di Wiramart yang masih tutup, Daru langsung memarkirkan sepedanya di lahan parkir.

Sudah beberapa minggu ini dia dipasrahi menjadi manajer yang mengelola toko, dan Daru merasa senang dan bersyukur. Menurutnya ini merupakan tantangan besar, lantaran dirinya harus belajar lagi mengenai regulasi toko sekaligus keuangan yang masuk dan keluar. Dia juga harus belajar membina para karyawan sekaligus menjaga kedekatannya agar mereka semua bisa seperti keluarga. Dalam hal ini, Daru berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengecewakan Bu Garwita dan Om Wira yang sejauh ini telah dianggapnya sebagai orangtua. Mereka kan sudah banyak membantunya tanpa perhitungan sekalipun. Kalau ada sesuatu yang bisa Daru berikan sebagai imbalan, Daru ingin menjadi pemuda yang selalu sigap membantu keluarga Bu Garwita kapan pun dirinya diperlukan.

Setelah mengawali dengan basmallah, Daru membuka gembok rolling door dan menggulungnya ke atas. Dia mengecek toko, menyapu sebentar, dan memastikan kaca-kacanya bersih. Ketika Daru sedang menata makanan di rak, seorang karyawannya datang.

"Assallamualaikum. Pagi, Mas Daru!"

"Wallaikumsalam. Pagi, Aden. Seger banget pagi-pagi."

"Hahaha, iya, dong. Tadi mampir dulu soalnya ke rumah my baby." Aden berwajah ramah dan sangat periang. Dia adalah pegawai paling muda yang baru bergabung di Wiramart setelah lulus SMK beberapa bulan lalu. "Makanya serotoninnya nambah, nih. Full batery sampai nanti sore. Eh, omong-omong, paket sarapannya udah datang, enggak? Aku mau beli, nih, Mas."

"Bentar lagi dateng. Biasanya jam tujuh, kok." Daru menatap jam dinding sekilas. "Enggak usah beli kali, Den. Kan udah saya bilang, pegawai di sini kalau mau sarapan, sarapan aja. Langsung ambil."

"Hehehe, iya, Mas." Aden menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Senyumnya yang lebar membuat lesung pipinya tambah dalam. "Mas baik banget, deh. Ganteng pula."

"Saya enggak terima pujian dari cowok," kata Daru.

"Oh, gitu? Kalau cewek yang muji mau, enggak?"

"Cuma dua orang cewek di dunia ini yang pujiannya saya terima."

"Siapa?"

"Bu Garwita sama Senja."

Aden langsung membuka mulut seperti kaget. "Bener-bener, nih. Anak Bu Bos! Ngomong-ngomong Senja siapa?"

"Pikir aja sendiri, Aden."

"Pacar?"

Bukannya menjawab, Daru malah menatap pelataran parkir yang sudah disambangi lagi dengan dua motor. Satunya motor pegawai, satunya lagi motor pengunjung.

Sementara itu, Aden masih sibuk mencolek-colek perut Daru, "Aduh, Bos Ganteng ternyata udah punya pacar, nih. Padahal kemarin temen-temen SMA-ku sempet nanyain nomornya Mas Daru, loh. Sepertinya mereka harus siap patah hatiiii."

"Den, udah, Den. Tuh, ada pelanggan pertama."

Daru segera membalikkan tubuh Aden agar anak itu menyambut di depan pintu. Bagai seorang prajurit yang patuh, Aden buru-buru berlari ke posisi sambil memasang cengiran sopan.

Sementara Daru, hanya bisa membuang napas melihat kelakuan pegawai barunya yang super ceria dan bawel. Mengalahkan Senja saja, begitu batinnya. Sambil menyungging senyum maklum, Daru menatap lantai toko yang dibanjiri sinar matahari dari luar. Atensinya perlahan-lahan merambat naik, menatap pemandangan di balik jendela, pada jalanan yang digilas motor yang berseliweran, lalu pada langit yang bersinar biru cerah.

Hatinya berdesir nyaman menyaksikan bumi yang melangkah pelan bersamanya. Dan, kendati masih banyak hal-hal baru yang menanti di ujung perjalanan nanti, Daru sama sekali tidak merasa khawatir ataupun was-was.

Sebab kehidupannya saat ini, menurut pengukuran Daru, sudah sangat sempurna.[]

TAMAT

.

.

.

Halooo, selamat pagi 😍

Alhamdulillah, bersama chapter ini, Daruhita resmi tamat

Gimana setelah baca chapter ini? Puas enggakkk? Atau masih kurang, awwkwkwkwk

Sudah puas sama nasib semua karakternya di sini? Tambah cinta enggak sama Mas Daru? Pengin suami yang kayak dia, atau pengin istri yang kayak Senja? 😆😆😆

Terima kasih untuk teman-teman yang bersedia membacanya sampai titik ini. Aku minta tolong untuk komen yaa tentangmm gimana tanggapanmu sejauh ini, supaya aku bisa berbenah ke depannya. Please? 🥰

Makacieee sayang-sayangku. Jangan lupa mampir ke ceritaku yang lain!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top